1
BAB I PENDAHULUAN
Bab  ini  menjelaskan  secara  berurutan  mengenai  latar  belakang  masalah, identifikasi  masalah,  pembahasan  masalah,  rumusan  masalah,  tujuan  penelitian,
manfaat penelitian, dan definisi istilah.
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan Nasional bertujuan untuk mengembangkan kemampuan dan karakter  bangsa  dalam  mencerdaskan  kehidupan  bangsa.  Hal  ini  sejalan
dengan  rumusan  tujuan  pendidikan  Nasional  Indonesia  dalam  UU  No.  20 Tahun  2003  Pasal  3  tentang  Sistem  Pendidikan  Nasional  yang  menyatakan
bahwa: Pendidikan  nasional  berfungsi  mengembangkan  kemampuan  dan
membentuk  watak  serta  peradaban  bangsa  yang  bermartabat  dalam rangka
mencerdaskan kehidupan
bangsa, bertujuan
untuk berkembangnya  potensi  peserta  didik  agar  menjadi  manusia  yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab.
Pada  pernyataan  tersebut,  jelas  tertulis  bahwa  tujuan  pendidikan  nasional berhubungan  dengan  pembentukan  karakter  peserta  didik.  Meskipun
demikian,  penerapan  tujuan  tersebut  belum  dapat  diuji  keberhasilannya  atau dalam  arti  penerapan  pendidikan  karakter  belum  secara  langsung  mengarah
pada pembentukan karakter peserta didik.
2
Sejalan  dengan  tercapainya  tujuan  dan  fungsi  Pendidikan  Nasional  di Indonesia,  pemerintah  sebenarnya  sudah  membuat  pedoman  pelaksanaan
pendidikan karakter terintegrasi yakni Pedoman Pendidikan Karakter di SMP yang  dikeluarkan  oleh  Direktorat  Pembinaan  SMP  tahun  2010.  Jika  ditinjau
kembali,  penerapan pendidikan karakter di  sekolah belum konkret  dan jelas, karena  pada  kenyataannya  masih  sebatas  tempelan  pada  perangkat
pembelajaran. Barus 2015 menyatakan bahwa 36,4 dari 653 siswa SMP di 5  kota  ditemukan  capaian  karakternya  masih  berada  pada  kategori  kurang
baik dan hanya 12,3  yang masuk pada kategori baik dengan capain skor ≥
7  pada  skala  stannine.  Hasil  penelitian  tersebut  menunjukkan  bahwa pendidikan  karakter  belum  mampu  membawa  perubahan  sikap  dari  siswa.
Hal  ini  bertentangan  dengan  pernyataan  Buchori  2007,  bahwa  pendidikan karakter  seharusnya  membawa  peserta  didik  ke  pengenalan  nilai  secara
kognitif,  penghayatan  nilai  secara  afektif,  dan  akhirnya  ke  pengamalan  nilai secara nyata.
Fathurrohman,  Suryana,    Fatriani  2013:8  mengatakan  bahwa sekolah  menyelenggarakan  proses  belajar  mengajar  untuk  membimbing,
mendidik,  melatih  dan  mengembangkan  kemampuan  peserta  didik  untuk mencapai tujuan pendidikan, antara lain ialah menjadi manusia yang berbudi
luhur.  Sekolahdiharapkan  mampu  menjadi  wadah  bagi  siswa  dalam mengaktualisasi nilai-nilai yang sudah diterima di sekolah ke dalam perilaku
sehari-harinya.  Dalam  hal  ini  sekolah  mempunyai  peran  besar  terhadap pembentukan  karakter  peserta  didik  demi  tercapainya  tujuan  pendidikan
3
nasional.  Namun,  di  sisi  lain  pendidikan  karakter  berjalan  kurang  baik  dan memenuhi  hambatan,  sehingga  menimbulkan  dampak  negatif  bagi
perkembangan peserta didik Suparno: 2015. Hambatan  penerapan  pendidikan  karakter  dapat  terjadi  tanpa  ada
pemahaman  yang  cukup  dan  konsisten  dari  seluruh  stakeholder  sekolah. Seharusnya  semua  stakeholder  sekolah  sedapat  mungkin  turut  serta
mengajarkan dan memberikan teladan nilai-nilai karakter kepada siswa demi menunjang  penerapan  pendidikan  karakter  Ilahi,  2014.  Salah  satu
stakeholder  adalah  guru  yang  menjadi  tonggak  keberhasilan  penerapan pendidikan  karakter  di  sekolah.  Namun,  kenyataannya  guru  menemui
