79
4.3 Efektivitas Perkreditan
Perikanan
Meski sampai saat ini belum ada kajian yang komprehensif mengenai efektifitas perkreditan perikanan, namun laporan-laporan parsial dari lembaga
perbankan, lembaga swadaya masyarakat maupun donor, serta studi-studi dalam skala yang relatif kecil dapat memberikan gambaran sepintas secara makro
mengenai perkreditan perikanan. Sebagaimana dilaporkan oleh Praptosuharjo 1996 sebagian besar kredit
perikanan yang disalurkan oleh bank-bank pemerintah, khususnya BRI selama ini memang belum bisa dikatakan secara efektif. Dari sisi perbankan, indikator ini
dapat dilihat dari tingginya besaran tunggakan yang harus dibayar oleh penerima kredit kepada bank. Meski bukan satu-satunya indikator keberhasilan atau
efektifitas kredit, tingginya angka tunggakan ini menunjukan bahwa setiap rupiah bantuan kredit yang diberikan belum responsif terhadap produktivitas perikanan.
Artinya jika setiap rupiah kredit ini mampu meningkatkan lebih dari satu kilogram ikan hasil tangkapan, maka tentunya kredit tersebut dikatakan responsif dan
efektif. Belum efektifnya kredit yang diberikan kepada nelayan juga dibuktikan
oleh penelitian secara regional di wilayah pantura oleh Zulham 2005. Penelitian tersebut menggunakan data subsidi pemerintah untuk perikanan yang di dalamnya
ada komponen kredit perikanan yang menunjukkan bahwa meski subsidi tersebut dalam jangka pendek mampu meningkatkan produksi perikanan, namun pada
akhir tahun 1990 wilayah Pantura mengalami penurunan catch per unit effort tangkap per unit upaya yang berarti belum efektifnya program subsidi perikanan
yang diberikan oleh pemerintah untuk meningkatkan produktifitas perikanan. Hal
80
yang sama juga dikemukakan dalam laporan WWF 2001 bahwa dari US 18,5 juta bantuan modal dan infrastruktur perikanan tidak sepenuhnya berhasil
meningkatkan produktivitas perikanan, bahkan laporan WWF menyebutkan kredit tersebut menjadi hidden problem masalah yang tersembunyi.
Kredit perikanan memang sering menjadi pisau bermata dua, satu sisi seperti yang telah dikemukakan di atas, kredit di perikanan sering justru
membuat kondisi perikanan kurang baik yang ditandai dengan menurunnya tangkap per unit upaya, namun di sisi lain kredit perikanan diperlukan karena
minimnya permodalan bagi nelayan. Di sini justru dilema yang dihadapi perikanan karena pada saat modal tersebut dibutuhkan lembaga keuangan sering
enggan mengucurkan kredit karena berbagai alasan. Kebanyakan pihak perbankan mengeluhkan tingginya risiko kredit yang
diberikan kepada usaha penangkapan ikan. Sikap presumptive ini dari awal sudah bersikap bias justru menjadi counter productive dalam meningkatkan
produktifitas perikanan. Usaha perikanan memang secara intrinsik memiliki risiko, namun demikian juga usaha lain. Setiap usaha apapun memiliki risiko,
namun ketidakpastian yang disebabkan sifat berburu sumber daya ikan sering dijadikan alasan untuk enggannya pihak perbankan mengucurkan kredit untuk
perikanan. Sikap seperti ini akhirnya menjadi vicious circle lingkaran setan. Nelayan justru membutuhkan kredit untuk mengurangi atau menutup beberapa
faktor risiko mereka hedging, namun perbankan justru enggan mengucurkan kredit karena takut terhadap risiko tersebut.
Alasan kedua yang juga menjadi faktor penghambat penyaluran kredit dari lembaga perikanan ke perikanan adalah ketiadaan jaminan finansial atas risiko
81
usaha terhadap kredit yang disalurkan oleh perbankan. Justru di sinilah masalah yang seharusnya ditinjau secara berbeda oleh lembaga perbankan dan lembaga
pemerintah dalam hal ini Departemen Kelautan dan Perikanan. Stok ikan pada dasarnya adalah aset, sama dengan aset lain seperti tanah, rumah dan sebagainya.
Yang menjadi masalah adalah hak kepemilikan yang tidak terkukuhkan pada individu namun di share bersama dengan setiap pelaku perikanan yang terlibat.
Oleh karenanya diperlukan jaminan pemerintah atas ketersediaan aset sumber daya ikan. Pemerintah harus meyakinkan bahwa aset tersebut tersedia. Untuk itu
diperlukan assessment yang jelas tentang keadaan tersebut yakni melalui stock assessment
yang akurat dan reliable. Aset sumber daya tersebut harus didukung back up oleh semacam dana bersama dari nelayan yang kemudian dijadikan
sebagai jaminan bagi perbankan. Gambar 20 memperlihatkan mekanisme umum yang bisa diajukan untuk
menangani permasalahan jaminan perbankan. Ada dua jalur yang harus dijalankan secara simultan yakni dari sisi pemerintah untuk menjamin ketersediaan stok
melalui stock assessment yang diinformasikan kepada nelayan, dan jalur nelayan sendiri untuk mengumpulkan dana kolektif melalui lembaga ekonomi lokal. Hasil
kedua proses ini kemudian dilembagakan melalui Trust Fund dana abadi untuk sumber daya yang kemudian dapat dijadikan jaminan atau collateral bagi
kelompok nelayan di wilayah tertentu atau kelompok nelayan alat tertentu. Harus pula dicatat bahwa kedua jalur ini akan efektif bekerja jika sejak awal ada kerja
sama yang baik antara pemerintah pusat atau daerah dengan kelompok nelayan yang ditunjukkan oleh panah dua arah pada bagian atas Gambar 21.
82
Trust Fund untuk
sumberdaya
Nelayan
Lembaga Ekonomi Lokal
Pemerintah DKP
St A
ock ssessment
Jaminan Stok
Dana Kolektif
Pemerintah DKP
4 1
Jaminan Perbankan
Trust Fund untuk
sumberdaya
Nelayan
Lembaga Ekonomi Lokal
St A
ock ssessment
Jaminan Stok
Stock Assessment
2 5
Dana Kolektif
7 Trust fund
untuk sumber
daya 6
3
Jaminan Perbankan
8
Gambar 21 Mekanisme penyediaan jaminan kredit perikanan
5 ANALISIS KEBIJAKAN MIKRO PERKREDITAN PERIKANAN
5.1 Gambaran Umum Perkreditan pada Level Mikro