Analisis Komparatif Yuridis Kebijakan Anti Dumping Antara Indonesia Dan Filipina
ANALISIS KOMPARATIF YURIDIS KEBIJAKAN ANTI
DUMPING ANTARA INDONESIA DAN FILIPINA
TESIS
OLEH
NOVIE ANDRIANI KESUMA 117005067 / HK
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
(2)
ANALISIS KOMPRATIF YURIDIS KEBIJAKAN ANTI
DAMPING ANTARA INDONESIA DAN FILIPINA
TESIS
Diajukan Sebagai Syarat Untuk memperoleh Gelar Magister Hukum Dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
OLEH
NOVI ANDRIANI KESUMA
117005067/HK
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
(3)
Judul Tesis :
ANALISIS KOMPRATIF YURIDIS KEBIJAKAN
ANTI
DAMPING ANTARA INDONESIA DAN
FILIPINA
Nama Mahasiswa : Novie Andriani Kesuma
Nim : 117005067/HK
Program Studi : Ilmu Hukum
Menyetujui Komisi Pembimbing
Ketua
(Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH)
(Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum) (Dr. Jelly Leviza, SH, M.Hum Anggota Anggota
)
Ketua Program Studi Dekan
(Prof. Dr. Suhaidi, SH,MH) (Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum)
(4)
Telah Diuji Pada Tanggal : 19 Juli 2013
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH
Anggot : 1. Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum
2. Dr. Jelly Leviza, SH, M.Hum
3. Dr. Hasim Purba, SH, M.Hum
(5)
ABSTRAK
Dumping adalah praktek penjualan komoditi di pasaran luar negeri dengan harga kurang dari Nilai Normal (normal value), biasanya dengan harga yang lebih rendah dari harga barang tersebut di negerinya sendiri atau dari harga jual di negara lain. Pada umumnya dumping dianggap sebagai praktek dagang yang tidak baik atau tidak adil karena dapat merusak pasaran dan merugikan para produsen saingannya di negara pengimpor. Sejak berdirinya WTO tahun 1994 dan diterbitkannya Agreement on Antidumping Article VI of GATT, negara negara anggota GATT/WTO telah memanfaatkan instrument Antidumping dalam menghadapi praktek perdagangan yang tidak adil. Pada Article VI Agreement on Antidumping mengizinkan negara-negara GATT/WTO untuk menerapkan bea masuk Antidumping terhadap negara yang melakukan dumping. Namun penerapannya harus dibuktikan dengan kerugian material (material injury). Tanpa adanya kerugian secara material maka suatu negara pengimpor tidak boleh melakukan tindakan Antidumping. Indonesia dan Filipina merupakan negara bagian dari organisasi perdagangan dunia, dan telah meratifikasi ketentuan GATT-WTO. Bagi Indonesia dan Filipina dengan diratifikasinya perjanjian pembentukan GATT-WTO mempunyai kewajiban untuk mematuhi segala ketentuan yang diatur didalamnya dan harus menyesuaikan peraturan perundang undangan nasionalnya. Meskipun didalam penerapan ketentuan Antidumping, Indonesia dan Filipina masih mengacu kepada ketentuan Antidumping Agreement namun penerapan didalam peraturan perundang undangannya berbeda.Hal ini disebabkan karena perbedaan penafsiran terhadap ketentuan Antidumping Agreement serta perbedaan kepentingan nasional masing masing negara.
Adapun rumusan permasalahan dalam penelitian ini ialah bagaimana komparatif yuridis kebijakan Antidumping antara Indonesia dan Filipina dalam menentukan nilai normal (normal value), kerugian materil (material injury), dan perlindungan industri dalam negeri dalam hal terjadinya praktek dumping. Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan tesis ini ialah hukum normatif dengan cara membandingkan Undang Undang di Indonesia dan Filipina. Sifat penelitian dalam penulisan tesis ini ialah deskriptif analitis. Sumber data yang digunakan meliputi bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Teknik pengumpulan data dengan menggunakan studi kepustakaan dan wawancara.
Setelah menganalisis kedua peraturan di kedua negara adapun kesimpulan dan saran dari penulisan tesis ini ialah terdapat beberapa persamaan dan perbedaan. Adapun persamaannya di dalam menentukan nilai normal (normal value), kerugian material (material injury) dan perlindungan industri dalam negeri, Indonesia dan Filipina masih mengacu pada Antidumping Agreement. Adapun perbedaannya ialah dalam menentukan nilai normal (normal value) kebijakan Antidumping di Indonesia tidak mengatur perhitungan harga ekspor menggunakan CIF atau FOB, faktor faktor lain yang dapat mempengaruhi nilai normal seperti pertukaran nilai mata uang, dan di dalam menentukan kerugian material yang dialami oleh industri dalam negeri (material injury) kebijakan Antidumping di Indonesia juga tidak mengatur hubungan istimewa antara produsen dan pengekspor yang harus di kecualikan dalam penentuan industri dalam negeri seperti halnya di negara Filipina dan mengenai perlindungan industri dalam negeri Kebijakan Antidumping di Indonesia diatur pada Undang Undang Kepabeanan sedangkan menurut kebijakan Antidumping di Filipina di atur dalam peraturan tersendiri. Adapun saran hendaknya Kebijakan Antidumping di Indonesia mengatur lebih rinci mengenai perhitungan harga ekspor berdasarkan F.O.B atau C.I.F, pertukaran nilai mata uang, hubungan istimewa antara produsen dan pengekspor yang tidak dapat di kategorikan sebagai industri dalam negeri, serta hendaknya pemerintah Indonesia membuat Undang Undang tersendiri mengenai Antidumping.
(6)
ABSTRACT
Dumping is the practice of selling commodities in foreign markets at less than normal value. Dumping is usually at less than the price of the goods in his own country or the selling price in other countries. Dumping is generally regarded as a bad or unfair trade practice as it may damage the market and the competitor producers in the import country. Since its establishment in 1994 and the issuance of Agreement on Antidumping of Article VI of GATT 1994, the member countries of GATT /WTO have used instruments of antidumping duties against unfair trade practices. In the Antidumping Agreement on Article VI allows members of GATT / WTO to apply anti-dumping duties against countries do the dumping practices. However, in its application must be evidenced by material injury. Without material injury, a country should not apply the antidumping duties. Indonesia and Philippines are part of members in WTO and have ratified the GATT-WTO provisions.With the establishment of an agreement ratification GATT-WTO, Indonesia and the Philippines should have an obligation to obey all the set provisions and must adjust their national laws and provisions. Although in the application of anti-dumping provisions, Indonesia and the Philippines are still referring to the provisions in the Antidumping Agreement, but the application of laws regulations is different. This is due to the differences in interpretation of the Antidumping Agreement and the differences of the national interests in each country.
The formulation of the problems in this research is how comparative juridical Antidumping policy between Indonesia and Philippines to determine the normal value, material injury, and the protection of domestic industry in terms of the practice of dumping. The kind of research is used in this thesis is a normative law by comparing the regulations in Indonesia and Philippines. The nature of the research is a descriptive analysis. The data source of this analysis is written text; included primary, secondary and tertiary. The data collection techniques use library research and interviews.
After analyzing the two provisions in both countries, it can be concluded that there are some similarities and differences. The similarities of both the regulations are to determine the normal value, material injury, and protection of domestic industry, between Indonesia and Philippines are still refering to Antidumping Agreement. The differences are to determine the normal value of antidumping policy in Indonesia does not regulate the export price calculations based on CIF or FOB. Other factors may affect the normal value as exchange value of the currency and determine the material injury by the domestic industry. Antidumping policy in Indonesia also not set up a special relationship between a producer and an exporter that should be excluded in the determination of the domestic industry as well as in Philippines and about the protection of domestic industry in Indonesia is regulated Antidumping Policy on Custom Law, while in Antidumping policy in Philippines is set in its own provisions. The suggestions about Antidumping Policy in Indonesia is to set up more detailed the calculation of the export price based on FOB or CIF, the value of the currency exchange, special relationship between a producer and an exporter that cannot be categorized as a domestic industry, as well as the Indonesian government should make its own Law on Antidumping
(7)
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, saya ucapkan kepada Allah Azza wa Jalla, atas Berkat dan Rahmat-Nya dan kepada nabi besar Muhammad SAW sehingga penulis dapat menyelesaikan Tesis ini dengan baik dan tepat waktu sebagai salah satu persyaratan untuk mendapatkan Gelar Magister Hukum pada Program Studi Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara dengan Judul “ANALISIS KOMPARATIF YURIDIS
KEBIJAKAN ANTIDUMPING ANATARA INDONESIA DAN FILIPINA”.
Pada kesempatan ini, saya ingin mengucapkan rasa terimakasih yang sebesar besarnya kepada orang orang yang telah membantu dan mendukung saya sehingga saya dapat menyelesaikan kuliah saya.
Pertama sekali, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum., dan semua staff Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, dan tak lupa saya ucapkan rasa terima kasih saya kepada Dosen Pembimbing pertama saya Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH., yang selalu membimbing dan memberikan arahan di dalam penulisan Tesis ini, dan juga tak lupa saya ucapakan rasa terima kasih saya kepada dosen Pembimbing 1kedua Dr.Mahmul Siregar, SH, M.Hum., dan dosen pembimbing ketiga saya
Dr.Jelly Leviza, SH, M.Hum., yang telah bersedia menyediakan waktunya untuk membimbing saya dalam proses penulisan tesis ini. Saya menyadari bahwa tanpa bantuan, bimbingan serta arahan dari mereka saya tidak dapat menyelesaikan tesis ini dengan baik. Dan tak lupa saya juga mengucapkan rasa terima kasih saya yang sebesar besarnya kepada semua dosen fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang tak dapat saya sebutkan satu persatu yang telah memberikan kesempatan dan kenangan yang takkan pernah terlupakan selama saya masih menjadi mahasisiwi di fakultas ini. dan tak lupa pula saya ucapkan terima kasih kepada Sdr. Duma Situmorang staff penyelidikan Antidumping di Kementrian Perdagangan dan Perindustrian Republik Indonesia di Jakarta yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk penulis dalam penelitian.
(8)
Kedua, tak lupa saya ucapkan rasa terima kasih saya kepada kedua orang tua saya khususnya kepada ayah saya Marahansan, S.H. ibu saya Sri Indrawati Kesuma, S.H. yang secara terus menerus memberikan kasih sayangnya serta mendukung saya baik dari segi finansial serta kasih sayangnya dan telah bersabar dalam mendidik saya sehingga saya menjadi seperti sekarang. Saya juga ingin mengucapkan terima kasih kepada adik kandung saya Suspani Kesuma Maharani, S.H. dan buat kekasih saya Akbar Fajarullah Trisna untuk kasih sayang dan cinta yang tak pernah terlupakan
. Ketiga, tak lupa saya ucapkan rasa terima kasih kepada semua teman baik di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara maupun di luar lingkungan Fakultas Hukum khususnya Kak Rafika Suryani, Kak Juliani Jia, Kak Fitri Idayanti Lintang, Bu Ganti, Rizka Elfira, Agnes Gulo, Kartina, Maria Margaretta Sitompul, Poltak U.B Panjaitan, Anderson Siringoringo, S.H., Marulianus Jawak, S.H., yang telah membuat hidup menjadi lebih berwarna dan buat teman baikku Juliana, dan tak lupa buat teman chatting yang berasal dari Filipina yang selalu mendukung dan memberikan ide serta rasa persahabatan khususnya kakak (ate) Lara Safia Velardo, abang (kuya) Ian Alba Tayhon, kakak
(ate) Joy Q. Lorica, ate Marimar Ligaray, (mahal) ko John Carl Villamor, abang
(utol) Eumer de Leon, abang (utol) Hendrian Tanael, adik (Bunso) Ronamarie Marquises Dan yang terakhir saya ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar besarnya buat teman teman stambuk 2011 program Studi Magister ilmu Hukum yang tidak bisa di sebutkan satu persatu.
