5. Proses selanjutnya sama dengan proses penyelesaian sengketa dagang umum melalui
WTO. 6.
Dalam sidang panel Panel terdiri dari ahli yang dibentuk berdasarkan artikel XXIII akan diputuskan apakah bea masuk Antidumping yang dikenakan oleh negara importir
dilaksanakan dengan melanggar ketentuan-ketentuan GATT atau tidak. Meskipun banyak prosedur WTO yang mirip dengan proses pengadilan negara negara
anggota yang sedang bersengketa tetap diharapkan untuk melakukan perundingan dan menyelesaikan masalahnya sebelum terbentuknya panel. Adapun tahapan tahapan yang
dilakukan dalam proses penyelesaian sengketa ialah sebagai berikut:
118
1. DSB dan Panel
Penyelesaian sengketa menjadi tanggung jawab Badan Penyelesaian Sengketa Dispute Settlement Body DSB yang merupakan penjelmaan dari Dewan Umum General
CouncilGC. DSB adalah satu-satunya badan yang memiliki otoritas membentuk Panel yang terdiri dari para ahli yang bertugas menelaah kasus. DSB dapat juga menerima atau
menolak keputusan Panel atau keputusan pada tingkat banding. DSB tersebut memonitor pelaksanaan putusan-putusan dan rekomendasi serta memiliki kekuasaanwewenang untuk
mengesahkan retaliasi jika suatu negara tidak mematuhi suatu putusan. a. Banding
Tiap pihak yang bersengketa dapat mengajukan banding atas putusan panel. Kadang-kadang kedua belah pihak sama-sama mengajukan banding. Namun banding harus didasarkan pada
suatu peraturan tertentu seperti interpretasi legal atas suatu ketentuanpasal dalam suatu persetujuan WTO. Banding tidak dilakukan untuk menguji kembali bukti-bukti yang ada
atau bukti-bukti yang muncul, melainkan untuk meneliti argumentasi yang dikemukakan oleh Panel sebelumya. Tiap upaya banding diteliti oleh tiga dari tujuh anggota tetap Badan
Banding Appelate BodyAB yang ditetapkan oleh DSB dan berasal dari anggota WTO yang mewakili kalangan luas. Anggota AB memiliki masa kerja 4 empat tahun. Mereka harus
berasal dari individu-individu yang memiliki reputasi dalam bidang hukum dan perdagangan internasional, dan lepas dari kepentingan negara manapun keputusan pada tingkat banding
dapat menunda, mengubah ataupun memutarbalikan temuan-temuan dan putusan hukum dari panel. Biasanya banding membutuhkan waktu tidak lebih dari 60 hari, dan batas
maksimumnya 90 hari. DSB harus menerima ataupun menolak laporan banding tersebut dalam jangka waktu tidak lebih dari 30 hari dimana penolakan hanya dimungkinkan melalui
konsensus.
118
Freddy Joseph Pelawi, Op.cit., hal. 3-5
b. penyelesaian sengketa setelah rekomendasi atau keputusan Dispute Settlement Body DSB
Jika suatu negara telah melanggar aturan WTO dengan menetapkan aturan yang tidak konsisten dengan WTO, maka negara tersebut harus segera mengoreksi kesalahannya
dengan menyelaraskan aturannya dengan aturan WTO. Jika negara tersebut masih melanggar aturan WTO, maka harus membayar kompensasi atau dikenai “retaliasi”.
Biasanya kompensasiretaliasi diterapkan dalam bentuk konsesi atau akses pasar. Walaupun suatu kasus sudah diputuskan, masih banyak hal yang harus dilakukan sebelum sanksi
perdagangan diterapkan. Dalam tahap ini yang penting adalah tergugat harus menyelaraskan kebijakannya dengan rekomendasi atau keputusan DSB. Persetujuan WTO mengenai
penyelesaian sengketa menetapkan bahwa “tindakan yang cepat dalam hal mematuhi rekomendasi atau putusan DSB sangat penting untuk menjamin bahwa putusan penyelesaian
tersebut efektif dan menguntungkan seluruh anggota WTO. Negara yang kalah sengketa harus mengikuti rekomendasi yang disebutkan dalam laporan Panel panel report atau
laporan banding appelate Body report. Secara prinsipil, sanksi diterapkan pada bidang yang sama dengan bidang yang disengketakan. Jika sanksi tersebut tidak dapat dilaksanakan
atau tidak efektif, maka sanksi dapat diterapkan dalam sektor yang lain, dalam satu persetujuan yang sama. Selanjutnya, sekiranya masih juga belum dilaksanakan atau belum
efektif, dan jika keadaannya cukup serius, tindakan dapat diambil di bawah persetujuan WTO lain. Maksudnya adalah untuk memperkecil kesempatan merambatnya tindakan
tersebut ke dalam bidang-bidang yang tidak ada hubungannya dengan bidang tersebut, sekaligus agar menjamin agar tindakan tersebut efektif. Dalam setiap kasus, DSB
mengawasi pelaksanaan putusan yang telah disahkan. Kasus-kasus yang masih dalam proses tetap menjadi agenda DSB sampai berhasil diselesaikan.
