Kekuasaan Kaum Militer PENGARUH POLITIK DAN KEKUASAAN YANG BERKAITAN DENGAN

6.2 Kekuasaan Kaum Militer

RSA atau Aparatus Negara Represif memiliki wewenang yang sepenuhnya dipegang oleh institusi publik, dalam hal ini kaum militer. Kaum militer dalam novel Entrok kerap bertindak sewenang-wenang terhadap tokoh-tokoh sipil yang dianggap dapat menghalangi program pemerintah atau sekadar tentara-tentara tersebut mencari uang dengan berbagai macam dalih, seperti halnya untuk keamanan atau lain-lain. Masyarakat sipil dimintai setoran, sumbangan, dan sebagainya. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat melalui kutipan di bawah ini. “Begini kok dibilang seret to Yu, seret apanya?” “Seret ya seret, Ndan. Cuma setoran buat sampeyan aja yang nggak boleh seret, iya to?” “Lha ya iya. Ini kan buat keamanan sampeyan dan keamanan lingkungan. Iya, to? Kalau bukan kami, siapa lagi yang ngatur” Entrok: 52. “Mau apa kalian pagi-pagi ke sini, hah?” Ibu diam tak menjawab. Memang sudah begitu rencananya. Bapak menganggap semua keruwetan ini bersumber dari omongan Ibu. Maka pada pertemuan kali ini, Ibu hanya akan diam dan menyetujui apa yang dikatakan suaminya. “Sebelumnya mohon maaf, Ndan, kalau mengganggu waktu Komandan. Kami minta maaf juga kalau kemarin sudah membuat Komandan kecewa…” “Hasyahh… tidak usah bertele-tele. Apa mau kalian?” “Mohon maaf, Ndan. Kami… anu… kami mau minta keamanan.” Komandan Sumadi tertawa terbahak-bahak. “Benar begitu, Yu?” Ibu mengangguk lalu berkata, “Iya, Ndan. Saya minta tolong, saya cuma mau cari makan. Jangan diganggu sama Pak RT dan orang-orang desa itu.” Entrok: 76-77. Universitas Sumatera Utara Koh Cayadi menggeleng. “Katanya ini peringatan. Mereka minta uang jaminan. Tapi kalau ketahuan sekali lagi aku mau ditangkap.” “Hmm… apa lagi kalau bukan itu. Tentara-tentara itu, apa pun yang mereka lakukan, apa pun yang mereka katakan, intinya ya duit. Selama kita nuruti permintaan mereka, memberikan berapa pun duit yang diminta, beres urusan cari makan dan urusan dagang. Bertahun- tahun orang tidak berani lagi mengganggu urusanku ya karena tentara- tentara itu sudah kusumpal pakai duit.” Entrok: 111. “Tentara makin sering berkeliaran di Singget. Datang ke warung- warung, minta setoran uang keamanan. Kalau tidak, ya awas saja, orang-orang yang sedang main kartu bakal digaruk semua. Yang punya warung bakal bangkrut karena orang-orang tidak mau ke sana lagi.” Entrok: 168. “Tapi setidaknya sampeyan ndak jadi buron, Yu.” “Lha iya, setoranku kenceng. Kalau tidak, aku sudah diusir dari desaku ini.” Entrok: 178-179. “Sumadi mendekatkan mulutnya ke telingaku.” “Sudah, ndak usah kebanyakan omong. Yang penting kowe bebas, to.” “Bisa tak atur kowe pulang sore ini. Yang penting jelas perhitungannya.” Entrok: 182. Tentara sebagai masyarakat politik atau negara yang dilengkapi dengan instrumen-instrumen tertentu, baik pendidikan maupun segala sesuatu yang dapat menimbulkan ketakutan bagi masyarakat sipil. Dalam novel Entrok digambarkan mengenai program-program pemerintah, yang mengharuskan masyarakat sipil untuk selalu patuh dan tunduk terhadap tentara sebagai masyarakat politik atau negara. Adapun program-program tersebut muncul melalui beberapa peristiwa sebagai berikut. Universitas Sumatera Utara 1. Peristiwa Gerakan Tiga Puluh September GESTAPU pada tahun 1965 yang diprakarsai oleh PKI. 2. Pemilihan Umum PEMILU pada tahun 1972. 3. Pemilihan Umum PEMILU pada tahun 1977. 4. Pemilihan Umum PEMILU pada tahun 1982. 5. Pemilihan Umum PEMILU pada tahun 1987. 