Perkembangan Perkreditan Perikanan Dalam Skala Nasional

4 ANALISIS KEBIJAKAN MAKRO PERKREDITAN PERIKANAN

4.1 Perkembangan Perkreditan Perikanan Dalam Skala Nasional

Pengembangan sektor perikanan sejak zaman pasca kemerdekaan memang mengalami perkembangan yang cukup siginifikan. Ketika tahap-tahap awal pembangunan lima tahun pertama dicanangkan PELITA I perikanan Indonesia masih didominasi oleh perikanan skala kecil dengan kontribusi ekonomi yang kurang signifikan. Produksi total perikanan hanya mencapai 800 ribu ton dengan jumlah nelayan kurang dari satu juta orang. Penerimaan devisa dari sektor perikanan hanya sekitar US 2,8 juta Fauzi, 2005. Menyadari perlunya akselerasi pembangunan pertanian yang pada masa orde baru menjadi tumpuan utama pembangunan ekonomi nasional, maka sektor perikanan yang ketika itu masih berada dalam pengelolaan sektor pertanian, mendapat perhatian yang serius dengan dicanangkannya program modernisasi perikanan, di mana nelayan-nelayan tradisional yang ketika itu masih menggunakan perahu layar kemudian di”modernisasi” dengan cara ”motorisasi” Bailey, 1988. Konversi perahu layar ke perahu motor tempel dan atau kapal motor terjadi pada periode awal 1980an. Untuk mendukung program tersebut, maka intervensi pemerintah berupa permodalan sangat menentukan, mengingat ketidakberdayaan nelayan untuk memodali dirinya sendiri dalam memodernisasi armadanya. Sejak itulah berbagai program bantuan permodalan perkreditan perikanan, meski bukan secara langsung berupa kredit perikanan diluncurkan. Salah satu bentuk program bantuan kredit yang terkait dengan bidang perikanan adalah KIKKMKP Kredit Investasi KecilKredit Modal Kerja 69 Permanen yang merupakan kredit jangka menengah dan jangka panjang untuk keperluan rehabilitasi, modernisasi dan perluasan proyek. Meskipun sebenarnya KIKKMKP merupakan kredit yang diarahkan untuk sektor di luar pertanian, namun BRI mengembangkan KIKKMKP massal untuk perikanan sejalan dengan Undang-Undang Republik Indonesia No.211968. Selain itu Undang-Undang Republik Indonesia no.31 Tahun 2004 tentang perikanan pada Bab X, pasal 60 ayat 1.a. menyatakan ”pemerintah memberdayakan nelayan kecil dan pembudidaya ikan kecil, baik untuk modal usaha maupun biaya operasional dengan cara yang mudah, bunga pinjaman yang rendah, dan sesuai dengan kemampuan nelayan kecil dan pembudidaya ikan kecil.” Perbankan sebagai industri yang “highly risk” dan ”highly regulated” senantiasa dihadapkan pada risiko yang berkaitan erat dengan fungsi dan tanggungjawabnya dalam mengelola dana masyarakat maupun sebagai lembaga intermediasi yang juga harus mampu memberikan kredit kepada sektor usaha yang membutuhkan. Oleh karena itu sesuai penjelasan pasal 8 UU No.7 Tahun 1992 tentang perbankan jo pasal 8 UU No.10 tahun 1998 tentang perubahan atas UU No.7 Tahun 1992 tentang perbankan, menegaskan bahwa kredit yang diberikan oleh bank mengandung risiko, sehingga dalam pelaksanaannya harus memperhatikan prinsip-prinsip kehati-hatian Prudencial Banking Practices dan asas pemberian kredit yang sehat Sound Banking Credit. Pada era globalisasi ini, keberlanjutan perbankan yang sehat sangat tergantung pada perhatiannya terhadap aspek-aspek risiko, implementasi Good Coorporate Governance dalam operasional bisnisnya, maupun peningkatan laba 70 dengan melihat peluang-peluang pembiayaan yang potensial baik ditingkat lokal, regional maupun internasional, dengan tetap memperhatikan keberlanjutan sumber daya resource sustainability yang dibiayainya. Hal ini dapat dipahami karena pada dasarnya terdapat dua interaksi antara pembangunan berkelanjutan dan keberlanjutan usaha perbankan yang saling mendukung. Bank Indonesia melalui Peraturan Bank Indonesia PBI No.72PBI2005 menekankan kembali pentingnya bank dalam melakukan penilaian prospek usaha debitur harus selalu dikaitkan dengan upaya memelihara