Berdasarkan pemaparan di atas, maka dapat dilihat bahwa kelompok dominan merupakan kelas sosial atas yang kerap menindas kelompok subaltern sebagai kelas
sosial bawah. Untuk lebih jelas dapat dilihat melalui kutipan sebagai berikut.
“Ahh . . . sudahlah, Yu, kami semua di desa ini kan sudah sama-sama tahu. Siapa to yang nggak tahu Marni Juragan Renten . . .? Semua
tahu. Kami diam saja, karena kami mau mbantu sampeyan. Sampeyan jadi bisa mbangun rumah kayak gini juga karena kami semua. Iya, to?
Apa sampeyan mau mendapat masalah?” kata Pak Lurah. Suaranya yang meninggi memperlihatkan kekesalan.” Entrok: 80.
5.2 Politik dan
Kekuasaan
Superstruktur menurut Gramsci dapat dikelompokkan menjadi dua level struktur utama, yaitu:
1. Masyarakat sipil yang mencakup seluruh aparatus transmisi yang lazim disebut
swasta seperti universitas, sekolah, media massa, gereja dan lain sebagainya. 2.
Masyarakat politik atau negara adalah semua institusi publik yang memegang kekuasaan untuk melaksanakan perintah secara yuridis seperti tentara, polisi,
pengadilan, birokrasi dan pemerintahan. Kedua level struktur ini merepresentasikan dua ranah yang berbeda yaitu
ranah persetujuan dalam masyarakat sipil dan ranah kekuatan dalam masyarakat politik Sugiono, 1999: 35. Hal tersebut dapat dilihat melalui kutipan sebagai
berikut.
Universitas Sumatera Utara
“Surat itu tiba. Surat pemecatan dari rektorat. Amri dipecat sebagai dosen. Aku, Iman, dan Arini dikeluarkan sebagai mahasiswa. Kami
dianggap telah menyebabkan terjadinya kerusuhan. Tak ada sedikit pun yang menyinggung tentang peristiwa di Kali Manggis atau
kematian Mehong. Taufik juga dipecat dari pekerjaannya. Dia dituduh mengarang berita. Kami orang-orang kalah.” Entrok: 161.
Berdasarkan gambaran situasi di atas, maka dapat dilihat bahwa kekuasaan masyarakat politik atau negara yang senantiasa bertindak represif, dan kerap berujung
pada kekalahan masyarakat sipil.
“BRAK Polisi itu menggebrak meja. Semua orang di ruangan itu terkejut, termasuk aku. Apakah omonganku keterlaluan? Tapi
bukankah aku benar? Aku tidak tahu apa-apa, aku meminjamkan kendaraan tanpa dapat uang untuk urusan kampanye, roda empatku
remuk, sekarang malah aku yang diperas.” “Sampeyan jangan sembarangan kalau ngomong Siapa yang meres-
meres? Ini memang aturannya seperti itu. Mau kalian masuk penjara?” “Tidak, Pak, tidak. Bukan begitu maksud istri saya, Pak. Kami ini
nurut pada negara. Kami cuma tidak tahu aturannya saja, kami bodoh, buta huruf.” Entrok: 118.
Berdasarkan percakapan di atas, maka dapat dilihat bahwa masyarakat sipil dalam hal ini Marni dan Teja mengalami kekalahan atas masyarakat politik atau
negara dalam hal ini polisi.
“Kebetulan ini begini, Yu. Aku diutus Pak Camat dan Pak Bupati minta sampeyan ikut membantu kampanye hari Rabu besok.”
“Wah, membantu gimana ya, Pak Lurah? Kalau sumbangan, kemarin sudah saya titipkan sama pamong.”
“Iya, sumbangan sudah saya terima. Tapi ini bukan soal uang kok, Yu. Soal uang, kita semua sudah beres. Begini, Pak Camat dan Pak Bupati
Universitas Sumatera Utara
kan minta orang-orang desa kita ikut arak-arakan keliling Kabupaten, terus nanti siangnya dangdutan di lapangan Singget.”
“Lha terus, maksudnya saya harus ikut arak-arakan atau bagaimana?” “Ndak harus ikut, Yu. Kita cuma mau minta dipinjami mobil sehari
itu. Namanya buat negara, jadi ya hitungannya sumbangan. Bisa to, Yu?” Entrok: 113.
