Teori Atribusi Persepsi LANDASAN TEORI

17

BAB II LANDASAN TEORI

2.1 Teori Atribusi

Teori Atribusi adalah sebuah teori yang membahas tentang upaya- upaya yang dilakukan untuk memahami penyebab-penyebab perilaku kita dan orang lain Idrus, 2012. Teori Atribusi Green and Mitchel, 1979 dalam Gifandi 2011, menjelaskan bahwa tindakan yang dilakukan seseorang disebabkan oleh atribut penyebab. Maka tindakan seorang pemimpin atau orang yang diberi kewenangan atau kekuasaan dipengaruhi oleh atribut penyebab. Tindakan kecurangan dapat dipengaruhi adanya sistem pengendalian internal dan monitoring oleh atasan. Untuk menangani masalah kecurangan akuntansi, diperlukan monitoring, untuk mendapatkan hasil monitoring yang baik, diperlukan pengendalian internal yang efektif Wilopo, 2006. Teori atribusi tidak terlepas dari perilaku orang dalam organisasi, yaitu perilaku pimpinan dan perilaku bawahan. Jadi kepemimpinan tidak terlepas dari cara berpikir, berperasaan, bertindak, bersikap, dan berperilaku dalam kerja di sebuah organisasi dengan bawahannya atau orang lain Waworuntu, 2003 dalam Kusumastuti, 2012. Kebijakan yang diambil oleh pimpinan disebabkan oleh atribut penyebab. Dalam penelitian ini, peneliti hendak mengkaji pengaruh penegakan peraturan, keefektifan pengendalian internal, keadilan distributif, keadilan prosedural, perilaku tidak etis, budaya organisasi, dan komitmen organisasi yang dipersepsikan sebagai atribut penyebab seseorang untuk berbuat kecurangan dalam manajemen pendidikan.

2.2 Persepsi

Kata persepsi berasal dari bahasa Latin perception, yang berarti penerimaan, pengertian atau pengetahuan. Prajitno 2010 mendefiniskan persepsi sebagai proses kognitif yang dialami oleh setiap orang dalam memahami setiap informasi tentang lingkungan melalui panca inderanya. Menurut Robbin dan Timothy 2008 persepsi adalah proses dimana individu mengatur dan menginterpretasikan kesan-kesan sensoris guna memberikan arti bagi lingkungan individu. Persepsi terbentuk oleh berbagai faktor, seperti situasi, subyek yang mempersepsikan, dan obyek yang dipersepsikan. Faktor situasi misalnya, waktu, keadaan kerja, dan keadaan sosial. Faktor subyek yang mempersepsikan adalah sikap, motif, minat, pengalaman, dan harapan. Sedangkan faktor obyek yang dipersepsikan adalah sesuatu yang baru, gerakan, suara, ukuran, latarbelakang, kedekatan, dan kemiripan Robbin dan Timothy, 2008. Faktor situasi dalam diri individu berhubungan dengan tekanan pressure, seperti keadaan sosial individu yang memiliki masalah ekonomi sehingga menimbulkan tekanan untuk berbuat kecurangan. Faktor subyek berhubungan dengan rasionalisasi razionalization. Dalam bekerja seorang individu memiliki motif yang melatarbelakangi perilakunya. Ketika individu menemukan sesuatu yang tidak sesuai dengan harapannya maka individu tersebut berpotensi untuk melakukan kecurangan. Sedangkan faktor obyek berhubungan dengan peluang opportunity yang ada dalam instansi yang merupakan tempat terjadinya kecurangan itu sendiri. Melalui penelusuran terhadap persepsi dari subyek didalam manajemen pendidikan maka dapat diketahui faktor-faktor yang melatarbelakangi kecurangan dalam manajemen tersebut. Dengan mengetahui latarbelakang kecurangan pada manajemen pendidikan dapat dikaji pula mengenai kelompok yang dominan dalam melakukan kecurangan dan modus-modus kecurangan yang digunakan. Adapun hasil dari penelitian ini nantinya dapat digunakan sebagai langkah preventif dalam menanggulangi kecurangan dengan cara memperkuat sistem pengendalian pada manajemen pendidikan.

2.3 Kecurangan