2.11.5 Pengaruh Perilaku Tidak Etis terhadap Kecenderungan Kecurangan
Fraud di Sektor Pendidikan
Buckley et al., 1998 dalam Wilopo, 2006 menjelaskan bahwa perilaku tidak etis merupakan sesuatu yang sulit untuk dimengerti, yang
jawabannya tergantung pada interaksi yang kompleks antara situasi serta karakteristik pribadi pelakunya. Perilaku tidak etis terdiri dari perilaku
yang menyalahgunakan kedudukanposisi abuse position, perilaku yang menyalahgunakan
kekuasaan abuse
power, perilaku
yang menyalahgunakan sumber daya organisasi abuse resources, serta
perilaku yang tidak berbuat apa-apa no action. Perilaku tidak etis individu disebabkan oleh faktor tekanan dari
dalam diri maupun pihak luar. Tekanan dari dalam diri individu dapat berupa adanya keinginan-keinginan yang sangat dominan. Hal ini
berdasarkan pada sifat manusia yang tidak pernah puas terhadap sesuatu. Rasa ketidakpuasan tersebut menjadi dorongan untuk mencari cara dalam
proses pemuasan, meskipun menggunakan cara-cara yang tidak etis. Perilaku tidak etis akan semakin berkembang dengan adanya peluang dari
dalam instansi. Peluang untuk melakukan perilaku tidak etis dapat dilakukan oleh manajemen atas sampai dengan bawahan. Manajemen atas
dapat melakukan penyalahgunaan aset yang digunakan untuk kepentingan pribadi. Penyalahgunaan aset diketahui oleh bawahan sehingga bawahan
akan mengikuti perilaku atasan sesuai lingkupnya.
Saat pimpinan mengetahui adanya kecurangan pada bawahannya tetapi karena merasa itu hal yang sama seperti yang manajemen tersebut
lakukan maka pimpinan akan membiarkan saja. Perilaku pembiaran merupakan bentuk tidak etis yang sering terjadi di sebuah instansi. Jika
dalam suatu instansi memiliki sistem pengendalian yang lemah, maka instansi tersebut terancam mengalami penurunan kualitas dan berpotensi
merugikan baik secara kredibilitas, integritas, maupun finansial. Dinas pendidikan adalah instansi pemerintah dibawah kementrian
pendidikan dan kebudayaan. Seluruh aset dinas pendidikan adalah milik pemerintah, begitu juga dengan pegawai-pegawainya yang berasal dari
jajaran pemerintahan. Aset dinas pendidikan dapat berupa kas maupun barang.
Pada kegiatan
operasionalnya, dinas
pendidikan akan
mempertanggungjawabkan seluruh penggunaan aset pemerintah tersebut. Penggunaan aset tersebut akan dilaporkan kepada pemerintah dan akan
dilakukan audit menurut ketentuan perundang-undangan. Proses pelaporan aset menggunakan dukungan dari bukti transaksi. Hal ini dilakukan untuk
mencegah timbulnya penggunaan aset yang tidak sesuai dengan tugas pokok.
Kemungkinan yang bisa timbul dari ketidaksesuaian dari tugas pokok adalah penggunaan aset yang tidak semestinya. Biaya operasional
yang tidak sesuai dengan kenyataan dilapangan sangat dimungkinkan sebagai sebab utamanya. Biaya transportasi pada kendaraan dinas yang
semestinya dibebankan untuk perjalanan dinas, tetapi justru dibelokan
untuk penggunaan pribadi. Perilaku penyalahgunaan set ini merupakan bagian dari perilaku tidak etis. Karena perilaku ini memiliki dampak
secara finansial terhadap instansi, maka dapat tergolong sebagai tindak kecurangan. Pemanfaatan aset pemerintah untuk kepentingan pribadi
adalah bagian dari pohon kecurangan. Dengan demikian, dapat dipersepsikan bahwa perilaku tidak etis berpengaruh positif terhadap
kecurangan pegawai dinas pendidikan. Di lingkungan sekolah, manajemen dan guru terikat pada aturan
kepegawaian yang sama. Keduanya dituntut untuk melakukan pelaporan sebagai bukti kinerja. Proses pengajuan anggaran dari sekolah memerlukan
ketelitian dan tanggungjawab, sehingga secara finansial akan sulit terjadi perilaku tidak etis pada ranah ini. Meskipun demikian, lingkup kecurangan
sangatlah luas. Dalam kepegawaian, penggunaan aset lain baik berupa peralatan maupun perlengkapan yang tidak sesuai dengan aturan juga
dapat tergolong sebagai kecurangan. Misalkan bagaimana dengan perlakuan terhadap aset-aset yang telah jatuh temponya dan akan
diperlakukan seperti apakah aset yang rusak atau habis setelah dipakai. Manajemen sekolah berperan dalam proses tata usaha sekolah.