Medan, June,2013
Novie Andriani Kesuma NIM : 117005067
(9)
RIWAYAT HIDUP
Nama : Novie Andriani Kesuma
Tempat Tanggal Lahir : Medan, 28 November 1987
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Jabatan/ Pekerjaan : Ikut Orang Tua
Alamat : Compleks Taman Setia Budi Indah Blok HH No
43 Medan
Kecamatan Medan Sunggal Kelurahan Tanjung
Rejo
Pendidikan : SD Negeri 060914 Tamat Tahun 1999
SLTP Negeri 9 Medan Tamat Tahun 2002 SMU Negeri 15 Medan Tamat Tahun 2005 Diploma Tiga (DIII) Bahasa Inggris Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Tamat Pada Tahun 2008
Strata Satu (S1) Sastra Inggris Universitas Sumatera Utara Tamat Pada Tahun 2009
Strata Dua (S2) Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara Medan Tamat Tahun 2013
(10)
DAFTAR ISI
ABSTRAK ... i
ABSTRAC ... . ii
KATA PENGANTAR ... iii
RIWAYAT HIDUP ... v
DAFTAR ISI ... vi
DAFTAR TABEL ... ix
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Identifikasi Permasalahan ... 17
C. Tujuan Penelitian ... 17
D. Manfaat Penelitian ... 18
E. Keaslian Penelitian ... 20
F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsi ... 22
1. Kerangka Teori ... 22
2. Kerangka Konsepsi ... 29
G. Metode Penelitian ... 37
1. Jenis dan Sifat Penelitian ... 37
2. Sumber Data ... 39
3. Teknik Pengumpulan Data ... 40
4. Analisis Data ... 41
BAB II ANALISIS KOMPARATIF YURIDIS KEBIJAKAN ANTIDUMPING ANTARA INDONESIA DAN FILIPINA DALAM MENENTUKAN NILAI NORMAL (NORMAL VALUE) DALAM HAL TERJADINYA DUGAAN DUMPING A. Konsepsi Dumping dan Antidumping 1.Defenisi Dumping ... 42
2.Jenis-Jenis Dumping ... 47
3.Unsur-Unsur Dumping ... 54
4.Defenisi Anti Dumping ... 58
B. Pengaturan Hukum dan Ketentuan Anti Dumping Dalam Perdagangan Internasional ... 59
C. Analisis Komparatif Yuridis Kebijakan Antidumping Antara Indonesia Dan Filipina Dalam Menentukan Nilai Normal (Normal Value) Dalam Hal Terjadinya Dugaan Dumping ... 63
(11)
1. Penentuan Nilai Normal Berdasarkan Kebijakaan
Antidumping di Indonesia ... 64
a. Penentuan Nilai Normal Menurut Undang-Undang No.7 Tahun 1994 ... 64
b. Penentuan Nilai Normal Menurut Undang-Undang No.10 Tahun 1995 ... 66
c. Penentuan Nilai Normal Menurut Undang-Undang No.17 Tahun 2006 ... 68
d. Penentuan Nilai Normal Menurut Peraturan Pemerintah No.34 Tahun 2011 ... 70
1) Harga Normal ... 71
2) Harga Ekspor ... 78
3) Margin Dumping ... 79
2. Penentuan Nilai Normal Berdasarkan Kebijakan Antidumping di Filipina ... 83
a. Penentuan Nilai Normal Menurut Republic of Act No. 8752 ... 83
b. Penentuan Nilai Normal Menurut Administrative Order No. 1 ... 84
1) Harga Ekspor ... 86
2) Nilai Normal ... 93
3) Margin dumping ... 111
3. Komparatif Yuridis Kebijakan Antidumping antara Indonesia dan Filipina dalam Menentukan Nilai Normal (Normal Value) Dalam Hal Terjadinya Dugaan Dumping ... 112
BAB III ANALISIS KOMPARATIF YURIDIS KEBIJAKAN ANTIDUMPING ANTARA INDONESIA DAN FILIPINA DALAM MENENTUKAN KERUGIAN MATERIL (MATERIAL INJURY) DALAM HAL TERJADINYA DUGAAN PRAKTEK DUMPING A. Penentuan Kerugian Materil Berdasarkan Kebijakan Antidumping di Indonesia ... 117
1. Penentuan Kerugian Materil Menurut Undang-Undang No.7 Tahun 1994 ... 118
2. Penentuan Kerugian Materil Menurut Undang-Undang No.10 Tahun 1995 ... 120
3. Penentuan Kerugian Materil Menurut Undang-Undang No.17 Tahun 2006 ... 121
4. Penentuan Kerugian Materil Menurut Peraturan Pemerintah No.34 Tahun 2011 ... 124
B. Penentuan Kerugian Material Berdasarkan Kebijakan Antidumping di Filipina ... 129
(12)
1. Penentuan Kerugan Materil Menurut Republict of Act
No.8752 ... 129 2. Penentuan Kerugian Materil Menurut Administratif
Order No.1 ... 134 C. Komparatif Yuridis Kebijakan Antidumping Antara
Indonesia dan Filipina dalam Hal Penentuan Kerugian Materil (Material Injury) dalam hal terjadinya Dugaan
Praktek Dumping ... 147
BAB IV ANALISIS KOMPARATIF YURIDIS KEBIJAKAN
ANTIDUMPING ANTARA INDONESIA DAN FILIPINA DALAM PERLINDUNGAN INDUSTRI
DALAM NEGERI (DOMESTIC INDUSTRY) DALAM
HAL TERJADINYA PRAKTEK DUMPING
A. Penentuan Industri Dalam Negeri Berdasarkan Kebijakan
Antidumping di Indonesia ... 152 1. Penentuan Perlindungan Industri dalam Negeri
Menurut Undang-Undang No.7 Tahun 1994 ... 153 2. Penentuan Perlindungan Industri dalam Negeri
Menurut Undang-Undang No.10 Tahun 1995 ... 155 3. Penentuan Perlindungan Industri dalam Negeri
Menurut Undang-Undang No.17 Tahun 2006 ... 157 4. Penentuan Perlindungan Industri dalam Negeri
Menurut Peraturan Pemerintah No.34 Tahun 2011 ... 160 B. Penentuan Perlindungan Industri Dalam Negeri
Berdasarkan Kebijakan Antidumping di Filipina ... 163 1. Penentuan Perlindungan Industri Dalam Negeri
Menurut Republic of Act No. 8752 ... 163 2. Penentuan Perlindungan Industri Dalam Negeri
Menurut Administrative Order No.1 ... 164 C. Komparatif Yuridis Kebijakan Antidumping Antara
Indonesia dan Filipina dalam Perlindungan Industri Dalam Negeri (Domestic Industry) dalam Hal Terjadinya
Praktek Dumping ... 165
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ... 169 B. Saran ... 172
(13)
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Rincian Tuduhan Terhadap Ekspor Indonesia
Tahun 1995 s/d 2010.. ... 11 Tabel 2. Produk Ekspor Indonesia yang dituduh Dumping Tahun 2009. 12 Tabel 3. Produk Ekspor Indonesia yang sering dituduh ... 14 Tabel 4. Constructed Export Price: January to December 2008 ... 93
(14)
ABSTRAK
Dumping adalah praktek penjualan komoditi di pasaran luar negeri dengan harga kurang dari Nilai Normal (normal value), biasanya dengan harga yang lebih rendah dari harga barang tersebut di negerinya sendiri atau dari harga jual di negara lain. Pada umumnya dumping dianggap sebagai praktek dagang yang tidak baik atau tidak adil karena dapat merusak pasaran dan merugikan para produsen saingannya di negara pengimpor. Sejak berdirinya WTO tahun 1994 dan diterbitkannya Agreement on Antidumping Article VI of GATT, negara negara anggota GATT/WTO telah memanfaatkan instrument Antidumping dalam menghadapi praktek perdagangan yang tidak adil. Pada Article VI Agreement on Antidumping mengizinkan negara-negara GATT/WTO untuk menerapkan bea masuk Antidumping terhadap negara yang melakukan dumping. Namun penerapannya harus dibuktikan dengan kerugian material (material injury). Tanpa adanya kerugian secara material maka suatu negara pengimpor tidak boleh melakukan tindakan Antidumping. Indonesia dan Filipina merupakan negara bagian dari organisasi perdagangan dunia, dan telah meratifikasi ketentuan GATT-WTO. Bagi Indonesia dan Filipina dengan diratifikasinya perjanjian pembentukan GATT-WTO mempunyai kewajiban untuk mematuhi segala ketentuan yang diatur didalamnya dan harus menyesuaikan peraturan perundang undangan nasionalnya. Meskipun didalam penerapan ketentuan Antidumping, Indonesia dan Filipina masih mengacu kepada ketentuan Antidumping Agreement namun penerapan didalam peraturan perundang undangannya berbeda.Hal ini disebabkan karena perbedaan penafsiran terhadap ketentuan Antidumping Agreement serta perbedaan kepentingan nasional masing masing negara.
Adapun rumusan permasalahan dalam penelitian ini ialah bagaimana komparatif yuridis kebijakan Antidumping antara Indonesia dan Filipina dalam menentukan nilai normal (normal value), kerugian materil (material injury), dan perlindungan industri dalam negeri dalam hal terjadinya praktek dumping. Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan tesis ini ialah hukum normatif dengan cara membandingkan Undang Undang di Indonesia dan Filipina. Sifat penelitian dalam penulisan tesis ini ialah deskriptif analitis. Sumber data yang digunakan meliputi bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Teknik pengumpulan data dengan menggunakan studi kepustakaan dan wawancara.
Setelah menganalisis kedua peraturan di kedua negara adapun kesimpulan dan saran dari penulisan tesis ini ialah terdapat beberapa persamaan dan perbedaan. Adapun persamaannya di dalam menentukan nilai normal (normal value), kerugian material (material injury) dan perlindungan industri dalam negeri, Indonesia dan Filipina masih mengacu pada Antidumping Agreement. Adapun perbedaannya ialah dalam menentukan nilai normal (normal value) kebijakan Antidumping di Indonesia tidak mengatur perhitungan harga ekspor menggunakan CIF atau FOB, faktor faktor lain yang dapat mempengaruhi nilai normal seperti pertukaran nilai mata uang, dan di dalam menentukan kerugian material yang dialami oleh industri dalam negeri (material injury) kebijakan Antidumping di Indonesia juga tidak mengatur hubungan istimewa antara produsen dan pengekspor yang harus di kecualikan dalam penentuan industri dalam negeri seperti halnya di negara Filipina dan mengenai perlindungan industri dalam negeri Kebijakan Antidumping di Indonesia diatur pada Undang Undang Kepabeanan sedangkan menurut kebijakan Antidumping di Filipina di atur dalam peraturan tersendiri. Adapun saran hendaknya Kebijakan Antidumping di Indonesia mengatur lebih rinci mengenai perhitungan harga ekspor berdasarkan F.O.B atau C.I.F, pertukaran nilai mata uang, hubungan istimewa antara produsen dan pengekspor yang tidak dapat di kategorikan sebagai industri dalam negeri, serta hendaknya pemerintah Indonesia membuat Undang Undang tersendiri mengenai Antidumping.
