Kebijakan Kredit Perikanan Tangkap

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kebijakan Kredit Perikanan Tangkap

Seperti sudah dibahas pada Bab 1 : Pendahuluan, salah satu permasalahan yang mendasar dalam pembangunan perikanan tangkap di Indonesia adalah menyangkut permodalan. Kurangnya kemampuan nelayan untuk mengakses institusi perkreditan serta kurangnya pemahaman lembaga keuangan dan perbankan terhadap karakteristik usaha di sektor perikanan tangkap, telah banyak dipahami merupakan salah satu hambatan yang cukup mengganggu pada perkembangan sektor perikanan tangkap skala kecil. Fauzi 2005 menguraikan mengenai kredit sebagai berikut: pemberian kredit adalah salah satu kebijakan publik berupa subsidi yang dalam definisi WTO merupakan kontribusi finansial pemerintah dalam bentuk fund transfer loan, grant, dan sebagainya maupun pelayanan umum pembangunan infrastuktur. Fauzi 2005 menguraikan mengenai kredit sebagai berikut: pemberian kredit adalah salah satu kebijakan publik berupa subsidi yang dalam definisi WTO merupakan kontribusi finansial pemerintah dalam bentuk fund transfer loan, grant , dan sebagainya maupun pelayanan umum pembangunan infrastuktur. Kredit tidak hanya dibutuhkan untuk investasi pada kapal dan alat tangkap, penanganan dan processing pasca panen, fasilitas pemasaran dan jasa, maupun pembangunan infrastruktur seperti diuraikan di atas, bahkan juga merupakan hal yang sangat penting untuk modal dari hari – ke hari nelayan menangkap ikan, handling , prosesing dan juga mendistribusikannya. Modal harian tersebut digunakan baik untuk peralatan menangkap ikan, fasilitas yang harus diganti atau 20 diperbaiki, upah dimuka bagi ABK, dan biaya lain-lain yang harus ada pada saat akan menangkap ikan. Modal ini biasanya secara likuid sering tidak dimiliki nelayan dari pendapatan sebelumnya, karena pendapatan yang seringkali lebih besar pasak daripada tiang. Institusi perbankan, selama ini diketahui merupakan solusi yang kurang diminati oleh nelayan kecil, karena kerumitan dan tingkat ketidakpastian yang tinggi dalam menangkap ikan. Institusi non konvensional seperti peminjam perorangan profesional, koperasi, bank-bank perkreditan swasta, atau bahkan pemilik kapal, lebih banyak diminati oleh nelayan kecil, karena kepraktisannya. Jumlah kredit dari institusi non-konvensional ini memang terbatas dalam jumlah kecil dan biasanya lebih ditujukan untuk modal kerja dan pinjaman jangka pendek short term finance. Bagaimanapun, lembaga perkreditan non-konvesional ini memiliki sejumlah kelemahan, seperti lebih tidak menguntungkan high cost, serta termin dan kondisi pinjaman yang tidak menarik. Lebih jauh lagi Tietze dan Merrikin 1989 menyatakan bahwa prevalensi dari perkreditan non-institusi dalam sektor perikanan ini telah menyebabkan adanya segmentasi dari rural financial market . Secara umum memang dapat dikatakan bahwa tampaknya pemanfaatan saving dan kredit pada aktivitas perikanan tangkap tidak sebaik seperti pada kondisi sektor lainnya misalnya pertanian. Bagaimanapun dapat kita lihat bahwa lembaga non-konvensional menjadi lebih berkembang pada sektor perikanan tangkap dibandingkan dengan institusi konvensional. Pada beberapa kasus, institusi pemerintah baik tingkat pusat departemen maupun pemerintah daerah yang bertanggung jawab terhadap pembangunan perikanan, secara langsung melakukan program kredit untuk 21 perikanan tangkap tanpa melibatkan lembaga keuangan. Beberapa program kredit direncanakan dan diimplementasikan sebagai bagian dari proyek investasi keuangan eksternal, dan sebagian lagi merupakan konteks ekspansi jasa perbankan nasional ke daerah pesisir atau dalam framework program pengentasan kemiskinan. Sejauh ini tidak pernah secara tegas ada satu payung kebijakan finansial dari pemerintah khusus dalam mengembangkan sektor perikanan. Suatu hal yang ironis untuk sebuah negara yang sebagian besar wilayahnya adalah perairan laut dengan potensi sumber daya ikan yang belum optimal dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakatnya. Bahkan apabila kita amati lebih jauh dalam statistik perkreditan yang diterbitkan oleh otoritas moneter, ternyata angka perkreditan untuk sektor perikanan tidak pernah disebutkan secara tersendiri, sehingga datanya harus diolah karena tercampur dengan sektor pertanian. Demikian pula untuk institusi perbankan yang memberikan kredit untuk sektor perikanan, umumnya hanya bersifat sporadis dengan total portofolio kredit yang relatif kecil dibanding sektor- sektor pembiayaan lainnya. Secara umum dapat dikatakan bahwa belum ada hasil yang memuaskan yang diperoleh dari berbagai program kredit yang ada, bisa terlihat dari tingkat penyerapan kredit konvensional yang sangat rendah, hal ini kebanyakan karena tidak tepatnya program yang ada serta prosedur yang lemah dalam perjanjian dengan peminjam. Program kredit yang dapat memberikan dampak ekonomi dan manfaat sosio-ekonomi serta pembayaran kredit yang tepat masih jarang ditemui. 22 Bahkan di Indonesia tampaknya program kredit nelayan ini masih stagnan dan cenderung menurun. Kredit perikanan pada dasarnya dapat merupakan pendorong bagi kemajuan perikanan tangkap dan kesejahteraan nelayan, namun di lain pihak juga dapat merupakan ancaman bagi keberlanjutan stok ikan di perairan, yang pada akhirnya akan berdampak bagi kesejahteraan nelayan. Bagaimana hal tersebut terjadi ? Analisis berikut adalah seperti diuraikan oleh Fauzi 2001; 2005 sebagai berikut: Dalam kaitannya dengan sektor perikanan, subsidi dalam bentuk kredit memang telah lama menjadi bahan perdebatan mengingat implikasinya terhadap sumber daya perikanan itu sendiri. Dokumen Bank Dunia yang ditulis secara komprehensif oleh Milazzo 1998 menunjukkan bahwa secara global, subsidi yang diberikan kepada perikanan baik dalam bentuk skim kredit maupun grant mencapai antara US 14 hingga 20 milyar yang setara dengan 17 sampai 25 dari total penerimaan dari perikanan. Secara keseluruhan subsidi sebesar itu telah menyebab terjadinya overcapacity di bidang perikanan. Arnason 1999 lebih jauh mengatakan bahwa subsidi yang diberikan pada perikanan yang notabene merupakan sumber daya yang bersifat common property justru akan hanya menimbulkan economic waste. Selanjutnya dalam uraiannya pada buku yang sama, Fauzi 2005 menyatakan sebagai berikut: pengalaman pemberian kredit di negara lain semakin memperkuat pernyataan di atas. Sebagai contoh, pemerintah Belanda memberikan skim kredit besar-besaran terhadap industri perikanan mereka yang sempat collaps setelah PD II. Dengan dana sebesar NLG 45 juta disusul dengan pengembangan kredit melalui perbankan sejak tahun 1965 memang dalam jangka pendek telah 23 menimbulkan dampak positif yaitu dengan semakin luasnya operasi kapal trawl mereka dan makin efisiennya perikanan mereka. Namun demikian, pemberian kredit ini telah menyebabkan peningkatan kapasitas perikanan mereka sehingga terjadi penurunan produktivitas perikanan pada periode akhir-akhir ini. Hasil analisis Wilde 1999 juga menunjukkan bahwa kredit yang diberikan justru jatuh bukan kepada mereka yang membutuhkan, namun kepada nelayan yang merencanakan investasi baru dan menggunakan program kredit sebagai sarana. Demikian halnya dengan perikanan di Thailand. Program subsidi untuk perikanan di Thailand dimulai sekitar tahun 1994 dimana dengan bantuan dana dari ADB berupa loan, Thailand memberikan kredit kepada sekitar 135 gillnet dan purse seine untuk meningkatkan kemampuan mereka dalam hal permodalan. Dalam beberapa tahun kemudian 70 dari kapal di atas telah dikonversi menjadi trawl yang kemudian digunakan untuk menangkap ikan-ikan demersal yang sudah overfishing . Negara lain yang juga patut menjadi perbandingan adalah Jepang. Subsidi yang diberikan oleh pemerintah Jepang untuk sektor perikanan mencapai hampir US 4 milyar yang setara dengan hampir seperempat dari total penerimaan sektor perikanan tangkap. Subsidi diberikan berupa pengembangan infrastruktur dan non public expenditure. Dampak dari subsidi ini justru telah menurunkan produktivitas dari perikanan-perikanan pesisir. Salah satu negara dimana subsidi dianggap tidak atau belum menimbulkan dampak distortif adalah Irlandia. Subsidi perikanan Irlandia dimulai tahun 1960 dan diberikan dalam bentuk grant dan pinjaman dengan bunga ringan kredit. Dampak dari subsidi ini telah meningkatkan produksi perikanan tangkap Irlandia dan mencegah terjadinya outmigrasi dan urbanisasi dari masyarakat pesisir”. 