C. Komparatif Yuridis Dalam Menentukan Nilai Normal Menurut Kebijakan Antidumping di Indonesia dan Filipina
Pada bagian ini akan di jelaskan mengenai cara penentuan nilai normal normal value menurut kebijakan Antidumping di Indonesia dan Filipina. Dasar dan ketentuan yang
mengatur mengenai Antidumping di Indonesia mengacu pada Undang Undang No 7 tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing the World Trade Organization
Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia, Undang Undang No. 10 Tahun
1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang Nomor 17 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang Undang No 10 Tahun 1995 tentang
Kepabeanan, dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 34 Tahun 2011 tentang Tindakan Antidumping, Tindakan Imbalan, dan Tindakan Pengamanan Perdagangan.
Namun pada umumnya didalam hal menentukan nilai normal normal value menurut kebijakan Antidumping di Indonesia hanya di atur pada Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia No. 34 tahun 2011 tentang Tindakan Antidumping, Tindakan Imbalan, dan Tindakan Pengamanan Perdagangan. Berbeda dengan penentuan nilai normal normal
value berdasarkan kebijakan Antidumping Filipina diatur dalam Republict of act No 8752 the Antidumping 1999 dan diatur lebih rinci dalam Administrative Order No. 1
Implementing rules and regulatians governing the Imposition of an Anti-Dumping Duty Under Republict of Act 8752.
1. Penentuan Nilai Normal berdasarkan Kebijakan Antidumping di Indonesia a. Penentuan Nilai Normal Menurut Undang Undang No 7 Tahun 1994
Pada dasarnya, UU No.7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization Persetujuan Pembentukan Organisasi
Perdagangan Dunia merupakan persetujuan mengenai kesepakatan yang ada di World Trade Organization, dikarenakan Indonesia merupakan salah satu negara anggota
WTO. Manfaat dari keikutsertaan Indonesia dalam persetujuan tersebut pada dasarnya bukan saja memungkinkan terbukanya peluang pasar internasional yang
lebih luas, tetapi juga menyediakan kerangka perlindungan multilateral yang lebih baik bagi kepentingan nasional dalam perdagangan internasional, khususnya
dalam menghadapi mitra dagang. Untuk itu konsekuensinya, antara lain, perlu ditindak lanjuti adalah kebutuhan untuk menyempurnakan atau mempersiapkan
peraturan perundang - undangan yang diperlukan. Tidak kurang pentingnya adalah penyiapan, penumbuhan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia, khususnya
pemahaman di kalangan pelaku ekonomi dan aparatur penyelenggara, terhadap keseluruhan
persetujuan serta
berbagai hambatan
dan tantangan
yang melingkupinya.
119
Undang Undang No. 7 ini hanya memuat mengenai kesepakatan Indonesia dalam perjanjian Internasional khususnya perjanjian di bidang perdagangan
jasa. Persetujuan yang disahkan dengan U ndang Undang ini adalah Persetujuan yang naskahnya ditandatangani Menteri Perdagangan Prof. Dr S. B Joeno atas
nama Pemerintah Indonesia dalam sidang di Marrakesh, Marokko, tanggal 15 April 1994.
120
119
Undang Undang No 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia bab I.