(15)
ABSTRACT
Dumping is the practice of selling commodities in foreign markets at less than normal value. Dumping is usually at less than the price of the goods in his own country or the selling price in other countries. Dumping is generally regarded as a bad or unfair trade practice as it may damage the market and the competitor producers in the import country. Since its establishment in 1994 and the issuance of Agreement on Antidumping of Article VI of GATT 1994, the member countries of GATT /WTO have used instruments of antidumping duties against unfair trade practices. In the Antidumping Agreement on Article VI allows members of GATT / WTO to apply anti-dumping duties against countries do the dumping practices. However, in its application must be evidenced by material injury. Without material injury, a country should not apply the antidumping duties. Indonesia and Philippines are part of members in WTO and have ratified the GATT-WTO provisions.With the establishment of an agreement ratification GATT-WTO, Indonesia and the Philippines should have an obligation to obey all the set provisions and must adjust their national laws and provisions. Although in the application of anti-dumping provisions, Indonesia and the Philippines are still referring to the provisions in the Antidumping Agreement, but the application of laws regulations is different. This is due to the differences in interpretation of the Antidumping Agreement and the differences of the national interests in each country.
The formulation of the problems in this research is how comparative juridical Antidumping policy between Indonesia and Philippines to determine the normal value, material injury, and the protection of domestic industry in terms of the practice of dumping. The kind of research is used in this thesis is a normative law by comparing the regulations in Indonesia and Philippines. The nature of the research is a descriptive analysis. The data source of this analysis is written text; included primary, secondary and tertiary. The data collection techniques use library research and interviews.
After analyzing the two provisions in both countries, it can be concluded that there are some similarities and differences. The similarities of both the regulations are to determine the normal value, material injury, and protection of domestic industry, between Indonesia and Philippines are still refering to Antidumping Agreement. The differences are to determine the normal value of antidumping policy in Indonesia does not regulate the export price calculations based on CIF or FOB. Other factors may affect the normal value as exchange value of the currency and determine the material injury by the domestic industry. Antidumping policy in Indonesia also not set up a special relationship between a producer and an exporter that should be excluded in the determination of the domestic industry as well as in Philippines and about the protection of domestic industry in Indonesia is regulated Antidumping Policy on Custom Law, while in Antidumping policy in Philippines is set in its own provisions. The suggestions about Antidumping Policy in Indonesia is to set up more detailed the calculation of the export price based on FOB or CIF, the value of the currency exchange, special relationship between a producer and an exporter that cannot be categorized as a domestic industry, as well as the Indonesian government should make its own Law on Antidumping
(16)
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Perdagangan internasional menghendaki pasar yang terbuka bagi produk-produk ekspor di setiap negara. Keadaan ini menyebabkan setiap negara maupun pengusaha di suatu negara harus berkompetisi satu sama lain dalam pasar global. Salah satu cara untuk dapat berkompetisi dalam pasar global adalah mengekspor produk-produk yang berkualitas dengan harga yang bersaing, bahkan lebih murah daripada harga produk-produk yang sama di negara pengimpor. Jika hal ini terjadi tentu dapat merugikan industri-industri pada produk yang sama di negara pengimpor. Oleh karena itu, perlu ada tindakan-tindakan atau pengaturan secara internasional terhadap keadaan seperti yang digambarkan yang sering disebut dengan istilah dumping.1
Masalah dumping sudah sejak lama dikenal dan dibahas oleh para ahli hukum dan ahli ekonomi. Persoalan dumping adalah persoalan kebijaksanaan. Menurut Adam Smith, konsep dari kebijaksanaan dumping dalam perdagangan internasional telah dikenal jauh sebelum adanya ketentuan-ketentuan yang mengatur dumping itu sendiri, baik secara nasional maupun internasional. Amerika Serikat telah mengeluarkan undang-undang untuk menangkal dumping sejak tahun 1916, yaitu dengan menerapkan kewajiban-kewajiban
Antidumping. Disebutkan pula oleh Jacob Viner pada tahun 1991 telah terjadi debat di
1
Sukarmi, Regulasi Antidumping Di Bawah Bayang-Bayang Pasar Bebas, (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), hal.22.
(17)
Kongres Amerika Serikat dimana Alexander Hamilton (anggota Kongres) memperingatkan agar bagi negara luar yang menjual barang lebih murah hingga menggagalkan usaha-usaha pesaing lainnya, perlu dituntut ganti kerugian yang besar. Hal ini menunjukkan bahwa permasalahan dumping sudah muncul sejak beberapa abad yang lalu dan betapa pentingnya pengaturan masalah dumping.2
Dumping merupakan istilah yang dipergunakan dalam perdagangan internasional dimana pengekspor dalam praktik dagangnya menjual komoditi di pasar internasional dengan harga yang kurang dari nilai wajar atau lebih rendah dari harga barang tersebut di negerinya sendiri, atau dari harga jual kepada negara lain pada umumnya. Praktik ini dinilai tidak adil karena dapat merusak pasaran dan merugikan produsen pesaing di negara pengimpor.3
Berdasarkan pengertian diatas, maka dumping dalam konteks hukum internasional adalah suatu bentuk diskriminasi harga internasional yang dilakukan oleh sebuah perusahaan atau negara pengekspor, yang menjual komoditinya dengan harga lebih rendah di pasar luar negeri dibandingkan di pasar dalam negeri sendiri, dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan atas produk ekspor tersebut. Hal ini berarti penjualan produk-produk untuk ekspor pada tingkat harga yang lebih rendah dari nilai normal. Nilai normal
2Ibid.,
hal.23.
3
A F. Erawati dan J.S Badudu dalam Muhammad Sood, Hukum Perdagangan Internasional, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hal.115.
(18)
dalam arti harga untuk produk-produk yang sama yang dijual di negara sendiri atau di pasar pengekspor. Untuk mengantisipasi adanya praktik dumping diperlukan suatu tindakan yang disebut Antidumping, yaitu suatu tindakan balasan yang diberikan oleh negara pengimpor terhadap barang dari negara pengekspor yang melakukan dumping.4
GATT (General Agreement on Tariffs & Trade) yang mulai berlaku sejak tahun 1948, dan merupakan persetujuan multilateral yang menentukan peraturan-peraturan bagi perilaku perdagangan internasional dengan tujuan memelihara suatu sistem perdagangan yang terbuka, bebas, dan kompetitif, telah mencantumkan aturan aturan tentang dumping.
GATT dalam kerangka dumping menganggap bahwa ekspor barang yang disertai dengan perbuatan dumping dan terbukti mengakibatkan kerugian bagi usaha/industri barang sejenis di negara importir merupakan praktik perdagangan yang tidak jujur (unfair trade practice). Terhadap tindakan tersebut, GATT mengizinkan suatu negara yang dirugikan untuk mengambil tindakan Antidumping berupa pengenaan Antidumping duties sebesar kerugian yang dideritanya.5
4
Ibid., hal.117.
Hal ini terlihat pada Article VI yang mengizinkan negara-negara peserta GATT untuk menerapkan sanksi Antidumping terhadap negara yang melakukan
dumping. Namun demikian, penerapannya harus dibuktikan dengan kerugian material (material injury). Persyaratan kerugian material diterapkan untuk mencegah perdagangan curang dan melakukan proteksi guna melindungi industri dan pasar domestiknya. Tanpa
(19)
adanya kerugian secara material maka suatu negara pengimpor tidak boleh melakukan tindakan Antidumping dan kewajiban kompensasi.6
Indonesia dan Filipina adalah salah satu negara yang merupakan bagian dari organisasi perdagangan dunia, Indonesia telah meratifikasi ketentuan GATT-WTO dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement on Establishing the World Trade Organization (WTO), maka Final Act yang berisi 38 persetujuan tersebut telah sah menjadi bagian dari peraturan perundang-undangan nasional, termasuk persetujuan tentang Antidumping.7
Manfaat dari keikutsertaan Indonesia dan Filipina dalam persetujuan WTO pada dasarnya bukan saja memungkinkan terbukanya peluang pasar internasional yang lebih luas, melainkan juga menyediakan kerangka perlindungan multilateral yang lebih baik bagi kepentingan nasional masing masing dalam perdagangan internasional, khususnya dalam menghadapi mitra dagang. Konsekuensi yang perlu ditindaklanjuti antara lain adalah kebutuhan untuk menyempurnakan atau mempersiapkan peraturan perdagangan yang Sebagai salah satu bagian dari organisasi perdagangan dunia Filipina juga telah meratifikasi ketentuan GATT-WTO dengan dikeluarkannya Republic Act No. 7843 Antidumping Act of 1994 yang berisikan tentang persetujuan mengenai ketentuan Antidumping. Ketentuan Antidumping tersebut pada tahun 1999 telah diamandemen dengan dikeluarkannya Republic Act No. 8752 “The Antidumping Act of 1999”.
6
Ibid., hal.30.
(20)
diperlukan. Disamping itu, hal yang tidak kalah pentingnya adalah meningkatkan kualitas sumber daya manusia, khususnya pemahaman di kalangan pelaku ekonomi dan aparatur penyelenggara negara terhadap keseluruhan persetujuan serta berbagai hambatan dan tantangan yang melingkupinya.
Bagi Indonesia dan Filipina dengan diratifikasinya perjanjian pembentukan GATT-WTO mempunyai akibat hukum ekstern dan intern. Akibat hukum eksternnya, dengan penandatangan perjanjian tersebut Indonesia dan Filipina mempunyai kewajiban untuk mematuhi segala ketentuan yang diatur dalam GATT-WTO dan peran sertanya dalam perdagangan internasional. Sedangkan akibat hukum internnya, Indonesia dan Filipina harus mampu menyesuaikan peraturan perundang-undangan nasionalnya agar mampu bersaing di pasaran internasional dalam kegiatan ekspor-impor.
Untuk memperoleh manfaat dari globalisasi, maka produk produk dalam negeri harus dapat menembus bukan saja pasar dalam negeri melainkan juga pasar dunia. Oleh karena itu, kebijakan perdagangan bebas yang melancarkan arus barang, jasa, dan produksi mau tidak mau harus mengandalkan produk yang mutu dan harganya bersaing. Bagi beberapa negara masalah-masalah yang dihadapi secara simultan cukup berat. Masalah-masalah tersebut menyangkut persaingan:8
a. Produk dalam negeri terhadap produk impor sesama negara anggota; b. Produk dalam negeri terhadap produk impor non-anggota; dan
c. Produk yang tercakup dalam skema preferensi tarif dengan produk dari pasar global.
(21)
Tindakan persaingan antar pelaku ekonomi mendorong terjadinya persaingan curang, baik dalam bentuk harga maupun bukan harga. Dalam bentuk harga misalnya terjadi diskriminasi harga (dumping). Untuk menghadapi hal ini diperlukan berbagai upaya untuk meningkatkan efisiensi, termasuk perbaikan sistem dan pranata hukum yang mampu mendukung kegiatan ekonomi dan bisnis yang semakin global sifatnya.