24 Secara lebih khusus, FAO telah mendokumentasikan mengenai beberapa studi kasus keterkaitan kredit perikanan dengan pembangunan perikanan di Asia dan Afrika Tietze dan Merrikin, 1989. Dalam dokumen ini dibahas pengaruh kredit perikanan terhadap pembangunan perikanan skala kecil di negara berkembang. Dalam kasus Asia, tiga contoh studi kasus yang dikemukakan oleh FAO adalah pengembangan kredit skala kecil di India dan Nepal serta kredit perikanan untuk wanita yang terlibat dalam usaha perikanan di Filipina, sedangkan di Afrika, studi berkaitan dengan pemberian kredit perikanan skala kecil di Tanyanika. Akhirnya Fauzi 2005 menguraikan kesimpulannya mengenai dampak kredit terhadap perikanan, sebagai berikut : Dari tiga contoh di atas tampak bahwa secara umum bisa dikatakan bahwa subsidi baik dalam bentuk grant maupun kredit harus disikapi secara cermat dan hati-hati. Dilihat dalam kerangka jangka pendek kredit di bidang perikanan memang dapat membantu industri perikanan tersebut untuk mencapai akselerasi dalam produktivitas mereka sebagaimana dialami di negara-negara yang disebutkan di atas. Termasuk juga kredit yang terjadi pada perikanan di Indonesia seperti halnya program motorisasi perikanan dan kredit KIKKMKP. Dampak jangka pendek dari kredit tersebut memang terlihat dengan pesatnya pertumbuhan perikanan dan meningkatnya produksi perikanan secara agregat. Namun demikian, dalam perspektif jangka panjang hal ini harus dicermati karena sebagaimana pengalaman negara-negara lain, dengan sifat sumber daya perikanan yang sangat khas, justru dikhawatirkan malah akan meningkatkan kapasitas perikanan yang berakibat pada penurunan manfaat ekonomi dan timbulnya eksploitasi yang berlebihan. Hal ini sudah terlihat di 25 perikanan yang padat seperti halnya perikanan Pantura, dimana produktifitas nelayan terlihat mengalami trend yang menurun dan berkurangnya sumber daya ikan trip yang makin lama dan daerah penangkapan yang makin jauh. Program motorisasi perikanan yang dilakukan di daerah Pantura ternyata menyebabkan ekses kapasitas perikanan yang cukup signifikan. Studi dari McElroy 1991, menunjukkan bahwa pada awal modernisasi memang terlihat adanya peningkatan tajam produksi ikan pelagis dari rata-rata 165.000 ton pada akhir tahun 1980-an, menjadi 385.000 ton pada lima tahun kemudian. Lima puluh persen dari peningkatan produksi tersebut merupakan kontribusi dari purseseine, armada yang penambahannya cukup pesat pada masa modernisasi perikanan. Ketika perkembangan purse seine semakin pesat, yang terjadi adalah timbulnya gejala backward bending , yaitu terjadinya penurunan landing pelagis kecil, khususnya dari purse seine menjadi rata-rata 126.000 ton, meski efektif fishing effort yang diukur dari day-fished malah meningkat dari rata-rata 18 hari menjadi 30-35 hari”. Dampak dari financial capital yang berlebihan akan menyebabkan terjadinya penurunan sumber daya ikan secara cepat, berkurangnya manfaat ekonomi dan kelestarian pengelolaan perikanan yang bertanggungjawab. Financial capital yang kebijakan dan regulasinya tidak berbasis pada zonasi kondisi dari masing-masing sumber daya ikan di suatu kawasan perairan, pada hakikatnya bertentangan dengan prinsip-prinsip pembangunan yang berkelanjutan. Menurut kesepakatan global dari Konferensi Johannessburg pada tahun 2002 tentang visi pembangunan berkelanjutan adalah suatu pembangunan yang berusaha memenuhi kebutuhan kita sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka. 26 Dari sisi