Perlengkapan akan dianggarkan sesuai kebutuhan seperti tahun sebelumnya dengan ditambah penyesuaian terhadap nilai uang tahun itu.
Disisi lain, harga perlengkapan tidak akan sama dari waktu ke waktu. Penentuan harga barang suatu produk akan menyesuaikan permintaan
pasar. Jika nilai barang tersebut mengalami penurunan, maka akan terjadi
selisih lebih atas nilai belanja perlengkapan tersebut. Hal ini memicu oknum untuk berbuat kecurangan dengan melakukan skema bekerja sama
dengan pihak supplier. Bukti transaksi fiktif tersebut kemudian akan di otorisasi kebenarannya oleh atasan. Karena berada pada lingkungan yang
sama dengan fungsi pembelian, atasan akan menyadari kecurangan tersebut. Meskipun menyadari, karena nilai kecurangan tidak terlalu besar,
maka hal hal ini akan dibiarkan saja oleh atasan. Meskipun menjalankan skema kecurangan yang memiliki nilai
finansial tidak terlalu besar, tetapi hal ini tetap tergolong penyimpangan terhadap aset sekolah. Manajemen dituntut untuk berlaku jujur berapa pun
nilainya. Perilaku pembiaran manajemen terhadap suatu fungsi inilah yang akan memperkuat timbulnya kecurangan. Dengan demikian dapat
dipersepsikan bahwa perilaku tidak etis berpengaruh positif terhadap kecurangan manajemen sekolah.
Guru adalah pelaksana pengajar yang berhadapan langsung dengan murid di kelas. Guru berhak menentukan penilaian terhadap muridnya.
Dalam proses penentuan nilai bagi murid, guru terkadang melihat latarbelakang dari murid tersebut. Hal ini akan berpengaruh pada
independensi guru. Guru berhak menentukan LKS yang harus digunakan murid untuk belajar. Pada suatu kasus, guru didapati tengah menjual LKS
kepada muridnya. Hal ini berarti guru melakukan kegiatan lain yang digunakan untuk menambah penghasilan diluar mengajar pada jam
sekolah. Hal ini sudah umum terjadi dikalangan guru. Terkadang
meskipun dalam satu penerbit yang sama, tetapi guru menetapkan harga yang berbeda-beda tergantung mata pelajaran yang diampunya.
Perilaku tidak etis selain menurunkan kualitas juga dapat mengarah pada kecurangan guru. Guru lain yang mengetahui hal di atas akan
menganggap gap ini sebagai sesuatu yang biasa terjadi dan membiarkan hal ini begitu saja. Hal ini adalah bentuk perilaku guru yang
menyalahgunakan kedudukannya sebagai guru, serta membiarkan terjadinya kecurangan tanpa melakukan respon apa-apa. Kedua kategori
tersebut termasuk dalam perilaku tidak etis. Dengan demikian dapat dipersepsikan bahwa perilaku tidak etis berpengaruh posistif terhadap
kecurangan guru. Murid sebagai konsumen dalam pendidikan memungkinkan adanya
perilaku tidak etis yang bersumber dari labil emosi. Hal ini berhubungan dengan kenakalan remaja yang berujung pada kecurangan murid. Dalam
proses KBM, murid akan menggunakan fasilitas sekolah. Tetapi tidak jarang pula fasilitas sekolah ini digunakan sebagaimana wajarnya. Perilaku
kenakalan remaja dapat berupa perusakan terhadap aset-aset sekolah. Meskipun terkadang hal ini dilakukan secara tidak sengaja, tetapi akan
merugikan pihak sekolah sebagai penanggungjawab aset. Lab komputer digunakan untuk melatih kemampuan siswa di
bidang informatika. Namun terkadang sekolah terlalu membebaskan penggunaan komputer yang terhubung dengan internet. Hal ini
dimanfaatkan murid melakukan penggunaan komputer untuk urusan lain
di luar pelajaran. Misalkan bermain game online, mengakses jejaring sosial, dan membuka hal lain selain kepentingan pelajaran. Hal-hal di luar
pelajaran tersebut pasti membutuhkan biaya listrik dan internet. Lama penggunaan komputer dapat meningkatkan biaya operasional sekolah.
Meskipun pihak sekolah mengetahui hal ini, tetapi terjadi pembiaran pada masalah tersebut. Sama seperti hal sebelumnya, bentuk pembiaran adalah
bagian dari perilaku tidak etis. Dengan demikian dapat diperspsikan bahwa perilaku tidak etis berpengaruh positif terhadap kecurangan murid.
2.11.6 Pengaruh Komitmen Organisasi terhadap Kecenderungan