Beberapa negara telah melakukan proteksi guna melindungi industri dan pasar domestiknya. Terhadap dumping diberlakukan perangkat hukum Antidumping guna melindungi industri yang bersangkutan dari destruksi pasar karena penjualan barang impor dibawah harga yang semestinya, misalnya masyarakat Eropa melalui perangkat hukum
Antidumping telah menetapkan komisi khusus yang menangani masalah dumping. Pembuktian dumping oleh komisi khusus tersebut meliputi dumping itu sendiri, kerugian (injury), dan kepentingan masyarakat (community interest).9
Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, WTO Antidumping Agreement memberikan kewenangan bagi negara-negara anggota seperti halnya Indonesia dan Filipina dapat menerapkan bea Antidumping sebagai remedi atas tindakan dumping. Indonesia seperti halnya negara-negara anggota WTO lainnya, telah menindaklanjuti kebijakan Antidumping
tersebut ke dalam perundang-undangan nasionalnya. Hal ini dapat dilihat dengan terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) No. 34 Tahun 2011 tentang Tindakan Antidumping, Tindakan Imbalan, dan Tindakan Pengamanan Perdagangan. PP tersebut merupakan implementasi dari ketentuan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement
(22)
Establishing The World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia) dan Pasal 23D Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006.10
Republic Act 8752
Demikian halnya penerapan ketentuan Antidumping di Filipina dapat dilihat dari peraturan perundang-undangan nasionalnya dengan diterbitkannya Administrative Order No. 01 Implementing Rules and Regulations Governing the Imposition of an Antidumping duty under The Antidumping Act of 1999 yang merupakan implementasi dari ketentuan Republic Act 8752 The Antidumping Act of 1999.
Pada dasarnya setiap negara anggota WTO dalam menentukan kebijakan Antidumping
berpedoman pada ketentuan Article VI GATT yang menguraikan kriteria terjadinya
dumping. Pertama, jika harga ekspor dari suatu produk lebih rendah daripada harga perbandingan (comparable price) barang sejenis yang digunakan untuk konsumsi di dalam negeri pengekspor. Kedua, bila tidak terdapat penjualan domestik dari barang sejenis tersebut, maka digunakan perbandingan harga ekspor ke pasar negara ketiga. Ketiga, bila tidak terdapat kriteria pertama dan kedua maka akan diadakan suatu pembentukan harga (constructed price) yang didasarkan pada biaya produksi ditambah suatu jumlah keuntungan (profit) yang wajar.11
Penentuan adanya dumping di Indonesia sebagai implementasi dari ketentuan WTO diatas dirumuskan dalam Pasal 2 PP No. 34 Tahun 2011 tentang Tindakan Antidumping,
10
PP No. 34 Tahun 2011 tentang Tindakan Antidumping, Tindakan Imbalan, dan Tindakan Pengamanan Perdagangan, Pertimbangan huruf a.
(23)
Tindakan Imbalan, dan Tindakan Pengamanan Perdagangan, yaitu apabila harga ekspor dari suatu barang yang diimpor lebih rendah dari nilai normalnya dan menyebabkan kerugian dapat dikenakan Bea Masuk Antidumping.12
Nilai normal dan material injury meskipun secara umum merupakan patokan dasar bagi setiap negara anggota WTO untuk menentukan terjadinya dumping, namun dalam menentukan nilai normal dan material injury tersebut terdapat perbedaan di setiap negara. Hal ini disebabkan karena masalah tersebut merupakan substansi di bidang rules making, dimana setiap negara memiliki kewenangan untuk membuat perundang-undangan nasionalnya, dengan menyesuaikannya terhadap keadaan negara itu sendiri.
Berdasarkan hal tersebut, tampak bahwa pengertian dumping sering diekspresikan sebagai penjualan produk-produk untuk ekspor pada harga yang lebih rendah daripada nilai normal. Nilai normal dalam arti harga untuk produk-produk yang sama yang dijual di negara sendiri atau pasar pengekspor. Dengan demikian, nilai normal dan terjadinya kerugian (material injury) merupakan patokan untuk dapat menentukan terjadinya dumping.
Sebagai contoh terdapatnya perbedaan di setiap negara dalam menentukan terjadinya
dumping, misalnya dalam konteks penentuan harga normal dapat dilihat dari metode yang digunakan, seperti di Amerika Serikat dan Uni Eropa menggunakan metode zeroing, dimana harga penjualan dikurangi harga ekspor merupakan harga normal atau disebut juga margin dumping (batas dumping). Jadi jika batasnya lebih besar daripada nol, maka itu adalah
(24)
dumping.13 Berbeda dengan di Amerika dan Uni Eropa, misalnya di Filipina tidak menggunakan metode zeroing14 dalam menghitung margin dumping, tetapi menggunakan metode penyesuaian, yaitu harga normal dikurangi harga ekspor dibagi harga ekspor, hasilnya tersebut merupakan margin dumping.15 Di Indonesia sendiri dalam menentukan margin dumping ditentukan dengan dua cara, yaitu normal value berdasarkan harga dalam negeri dan normal value berdasarkan constructed value.16
Penelitian tentang kebijakan Antidumping dalam perdagangan internasional sebagaimana yang akan dilakukan melalui penelitian tesis ini menjadi penting karena beberapa alasan: Pertama, Indonesia adalah negara anggota WTO yang telah meratifikasi seluruh kesepakatan-kesepakatan WTO, termasuk didalamnya Antidumping Agreement.
Ratifikasi ini mengakibatkan lahirnya kewajiban bagi Indonesia untuk menyesuaikan peraturan perundang-undangan nasional dengan kesepakatan WTO yang telah diratifikasi dan menjamin bahwa perundang-undangan nasional tersebut akan berjalan secara efektif.
Berdasarkan gambaran tersebut maka dapat disimpulkan terdapat perbedaan di setiap negara dalam hal menentukan terjadinya dumping.
13
14
Metode Zeroing ini tidak lagi boleh dipergunakan sejak Perjanjian Agreement GATT/WTO di tanda tangani. Keterangan ini di peroleh dari hasil wawancara dengan Sdr. Duma Situmorang Staff Penyelidikan Antidumping dan Subsidi merupakan Pejabat yang ditunjuk oleh Ketua Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) yang bersedia menyediakan waktunya dalam melakukan penelitian di Kementrian Perdagangan Republik Indonesia di gedung Komite Anti Dumping Indonesia pada hari Selasa tanggal 16 April 2013.
15
Republic Act 8752 The Anti-Dumping Act of 1999, section 11.
16
Kementrian Perdagangan Republik Indonesia, Formulir dan Panduan Permohonan Penyelidikan Pengenaan Tindakan Antidumping (Jakarta: Komite Antidumping Indonesia Kementrian Perdagangan, 2012) hal.14-15
(25)
Kedua, perbedaan penafsiran terhadap ketentuan Antidumping yang ada dalam GATT-WTO dan penerapan undang-undang masing-masing negara anggota akan menimbulkan permasalahan, sehingga dalam bahasan tulisan ini akan lebih menarik menggunakan metode perbandingan hukum. Dalam hal ini adalah membandingkan kebijakan Antidumping di Indonesia dengan di Filipina yang merupakan sesama Anggota WTO, dan juga merupakan sesama negara anggota di Asia Tenggara (ASEAN) yang sangat berkepentingan dalam rangka meningkatkan ekspornya masing masing, khususnya barang-barang manufaktur.
Ketiga, Filipina sebagai salah satu negara berkembang yang menjadi tujuan pemasaran ekspor dari negara maju pada tahun 1994 telah melakukan proteksi guna melindungi industri dalam negerinya dengan mengeluarkan Undang Undang Antidumping atau yang di kenal dengan Republic Act No. 7843“The Anti-Dumping Act of 1994” yang kemudian di amandemen tahun 1999 menjadi Republic Act No. 8752“The Anti-Dumping Act of 1999”. Berbeda dengan di Indonesia, tidak adanya ketentuan Antidumping yang menyeluruh seperti halnya di negara lain seperti Uni Eropa, Amerika Serikat, dan bahkan di negara-negara Asia Tenggara seperti Filipina, maka bagi Indonesia timbul kesulitan untuk mengadakan tuduhan kepada negara lain yang melakukan dumping ke Indonesia. Oleh karena itu, kebijakan Antidumping Filipina seyogyanya dapat dijadikan sebagai salah satu bahan perbandingan dalam mengatasi permasalahan dumping di Indonesia.
(26)
Keempat, Direktur Pengamanan Perdagangan Direktorat Jenderal Kementerian Perdagangan, Ernawati S. Taufiq pada acara Diseminasi Hambatan Teknis Perdagangan dan Tuduhan Dumping, Subsidi dan Safeguard di Sanur, Bali yang diadakan pada hari Kamis pada tanggal 29 November 2012 menjelaskan, dari 287 kasus (lihat Tabel. 1), yakni sebanyak 233 kasus dumping, tuduhan subsidi 17 kasus dan tindakan safeguard 37 kasus. Secara rinci, dari 26 negara yang menuduh dumping, subsidi dan safeguard (DSS) India tercatat menduduki peringkat pertama yakni sebanyak 29 kasus, disusul Uni Eropa 29 kasus, Amerika Serikat 25 kasus, Australia 21 kasus, Turki 19 kasus, Afrika Selatan 12 kasus, Malaysia 10 kasus, Pakistan 10 kasus, Filipina 10 kasus dan negara lainnya yang kasusnya berjumlah di bawah 10 kasus.17
Tabel 1. Rincian Tuduhan Terhadap Ekspor Indonesia Tahun 1995 s.d. 2010
Status Kasus Jumlah Kasus Kasus Tuduhan
Dumping Subsidi Safeguard
Telah Dihentikan 88 (43,43%) 75 6 7
Telah Dikenakan 87 (43,94%) 71 5 11
Dalam Proses 23 (12,63%) 17 1 5
TOTAL 198 (100%) 163 12 23
Sumber : DPP, Ditjen KPI, DEPDAG, Januari 2010
Tabel 1. ini mendeskripsikan mengenai status kasus dumping, subsidi dan safeguard yang sedang ditangani pada tahun 1995 sampai tahun 2010. Bahwa pada tahun 1995 s.d. 2010 jumlah kasus dumping yang telah dihentikan sebanyak 75 kasus , yang telah dikenakan Bea
17
(27)
Masuk Antidumping sebanyak 71 kasus dan kasus yang masih dalam proses penyelidikan sebanyak 17 kasus.