Berdasarkan pernyataan diatas maka dapat disimpulkan bahwa UU No 7 Tahun 1994 hanya memuat mengenai kesepakatan Indonesia sebagai
salah satu negara anggota WTO. Dalam UU No. 7 ini tidak memuat dengan jelas ketentuan mengenai penentuan harga normal. Berbeda halnya dengan di
Filipina, Filipina telah membuat UU khusus mengenai masalah Antidumping yang didalam pelaksanaannya dalam hal menentukan nilai normal di atur
120
Ibid., Pasal 1.
lebih lanjut dalam Administrative Order No. 1 Impelementing Rules and Regulations Governing the Imposition of an Antidumping Duty Under
Republict of Act 8752 of 1999.
b. Penentuan Nilai Normal Menurut Undang Undang No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan
Suatu barang ekspor dinilai sebagai barang dumping apabila barang tersebut dipasarkan di negara tujuan ekspor pada tingkat harga ekspor yang lebih rendah daripada nilai
normalnya.
121
Penentuan nilai normal menjadi sangat penting karena penentuan ada tidaknya dumping tergantung dari lebih rendahnya harga ekspor suatu barang dari nilai
normalnya. Nilai normal adalah harga yang sebenarnya dibayar atau akan dibayar untuk barang sejenis dalam perdagangan pada umumnya di pasar domestik negara pengekspor
untuk tujun konsumsi.”
122
Untuk menghitung nilai normal normal value berbagai negara menganut bermacam macam cara. Namun penafsiran yang umum dalam ketentuan article VI
GATT, menggunakan cara perhitungan harga normal, yaitu “biaya produksi cost of production ditambah keuntungan profit dan dibagi dengan jumlah produksi total of
Production dengan rumus: { NV=
��+�� ��
}.
123
NV = Normal Value CP = Cost Production biaya produksi
Pr = Profit keuntungan TP= Total of Production jumlah produksi
121
Sukarmi., Op.cit. hal 159
122
Penjelasan Pasal 18 UU No 10 Tahun 1995, lihat pula Pasal 1 angka 6 Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 2011
123
Muhammad Sood., Op.cit. hal 148-149
Dimana menghitung biaya produksi sekurang kurangnya terdiri dari: a
Biaya yang dikeluarkan untuk bahan baku b
Biaya fabrikasi termasuk upah buruh dan, c
Segala biaya yang dikeluarkan untuk melaksanakan penjualan General Sales AdministrationGSA
Dalam hal tidak terdapat barang sejenis yang dijual dipasar domestik negara pengekspor atau volume penjualan di pasar domestik negara pengekspor atau volume penjualan di pasar
domestik negara pengekspor relatif kecil sehingga tidak dapat digunakan sebagai pembanding, nilai normal ditetapkan berdasarkan:
124
a. harga tertinggi barang sejenis yang diekspor ke negara ketiga;atau b. harga dari penjumlahan biaya produksi, biaya administrasi, biaya penjualan, dan laba
yang wajar constructed value. Menurut Yulianto Syahyu metode untuk menentukan adanya dumping, khususnya pada
tahap penyelidikan besarnya harga normal suatu produk ditempuh melalui tiga cara, yaitu:
125
1. Penentuan nilai normal berdasarkan penjualan di pasar domestik negara produsen
pengeskporsesuai dengan ketentuan Pasal 1 Butir 6 PP No. 34 tahun 2011 2.
Penentuan nilai normal berdasarkan penjualan kepasar negara ketiga. Metode ini dapat digunakan apabila pasar domestik negara produsen pengekspor tidak
tersedia. Hal ini telah dijelaskan dalam penjelasan pasal 18 UU No. 10 Tahun 1995. 3.
Penentuan nilai normal berdasarkan constructed value pembentukan harga yaitu nilai ditentukan berdasarkan biaya produksi, biaya administrasi, biaya penjualan, dan
124
Penjelasan Pasal 18 UU No 10 Tahun 1995, Op.cit
125
Yulianto Syahyu, Op.cit., hal 71-73. Lihat pula Penjelasan Pasal 18 UU No 10 Tahun 1995, serta Pasal 1 angka 6 PP No. 34 Tahun 2011
laba yang wajar. Metode ini digunakan apabila cara yang pertama dan kedua tidak dapat digunakan. Hal ini telah dijelaskan dalam penjelasan pasal 18 UU No. 10
Tahun 1995. Pernyataan diatas hanya memberikan perhitungan nilai normal secara umum. Pada
pokoknya UU No.10 Tahun 1995 tidak membicarakan masalah masalah yang berkaitan dengan perhitungan nilai normal secara lebih terperinci melainkan lebih menekankan pada
perhitungan harga normal secara umum serta penerapan bea masuk terhadap barang dumping yang menyebabkan industri dalam negeri mengalami kerugian.