6. Pembuatan Waduk Kedung Merah Tahun 1987. Semua peristiwa di atas dijadikan momen bagi tentara untuk menunjukkan kekuasaannya terhadap masyarakat sipil, serta untuk memuluskan program-program pemerintah dari segala hambatan maupun gangguan dari masyarakat sipil. Pada tahun 1965 terjadi pemberontakan GESTAPU yang diprakarsai oleh PKI yang berakibat dibubarkannya PKI. Kebijakan pemerintah pada masa itu yang semakin lama cenderung militeristis dan senantiasa bertindak sewenang-wenang adalah merupakan tema politik yang berhubungan dengan perubahan kebijakan tersebut. Oleh sebab itu, dengan mudah setiap orang dilabelisasi PKI dan dijebloskan ke dalam penjara, terutama masyarakat sipil yang menghalangi kebijakan pemerintah tersebut. Hal ini dapat dilihat melalui kutipan berikut ini. “Pak Kyai, sampeyan sudah ikuti kami terus dari tadi. Sampeyan tahu tidak, ada berapa rumah yang masih membangkang?” tanya komandan itu pada Kyai Hasbi, dan dijawab dengan anggukan. “Ada 65, Pak Kyai. Ya, 65. Tahu kan artinya 65? Mereka semua ini orang-orang PKI.” Entrok: 227. Universitas Sumatera Utara Pemilu pada tahun 1972 merupakan pemilu pertama selama Orde Baru berkuasa. Pemerintah tentu mengharapkan partai pemerintah menang. Pemerintah melalui aparatnya paling depan seperti tentara, lurah, camat, dan bupati harus bekerja keras agar partai pemerintah Golkar Partai Pohon Beringin Partai Kuning menjuarai pemilu tersebut dengan coblosan terbanyak dari seluruh masyarakat sipil di tempat praktik sosial berlangsung. Hal ini dapat dilihat pada kutipan sebagai berikut. “Sudah yo, Mbakyu, Kang, sudah beres urusan. Kalian tadi belum nyoblos, to? Sudah, sekarang giliran kalian. Jangan lupa yang gambarnya pohon. Kalian bukan PKI, to?” Entrok: 65. “Bapak terus berbicara tentang pemilu pertama yang diikutinya dan kehebatan Partai Beringin. Bapak tidak ada bedanya dengan tentara- tentara itu.” Entrok: 66. Pemilu kedua diadakan pada tahun 1977. Pada pemilu kedua ini pemerintah tetap ingin agar partainya Partai Golkar Partai Beringin Partai Kuning menang lagi. Partai-partai yang ikut pada pemilu kedua ini tidak sebanyak pemilu pertama. Pemilu kedua ini memiliki peserta tiga partai saja, yaitu Partai Hijau, Partai Kuning, dan Partai Merah. Tentara, lurah, camat, dan bupati juga tetap harus bekerja keras agar Partai Kuning menang lagi. Adapun kedudukan masing-masing partai peserta pemilu tersebut yakni Partai Hijau nomor satu, Partai Kuning nomor dua dan Partai Merah nomor tiga. Untuk lebih jelas dapat dilihat melalui kutipan berikut ini. Universitas Sumatera Utara “Aku juga diajari untuk mengacungkan jari telunjuk dan jari tengah, artinya partaiku nomor dua. Dua jari itu katanya juga menyimbolkan perdamaian. Kebalikannya adalah riga jari, jempol, telunjuk, dan kelingking. Katanya itu tanda metal, orang-orang yang suka bikin onar, orang-orang partai nomor tiga. Aku sudah diwanti-wanti untuk tidak pernah mengacung-acungkan tiga jari itu di mana pun.” Entrok: 86. “Di dekat bilik, tentara-tentara berjaga. Seperti sudah menjadi pakem, halaman balai desa sudah dipersiapkan untuk gambyong. Nanti sore, setelah suara dihitung, gong akan ditabuh dan orang akan gambyongan sampai pagi untuk merayakan kemenangan partai pemerintah.” Entrok: 86. Pemilu ketiga dilaksanakan pada tahun 1982 dan pemilu keempat pada tahun 1987. Partai pemerintah Partai Golkar Partai Beringin Partai Kuning pada pemilu tersebut ditargetkan untuk menang kembali. Meskipun pada pemilu tersebut tentara- tentara tidak terlalu menunjukkan aktivitasnya seperti pada pemilu-pemilu sebelumnya, masyarakat sipil tetap mencoblos partai pemerintah. Sehingga pada pemilu ketiga dan keempat tersebut Partai Beringin menang lagi. Pembangunan Waduk Kedung Merah diawali dengan pembebasan tanah yang dilakukan oleh tentara-tentara, lurah, camat, dan bupati. Mereka saling bekerja sama dan berupaya semaksimal mungkin agar tanah yang akan dibangun oleh pemerintah era orde baru itu akan berjalan dengan baik dan tanpa hambatan dari masyarakat sipil yang memiliki rumah dan tanah di lokasi tersebut. Masyarakat sipil yang berdomisili di desa tersebut sangat khawatir akan tergusurnya mereka dari tempat yang telah