Tabel 2. Produk Ekspor Indonesia yang Dituduh Dumping Tahun 2009
No. Produk yang Dituduh
Negara Inisisasi Status Kasus 1 Viscose Staple Fiber
Excluding Bamboo Fibre (Baru)
INDIA 19 Maret 2009
Dalam Proses,BMADS US$ (0,217-0,760)/ Kg TMT 5 Agustus 2009
2 Maleic Anhydride (Sunset Review)
MALAYSIA 3 Februari 2009
Dalam Proses 3 Sodium Cyclamate
(Sunset Review) UNI EROPA 10 Maret 2009 Dalam Proses 4 Nucleotide–type
Food Additives
(Baru)
CHINA 24 Maret 2009
Dalam Proses
5 Polyethelene Retail Carriers Bags
(Baru)
USA 20 April 2009
Dalam Proses, BMADS (67,18 – 67,62)% TMT 27 Oktober 2009 6 Phthalic Anhydride
(Baru)
PAKISTAN 20 April 2009
Dalam Proses 7 Methanol (Baru) CHINA 4 Mei
2009
Dalam Proses 8 Sorbitol (sunset
review)
PAKISTAN 16 Juli 2009
Melanjutkan BMAD sebesar 22,26 % (PT. Sorini Agro Asia Corp) dan PT. Sorini Towa tidak dikenakan BMAD, TMT 19 Juli
9 One Side Coated Duplex Board Grey
(Baru)
PAKISTAN 26 Juni 2009
Dalam Proses
10 Obat Nyamuk
(mosquito coil)
(Baru)
PHILIPINA 15 Juli 2009
Dalam Proses
11 Air Condition (AC)
(Baru)
TURKEY 25 Juli 2009
(28)
12 Hydrogen Peroxide
(Baru)
PAKISTAN 31Agustus 2009
Dalam Proses
13 Certain Coated
Paper (Baru)
USA 14 Oktober 2009
Dalam Proses
Sumber: DPP-Depdag, Januari 2010
Tabel 2. ini mendeskripsikan mengenai jenis produk ekspor yang berasal dari Indonesia yang sering dituduh dumping pada tahun 2009. Adapun jenis produk Indonesia yang paling sering dituduh dumping oleh negara negara lain ialah Viscose Staple Fiber Excluding Bamboo Fibre
dengan negara penuduh India yang mulai di selidiki pada 19 maret 2009 dan selama dalam proses penyelidikan di kenakan Bea Masuk Anti Dumping Sementara (BMADS) sebesar US$ (0,217-0,760)/ Kg yang mulai dikenakan pada tanggal 5 Agustus 2009, Maleic Anhydride dengan negara penuduh Malaysia yang mulai diselidiki pada tanggal 3 Februari 2009 dengan status kasus masih dalam proses penyelidikan, Sodium Cyclamate dengan negara penuduh Uni Eropa yang mulai diselidiki pada tanggal 10 Maret 2009 dengan status kasus masih dalam proses penyelidikan, Nucleotide- type food addictive dengan negara penuduh China yang mulai diselidiki pada tanggal 24 Maret 2009 dengan status kasus masih dalam proses penyelidikan, Polyethelene retail Carriers bags dengan negara penuduh USA yang mulai diselidiki pada tanggal 20 April 2009 dengan status kasus masih dalam penyelidikan dan selama masa penyelidikan dikenakan Bea Masuk Anti Dumping Sementara (BMADS) sebanyak 67,18 – 67,62 % pada tanggal 27 Oktober 2009, Phthalic Anhydride dengan negara penuduh Pakistan yang mulai diselidiki pada tanggal 20 April 2009 dengan status kasus masih dalam proses penyelidikan, Methanol dengan negara
(29)
penuduh China yang mulai diselidiki pada tanggal 4 Mei 2009 dengan status kasus masih dalam proses penyelidikan, Sorbitol dengan negara penuduh Pakistan yang mulai diselidiki pada tanggal 16 Juli 2009 dengan status kasus melanjutkan Bea Masuk Anti Dumping sebesar 22,26 % oleh PT Sorini Agro Asia Corp dan PT. Sorini Towa tidak dikenakan Bea Masuk Anti Dumping, pada tanggal 19 Juli 2009, One Side Coated Duplex Board Grey
dengan negara penuduh Pakistan pada tanggal 26 Juni 2009 dengan status kasus masih dalam proses penyelidikan, produk obat nyamuk (mosquito coil) dengan negara penuduh Filipina yang mulai diselidiki pada tanggal 15 Juli 2009 dengan status kasus masih dalam proses penyelidikan, Air Condition dengan negara penuduh Turkey yang mulai diselidiki pada tanggal 31 Agustus 2009 dengan status kasus masih dalam proses penyelidikan
Hydrogen Peroxide dengan negara penuduh Pakistan dengan status kasus masih dalam proses penyelidikan, Certain Coated Paper dengan negara penuduh USA yang mulai diselidiki pada tanggal 14 Oktober 2009 dengan status kasus masih dalam proses penyelidikan.
Tabel 3. Produk Ekspor Indonesia yang sering dituduh
No. Produk Negara Penuduh
1. Chemical Products (Phthalic Anhydride, Sorbitol, etc)
Uni Eropa, Amerika Serikat, India, Turki, India, Pakistan
2. Glass & Glass Products (Clear float glass, glass mirror, etc)
India, Afrika Selatan, Thailand, Australia, Selandia Baru, Philippina 3. Textile and Yarn (Polyester textured yarn,
Acrylic fiber, etc)
India, Kolombia, Uni Eropa
4. Footwear Uni Eropa, Peru, Selandia Baru, Argentina
5. Steel Products (Hot rolled coil, Tube or pipe fitting or iron, etc)
Amerika Serikat, Kanada, Australia, Thailand, Uni Eropa.
(30)
6. Paper & Paper Products (A4 copy Paper, Coated free sheet, etc)
Afrika Selatan, Korea Selatan, India, Malaysia, Australia, Amerika Serikat
7. Plastic dan Rubber (PET, PRCB, Passanger car tires, motorcycles tires, etc)
Argentina, Malaysia, Uni Eropa, USA, Mesir, Turki,
8. Miscellaneous Product (Pocket Lighter, Gypsum Board, etc)
Uni Eropa, Korea Selatan,Malaysia, Afrika Selatan, Selandia Baru, India
Sumber : DPP, Ditjen KPI, DEPDAG, Jan 2010
Tabel 3 . ini mendeskripsikan mengenai jenis produk ekspor yang berasal dari Indonesia yang sering dituduh dumping pada tahun 2010. Adapun produk ekspor yang berasal dari Indonesia yang sering dituduh dumping ialah untuk produk Chemical Products (Phthalic Anhydride, Sorbitol, etc) adapun rincian negara yang sering menuduh Uni Eropa, Amerika Serikat, India, Turki, India, Pakistan. Untuk produk Glass & Glass Products (Clear float glass, glass mirror, etc) adapun rincian negara yang sering menuduh India, Afrika Selatan, Thailand, Australia, Selandia Baru, Philippina. Untuk produk Textile and Yarn (Polyester textured yarn, Acrylic fiber, etc) adapun rincian negara yang sering menuduh India, Kolombia, Uni Eropa. Untuk produk Footwear adapun rincian negara yang sering menuduh Uni Eropa, Peru, Selandia Baru, Argentina. Untuk produk Steel Products (Hot rolled coil, Tube or pipe fitting or iron, etc) adapun rincian negara yang sering menuduh Amerika Serikat, Kanada, Australia, Thailand, Uni Eropa. Untuk produk Paper & Paper Products (A4 copy Paper, Coated free sheet, etc) adapun rincian negara yang sering menuduh ialah Afrika Selatan, Korea Selatan, India, Malaysia, Australia, Amerika Serikat. Untuk produk Plastic dan
Rubber (PET, PRCB, Passanger car tires, motorcycles tires, etc) adapun rincian negara yang sering menuduh Argentina, Malaysia, Uni Eropa, USA, Mesir, Turki,. oleh negara
(31)
Filipina adalah produk kaca dan gelas kaca (glass & Glass Product (clear Float glass, glass mirror,etc). Untuk produk Miscellaneous Product (Pocket Lighter, Gypsum Board, etc)
adapun rincian negara yang sering menuduh Uni Eropa, Korea Selatan,Malaysia, Afrika, Selatan, Selandia Baru, India.
Kelima, pasar Indonesia adalah pasar yang sangat rentan terhadap barang-barang produk dumping. Para importir dari luar negeri menyadari bahwa negara Indonesia adalah pangsa pasar yang besar untuk tujuan pemasaran p roduk-produk ekspor mereka, mengingat jumlah penduduk Indonesia yang besar. Atas pertimbangan itulah para eksportir dari luar negeri memandang pasar Indonesia adalah tempat yang sesuai bagi pemasaran produk-produk mereka, terlebih jika produk-produk tersebut dijual dengan harga dumping untuk mencapai keuntungan yang diharapkan.
Melihat hal-hal tersebut diatas maka pengaturan masalah Antidumping dalam sistem perdagangan multilateral akan semakin penting, terutama bagi negara berkembang, khususnya Indonesia yang sangat berkepentingan dalam rangka meningkatkan ekspor nonmigas seperti barang-barang manufaktur. Kesiapan materi hukum harus diarahkan pada mempersiapkan masyarakat untuk menjadi pelaku ekonomi yang utama, termasuk hubungan-hubungan ekonomi global, sehingga perlu memperhatikan perundang-undangan di luar negeri dalam mengatur berbagai bentuk kerjasama dengan orang, perusahaan, maupun negara asing. Hal ini akan sangat berguna bagi pembangunan dan kebijaksanaan nasional dalam menghadapi perekonomian yang semakin global
(32)
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan gambaran latar belakang diatas, maka rumusan permasalahan yang akan di bahas dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana komparatif yuridis kebijakan Antidumping antara Indonesia dan Filipina dalam menentukan nilai normal (normal value) dalam hal terjadinya dugaan praktek
dumping?
2. Bagaimana komparatif yuridis kebijakan Antidumping antara Indonesia dan Filipina dalam menentukan kerugian material (material injury) dalam hal adanya dugaan
dumping?
3. Bagaimana komparatif yuridis kebijakan Antidumping antara Indonesia dan Filipina mengenai perlindungan terhadap industri dalam negeri (domestic industry) dalam hal terjadinya praktek dumping?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian tesis ini bertujuan :
1. Untuk menganalisa komparatif yuridis kebijakan Antidumping antara Indonesia dan Filipina dalam menentukan nilai normal (normal value) dalam hal terjadinya dugaan praktek dumping.
(33)
2. Untuk menganalisa komparatif yuridis kebijakan Antidumping antara Indonesia dan Filipina dalam menentukan kerugian material (material injury) dalam hal adanya dugaan dumping.
3. Untuk menganalisa komparatif yuridis kebijakan Antidumping antara Indonesia dan Filipina berkenaan dengan perlindungan terhadap industri dalam negeri (domestic industry) dalam hal terjadinya praktek dumping.
D. Manfaat Penelitian
Pada dasarnya manfaat dari penelitian ini dapat dibedakan dalam dua kategori yaitu:
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini di harapkan memberikan manfaat secara teoritis dalam perkembangan ilmu hukum berupa:
a. Memberikan masukan bagi para teorisi atau bagi orang yang ingin memperdalam dan mengembangkan atau menambah wawasan pengetahuan di bidang ilmu hukum khususnya mengenai kebijakan Antidumping.
b. Memberikan masukan pengetahuan baru yang bersifat edukatif. Dengan memberikan gambaran yang lebih baik mengenai sistem hukum serta merupakan alat bantu bagi disiplin-disiplin ilmu lain terutama bagi sosiologi hukum, antropologi hukum.
