DSB dan Panel Analisis Komparatif Yuridis Kebijakan Anti Dumping Antara Indonesia Dan Filipina

5. Proses selanjutnya sama dengan proses penyelesaian sengketa dagang umum melalui WTO. 6. Dalam sidang panel Panel terdiri dari ahli yang dibentuk berdasarkan artikel XXIII akan diputuskan apakah bea masuk Antidumping yang dikenakan oleh negara importir dilaksanakan dengan melanggar ketentuan-ketentuan GATT atau tidak. Meskipun banyak prosedur WTO yang mirip dengan proses pengadilan negara negara anggota yang sedang bersengketa tetap diharapkan untuk melakukan perundingan dan menyelesaikan masalahnya sebelum terbentuknya panel. Adapun tahapan tahapan yang dilakukan dalam proses penyelesaian sengketa ialah sebagai berikut: 118

1. DSB dan Panel

Penyelesaian sengketa menjadi tanggung jawab Badan Penyelesaian Sengketa Dispute Settlement Body DSB yang merupakan penjelmaan dari Dewan Umum General CouncilGC. DSB adalah satu-satunya badan yang memiliki otoritas membentuk Panel yang terdiri dari para ahli yang bertugas menelaah kasus. DSB dapat juga menerima atau menolak keputusan Panel atau keputusan pada tingkat banding. DSB tersebut memonitor pelaksanaan putusan-putusan dan rekomendasi serta memiliki kekuasaanwewenang untuk mengesahkan retaliasi jika suatu negara tidak mematuhi suatu putusan. a. Banding Tiap pihak yang bersengketa dapat mengajukan banding atas putusan panel. Kadang-kadang kedua belah pihak sama-sama mengajukan banding. Namun banding harus didasarkan pada suatu peraturan tertentu seperti interpretasi legal atas suatu ketentuanpasal dalam suatu persetujuan WTO. Banding tidak dilakukan untuk menguji kembali bukti-bukti yang ada atau bukti-bukti yang muncul, melainkan untuk meneliti argumentasi yang dikemukakan oleh Panel sebelumya. Tiap upaya banding diteliti oleh tiga dari tujuh anggota tetap Badan Banding Appelate BodyAB yang ditetapkan oleh DSB dan berasal dari anggota WTO yang mewakili kalangan luas. Anggota AB memiliki masa kerja 4 empat tahun. Mereka harus berasal dari individu-individu yang memiliki reputasi dalam bidang hukum dan perdagangan internasional, dan lepas dari kepentingan negara manapun keputusan pada tingkat banding dapat menunda, mengubah ataupun memutarbalikan temuan-temuan dan putusan hukum dari panel. Biasanya banding membutuhkan waktu tidak lebih dari 60 hari, dan batas maksimumnya 90 hari. DSB harus menerima ataupun menolak laporan banding tersebut dalam jangka waktu tidak lebih dari 30 hari dimana penolakan hanya dimungkinkan melalui konsensus. 118 Freddy Joseph Pelawi, Op.cit., hal. 3-5 b. penyelesaian sengketa setelah rekomendasi atau keputusan Dispute Settlement Body DSB Jika suatu negara telah melanggar aturan WTO dengan menetapkan aturan yang tidak konsisten dengan WTO, maka negara tersebut harus segera mengoreksi kesalahannya dengan menyelaraskan aturannya dengan aturan WTO. Jika negara tersebut masih melanggar aturan WTO, maka harus membayar kompensasi atau dikenai “retaliasi”. Biasanya kompensasiretaliasi diterapkan dalam bentuk konsesi atau akses pasar. Walaupun suatu kasus sudah diputuskan, masih banyak hal yang harus dilakukan sebelum sanksi perdagangan diterapkan. Dalam tahap ini yang penting adalah tergugat harus menyelaraskan kebijakannya dengan rekomendasi atau keputusan DSB. Persetujuan WTO mengenai penyelesaian sengketa menetapkan bahwa “tindakan yang cepat dalam hal mematuhi rekomendasi atau putusan DSB sangat penting untuk menjamin bahwa putusan penyelesaian tersebut efektif dan menguntungkan seluruh anggota WTO. Negara yang kalah sengketa harus mengikuti rekomendasi yang disebutkan dalam laporan Panel panel report atau laporan banding appelate Body report. Secara prinsipil, sanksi diterapkan pada bidang yang sama dengan bidang yang disengketakan. Jika sanksi tersebut tidak dapat dilaksanakan atau tidak efektif, maka sanksi dapat diterapkan dalam sektor yang lain, dalam satu persetujuan yang sama. Selanjutnya, sekiranya masih juga belum dilaksanakan atau belum efektif, dan jika keadaannya cukup serius, tindakan