Percakapan di atas menunjukkan bahwa Marni sebagai masyarakat sipil harus mengalah kepada Pak Lurah, Pak Camat, dan Pak Bupati sebagai masyarakat politik
atau negara. Menurut Simon Siswadi, 2010 hegemoni menurut titik awal konsep Gramsci
adalah bahwa suatu kelas dan anggotanya menjalankan kekuasaan terhadap kelas- kelas dibawahnya dengan cara kekerasan dan persuasi. Dalam novel Entrok terlihat
bahwa kelas atas dalam hal ini kaum dominan yaitu Pak Lurah, Pak Camat, dan Pak Bupati sekaligus tentara dan polisi memperlihatkan kekuasaannya dan kekuatannya
terhadap orang-orang kelas bawah atau kelompok subaltern. Ketika pemerintah Orde Baru yang berkuasa secara otoriter dan atas nama pembangunan menggusur tanah dan
rumah rakyat untuk dijadikan waduk. Dalam menyelesaikan pembebasan tanah ini, pemerintah menggunakan kekerasan, kekuasaan dengan menggunakan militer, juga
aparat-aparat lain seperti Pak Lurah, Pak Camat, dan Pak Bupati, apalagi bila menemukan hambatan atau menemukan perlawanan rakyatnya, hal ini tampak jelas
bahwa masyarakat politik atau negara menunjukkan kekuasaannya terhadap masyarakat sipil. Untuk lebih jelas dapat dilihat melalui kutipan sebagai berikut.
Universitas Sumatera Utara
“Mun, sekarang semuanya terserah kowe. Yang jelas, minggu depan ini giliran desamu yang dikeruk. Mesin-mesin keruk akan mengangkat
tubuh kalian semua. Kowe akan mati tertimbun tanah sendiri. Atau kalau untung, bisa saja kalian selamat. Tapi hari itu seluruh pasukan
akan ada di daerah ini. Kalian semua akan tertangkap. Seumur hidup masuk penjara bersama orang-orang PKI itu. Kalian semua sudah jadi
PKI.” “Wagimun tak mengeluarkan kata apa-apa. Dia bahkan tidak
memandang wajah tentara itu. Pandangannya jauh ke depan, ke tempat mesin keruk yang ada di desa seberang.” Entrok: 226-227.
Berdasarkan percakapan di atas dapat dilihat bahwa tentara atau masyarakat politik melakukan perdebatan dengan Wagimun atau masyarakat sipil. Sehingga hal
ini menyebabkan Wagimun tidak dapat bertindak dan berkata apa-apa.
“Segera pindah dari sini sebelum kalian mati tertimbun tanah atau di penjara sampai mati. Kalian telah jadi PKI.”
“Selama tentara-tentara itu hanya bicara, kami hanya diam. Komandan pasukan tahu kami mengikutinya. Dia tak keberatan. Malah seperti
bangga, karena orang-orang asing ini telah melihat bagaimana tentara yang punya kuasa menyampaikan ancaman pada orang-orang desa.”
Entrok: 227.
Berdasarkan gambaran situasi di atas dapat dilihat bahwa politik yang disampaikan tentara tersebut tampak pada tiga baris pertama dari data di atas,
sedangkan selebihnya menunjukkan kekuasaan kepada orang-orang desa tersebut. Hal ini dengan jelas mengungkapkan bahwa masyarakat politik atau negara menunjukkan
kekuasaannya pada masyarakat sipil.
Universitas Sumatera Utara
“Tentara-tentara itu datang. Salah seorang dari mereka berteriak di corong pengeras suara. Masih ada waktu sepuluh menit untuk segera
meninggalkan desa ini. Tak ada yang beranjak. Semua orang berdiri mematung dan mengacungkan tulisan “Jangan Ambil Tanah Kami”.
Sepuluh menit itu habis. Tentara-tentara bergerak ke semua rumah. Menggebuk semua orang yang berdiri di depan rumahnya. Mereka
tetap bertahan, lalu menyerang. Gebukan, pukulan, teriakan, juga tembakan. Anak-anak kecil menangis sambil berlari-lari. Aku melihat
tongkat hitam memukul kepala Wagimun yang berdiri di sebelahku. Aku masih melihat darah keluar dari keningnya, juga tengkuknya. Aku
ingat dia berteriak kesakitan. Tapi aku tak tahu lagi apa yang terjadi setelah itu.” Entrok: 254.