(34)
d. memberikan masukan bagi perkembangan asas-asas umum hukum dan membantu dalam sumbangan bagi doktrin
e. Memberikan sumbangan pemikiran pada ilmu pengetahuan hukum, khususnya dalam bidang perdagangan internasional
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini di harapkan dapat memberikan manfaat secara praktis dalam perkembangan ilmu hukum berupa:
a. Dapat memberikan sumbangan informasi untuk kepentingan pembentukan undang-undang.
b. Membantu dalam membentuk undang-undang baru. c. Persiapan dalam menyusun undang-undang yang uniform.
d. Memberikan informasi sekaligus sosialisasi kepada masyarakat maupun praktisi hukum dan ekonomi serta lembaga lembaga pemerintah mengenai Antidumping
dalam perdagangan internasional.
e. Memberikan sumbangan informasi kepada masyarakat meningkatkan pemahaman dunia usaha tentang praktek dumping yang di lakukan oleh pengekspor yang akibat dari dumping itu dapat berdampak pada industri dalam negeri.
f. Memberikan sumbangan informasi kepada masyarakat maupun praktisi praktisi hukum mengenai perbedaan-perbedaan serta persamaan-persamaan dengan
(35)
memberi penjelasannya dan meneliti bagaimana berfungsinya hukum dan bagaimana pemecahan yuridisnya di dalam praktek serta faktor-faktor non-hukum mana saja yang mempengaruhinya.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan oleh peneliti di Perpustakaan Universitas Sumatera Utara, diketahui bahwa penelitian dengan judul “Analisis Komparatif Yuridis Kebijakan Antidumping antara Indonesia dan Filipina” belum pernah di teliti sebelumnya. Namun ada beberapa judul tesis yang berkaitan dengan Kebijakan Anti Dumping yang pernah di tulis telah ada dalam penelitian sebelumnya.
Judul tesis mengenai Antidumping pada Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ditulis oleh Rita Herlina dengan judul “Antidumping
Dalam Perdagangan Internasional: Sinkronisasi Peraturan Antidumping Indonesia Terhadap WTO Antidumping Agreement”. Penulisan tesis tersebut membahas mengenai sinkronisasi Peraturan Antidumping Indonesia terhadap peraturan di WTO.
Adapun rumusan permasalahan yang telah di lakukan pada penelitian sebelumnya ialah sebagai berikut:
1. Bagaimana pengaturan Antidumping dalam perdagangan internasional?
2. Bagaimana implementasi kebijakan Antidumping dalam perundang-undangan di Indonesia?
(36)
3. Bagaimana sinkronisasi Antidumping Indonesia dengan ketentuan-ketentuan WTO Anti Dumping Agreement?
Sedangkan rumusan permasalahan pada penulisan tesis ini ialah sebagai berikut:
1. Bagaimana komparatif yuridis kebijakan Antidumping antara Indonesia dan Filipina dalam menentukan nilai normal (normal value) dalam hal terjadinya dugaan praktek
dumping?
2. Bagaimana komparatif yuridis kebijakan Antidumping antara Indonesia dan Filipina dalam menentukan kerugian material (material injury) dalam hal adanya dugaan
dumping?
3. Bagaimana komparatif yuridis kebijakan Antidumping antara Indonesia dan Filipina mengenai perlindungan terhadap industri dalam negri (domestic industry) dalam hal terjadinya praktek dumping?
Penelitian yang telah dilakukan sebelumnya tersebut tentu sangat berbeda dengan penelitian baik dalam pendekatan topik penelitian yang penulis tulis, baik dalam pendekatan topik penelitian maupun perumusan masalahnya. Sehingga penulisan
Penulis bertanggung jawab sepenuhnya apabila dikemudian hari dapat dibuktikan bahwa terdapat unsur plagiat dalam penelitian ini dengan penelitian yang telah ada sebelumnya.
penelitian ini dapat dikatakan asli dan keaslian secara akademis keilmuan dapat dipertanggung jawabkan.
(37)
F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori
Pada perkembangannya, dalam kegiatan pertukaran barang dan jasa, setiap negara menghendaki adanya pasar bebas atau yang sering di kenal dengan perdagangan bebas. Perdagangan bebas dapat didefinisikan sebagai tidak adanya hambatan buatan (hambatan yang diterapkan pemerintah) dalam perdagangan antar individual-individual dan perusahaan-perusahaan yang berada di negara yang berbeda.18
Istilah perdagangan bebas pertama kali di perkenalkan oleh seorang ahli ekonomi asal Inggris yang bernama Adam Smith dalam karyanya yang berjudul “The Wealth of Nations” .
19
Menurut Adam Smith pasar bebas merupakan penerapan konsep tatanan kosmis yang harmonis dalam bidang ekonomi. Pasar bebas merupakan panggung sosial-ekonomi satu-satunya yang memungkinkan keadilan dapat diwujudkan. Karena itu dapat dikatakan bahwa pasar bebas adalah perwujudan dari apa yang disebut Smith sebagai sistem kebebasan kodrati dan keadilan.20
Lebih jauh Smith berusaha mendeskripsikan konsepnya mengenai kebebasan itu adalah sebagai berikut:
18 Muhzamal N., Serba-serbi Perdagangan Bebas, Buletin Departemen Perdagagan Indonesia Edisi - 03/KPI/2011, hal.13
19
Ibid., hal.15
20
Adam, Smith dalam A. Sonny Keraf. Pasar Bebas Keadilan dan Peran Pemerintah – telaah atas Etika Politik Ekonomi Adam Smith, (Jakarta:Penerbit Kanisius.1996) hal.197
(38)
“…….jika semua sistem preferensi dan hambatan…. dihapus sama sekali, maka akan terciptalah sistem kebebasan kodrati yang jelas dan sederhana sebagaimana adanya. Setiap orang sejauh tidak melanggar hukum-hukum keadilan, dibiarkan bebas sepenuhnya untuk mengejar kepentingannya sesuai dengan caranya sendiri, dan untuk membawa industri dan modalnya dalam persaingan dengan industri dan modal dari orang lain, atau dari kelompok lainnya. Dalam arti kata smith memahami kebebasan manusia dalam pengertian negatif dan positif.21
Dari pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa Smith membedakan makna kebebasan itu menjadi kebebasan negatif dan kebebasan positif. Kebebasan negatif dalam teori Smith mengacu pada tidak adanya campur tangan atau hambatan dari luar, khususnya dalam bentuk campur tangan negara.22 Sedangkan kebebasan positif dalam teori Smith mengacu pada suatu ajaran bahwa individu harus dibiarkan untuk melakukan apa saja yang mereka kehendaki sesuai dengan apa yang dianggapnya paling baik. Dalam maknanya yang positif, kebebasan berarti kemampuan setiap pribadi untuk mewujudkan apa yang diinginkannya tanpa merugikan orang lain.23
Seperti yang telah diuraikan pada paragraf paragraf sebelumnya, Adam Smith dalam teori pasar bebasnya mengemukakan suatu pandangan yang pada hakikatnya menyatakan bahwa kegiatan individu dalam perekonomian tidak perlu diatur oleh pemerintah. Menurutnya apabila setiap individu dalam masyarakat diberi kebebasan untuk melakukan kegiatan ekonomi yang diingini mereka, maka kebebasan ini akan mewujudkan efisiensi yang tinggi dalam kegiatan ekonomi negara dan dalam jangka panjang kebebasan tersebut akan mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang lebih efisien. Adam Smith juga berpendapat
21
Ibid., hal. 135
22
Ibid., hal. 136
(39)
campur tangan pemerintah yang aktif dalam mempengaruhi kegiatan ekonomi akan semakin mengurangi efisiensi kegiatan ekonomi.24
Pada dasarnya sasaran utama dari perdagangan bebas ini untuk menciptakan iklim perdagangan internasional yang kompetitif dimana didalam pasar bebas ini intervensi pemerintah dalam kegiatan perekonomian sebisa mungkin di minimalisir.
25
Pada dasarnya ada tiga hal yang mendasar dari ideologi pasar bebas ini yakni
Kehidupan, Kebebasan dan Hak Milik
Dengan kata lain, sistem pasar bebas mencita-citakan suatu masyarakat yang bebas, dicirikan oleh kebebasan berpikir bagi para individu. sejauh yang diketahui, secara tradisional Smith memang dikenal sebagai pendukung utama Laissez–faire atau pasar bebas.
)26 dimana dalam hal ini setiap orang memiliki kesempatan yang sama (Hold the Basic Equality of All Human Being).27
24
Sukirno, Sadono. Mikro ekonomi teori pengantar, (Jakarta: Rajawali Pers. 2009) hal.394.
Sebagai sebuah hak, menurut Smith kebebasan adalah aspek fundamental keadilan. Salah satu aspek dari keadilan, kebebasan dibatasi oleh prinsip keadilan dimana dalam konteks ini tidak merugikan orang lain. Ini berarti Smith sama sekali tidak membela kebebasan absolut. Smith memaknai kebebasan kodrati itu sebagai kemampuan untuk
25
Banjarsari, Yani Mulia, “Keterkaitan Hukum Internasional dalam Penerapan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas dengan Perdagangan Internasional”, Buletin Departemen Perdagangan Indonesia Edisi - 53/KPI/2008
26
Sukarna. Ideologi :Suatu Studi Ilmu Politik. (Bandung: Penerbit Alumni, 1981) hal.149
(40)
melakukan apa saja yang dikehendakinya. Akan tetapi kebebasan itu di bawah kendali aturan keadilan dan bukan pasar bebas yang tanpa kontrol.28
Pada perkembangannya dalam sistem pasar bebas, pemerintah di harapkan hanya mengamati kegiatan perekonomian dan menjaga agar sistem pasar bebas dapat berjalan baik serta menjamin tidak ada orang yang haknya dilanggar, tanpa perlu banyak melakukan intervensi di dalam kegiatan perekonomian tersebut atau biasa di sebut campur tangan yang minimal saja. Dengan kata lain, peran utama pemerintah dalam pasar bebas itu adalah mencegah terjadinya anarki dan kekacauan politik, serta berperan secara efektif untuk menegakkan keadilan secara tidak memihak, sama rata dan konsekuen, dengan demikian ada kepastian dan jaminan atas hak dan kebebasan setiap pelaku ekonomi.
29
Prinsip pasar bebas yang dianut oleh Adam Smith ini kemudian di kembangkan oleh John Rawls seorang filsuf di bidang hukum yang terkenal pada abad ke-20 dalam bukunya yang berjudul "Teori Tentang Keadilan" (dalam Bahasa Inggris A Theory of Justice)
30
"….Prinsip yang pertama dinamakan prinsip kebebasan. Prinsip ini menyatakan bahwa setiap orang berhak mempunyai kebebasan yang terbesar sepanjang ia tidak menyakiti orang lain. Tegasnya menurut prinsip kebebasan ini, setiap orang harus diberi kebabasan memilih, menjadi pejabat, kebebasan berbicara dan berfikir, kebebasan memiliki kekayaan, kebebasan dari penangkapan tanpa alasan, dan sebagainya. Prinsip keadilan kedua, yang akan dibenarkan oleh semua orang yang fair, adalah bahwa ketidaksamaan sosial dan ekonomi, harus menolong seluruh masyarakat serta pejabat menurutnya ada dua prinsip dasar dari keadilan dapat dilihat:
28
Adam, Smith dalam. A. Sonny Keraf. Op. cit, hal. 141
29Ibid,
hal.211
(41)
tinggi harus terbuka bagi semuanya. Tegasnya, ketidaksamaan sosial dan ekonomi, dianggap tidak ada kecuali jika ketidaksamaan ini menolong seluruh masyarakat.…" 31 Dari pembagian teori keadilan yang dikemukakan oleh John Rawls diatas dapat disimpulkan bahwa untuk mewujudkan keadilan dalam masyarakat, setiap orang mempunyai hak yang sama untuk kaya, bukan hak untuk memiliki kekayaan yang sama.32
Pada prakteknya untuk mewujudkan keadilan dalam perdagangan bebas tersebut menimbulkan semakin terbukanya peluang setiap orang dalam kegiatan perekonomian dan akan menjadi tidak terkendali. Ketidak terkendalian itu dapat dilihat dari terdapatnya praktik praktik curang yang dilakukan oleh para pelaku kegiatan ekonomi, maka disinilah letak peran pemerintah dalam menciptakan iklim perekonomian yang kondusif dimana pemerintah berperan hanya sebagai stabilitator dalam kegiatan perekonomian dari praktik praktik dagang yang curang.
