Teori Hegemoni Landasan Teoretis

Bennett Barker, 2009: 8 memaparkan bahwa cultural studies adalah suatu arena interdisipliner di mana perspektif dari disiplin yang berlainan secara selektif dapat digunakan untuk menguji hubungan kebudayaan dengan kekuasaan. Bentuk- bentuk kekuasaan yang dieksplorasi oleh cultural studies beragam, termasuk gender, ras, kelas, kolonialisme, dan lain-lain. Cultural studies berusaha mengeksplorasi hubungan antara bentuk-bentuk kekuasaan ini dan berusaha mengembangkan cara berpikir tentang kebudayaan dan kekuasaan yang dapat dimanfaatkan oleh sejumlah agen dalam upayanya melakukan perubahan. Cultural studies dilihat sebagai situs penting bagi produksi dan reproduksi hubungan sosial dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Storey 2010: 3, elaborasi yang sangat bagus mengenai cara melihat budaya ini barangkali datang dari Stuart Hall, yang menggambarkan budaya pop sebagai sebuah arena konsensus dan resistensi. Budaya pop merupakan tempat di mana hegemoni muncul, dan wilayah di mana hegemoni berlangsung.

2.2.2 Teori Hegemoni

Sugiono 2006: 31 mengemukakan bahwa teori hegemoni Gramsci adalah sebuah teori politik paling penting abad XX. Teori ini dibangun di atas premis pentingnya ide dan tidak mencukupinya kekuatan fisik belaka dalam kontrol sosial politik. Di mata Gramsci, agar yang dikuasai mematuhi penguasa, yang dikuasai tidak hanya harus merasa mempunyai dan menginternalisasi nilai-nilai serta norma penguasa, lebih dari itu mereka juga harus memberi persetujuan atas subordinasi Universitas Sumatera Utara mereka. Inilah yang dimaksud Gramsci dengan hegemoni atau menguasai dengan kepemimpinan moral dan intelektual secara konsensual. Selanjutnya pandangan Gramsci Sugiono, 2006: 34-35 menjelaskan bahwa mengenai pentingnya kepemimpinan kultural ini membuatnya mempertimbangkan kembali konsep “suprastruktur” Marxian. Tetapi bukannya memandang suprastruktur sebagai sebuah epifenomena semata, yakni refleksi semata dari elemen ekonomi sub struktur, ia justru mengkarakterisasi suprastruktur sebagai penting dengan sendirinya. Ia memilah pengertian suprastruktur menjadi “dua level struktur utama”: tingkat pertama ia sebut “masyarakat sipil,” lainnya adalah “masyarakat politik” atau “negara”. Dalam konsepsi Gramsci “masyarakat sipil” mencakup seluruh aparatus transmisi yang lazim disebut “swasta” seperti universitas, sekolah, media massa, gereja dan lain sebagainya. Karena aparatus-aparatus tersebut memainkan peran sangat signifikan dalam membentuk kesadaran massa, maka kemampuan kelompok- kelompok berkuasa dalam melestarikan kontrol sosial dan politiknya atas kelompok- kelompok lain sepenuhnya bergantung pada kemampuannya mengontrol aparatus- aparatus tadi. Yang dimaksud Gramsci dengan “masyarakat politik,” sebaliknya, adalah semua institusi publik yang memegang kekuasaan untuk melaksanakan “perintah”. Termasuk dalam kategori ini, masyarakat politik mengacu pada, antara lain, institusi seperti tentara, polisi, pengadilan, birokrasi dan pemerintah. Dengan kata lain, hal itu menunjuk pada semua institusi yang biasa disebut sebagai negara dan, memang demikian halnya, pada beberapa bagian Prison Notebooks Gramsci mempersamakan masyarakat politik dengan negara. Universitas Sumatera Utara Mengikuti konsepsi di atas, Gramsci Sugiono, 2006: 36 mendefinisikan negara sebagai persamaan dari masyarakat politik plus masyarakat sipil atau memakai rumusannya sendiri: “negara= masyarakat politik + masyarakat sipil, dengan kata lain hegemoni dilindungi oleh baju besi koersi. Patria dan Andi Arief 2003: 32 mengatakan bahwa hegemoni menurut Gramsci merujuk pada pengertian tentang situasi sosial-politik, dalam terminologinya disebut momen dimana filsafat dan praktik sosial masyarakat menyatu dalam keadaan seimbang. Dominasi merupakan konsep dari realitas yang menyebar melalui masyarakat dalam sebuah lembaga dan manifestasi perorangan. Pengaruh dari spirit ini berbentuk moralitas, adat, religi, prinsip-prinsip politik dan semua relasi sosial, terutama dari intelektual. Hegemoni selalu berhubungan dengan penyusunan kekuatan negara sebagai klas diktator. Harjito Siswadi, 2010 menjelaskan bahwa terdapat empat hal yang ditonjolkan dari teori Gramsci dalam bandingannya dengan teori Marx. Pertama, Gramsci berpendapat bahwa di dalam masyarakat selalu terdapat pluralitas ideologi. Kedua, konflik tidak hanya antarkelas, tetapi konflik antara kelompok-kelompok dengan kepentingan-kepentingan yang bersifat global untuk mendapatkan kontrol ideologi dan politik terhadap masyarakat. Ketiga, jika Marx menyebut kelas sosial harus menyadari keberadaan dirinya dan memiliki semangat juang sebagai kelas, Gramsci menyatakan bahwa untuk menjadi kelompok dominan, kelompok harus mewakili kepentingan. Kelompok dominan harus berkoordinasi, memperluas, dan mengembangkan interest-nya dengan kepentingan-kepentingan umum kelompok subaltern. Menurut Loomba Ratna, 2005: 189-190, subaltern merupakan sebutan Universitas Sumatera Utara bagi kolektif yang terdiri atas orang-orang tertindas serta kelompok yang didominasi, dieksploitasi, dan kurang memiliki kesadaran kelas. Selanjutnya Harjito Siswadi, 2010 menjelaskan pandangan Gramsci berikutnya. Keempat, Gramsci berpandangan bahwa seni atau sastra berada dalam superstruktur. Seni diletakkan dalam upaya pembentukan hegemoni dan budaya baru. Seni membawa ideologi atau superstruktur yang kohesi sosialnya dijamin kelompok dominan. Ideologi tersebut merupakan wujud counter-hegemoni hegemoni tandingan atas hegemoni kelas penguasa yang dipertahankan anggapan palsu bahwa kebiasaan dan kekuasaan penguasa merupakan kehendak Tuhan atau produk alam.

2.3 Konsep Pada bagian ini, peneliti akan memaparkan konsep yang digunakan dalam