Berdasarkan gambaran situasi di atas dapat dilihat bahwa pemerintah menunjukkan kekuasaannya lewat tentara-tentara yang meneriaki orang-orang desa
agar segera pindah. Akan tetapi, orang-orang desa tetap bertahan. Hal ini ditunjukkan melalui tulisan pada umbul-umbul yang mereka buat. Namun aksi penduduk desa
tersebut tetap tidak meluluhkan hati tentara-tentara itu. Kekuasaan masyarakat politik terhadap masyarakat sipil pada data di atas ditunjukkan melalui penggebukan,
pemukulan, dan penembakan. Hegemoni adalah suatu konsensus dengan persetujuan menggunakan
kepemimpinan politik dan ideologis. Dengan demikian dalam wacana politik kenyataan tersebut sebagai realitas kekuasaan negara dalam masyarakat Patria, Andi
Arief, 2003: 23. Selanjutnya dapat dijelaskan melalui kutipan sebagai berikut. “Orang itu memang tentara. Tapi kita tidak akan mati tenggalam di
sini. Sudah, lupakan apa yang dikatakan orang itu tadi…” “Dor Terdengar tembakan. Gusti Allah Aku berlari meninggalkan
anak-anak itu menghambur ke dalam rumah Wagimun. Amri sudah tergeletak di lantai. Ada darah menggenang di samping tubuhnya.”
Entrok: 230.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan gambaran situasi di atas, maka dapat dilihat bahwa masyarakat sipil dalam hal ini Wagimun dan Amri, merupakan korban dari kekuasaan politik dan
ideologis dari masyarakat politik atau negara.
“Seperti PKI?” Aku tahu orang-orang bekas PKI mendapat ciri di KTP-nya. Mereka tidak akan bisa jadi pegawai. Tidak akan bisa hidup
enak. Selamanya bakal jadi kere. Rahayu mengangguk. “Ya.”
“Lha kowe kan bukan PKI to, Nduk. Buyutmu, mbah-mu, ibu- bapakmu, ndak ada yang PKI. Kowe masih bayi waktu ada geger PKI.
“Nyatanya sekarang ada tanda ini di KTP-ku, Bu.” “Oalah, Nduk… kok begini jadinya nasibmu… salah apa orang tuamu
dulu, Yuk?” Entrok: 275.
Berdasarkan kutipan di atas dapat dilihat bahwa politik digambarkan pada dua baris pertama, lalu kekuasaan pada baris ketiga, sedangkan ideologi digambarkan
pada baris keenam. Maka dapat ditelaah dengan jelas bahwa politik dan kekuasaan berkaitan dengan ideologi. Hal ini menunjukkan bahwa kekuasaan masyarakat politik
atau negara senantiasa berada di atas masyarakat sipil. Menurut Faruk Siswadi, 2010, teori hegemoni Gramsci membuka dimensi
baru dalam studi sosiologis mengenai kesusastraan. Kesusastraan tidak lagi dipandang semata-mata sebagai gejala kedua yang tergantung dan ditentukan oleh
masyarakat kelas sebagai infrastrukturnya, melainkan dipahami sebagai kekuatan dan kultural yang berdiri sendiri, yang mempunyai sistem sendiri meskipun tidak terlepas
dari infrastrukturnya.
Universitas Sumatera Utara
Novel Entrok pada hakikatnya menganut paham seperti di atas yang secara singkat dapat dijelaskan sebagai berikut. Pemerintah Orde Baru yang
mengatasnamakan pembangunan akan membuat Waduk Kedung Merah, yang pembangunannya direncanakan akan melewati tanah pada Desa Singget, yang mau
tidak mau harus digusur. Pembebasan tanah ditempuh pemerintah dengan menggunakan otoriterisasi kaum militer guna melancarkan hambatan atau perlawanan
dari rakyat Desa Singget tersebut. Hal ini adalah suatu tindakan politik-kekuatan dan konsensus, otoritas dan hegemoni, serta kekerasan dan kesopanan.
Universitas Sumatera Utara
BAB VI PENGARUH POLITIK DAN KEKUASAAN YANG BERKAITAN DENGAN