Teori keadilan yang dikemukakan oleh John Rawls ini sesuai dengan tujuan hukum itu sendiri yaitu keadilan dimana setiap orang dapat melakukan kegiatan ekonomi sepanjang tidak merugikan orang lain. Teori inilah yang akan di gunakan sebagai pisau analisis dalam penelitian ini.
Lahirnya WTO menjanjikan harapan akan masa depan perdagangan internasional untuk melakukan kegiatan perdagangan internasional dalam suatu koridor hukum yang mengusung
31
Jhon Rawls dalam Achmad Ali., Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicial Prudence) termasuk Interpretasi Undang-undang (Legisprudence), (Jakarta: Penerbit Kencana, 2009) hal. 281-282
(42)
prinsip prinsip yang adil dan fair. 33Adapun prinsip – prinsip hukum dari perdagangan internasional yang di atur dalam GATT/WTO, untuk mencapai tujuannya, GATT berpedoman pada prinsip prinsip sebagai berikut: a) Prinsip Most Favoured Nation, b) Prinsip National Treatment, c) Prinsip Larangan Restriksi (Pembatasan) Kuantitatif, dan d) Prinsip Perlindungan Melalui Tariff. 34
Prinsip Most Favoured Nation (MFN Principle) ini termuat dalam pasal 1 GATT. Prinsip ini merupakan prinsip yang paling dasar dalam GATT. Prinsip ini menyatakan bahwa suatu kebijakan perdagangan harus dilaksanakan atas dasar nondiskriminatif. Menurut prinsip ini, semua negara anggota terikat untuk memberikan negara-negara lainnya perlakuan yang sama dalam pelaksanaan dan kebijakan impor dan ekspor serta yang menyangkut biaya biaya lainnya.
Prinsip National Treatment terdapat dalam pasal III GATT. Menurut prinsip ini, produk dari suatu negara yang diimpor kedalam suatu negara harus diperlakukan sama seperti halnya produk dalam negeri. Prinsip ini sifatnya berlaku luas. Prinsip ini juga berlaku terhadap semua macam pajak dan pungutan-pungutan lainnya.
Prinsip Larangan Restriksi (Pembatasan) Kuantitatif terdapat dalam pasal IX GATT, terhadap ekspor atau impor dalam bentuk apapun (misalnya penetapan kuota impor atau ekspor, restriksi penggunaan lisensi impor atau ekspor, pengawasan pembayaran produk produk impor atau ekspor) pada umumnya dilarang.
33
Christophorus Barutu, Ketentuan Antidumping, Subsidi Dan Tindakan Pengamanan (Safeguard) Dalam GATT Dan WTO, (Bandung: Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, 2007) hal. 30
(43)
Prinsip perlindungan melalui tariff, Pada prinsipnya GATT hanya memperkenankan tindakan proteksi terhadap industri domestiknya melalui tariff (menaikkan tingkat tariff bea masuk) dan tidak melalui upaya upaya perdagangan lainnya (non tariff commercial measures). Dalam hal ini suatu negara di perkenankan melindungi industri dalam negerinya melalui tariff karena di pandang negaralah sumber kedaulatan dalam negara. Dari itu negara (dalam arti Gouverment = Pemerintah) di anggap mempunyai hak yang tidak terbatas terhadap life, liberty dan properity dari warganya. 35
Namun demikian prinsip perlindungan tariff ini tetap tunduk pada ketentuan ketentuan GATT. Hal ini di sebabkan karena komitmen suatu negara atas suatu tariff, oleh karena itu negara tersebut tidak dapat semena mena menaikkan tariff yang telah ia sepakati, kecuali diikuti dengan negosiasi mengenai pemberian kompensasi dengan mitra mitra dagangnya.
Dalam perkembangannya, praktik praktik dalam perdagangan internasional, dumping
itu melanggar prinsip prinsip dalam aturan GATT/ WTO dimana pihak eksportir menjual harga lebih murah ke pasar luar negeri di bandingkan dengan pasar dalam negerinya dan akibat praktek dagang yang tidak adil tersebut dapat memberikan dampak negatif dengan matinya industri dalam negeri pengimpor sehingga mengurangi kesempatan seseorang bersaing dalam kegiatan perekonomian tersebut. Pada perkembangannya, kebijakan
Antidumping itu dalam prakteknya sering di gunakan oleh suatu negara sebagai instrument untuk memproteksi industri dalam negerinya terhadap praktek dagang curang yang dilakukan oleh pihak asing yang dapat mematikan industri dalam negerinya. Kebijakan
(44)
Antidumping yang di gunakan sebagai instrument itu di karenakan negara memiliki kekuasaan penuh dalam menegakkan keadilan dan memakmurkan rakyatnya dalam rangka melindungi industri dalam negerinya dari praktek dagang curang tersebut.
2. Kerangka Konsepsi
Didalam penulisan tesis ini digunakan beberapa istilah sebagai landasan konsepsional untuk menghindari kesalahfahaman mengenai definisi atau pengertian serta istilah yang di gunakan adalah sebagai berikut:
1. Dumping adalah praktik dagang yang dilakukan pengekspor dengan menjual komoditi di pasaran internasional dengan harga kurang dari nilai yang wajar atau lebih rendah daripada harga barang tersebut di negerinya sendiri atau daripada harga jual kepada negara lain, pada umumnya, praktik ini dinilai tidak adil karena dapat merusak pasar dan merugikan produsen pesaing di negara pengimpor.36
2. Tindakan Antidumping adalah tindakan yang diambil pemerintah berupa pengenaan bea masuk Antidumping terhadap barang dumping.37
3. Tindakan Pengamanan Perdagangan, yang selanjutnya disebut Tindakan Pengamanan, adalah tindakan yang diambil pemerintah untuk memulihkan kerugian serius atau mencegah ancaman kerugian serius yang diderita oleh industri dalam
36
Erman Rajagukguk, Butir-Butir Hukum Ekonomi, Cetakan Pertama, (Jakarta: Lembaga Studi Hukum dan Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011), hlm. 32
37
(45)
negeri sebagai akibat dari lonjakan jumlah barang impor baik secara absolut maupun relatif terhadap barang sejenis atau barang yang secara langsung bersaing.38
4. Barang dumping adalah barang yang diimpor dengan tingkat harga ekspor yang lebih rendah dari nilai normalnya di negara pengekspor.39
5. Harga ekspor adalah harga yang sebenarnya dibayar atau akan dibayar untuk barang yang diekspor ke daerah pabean Indonesia.40
6. Nilai normal adalah harga yang sebenarnya dibayar atau akan dibayar untuk barang sejenis dalam perdagangan pada umumnya di pasar domestik negara pengekspor untuk tujuan konsumsi.41
7. Marjin dumping adalah selisih antara nilai normal dengan harga ekspor dari barang
dumping.42
8. Barang sejenis adalah barang produksi dalam negeri yang identik atau sama dalam segala hal dengan barang impor atau barang yang memiliki karakteristik menyerupai barang yang diimpor.43
9. Kuota adalah pembatasan jumlah barang oleh pemerintah yang dapat diimpor.44 10.Kerugian, dalam hal tindakan Antidumping, adalah:45
38
Ibid., Bab 1Pasal 1 (3)
39
Ibid., Bab 1Pasal 1 (4)
40
Ibid., Bab 1Pasal 1 (5)
41
Ibid., Bab 1Pasal 1 (6)
42
Ibid., Bab 1Pasal 1 (7)
43
Ibid., Bab 1Pasal 1 (10)
44
Ibid., Bab 1Pasal 1 (12)
45
(46)
11.Kerugian serius adalah kerugian menyeluruh yang signifikan yang diderita oleh industri dalam negeri.46
12.Ancaman kerugian serius adalah kerugian serius yang jelas akan terjadi dalam waktu dekat pada industri dalam negeri yang penetapannya didasarkan atas fakta-fakta, bukan didasarkan pada tuduhan, dugaan, atau perkiraan.47
13.Industri dalam negeri, dalam hal tindakan Antidumping atau tindakan imbalan, adalah produsen dalam negri secara keseluruhan dari barang sejenis atau yang secara kumulatif produksinya merupakan proporsi yang besar dari keseluruhan produksi barang sejenis, tidak termasuk:48
a) Produsen dalam negeri barang sejenis yang terafiliasi dengan eksportir, eksportir produsen, atau importir barang dumping atau barang yang mengandung subsidi; dan
b) Importir barang dumping atau barang yang mengandung subsidi.
46
Ibid., Bab 1Pasal 1 (15)
47
Ibid., Bab 1Pasal 1 (16)
48
Ibid., Bab 1Pasal 1 (17)
a) kerugian material yang telah terjadi terhadap industri dalam negeri;
b) ancaman terjadinya kerugian materiel terhadap industri dalam negeri; atau; c) terhalangnya pengembangan industri barang sejenis di dalam negeri.