lingkungan. Oleh karena itu, model inovasi pembiayaan perbankan yang memperhitungkan keberlanjutan sumber daya menjadi sangat penting disadari, karena biaya memelihara lingkungan jauh lebih murah daripada biaya yang harus dikeluarkan untuk risiko hukum, risiko reputasi dan risiko-risiko lainnya. Bank BRI di mana usaha nelayan kecil di Pekalongan menjadi objek dalam penelitian ini telah mengeluarkan Surat Edaran No.12-DIRADK042005 tertanggal 11 April 2005, BRI menetapkan pelayanan khusus KUPEDES untuk kebutuhan investasi dan modal kerja masyarakat kecil termasuk nelayan didalamnya. Dalam surat edaran tersebut ditetapkan bahwa besaran kredit yang diberikan adalah di atas Rp 25 juta sampai Rp 50 juta. Dalam surat edaran ini dirinci berbagai prosedur dan aturan pemberian kredit khusus untuk investasi dan modal kerja di atas. Kemudian sebagaimana diuraikan dalam Fauzi 2005, selain dari skim kredit KIKKMKP pemerintah melalui Departemen Koperasi dan lembaga keuangan terkait kemudian memberikan berbagai skim kredit. Departemen Koperasi sendiri misalnya telah meluncurkan sekitar 17 skim kredit. Meski dari ke 17 skim kredit tersebut sedikit sekali yang menyentuh langsung dengan ekstraksi 71 sumber daya perikanan tangkap, ada beberapa diantaranya yang terkait secara tidak langsung seperti untuk koperasi perikanan, pengusaha kecil pasca panen bakul, dan sebagainya. Jumlah kredit yang diberikan dalam skim ini masih relatif sedikit yakni dibawah Rp 50 juta yang barangkali belum terlalu signifikan untuk menggerakkan roda perikanan secara keseluruhan. Di sisi lain, pengembangan sektor pertanian yang di dalamnya termasuk perikanan pada waktu itu, pemerintah juga berusaha mengembangkan pembangunan ekonomi melalui program pengentasan kemiskinan. Nelayan merupakan kelompok yang selama ini dianggap sebagai kelompok yang termiskin the poorest of the poor sehingga nelayanpun menjadi target program pengentasan kemiskinan ini. Skim kredit yang terkait dengan program ini adalah Kredit Taskin PengenTasan kemisKinan serta beberapa skim kredit yang diluncurkan oleh BRI dengan tujuan yang sama. Meski sampai akhir tahun 2000 sudah tersalurkan sebanyak Rp 22 milyar yang tersebar di 22 propinsi, belum diketahui secara jelas jumlah maupun proporsi dari kredit tersebut yang disalurkan kepada nelayan. Selain bersumber dari dana dalam negeri, pemerintah Indonesia melalui bantuan keuangan dari lembaga-lembaga asing seperi ADB misalnya melakukan program RIGP Rural Income Generating Project yang ditujukan untuk memberdayakan masyarakat pedesaan khususnya yang menyangkut aspek finansial. Besarnya kredit yang telah disebarkan untuk perikanan hingga saat ini belum terinci dengan jelas. Misalnya, Departemen Keuangan melalui BRI telah menyalurkan kredit Peningkatan Pendapatan Petani dan Nelayan Kecil P4K. Pada tahun 1991 dan 1992 penyaluran kredit P4K yang terealisasi untuk 72 masyarakat sosial ekonominya berada di bawah garis kemiskinan sebesar Rp 1.047.000,- dengan plafon sebesar Rp 265.244.000,-. Dari laporan Bank Indonesia juga diketahui bahwa pada periode tahun 1990an 1991 – 1996 penyaluran kredit untuk sektor perikanan juga mengalami perkembangan yang cukup siginifikan. Pada tahun 1991 tersalur kredit sebesar Rp 1.149,7 milyar yang kemudian meningkat menjadi hampir Rp 2 trilyun pada tahun 1996. Namun demikian dari perbandingan jumlah yang disalurkan untuk perikanan dibandingkan dengan sektor lain seperti tanaman dan perkebunan, jumlah ini masih relatif kecil. Sektor tanaman dan perkebunan misalnya pada akhir tahun 1996 periode yang sama menerima bantuan kredit perbankan hampir Rp 11,8 trilyun Praptosuhardjo, 1996. Selanjutnya Praptosuhardjo 1996 juga menjelaskan bahwa selama periode tahun 1990an tersebut kredit yang disalurkan untuk sektor perikanan lebih diarahkan untuk pembiayaan usaha perikanan laut termasuk udang 50 dari total kredit