dapat diambil di bawah persetujuan WTO lain. Maksudnya adalah untuk memperkecil kesempatan merambatnya tindakan tersebut ke dalam bidang-bidang yang tidak ada hubungannya dengan bidang tersebut, sekaligus agar menjamin agar tindakan tersebut efektif. Dalam setiap kasus, DSB mengawasi pelaksanaan putusan yang telah disahkan. Kasus-kasus yang masih dalam proses tetap menjadi agenda DSB sampai berhasil diselesaikan. C. Komparatif Yuridis Dalam Menentukan Nilai Normal Menurut Kebijakan Antidumping di Indonesia dan Filipina Pada bagian ini akan di jelaskan mengenai cara penentuan nilai normal normal value menurut kebijakan Antidumping di Indonesia dan Filipina. Dasar dan ketentuan yang mengatur mengenai Antidumping di Indonesia mengacu pada Undang Undang No 7 tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing the World Trade Organization Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia, Undang Undang No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang Nomor 17 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang Undang No 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 34 Tahun 2011 tentang Tindakan Antidumping, Tindakan Imbalan, dan Tindakan Pengamanan Perdagangan. Namun pada umumnya didalam hal menentukan nilai normal normal value menurut kebijakan Antidumping di Indonesia hanya di atur pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 34 tahun 2011 tentang Tindakan Antidumping, Tindakan Imbalan, dan Tindakan Pengamanan Perdagangan. Berbeda dengan penentuan nilai normal normal value berdasarkan kebijakan Antidumping Filipina diatur dalam Republict of act No 8752 the Antidumping 1999 dan diatur lebih rinci dalam Administrative Order No. 1 Implementing rules and regulatians governing the Imposition of an Anti-Dumping Duty Under Republict of Act 8752. 1. Penentuan Nilai Normal berdasarkan Kebijakan Antidumping di Indonesia a. Penentuan Nilai Normal Menurut Undang Undang No 7 Tahun 1994 Pada dasarnya, UU No.7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia merupakan persetujuan mengenai kesepakatan yang ada di World Trade Organization, dikarenakan Indonesia merupakan salah satu negara anggota WTO. Manfaat dari keikutsertaan Indonesia dalam persetujuan tersebut pada dasarnya bukan saja memungkinkan terbukanya peluang pasar internasional yang lebih luas, tetapi juga menyediakan kerangka perlindungan multilateral yang lebih baik bagi kepentingan nasional dalam perdagangan internasional, khususnya dalam menghadapi mitra dagang. Untuk itu konsekuensinya, antara lain, perlu ditindak lanjuti adalah kebutuhan untuk menyempurnakan atau mempersiapkan peraturan perundang - undangan yang diperlukan. Tidak kurang pentingnya adalah penyiapan, penumbuhan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia, khususnya pemahaman di kalangan pelaku ekonomi dan aparatur penyelenggara, terhadap keseluruhan persetujuan serta berbagai hambatan dan tantangan yang melingkupinya. 119 Undang Undang No. 7 ini hanya memuat mengenai kesepakatan Indonesia dalam perjanjian Internasional khususnya perjanjian di bidang perdagangan jasa. Persetujuan yang disahkan dengan U ndang Undang ini adalah Persetujuan yang naskahnya ditandatangani Menteri Perdagangan Prof. Dr S. B Joeno atas nama Pemerintah Indonesia dalam sidang di Marrakesh, Marokko, tanggal 15 April 1994. 120 119 Undang Undang No 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia bab I. Berdasarkan pernyataan diatas maka dapat disimpulkan bahwa UU No 7 Tahun 1994 hanya memuat mengenai kesepakatan Indonesia sebagai salah satu negara anggota WTO. Dalam UU No. 7 ini tidak memuat dengan jelas ketentuan mengenai penentuan harga normal. Berbeda halnya dengan di Filipina, Filipina telah membuat UU khusus mengenai masalah Antidumping yang didalam pelaksanaannya dalam hal menentukan nilai normal di atur 120 Ibid., Pasal 1. lebih lanjut dalam Administrative Order No. 1 Impelementing Rules and Regulations Governing the Imposition of an Antidumping Duty Under Republict of Act 8752 of 1999.