perbankan Indonesia, kebijakan pemberian kredit yang ecofriendly secara umum telah diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia N0.219UKU tanggal 23 Maret 1989 perihal Kredit Investasi dan Penyertaan Modal, yang di dalamnya antara lain mengatur tentang keharusan bank untuk memperhatikan AMDAL dalam pemberian kreditnya. Dalam perkembangan selanjutnya, seiring dengan perkembangan global tentang sustainable development , Bank Indonesia telah menerbitkan Peraturan BI No.72PBI2005 tanggal 20 januari 2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum dan Surat Edaran BI No.73DPNP tanggal 31 Januari 2005 yang di dalamnya antara lain menentukan bahwa di dalam menilai prospek usaha debitur, bank perlu memperhatikan upaya yang dilakukan oleh debitur dalam rangka memelihara sustainabilitas lingkungan hidup. Rusaknya lingkungan hidup oleh meningkatnya input finansial kapital akan memberikan berbagai dampak risiko bagi bank dan institusi finansial, tidak hanya risiko kredit tetapi juga risiko reputasi, risiko menurunnya stok sumber daya ikan bagi sektor perikanan atau menurunnya nilai agunanaktiva tetap, serta risiko pertanggungjawaban sosial. Secara umum, pada dasarnya terdapat triple bottom line antara faktor ekonomi, sosial dan lingkungan dalam hal pengelolaan sumber daya yang berkelanjutan UNEP, 2004. Seperti Gambar 3 di bawah ini, triple bottom line ketiga faktor tadi digambarkan pada segitiga yang saling berkaitan, yang meliputi kasus biodiversity, sustainable business, sustainable finance dan sustainable development . Pada kasus biodiversity, ketiga triangle tadi meliputi konservasi, pemanfaatan secara sustainable dan sharing yang adil. Sementara untuk sustainable business , berhubungan dengan adanya proteksi terhadap lingkungan, 27 kemudian pertumbuhan ekonomi dan keadilan sosial. Pada kondisi sustainable finance , ada beberapa hal yang berpengaruh, yaitu nilai value dari lingkungan, nilai ekonomi dan nilai sosial. Terakhir untuk sustainable development, akan sangat tergantung dari proteksi terhadap lingkungan itu sendiri, pembangunan ekonomi secara keseluruhan dan juga pembangunan sosialnya. Case: Biodiversity Sustainable Bussiness Sustainable Finance Sustainable Development Environmental Conservation Environmental Environmental Environmental Protection Value Protection Economic Sustainable Economic Economic Economic Use Growth Value Development Social Equitable Social Equity Social Value Social Sharing Development Economy Social Environment Gambar 3 Triple bottom line pemanfaatan sumber daya UNEP, 2004 Penetapan kualitas kredit yang dikaitkan dengan faktor lingkungan hidup dalam peraturan Bank Indonesia tersebut di atas akan berimplikasi bahwa bank harus segera melakukan penyesuaian terhadap metodologi penetapan kolektibilitas kreditnya. Aspek risiko lingkungan harus masuk dalam perhitungan Internal Rating System untuk menentukan Credit Rating bagi masing-masing nasabahnya. 28 Penelitian ini memberikan solusi model dan perhitungan risiko kredit khusus di sektor perikanan yang dikembangkan dari model umum perhitungan risiko kredit. Tinggi rendahnya Customer Risk Rating akan menentukan lending policy dan pricing yang diberikan kepada nasabah, karena pada hakekatnya CRR akan sangat tergantung pada zonasi perairan, yang sangat berpengaruh terhadap repayment capacity dari nasabah. Model tipologi perencanaan kredit perikanan yang berbasis manajemen risiko yang dikembangkan pada penelitian ini yang dinamakan Resources Credit Risk Assesment RESCRA adalah sejalan dengan Triple Bottom Line dalam pengelolaan lingkungan yang menyelaraskan sustainabilitas faktor-faktor economy, social dan environment sebagaimana matrik dari UNEP 2004 di atas. Implikasi dari implementasi model RESCRA bagi perbankan untuk pemberian kredit di sektor perikanan akan meningkatkan tidak hanya Corporate Social Responsibility tetapi juga Corporate Resorces Responsibility Bank yang bersangkutan.

2.2 Pengelolaan Sumber Daya Perikanan