hambatan  dalam  proses  penerapan  pendidikan  karakter.  Triatmanto  2010: 200-201  menyatakan  bahwa  terdapat    beberapa  tantangan  dalam  proses
penerapan  pendidikan  karakter,  yakni  kurangnya  pemahaman  guru  tentang pendidikan  karakter  dalam  desain  pembelajaran,  guru  kesulitan  dalam  hal
penilaian,  sehingga  hasilnya  tidak  memadai,  serta  guru  kesulitan  dalam mengevaluasi hasil pembelajaran dalam target pendidikan karakter yang telah
ditetapkan. Tantanganhambatan
dalam penerapan
pendidikan karakter
menyebabkan  kemunduran  karakter  pada  remaja.Terdapat  pandangan  bahwa kenakalan  pada  remaja  adalah  akibat  pergaulan  yang  salah  pada  remaja
tersebut.  Hal  ini  sejalan  dengan  pendapat  Ali    Asrori  2009  bahwa kehidupan  masyarakat  memberikan  pengaruh  penting  bagi  perkembangan
hubungan sosial remaja, apalagi dengan karakteristik remaja yang selalu ingin
4
mengikuti perkembangan zaman. Peneliti tak sependapat terhadap pandangan tersebut,  karena  menurut  peneliti  banyak  faktor  yang  mempengaruhi
perkembangan  pribadi  pada  remaja.  Salah  satunya  adalah  kurangnya pendidikan  karakter  bagi  remaja  oleh  orang-orang  di  sekitarnya,  seperti
orangtua dan guru di sekolahnya. Persoalan karakter pada  remaja tidak hanya menyoroti kenakalan pada
remaja,  perilaku  anti  sosial,  dan  perilaku  menyimpang,  namun  juga  nilai  dan moral  positif  yang  dapat  menjadi  bekal  bagi  remaja.  Kaitannya  dengan
karakter  entrepreneurship  iniperlu  untuk  ditanamkan  pada  remaja  sebagai bekal masa depannya.Keterbatasan remaja untuk mengelola sumber daya alam
dipicu  karena  kurangnya  kreativitas  dan  inovasi  dalam  diri  remaja.  Hal  ini sejalan dengan pernyataan Kao, 1993 Ciputra, 2011 bahwa entrepreneurship
adalah  proses  untuk  melakukan  sesuatu  hal  yang  baru  kreatif,  dan  atau sesuatu  yang  berbeda  inovatif  yang  bertujuan  untuk  menciptakan  kekayaan
bagi  individu  dan  menambah  nilai  sosial.  Jelaslah  bahwa  karakter entrepreneurship tepat dikaitkan dengan kreativitas dan inovasi. Karakteristik
ini  merupakan  ciri  seorang  entrepreneurship  yang  seharusnya  dapat ditanamkan dimulai sejak dini hingga jenjang perguruan tinggi.
Badan  Pusat  Statistik  melaporkan  sampai  bulan  Februari  2016  tingkat pengangguran  di  Indonesia  mencapai  5,50    yakni  sekitar  7  juta  orang
www.bps.go.id .  McCleland  Ciputra,  2011  mengatakan  bahwa  sebuah
negara  baru  akan  makmur  kalau  sedikitnya  2  dari  penduduknya  jadi entrepreneurship.  Saat  ini,  Indonesia  baru  memiliki  1,5  entrepreneurship
5
dari  sekitar  252  juta  penduduknya  dan  masih  membutuhkan  sekitar  1,7  juta entrepreneurship untuk  mencapai  angka  2
www.suara.com . Data tersebut
menunjukkan bahwa kebutuhan entrepreneurship di Indonesia masih tinggi. Kebutuhan akan  entrepreneurship  yang tinggitidak mudah dicapai  jika
tidak  diciptakan  melalui  pendidikan  dan  pelatihan  entrepreneurship.Menurut Waringin  2016,  sistem  pendidikan  di  Indonesia  belum  mengarahkan  pada
siswa untuk menjadi entrepreneurship www.JawaPos.com
. Melalui karakter entrepreneurship  peserta  didik  dibentuk  mindset,  attitude,  skill  dan
pengetahuan  dasar  tentang  entrepreneurship  yang  dapat  menjadi  bekal  bagi masa  depan  mereka.  Untuk  itu  diperlukan  upaya  orientasi  kurikulum  khusus
pendidikan karakter entrepreneurship, namun desain dan perencanaannya oleh tenaga
ahli perlu