c. Penentuan Nilai Normal Menurut Undang Undang Nomor 17 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas Undang Undang No 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan
Penentuan nilai normal menurut Undang Undang No 17 Tahun 2006 masih mengacu pada UU No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan yang terdapat pada Bab IV Bea Masuk
Antidumping dan Bea Masuk Imbalan Bagian Pertama Bea Masuk Antidumping penjelasan pasal 18 UU No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan. UU No.17 tahun 2006 tetap
mempertahankan tidak menghapus pasal 18, pasal 19, pasal 21 dan pasal 22 Undang Undang No 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan, tetapi menghapus pasal 20 tentang
pengaturan persyaratan dan tatacara pengenaan Bea Masuk Antidumping dengan Peraturan Pemerintah dan menghapus Pasal 23 tentang pengaturan persyaratan Bea Masuk Imbalan
dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 20 Undang Undang No 10 Tahun 1995 tentang kepabeanan berbunyi:
126
“Ketentuan tentang persyaratan dan tata cara pengenaan Bea Masuk Antidumping serta penanganannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.”
Pasal 20 Undang Undang No 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan diatas telah dihapus dengan keluarnya Undang Undang No 17 Tahun 2006 perubahan atas UU No. 10 Tahun
1995 tentang Kepabeanan yang berkaitan dengan Bea Masuk Antidumping, Bea Masuk Imbalan, Bea Masuk Tindakan Pengamanan, dan Bea Masuk Pembalasan diatur dalam Bab
IV pasal 35 , yang berbunyi sebagai berikut:
127
35. Pasal 20 dihapus. Pasal 20 Undang Undang No 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan berbunyi:
“Ketentuan tentang persyaratan dan tata cara pengenaan Bea Masuk Antidumping serta penanganannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.”
Pasal 23 Undang Undang No 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan diatas telah dihapus dengan keluarnya Undang Undang No 17 Tahun 2006, seperti terlihat dalam ketentuan
perubahan nomor 36 yang berbunyi:
128
36. Pasal 23 dihapus. Namun, selanjutnya pengaturan mengenai persyaratan dan tata cara pengenaan Bea Masuk
Antidumping, Bea Masuk Imbalan, digabungkan dengan pengaturan mengenai persyaratan
126
Christophorus Barutu, Op.cit., Hal. 130
127
Ibid., Hal. 132
128
Loc.cit., Hal.132
dan tata cara Bea Masuk Tindakan Pengamanan dan Bea Masuk Pembalasan yang diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah, seperti yang ditegaskan dalam Pasal 23D Undang
Undang No 17 Tahun 2006 yang berbunyi:
129
Bagian Kelima “Pengaturan dan penetapan” Pasal 23D
1 Ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara pengenaan Bea Masuk Antidumping, Bea Masuk Imbalan, Bea Masuk Tindakan Pengamanan, dan Bea
Masuk Pembalasan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. 2 Besar tariff Bea Masuk Antidumping, Bea Masuk Imbalan, Bea Masuk Tindakan
Pengamanan, dan Bea Masuk Pembalasan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 ditetapkan oleh Menteri.
Pada pokoknya UU No.17 Tahun 2006 mempertahankan beberapa ketentuan pasal dan mengubah secara sebagian parsial ketentuan Pasal Undang Undang No. 10 Tahun 1995
tentang Kepabeanan, mengubah dalam arti menambah atau menghapus beberpa pasal atau ayat didalamnya. tidak secara khusus menguraikan mengenai penentuan nilai normal.
Adapun dalam hal menentukan nilai normal lebih lanjut diatur oleh Peraturan Pemerintah No 34 Tahun 2011.
d. Penentuan Nilai Normal menurut Peraturan Pemerintah No.34 Tahun 2011
Secara teknis yuridis, definisi barang dumping adalah barang yang di impor dengan tingkat harga ekspor yang lebih rendah dari nilai normalnya di negara pengekspor.
130
129
Ibid., Hal. 133
Dari definisi tersebut dapat dilihat bahwa barang dumping itu merupakan barang yang dijual
dengan harga ekspor yang lebih rendah dari nilai normal. Pada prinsipnya dari pernyataan tersebut diatas ada dua komponen utama dalam hal menentukan apakah suatu barang dapat
130
PP No. 34 Tahun 2011, Op. cit., Bab 1Pasal 1 4
dikatakan barang dumping yaitu harga ekspor dan harga normal. Berikut adalah penjelasan lebih lanjut mengenai harga ekspor dan nilai normal.
1. Nilai Normal