b. Penentuan Nilai Normal Menurut Undang Undang No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan

Suatu barang ekspor dinilai sebagai barang dumping apabila barang tersebut dipasarkan di negara tujuan ekspor pada tingkat harga ekspor yang lebih rendah daripada nilai normalnya. 121 Penentuan nilai normal menjadi sangat penting karena penentuan ada tidaknya dumping tergantung dari lebih rendahnya harga ekspor suatu barang dari nilai normalnya. Nilai normal adalah harga yang sebenarnya dibayar atau akan dibayar untuk barang sejenis dalam perdagangan pada umumnya di pasar domestik negara pengekspor untuk tujun konsumsi.” 122 Untuk menghitung nilai normal normal value berbagai negara menganut bermacam macam cara. Namun penafsiran yang umum dalam ketentuan article VI GATT, menggunakan cara perhitungan harga normal, yaitu “biaya produksi cost of production ditambah keuntungan profit dan dibagi dengan jumlah produksi total of Production dengan rumus: { NV= ��+�� �� }. 123 NV = Normal Value CP = Cost Production biaya produksi Pr = Profit keuntungan TP= Total of Production jumlah produksi 121 Sukarmi., Op.cit. hal 159 122 Penjelasan Pasal 18 UU No 10 Tahun 1995, lihat pula Pasal 1 angka 6 Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 2011 123 Muhammad Sood., Op.cit. hal 148-149 Dimana menghitung biaya produksi sekurang kurangnya terdiri dari: a Biaya yang dikeluarkan untuk bahan baku b Biaya fabrikasi termasuk upah buruh dan, c Segala biaya yang dikeluarkan untuk melaksanakan penjualan General Sales AdministrationGSA Dalam hal tidak terdapat barang sejenis yang dijual dipasar domestik negara pengekspor atau volume penjualan di pasar domestik negara pengekspor atau volume penjualan di pasar domestik negara pengekspor relatif kecil sehingga tidak dapat digunakan sebagai pembanding, nilai normal ditetapkan berdasarkan: 124 a. harga tertinggi barang sejenis yang diekspor ke negara ketiga;atau b. harga dari penjumlahan biaya produksi, biaya administrasi, biaya penjualan, dan laba yang wajar constructed value. Menurut Yulianto Syahyu metode untuk menentukan adanya dumping, khususnya pada tahap penyelidikan besarnya harga normal suatu produk ditempuh melalui tiga cara, yaitu: 125 1. Penentuan nilai normal berdasarkan penjualan di pasar domestik negara produsen pengeskporsesuai dengan ketentuan Pasal 1 Butir 6 PP No. 34 tahun 2011 2. Penentuan nilai normal berdasarkan penjualan kepasar negara ketiga. Metode ini dapat digunakan apabila pasar domestik negara produsen pengekspor tidak tersedia. Hal ini telah dijelaskan dalam penjelasan pasal 18 UU No. 10 Tahun 1995. 3. Penentuan nilai normal berdasarkan constructed value pembentukan harga yaitu nilai ditentukan berdasarkan biaya produksi, biaya administrasi, biaya penjualan, dan 124 Penjelasan Pasal 18 UU No 10 Tahun 1995, Op.cit 125 Yulianto Syahyu, Op.cit., hal 71-73. Lihat pula Penjelasan Pasal 18 UU No 10 Tahun 1995, serta Pasal 1 angka 6 PP No. 34 Tahun 2011 laba yang wajar. Metode ini digunakan apabila cara yang pertama dan kedua tidak dapat digunakan. Hal ini telah dijelaskan dalam penjelasan pasal 18 UU No. 10 Tahun 1995. Pernyataan diatas hanya memberikan perhitungan nilai normal secara umum. Pada pokoknya UU No.10 Tahun 1995 tidak membicarakan masalah masalah yang berkaitan dengan perhitungan nilai normal secara lebih terperinci melainkan lebih menekankan pada perhitungan harga normal secara umum serta penerapan bea masuk terhadap barang dumping yang menyebabkan industri dalam negeri mengalami kerugian. c. Penentuan Nilai Normal Menurut Undang Undang Nomor 17 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas Undang Undang No 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan Penentuan nilai normal menurut Undang Undang No 17 Tahun 2006 masih mengacu pada UU No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan yang terdapat