dipikirkan. Itulah
alasan pentingnya
karakter entrepreneurship  diberikan kepada peserta didik  di setiap jenjang pendidikan
dan sebaiknya dimulai sejak SMP. Karakter  entrepreneurship  menjadi  salah  satu  karakter  pada  20  nilai
karakter menurut Kemdiknas 2011, namun mengapa karakter ini diabaikan di SMP?  SMP  Stella  Duce  2  Yogyakarta  salah  satunya,  sekolah  ini  belum
menerapkan  pendidikan  karakter  entrepreneurship  bagi  siswanya.  Karakter entrepreneurship masih diabaikan di sekolah karena guru masih menganggap
karakter  entrepreneurship  masih  jauh  dari  kebutuhan  siswa.  Jika  dilihat kembali,  entrepreneurship  merupakan  bentuk  bimbingan  karier  yang  dapat
diterapkan  di  sekolah.  Manrihu  1992  menjelaskan  bahwa  bimbingan  karir adalah  suatu  perangkat  program,  teknik,  atau  layanan  untuk  membantu
6
individu  memahami, mengenal,  dan mengembangkan keterampilan pekerjaan dalam  menciptakan  dan  mengelola  perkembangan  karirnya.  Jelas  bahwa
bimbingan karir dapat diterapkan di sekolah, salah satunya dapat dimulai sejak SMP.
Karakter  entrepreneurship  dianggap  masih  jauh  dari  kebutuhan  siswa terutama  remaja.  Padahal  jika  dilihat  dari  tugas  perkembangan,  remaja  perlu
mendapatkan  informasi  mengenai  karir  yang  berguna  untuk  bekal  peminatan dalam  pemilihan  karirnya  kelak.  Menurut  Erikson  Santrock:  1996  penting
bagi  remaja  untuk  mengeksplorasi  karir.  Mengambil  keputusan  karir merupakan salah satu tugas perkembangan remaja menuju kematangan secara
ekonomi.  Melalui  eksplorasi  karir  diharapkan  remaja  mampu  untuk mengidentifikasi  dan  merencanakan  karir  di  masa  depannya.  Salah  satu  cara
mencapai  eksplorasi  karir  bagi  remaja  di  sekolah  adalah  melalui  bimbingan karir.  Namun  masih  terdapat  banyak  remaja  yang  mendapatkan  bimbingan
karir  sehingga  remaja  tidak  cukup  banyak  mengeksplorasi  pilihan  karir mereka Santrock: 1996.
Pembentukan  karakter  entrepreneurship  tidak  semata  menyiapkan remaja  untuk  menjadi  entrepreneurpengusaha  saja.  Karakter  entrepreneur
diharapkan  mampu  membekali  generasi  muda  dengan  nilai-nilai  karakter entrepreneurship  danmenginternalisasikannya  dalam  kehidupan  sehari-hari.
Penanaman  karakter  entrepreneur  bukan  saja  memampukan  pribadi  yang menghasilkan
dan menjual
barangjasa. Tetapi
penanaman karakterentrepreneur guna menjadi pribadi dengan karakteristik  entrepreneur
7
yakni  percaya diri, berani mengambil risiko, menjadi pemimpin, dan mampu mengambil  peluang  yang  ada  dll.  Hal  ini  sejalan  dengan  pernyataan  Ciputra,
Tanan    Waluyo  2012  bahwa  tujuan  pendidikan  entrepreneur  adalah membekali  generasi  muda  dengan  ilmu,sikap,dan  keterampilan  karakter
entrepreneurship yang berguna bagi masa depannya kelak. Apa  yang  terjadi  jika  karakter  entrepreneur  tidak  diberikan  sejak  usia
dini?  Berdasarkan  hasil  observasi  dan  wawancara  dengan  guru  BK,  terdapat beberapa gejala lemahnya karakter entrepreneurship pada remaja. Diantaranya
adalah  anak  tidak  mampu  memastikan  minatnya  saat  ia  masuk  kelas  IX, orangtua  yang  tidak  melibatkan  anak  dalam  pelatihan  khusus  karakter
entrepreneurship,  guru  tidak  memberikan  kesempatan  anak  untuk  mengenal berbagai  jenis  pekerjaan,  anak  cenderung  menjauh  dari  karir,  dan  anak  yang
masih  beranggapan  pekerjaan  berkarirberkantor  lebih  bergengsi  daripada menjadi  entrepreneurship.  Beberapa  hal  tersebut  menunjukkan  bahwa  masih