memberinya kehidupan turun-temurun. Desa tersebut akan menjadi kolam raksasa atau waduk. Semua masyarakat sipil terus- Universitas Sumatera Utara menerus dipaksa menyingkir, dan para penguasa selalu berdalih bahwa waduk tersebut dibangun untuk mensejahterakan masyarakat sipil tersebut. Hal ini dapat dilihat melalui kutipan di bawah ini. “Pak Kyai, pesantren itu isinya orang-orang agama, to… orang-orang pemerintah semua. Dulu tahun 65 kita sama-sama numpas PKI. Berarti kita sama, to? Berarti Pak Kyai bakal mendukung semua program pemerintah, to? Ini waduk mau dibangun agar semua orang sejahtera. Ajak mereka semua pindah dari sini. Nanti bikin sekolah di tempat yang baru…” Entrok: 225-226. Para warga yang enggan pindah dan masih bertahan di tempat tinggalnya masing-masing yang berada di desa tersebut terdiri dari 65 rumah. Untuk lebih jelas dapat dilihat kutipan sebagai berikut. “Ada 65 rumah di desa ini yang masih berdiri. Pada pemiliknya, seperti Wagimun, orang-orang yang tak lagi memiliki rasa gentar. Mereka meneriakkan segala kata, menggunakan seluruh tenaga, menolak kedatangan orang-orang yang tak dikenal itu. Dalam segala keterbatasan mereka tetap bertahan. Berbagai bangunan umum di desa ini telah dirobohkan. Balai desa, sekolah, gardu, dam masjid besar, semuanya telah rata dengan tanah. Sawah-sawah tak lagi bisa digarap. Orang-orang itu telah membuat patok di seluruh sawah, menjaganya sepanjang hari. Siapa pun tak diizinkan menggarap tanah yang selama puluhan tahun telah menghidupi mereka.” Entrok: 215. Seseorang yang sepertinya komandan pasukan mendekati Wagimun. “Banyak orang asing di sini, Pak?” “Oh… ini teman-teman dari pesantren di Magelang. Mau buat sekolah di sini.” “Sampeyan tidak mengingatkan ke teman-teman sampeyan kalau daerah ini sebentar lagi akan menjadi waduk?” Entrok: 225. Universitas Sumatera Utara Tiba-tiba sekarang mereka menjadi begitu terasing di alam mereka sendiri. Dipaksa menyingkir, meninggalkan tanah tempat puak mereka dikubur dan janin darah daging mereka terlahir. Orang-orang yang punya kuasa dan senjata itu datang begitu saja, mematok tanah-tanah mereka dan berkata, “Segera pergilah atau kau mati tenggelam bersama moyangmu yang sudah terkubur di tanah ini.” Entrok: 214- 215. Representasi situasi negara-masyarakat dalam novel Entrok dijabarkan dengan gamblang oleh Manan 2005: 43-44 dalam bukunya “Gerakan Rakyat Melawan Elite”. Manan menjelaskan bahwa baru sejak awal tahun 1980-an dominasi negara atau tentara terhadap rakyat mulai menurun, namun sebelumnya dominasi tentara tersebut memasuki sendi-sendi birokrasi utama di seluruh Indonesia. Seperti yang dijelaskan oleh Manan di bawah ini: “Kendali birokrasi juga ditempuh dengan proliferasi perwira-perwira ABRI ke semua lini birokrasi, baik di pusat maupun daerah. Sejak Kabinet Pembangunan I tahun 1968 dibentuk, mayoritas departemen dan badan pemerintahan dikepalai oleh perwira ABRI. Begitu juga pos-pos kepala daerah tingkat I dan II. Dalam tahun 1960, hanya beberapa gubernur saja berasal dari ABRI, tetapi di tahun 1968, 68 para gubernur adalah perwira ABRI, dan meningkat menjadi 92 di awal 1970-an. Sedang dalam tahun 1968, 59 dari para bupati adalah perwira ABRI. Agar cengkraman atas birokrasi makin kuat, dibentuk jaringan aparatur intelijen dan keamanan yang ditempatkan dalam setiap bidang birokrasi utama dan setiap ibu kota propinsi. Untuk keperluan ini, dibentuk tiga badan, yaitu: Kopkamtib Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban, Opsus Operasi Khusus, Bineg Badan Intelijen Negara. Strategi ini tidak hanya efektif mengendalikan birokrasi, tetapi juga memunculkan dominasi ABRI yang luas di dalamnya. Baru sejak awal 1980-an dominasi itu mulai menurun. Memasuki dekade ini, perwira-perwira ABRI agak kurang menonjol dalam pemerintahan.” Universitas Sumatera Utara

6.3 Kekuasaan Partai Politik