BAB III METODOLOGI PENELITIAN
III. 1 . Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif yang didasarkan pada penafsiran, dengan konsep- konsep yang umumnya tidak
memberikan angka numerik, seperti etnometodologi atau jenis wawancara tertentu. Metode ini dianggap berdasarkan interpretatif Stokes, 2006: 15. Metode
ini bertujuan untuk menjelaskan fenomena melalui pengumpulan data sedalam- dalamnya serta tidak mengutamakan besarnya populasi atau sampling, karena
yang ditekankan adalah kedalaman kualitas data bukan banyaknya kuantitas data Kriyantono, 2006: 58.
Bentuk dari penelitian ini adalah analisis semiotika. Semiotika merupakan salah satu bagian dari bentuk analisis isi kualitatif. Analisis semiotika dapat
digunakan dalam menganalisis sejumlah besar sistem tanda yang dapat dimanfaatkan pada kajian media. Semiotika merupakan suat pendekatan dalam
mengkaji suatu makna, khususnya yang berhubungan dengan media visual. Proses semiosis tidak terungkap begitu saja. Banyak nilai- nilai yang
dilalui sesuai dengan pengalaman, daya pikir, pandangan dan emosi. Itu semua menjadi pegangan dalam mengungkap tanda- tanda yang dihasilkan oleh media
ini. Film merupakan karya audio dan visual yang di dalam pembuatannya
terdapat banyak aspek yang memiliki tanda. Di dalam sebuah film, teks didukung oleh peragaan langsung para tokohnya. Hal ini memudahkan peneliti untuk dapat
mengkaji makna yang timbul. Penelitian ini menggunakan pendekatan sintagmatik film Christian Metz,
disertai dengan pendekatan pra-ikonografi, ikonografi, dan ikonologi Panofsky. Metz mengelompokkan sinema dalam langage atau diskursus bukan pada langue.
Di mana, Langage merujuk pada sebuah sistem lambang bunyi yang digunakan untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara verbal diantara sesama pemakai
bahasa. Langage memiliki sifat abstrak. universal, sebab langage adalah satu sistem lambang bunyi yang digunakan manusia pada umumnya, bukan manusia
pada suatu tempat atau masa tertentu. Sedangkan Langue merupakan sebuah
Universitas Sumatera Utara
sistem lambang bunyi yang digunakan oleh sekelompok anggota masyarakat tertentu untuk berkomunikasi dan berinteraksi dengan sesamanya. Hal tersebut
dikarenakan sinema tidak memiliki padanan “artikulasi ganda” double articulation. Artinya sinema tidak memiliki padanan fonem sebagai kesatuan
bunyi terkecil dari artikulasi kedua yang digabungkan menjadi morfem atau monem : kesatuan makna terkecil dari artikulasi pertama. Metz berkesimpulan
bahwa sebuah shot lebih berkaitan erat dengan kalimat daripada kata. Menurut Christian Metz, Sinema bukanlah rangkapan dari realitas, melainkan kumpulan
sistem tanda audio- visual, konsep yang tentunya memberikan kemungkinan dalam setiap fenomena estetika film Masak, 2001: 162.
“Sebuah film tidak pernah objektif, ia selalu berkaitan dengan pandangan, “pengadaan” tidak akan pernah mampu
melenyapkan “penyutradaraan”, dia hanya merupakan salah satu bentuk lainnya” Masak, 2001: 167.
Penanda signifier sinematografis memiliki hubungan “motivasi” atau “beralasan” motivation dengan petanda yang tampak jelas melalui hubungan
penanda dengan alam yang dirujuk. Hubungan motivasi ini berada baik pada tingkat denotatif maupun konotatif. Hubungan denotatif yang beralasan ini lazim
disebut analogi karena memiliki persamaan perseptifauditif antara penandapetanda dan referen. Analogi ini merupakan salah satu bentuk dari
motivasi karena konotasi sinematografis juga termasuk didalamnya. Konotasi
sinematografis biasanya bersifat simbolis.
Kamera dapat merekam apa saja yang terletak didepannya. Menurut Metz, yang selalu diutamakan adalah isi tiap “motif” yang difilmkan dalam oposisi
dengan shot sebagai hasil shooting. Seni ini berlangsung terus pada tingkat sekuen dan berbagai shot yang diatur. Pada saat itu pulalah bahasa tingkat umum
langage dalam sinematografis dimulai. Sedangkan sintagmatik menurut Vladimir Propp adalah semacam rantai,
dan pada analisis sintagmatik, teks diperiksa – diuji sebagai rangkaian dari kejadian-kejadian yang membentuk narasi. Propp menghubungkan esensi atau
unit dasar narasi sebagai “fungsi”. Fungsi dipahami sebagai tindakan dari sebuah karakter, didefinisikan dari sudut pandang signifikansinya sebagai bagian dari
aksinya. Formulasi fungsi dari studi Propp sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
1. Fungsi-fungsi karakter dijalankan secara stabil, tetap pada bagian-bagian dalam
cerita, lepas dari bagaimana dan oleh siapa fungsi karakter tersebut dipenuhi. Seluruhnya merupakan komponen-komponen pokok dari suatu ceritakisah.
2. Sejumlah fungsi yang dikenalkan pada kisahcerita tersebut terbatas
3. Semua kisahcerita adalah sama setiap strukturnya Berger, 1990: 17.
Ada 2 hal penting dalam analisis sintagmatik, antara lain :
1. Narasi disusun oleh beberapa fungsi elemen yang sangat penting dalam
sebuah penciptaan cerita 2.
Urutan peristiwa dalam sebuah narasi, sangat penting dalam analisis metafora matahari secara simbolik pada sintagma film Suncatchers ini terdapat logika
baik dalam teks narasi dan susunan elemen dalam cerita yang dapat mempengaruhi persepsi penonton tentang arti “code” itu sendiri. Analisis
bersumber dari sintagma tatanan pertama terdapat pada level denotatif penanda yaitu sintagma yang tersusun dari sejumlah tanda-tanda visual
sedangkan sintagma pada tatanan kedua terletak pada konotasi petanda yang dibangun dari cerita film tersebut Berger, 1999.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, selain menggunakan metode sintagma Christian Metz, peneliti juga menggunakan metode ikonologi dan
ikonografi Panofsky, untuk melihat makna pada setiap potongan gambar yang berkaitan dengan metafora matahari dalam film Suncatchers.
III. 2 .Objek Penelitian