lemahnya karakter entrepreneurship pada anak remaja. Salah satu upaya untuk meningkatkan karakter  entrepreneurship melalui kegiatan layanan bimbingan
karier  seperti  kegiatan  pemahaman  diri  dan  lingkungan,  perencanaan  masa depan,  upaya  mengatasi  masalah  dan  hambatan  dalam  perencanaan  dan
pemilihan karir remaja Hartinah, 2009. Penelitijuga  menemukan  masalah  pada  siswa-siswi  kelas  VIII
Tirtatedja.  Kelas  ini  merupakan  kelas  dengan  siswa-siswi  yang  kurang  aktif dalam  mengikuti  pembelajaran.  Terlihat  dengan  perilaku  seperti  mengobrol
saat  diberi  penjelasan  oleh  guru,  berjalan-jalan  di  kelas,  dan  keluar  masuk
8
kelas  saat  pelajaran  berlangsung.  Salah  satu  guru  mengutarakan  bahwa  kelas VIII  Tirtatedja  merupakan  kelas  yang  paling  ramai  dan  kurang  kondusif  saat
pembelajaran.  Namun  di  sisi  lain,  anak-anak  Tirtatedja  memiliki  kreativitas yang cukup baik, terlihat dengan terdapat beberapa hiasan dinding dan papan
absensi  yang  dibuat  sendiri  oleh  mereka.  Maka  untuk  itu,  kreativitas entrepreneurship  perlu  dikembangkan  dalam  sikap  dan  tindakan  yang  lebih
positif.  Sejauh  ini,  belum  pernah  diterapkan  pendidikan  karakter entrepreneurship  di  SMP  Stella  Duce  2  Yogyakarta,  baik  oleh  guru  BK
maupun  oleh  guru  mata  pelajaran  lainnya.  Melihat  permasalahan  tersebut, peneliti
mencoba menawarkan
strategi meningkatkan
karakter entrepreneurship  melalui  layanan  bimbingan  klasikal  dengan  pendekatan
experiential learning. Untuk  itu,  Tim  STRANAS  Strategis  Nasional  memberikan  alternatif
model  pendidikan  karakter  dengan  pertimbangan  guru  BK  perlu  dilibatkan dalam
layanan bimbingan
karier, terutama
penanaman karakter
entrepreneurship  melalui  experiential  learning.  Peneliti  sebagai  anggota  tim Stranas  mengimplementasikan  3  topik  bimbingan  yang  nantinya  bermuara
pada  karakter  Entrepreneurship.  3  topik  tersebut  yakni  Berpikir  Kreatif, Young  Entrepreneurship,  dan  Hasil  Karyaku.Pada  penelitian  ini  ingin  dilihat
hasil  peningkatan  karakter  entrepreneurship  melalui  pemberian  layanan bimbingan klasikal dengan pendekatan experiential learning pada siswa kelas
VIII Tirtatedja SMP Stella Duce 2 Yogyakarta tahun ajaran 20152016.
9
Guru  bimbingan  dan  konseling,  melalui  bimbingan  klasikal  dengan pendekatan  experiential  learning  dirasa  cocok  untuk  membantu  siswa  dalam
pengaktualisasi nilai-nilai karakter. Bimbingan klasikal dapat membantu guru bimbingan  dan  konseling  dalam  memberikan  informasi,  pengetahuan,  dan
memberikan keterampilan bagi siswa. Pendekatan experiential learning dirasa sangat cocok diberikan melalui bimbingan klasikal kepada siswa. Learning by
doing  dalam pendekatan experiential learning diharapakan mampu membantu siswa mengalami proses belajar dari pengalaman sehingga dapat memperoleh
sesuatu yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Demikian  pembelajaran  nilai-nilai  karakter  diharapkan  tidak  hanya
sampai  pada  tataran  kognitif,  tetapi  menyentuh  pada  internalisasi,  dan pengamalan  nyata  dalam  kehidupan  peserta  didik  sehari-hari  di
masyarakat.Berdasarkan  berbagai  situasi  yang  terjadi,  peneliti  tertarik  untuk mengangkat  judul  berikut  “Efektivitas  Implementasi  Pendidikan  Karakter
Entrepreneurship  Berbasis  Layanan  Bimbingan  Klasikal  dengan  Pendekatan Experiential  Learning  pada  Siswa  Kelas  VIII  Tirtatedja  SMP  Stella  Duce  2
Yogyakarta tahun ajaran 20152016”.
B. Identifikasi Masalah