perikanan mengingat usaha tambak pada periode 1990an dinilai tidak progresif. Yang juga menarik adalah mengenai kebijakan perkreditan perikanan pada periode ini adalah terjadinya fluktuasi penyaluran kredit oleh bank-bank pemerintah BUMN kepada sektor perikanan di mana selama tahun 1991-1993 terjadi peningkatan jumlah penyaluran kemudian menurun setelahnya Gambar 20. Terjadinya penurunan yang signifikan setelah periode 1993 tersebut sebagian disebabkan karena rendahnya tingkat pengembalian atau pelunasan kredit perikanan dalam skala nasional. Misalnya saja, dari kredit-kredit perikanan yang disalurkan oleh BRI pada periode yang sama dari berbagai jenis kredit yang 73 disalurkan investasi, sarana, KIKKMK hampir semua tunggakannya di atas 90 Praptosuhardjo, 1996. 50 100 150 200 250 300 350 400 450 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 K re d it R p m il y Periode Kred it Rupiah Periode Gambar 20 Trend penyaluran kredit perikanan tangkap periode tahun 1990an Data terakhir pinjaman keuangan sektor perikanan dari bank konvensional BUMN khususnya BRI juga menunjukan trend yang sama. Tabel 6 menggambarkan data pinjaman kredit perikanan antara tahun 2004 dan tahun 2005 untuk perikanan laut saja. Tabel 6 Data pinjaman sektor perikanan 2004-2005 Rp juta Bidang Usaha Kolektibilitas 2004 2005 Lancar 12.962 15.394 DPK 1.095 1.234 Kurang Lancar 672 50 Diragukan 66 11 Macet 1.041 739 Perikanan Laut Total 15.835 17.427 Lancar 8.986 37.753 DPK 770 761 Kurang Lancar 262 Diragukan 0 11 Macet 619 710 Perikanan Laut Lainnya Total 10.637 39.236 Sumber: Bank Rakyat Indonesia 2005 74 Dari data di atas dapat juga dilihat bahwa meski secara proporsional data yang macet relatif kecil namun secara nominal jumlah kredit yang macet masih di atas Rp 500 juta. Hal ini memang menunjukkan bahwa sifat usaha perikanan laut yang cenderung “hunting” memang bisa menjadi salah satu faktor penyebab tingginya kemacetan kredit di sektor perikanan. Sejak akhir periode 1990an sampai sekarang, pola pengembangan kredit perikanan secara institusional sedikit mengalami perubahan. Sejak berdirinya Departemen Kelautan dan Perikanan pada tahun 1999, maka secara institusi pembangunan perikanan berada di bawah tanggung jawab langsung DKP. Dengan demikian program pembangunan perikanan termasuk di dalamnya pemecahan kendala finansial, berada dalam satu kebijakan perikanan dan kelautan nasional. Untuk mewujudkan hal tersebut, DKP menggulirkan program PEMP Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir yang merupakan program yang ditujukan langsung untuk menjembatani kendala modal sektor perikanan pesisir khususnya di mana salah satu lembaga yang terlibat adalah perbankan seperti Bank BUKOPIN. Pada tahun 2005, program PEMP bukan saja menggandeng Bank BUKOPIN untuk mengimplementasikan pelaksanaannya namun juga berusaha mencairkan bentuk lain dengan menawarkan pola syariah melalui kerjasama dengan Bank Mandiri. Program ini diberi nama Kegiatan Usaha Lembaga Keuangan Mikro Syariah Koperasi Jasa Keuangan Syariah melalui Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir PEMP. Berbeda dengan pola konvensional, pengembangan kredit mikro ini mengikuti prinsip-prinsip 75 pengelolaan perbankan syariah di mana penyaluran dana dapat berupa unit simpan pinjam, Baitul Maal Wat Tamwil BMT maupun Baitul Qirad. Selain melalui program PEMP, pemerintah melalui DKP juga telah bekerja sama dengan Bank Mandiri untuk menyalurkan program kredit perikanan melalui program Kredit Mina Mandiri. Sampai triwulan I dan II tahun 2005 Kredit Mina Mandiri ini telah mencapai Rp 5,6 trilyun. Namun demikian hanya sekitar 20 dari total kredit tersebut yang disalurkan untuk kegiatan perikanan tangkap sisanya untuk kegiatan pergudangan, konstruksi pelabuhan, perdagangan dan kegiatan lainnya Kompas, 2005.

4.2 Tipologi Perkreditan Perikanan Dalam Konteks Makro