pada Bab IV Bea Masuk Antidumping dan Bea Masuk Imbalan Bagian Pertama Bea Masuk Antidumping penjelasan pasal 18 UU No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan. UU No.17 tahun 2006 tetap mempertahankan tidak menghapus pasal 18, pasal 19, pasal 21 dan pasal 22 Undang Undang No 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan, tetapi menghapus pasal 20 tentang pengaturan persyaratan dan tatacara pengenaan Bea Masuk Antidumping dengan Peraturan Pemerintah dan menghapus Pasal 23 tentang pengaturan persyaratan Bea Masuk Imbalan dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 20 Undang Undang No 10 Tahun 1995 tentang kepabeanan berbunyi: 126 “Ketentuan tentang persyaratan dan tata cara pengenaan Bea Masuk Antidumping serta penanganannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.” Pasal 20 Undang Undang No 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan diatas telah dihapus dengan keluarnya Undang Undang No 17 Tahun 2006 perubahan atas UU No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan yang berkaitan dengan Bea Masuk Antidumping, Bea Masuk Imbalan, Bea Masuk Tindakan Pengamanan, dan Bea Masuk Pembalasan diatur dalam Bab IV pasal 35 , yang berbunyi sebagai berikut: 127 35. Pasal 20 dihapus. Pasal 20 Undang Undang No 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan berbunyi: “Ketentuan tentang persyaratan dan tata cara pengenaan Bea Masuk Antidumping serta penanganannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.” Pasal 23 Undang Undang No 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan diatas telah dihapus dengan keluarnya Undang Undang No 17 Tahun 2006, seperti terlihat dalam ketentuan perubahan nomor 36 yang berbunyi: 128 36. Pasal 23 dihapus. Namun, selanjutnya pengaturan mengenai persyaratan dan tata cara pengenaan Bea Masuk Antidumping, Bea Masuk Imbalan, digabungkan dengan pengaturan mengenai persyaratan 126 Christophorus Barutu, Op.cit., Hal. 130 127 Ibid., Hal. 132 128 Loc.cit., Hal.132 dan tata cara Bea Masuk Tindakan Pengamanan dan Bea Masuk Pembalasan yang diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah, seperti yang ditegaskan dalam Pasal 23D Undang Undang No 17 Tahun 2006 yang berbunyi: 129 Bagian Kelima “Pengaturan dan penetapan” Pasal 23D 1 Ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara pengenaan Bea Masuk Antidumping, Bea Masuk Imbalan, Bea Masuk Tindakan Pengamanan, dan Bea Masuk Pembalasan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. 2 Besar tariff Bea Masuk Antidumping, Bea Masuk Imbalan, Bea Masuk Tindakan Pengamanan, dan Bea Masuk Pembalasan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 ditetapkan oleh Menteri. Pada pokoknya UU No.17 Tahun 2006 mempertahankan beberapa ketentuan pasal dan mengubah secara sebagian parsial ketentuan Pasal Undang Undang No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, mengubah dalam arti menambah atau menghapus beberpa pasal atau ayat didalamnya. tidak secara khusus menguraikan mengenai penentuan nilai normal. Adapun dalam hal menentukan nilai normal lebih lanjut diatur oleh Peraturan Pemerintah No 34 Tahun 2011.

d. Penentuan Nilai Normal menurut Peraturan Pemerintah No.34 Tahun 2011

Secara teknis yuridis, definisi barang dumping adalah barang yang di impor dengan tingkat harga ekspor yang lebih rendah dari nilai normalnya di negara pengekspor. 130 129 Ibid., Hal. 133 Dari definisi tersebut dapat dilihat bahwa barang dumping itu merupakan barang yang dijual dengan harga ekspor yang lebih rendah dari nilai normal. Pada prinsipnya dari pernyataan tersebut diatas ada dua komponen utama dalam hal menentukan apakah suatu barang dapat 130 PP No. 34 Tahun 2011, Op. cit., Bab 1Pasal 1 4 dikatakan barang dumping yaitu harga ekspor dan harga normal. Berikut adalah penjelasan lebih lanjut mengenai harga ekspor dan nilai normal.

1. Nilai Normal