(47)
14.Tindakan Sementara adalah tindakan yang diambil untuk mencegah berlanjutnya kerugian dalam masa penyelidikan berupa pengenaan Bea Masuk Antidumping
Sementara atau Bea Masuk Imbalan Sementara.49
15.Bea Masuk adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap barang yang diimpor.50 16.Bea masuk Antidumping adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap barang
dumping yang menyebabkan kerugian.51
17.Bea masuk Antidumping Sementara adalah pungutan negara yang dikenakan pada masa penyelidikan terhadap barang dumping yang menyebabkan kerugian berdasarkan bukti permulaan yang cukup.52
18.Barang yang diselidiki, dalam hal Bea Masuk Antidumping dan Bea Masuk Imbalan, adalah barang impor yang yang menjadi obyek penyelidikan Antidumping atau barang impor yang diduga mengandung subsidi yang dinyatakan dengan uraian dan spesifikasi barang serta nomor pos tarif sesuai buku tariff bea masuk Indonesia.53 19.Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
perdagangan. 54
49
Ibid., Bab 1Pasal 1 (19)
50
Ibid., Bab 1Pasal 1 (20)
51
Ibid., Bab 1Pasal 1 (21)
52
Ibid., Bab 1Pasal 1 (22)
53
Ibid., Bab 1Pasal 1 (26)
54
(48)
20.Komite Antidumping Indonesia, yang selanjutnya disingkat KADI, adalah komite yang bertugas untuk melaksanakan penyelidikan dalam rangka tindakan
Antidumping dan tindakan imbalan.55
Sedangkan definisi menurut kebijakan Antidumping di Filipina diantaranya adalah sebagai berikut:
a) “Determination of Material Injury or Threat Thereof. - The presence and extent of material injury to the domestic industry, as a result of the dumped imports shall be determined on the basis of positive evidence and shall require an objective examination of,”56 (definisi kerugian materil atau ancaman kerugian – adanya kerugian materiel yang dialami oleh industri dalam negeri, sebagai akibat dari adanya dumping oleh produk produk import berdasarkan bukti positif dan membutuhkan pengujian secara objektif) [terjemahan bebas oleh penulis]
b) “Agricultural Product” refers to a product classified under chapters 1 to 24 of the Tariff and Customs Code of the Philipines, including those under the Specific tariff lines listed in annex A.”57(“Produk Pertanian” mengacu pada produk yang telah di klasifikasikan pada chapter 1 sampai chapter 24 undang undang kepabeanan Filipin, termasuk didalamnya pajak untuk produk produk yang telah di spesifikkan pada annex A) [terjemahan bebas oleh penulis]
c) "Anti-Dumping Duty" refers to a special duty imposed on the importation of a product into the Philippines at less than its normal value when destined for domestic consumption in the country of export or origin, it being the difference between the export price and the normal value of such product.”58 (“Tindakan
Antidumping” merupakan tindakan yang di ambil oleh pemerintah terhadap produk produk import yang masuk ke Filipina dimana harga dari produk tersebut kurang dari nilai normal dan produk tersebut di konsumsi di negara pengekspor atau negara asal, dimana terdapat perbedaan harga antara harga export dan nilai normal untuk barang barang sejenis.) [terjemahan bebas oleh penulis]
55
Ibid., Bab 1Pasal 1 (29)
56
Republict Act No. 8752 The Anti-Dumping of Act 1999 Part 2 (i)
57Administrative order No.01 Implementing Rules and Regulations Governing the Imposition of an Anti- Dumping Duty under Republict of Act 8752. Section 2 Part a
(1)
Antidumping. Dengan menempatkan dasar hukum Antidumping pada Undang Undang Kepabeanan berarti kebijakan Antidumping di Indonesia berada di bawah lingkup Kepabeanan. Pada dasarnya kebijakan Antidumping berbeda dengan ruang lingkup materi Kepabeanan, walaupun pelaksanaannya (Pemungutan Bea Masuk Antidumping) sama sama di lakukan dengan memungut bea masuk Antidumping. B. SARAN
1. Sehubungan dengan perhitungan ”nilai normal” adapun saran yang dapat diberikan ialah Pertama, Kebijakan Antidumping di Indonesia hendaknya menyantumkan perhitungan harga ekspor berdasarkan F.O.B. atau C.I.F seperti halnya dengan kebijakan Antidumping di Filipina yang telah membatasi perhitungan harga ekspor berdasarkan F.O.B. alangkah baiknya kebijakan Antidumping di Indonesia mengatur lebih rinci mengenai bagaimana kalau harga ekspor tidak dapat di hitung berdasarkan harga eks-faktori dan F.O.B seperti yang diatur dalam kebijakan Antidumping di Filipina. Kedua, alangkah baiknya kebijakan Antidumping di Indonesia dalam hal menentukan nilai normal mengatur faktor faktor lain yang dapat menyebabkan tidak dapatnya melakukan perhitungan harga normal disebabkan karena faktor faktor nilai mata uang.
2. Sehubungan dengan pengertian ”Kerugian Industri Dalam Negeri” (Material Injury) alangkah baiknya di dalam Peraturan Pemerintah itu memuat lebih terperinci mengenai kebijakan Antidumping di Indonesia mengatur mengenai produsen yang
(2)
memiliki hubungan istimewa yang harus di kecualikan dalam penentuan industri dalam negeri. Artinya bahwa produsen yang memiliki hubungan istimewa dengan pengekspor atau produsen yang mengekspor barang tidak dapat dikelompokkan ke dalam industri dalam negeri
3. Untuk mengantisipasi praktek praktek dumping akhir akhir ini, peraturan perundang undangan nasional Indonesia yang sudah mengacu pada ketentuan ketentuan umum GATT WTO, masih sangat dirasakan perlunya pengaturan secara khusus tentang peraturan perundang undangan tentang Antidumping yang baru karena harus disadari bahwa keberadaan perangkat hukum Antidumping yang diatur dalam Undang Undang No. 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan dan Undang Undang No. 17 Tahun 2006 belum sepenuhnya dapat mengantisipasi praktek praktek dumping yang marak terjadi belakangan ini dan dirasakan sangat lemah untuk dijadikan sebagai instrumen guna melindungi industri dalam negeri akibat adanya praktik praktik dumping oleh negara lain maupun sebagai instrumen hukum guna menghadapi tuduhan tuduhan dumping dari luar negeri. Alangkah baiknya apabila Pemerintah Indonesia membuat peraturan tersendiri mengenai Antidumping seperti halnya di negara Filipina.
(3)
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Adolf, Huala, Hukum Perdagangan Internasional, Bandung: Badan Penerbit Iblam, 2005. A F. Erawati dan J.S Badudu. Kamus Hukum Ekonomi Inggris-Indonesia,Jakarta: Proyek
Elips, 1996.
Agoes Moerjono., Melangkah Menuju Ekspor- Suatu Petunjuk Praktis. Jakarta : lembaga pengembangan perbankan Indonesia institute Bankir Indonesia, 1993.
Ali, Achmad, Menguak Teori Hukum (legal Theory) dan Teori Peradilan (judicial Prudence) termasuk Interpretasi Undang-undang (legisprudence), Jakarta: Penerbit Kencana, 2009.
Ali, H. Zainuddin.M.A, Metode Penelitian Hukum, Palu: Sinar Grafika, 2009. Ashshofa, Burhan, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: P.T. Rineka Cipta, 1996.
Ball, A Donald & dkk, Internasional Business – Bisnis Internasional tantangan Persaingan Global, Jakarta : Penerbit Salemba Empat, 2005.
Balvẻ, Faustino, Essential of Economics A Brief of Principles and Policies, United States of America : D. Van Nostrand Company, INC, 1963.
Barutu, Christophorus, Ketentuan Antidumping, Subsidi dan tindakan Pengamanan (Safeguard) dalam GATT dan WTO, Bandung: Penerbit PT Citra Aditya Bakti, 2007. Bertil Ohlin, Interregional and International Trade, United States of America: Harvard
Univesity Press, 1957.
Beth. V. Yarbrough and Rob M. Yarbrough, The world Economy (trade and finance), Third Edition, United States : Harcourct Bracc Coll Publishing, 1994, Hal. 232
Bungin, Burhan, Metode Penelitian Kuantitatif, Jakarta: Kencana, 2009. _____________ Metode Penelitian Kualititatif, Jakarta: Kencana, 2009. Campbel Black, Henry, Black’s Law Dictionary, Abridge 6th
Dennis R. Appleyard and Alfred J. Field, JR, International Economics: Trade Theory and Policy- Second edition, United States of America: Irwin, 1995.
Ed :West Group, 1998.
Echols, John M & Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1975.
(4)
Hartono, Sunaryati, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad ke-20, Bandung: Penerbit P.T. Alumni, 2006.
Kel Kelly. The Case for Legalizing Capitalsm, Auburn Alabama: Ludwig Von Misses Institute under the Creative Commons Attribution License 3.0, 2010.
Keraf, A. Sonny, Pasar Bebas Keadilan & Peran Pemerintah – Telaah atas Etika Politik Ekonomi Adam Smith, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1996.
Lubis, M. Solly, Ilmu Negara, Bandung: Penerbit Alumni, 1975.
Marshall B. Clinard, Coorperate ethics and Crime, The role of middle Management, Sage Publications Beverly Hills: London/New Delhi, 1985.
Nababan.,M. Rudolf, Aspek Teori Penerjemahan dan Pengalihbahasaan, PT. Gramedia:Jakarta, 1997.
Natabaya, H.A.S, Penelitian Hukum tentang aspek Hukum Antidumping dan implikasinya bagi Indonesia, Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman RI,1996.
Oxley,Alan., The Challenge of Free Trade, New York: Harvester Wheatsheaf, 1990.
Rajagukguk, Erman., Butir-butir Hukum Ekonomi, cetakan pertama, Jakarta: Lembaga Studi Hukum dan Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011.
Sobri, Ekonomi internasional:Teori, masalah dan kebijaksanaannya, Yogyakarta: Bagian Penerbitan Fakultas Ekonomi (BPFE) UII, 1986.
Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Universitas Indonesia, 2005.
Sukarmi, Regulasi Antidumping di Bawah Bayang-bayang Pasar Bebas, Jakarta: Sinar Grafika, 2002.
Sukarna, Ideologi : Suatu Studi Ilmu Politik, Bandung: Penerbit Alumni, 1981.
Sukirno, Sadono, Mikro Ekonomi Teori Pengantar, Jakarta: Rajawali Pers. 2009.
Sunggono, Bambang, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: P.T. Raja Grafindo Persada, 1997.
Sood, Muhammad, Hukum Perdagangan Internasional, Jakarta: Rajawali Pers Divisi Buku Perguruan Tinggi P.T. Raja Grafindo Persada, 2011.
Syahyu, Yulianto., Hukum Antidumping di Indonesia- analisis dan panduan praktis, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2004
Suyanto Bagong dan Sutinah, Metode Penelitian Sosial: Berbagai Alternatif Pendekatan, Jakarta: P.T. Raja Grafindo Persada, 2008.
(5)
B. Peraturan Perundang-undangan
Administrative Order No. 01 Implementing Rules and Regulations Governing the Imposition of an Anti-Dumping Duty under R.A. 8752 The Anti-Dumping Act of 1999
Agreement on Implementation of article VI of GATT 1994 (Anti Dumping Agreement). Commission Order No 00-01 Revised Rules and regulations to govern conduct of
investigation by the Tariff Commision under section 301 of the Tariff and customs code of the Philipines, as amandemed by Republic of Act (RA) No 8752
Keputusan Mentri Perindustrian dan Perdagangan No. 261/MPP/Kep/9/1996 Tentang Tata Cara Dan Pemohonan Penyelidikan atas Barang dumping dan atau Barang Mengandung Subsidi
Keputusan Mentri Perindustrian dan Perdagangan No. 427/MPP/Kep/10/2000 Tentang Komite Antidumping Indonesia.
Keputusan Mentri Perindustrian dan Perdagangan No. 216/MPP/Kep/7/2001 tentang Perubahan Keputusan Mentri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 261/MPP/Kep/9/1999 tentang Tata cara dan Persyaratan Permohonan Penyelidikan atas barang dumping dan atau Barang mengandung Subsidi.
Peraturan Pemerintah (PP) No. 34 Tahun 2011 tentang Bea Masuk Antidumping dan Bea Masuk Imbalan, Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI) Tahun 1994 No. 57; UU No.7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing the World Trade
Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia) Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI) Tahun 1994 No.57.
UU No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI) Tahun 1995 No.75.
UU No 17 tahun 2006 tentang perubahan atas UU no. 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan. Republic Act No. 7843 Anti-Dumping Act of 1994.
Republic Act No. 8751, "The Countervailing Act of 1999" and its Implementing Rules and Regulations "Joint Administrative Order No. 02 (2000)".
Republic Act No. 8752 “The Anti-Dumping Act of 1999”
Subsidies and Countervailing Measures : Section 302 of the Tariffs and Customs Code of the Philippines (Juli 1994).
(6)
C. Buletin, Majalah, Diktat, Jurnal, dan Artikel
Banjarsari, Yani Mulia, “Keterkaitan Hukum Internasional dalam Penerapan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas dengan Perdagangan Internasional”, Buletin Departemen Perdagangan Indonesia Edisi - 53/KPI/2008
Muhzamal, “Serba Serbi Perdagangan Bebas”, Buletin Departemen Perdagangan Indonesia Edisi - 03/KPI/2011
Pelawi, Freddy Joseph, “Penyelesaian sengketa WTO dan Indonesia”, Buletin Departemen Perdagangan Indonesia Edisi - IX/KPI/2009
D. Internet
di akses Medan tanggal 24 Februari 2013. di akses Medan tanggal 13 Maret 2013.