105
Mencermati Tabel 4.4 terlihat bahwa sebagian besar siswa yang turut serta dalam implementasi pendidikan karakter. Jika hasil persentase
tersebut dimasukkan dalam kategori Guilford, dapat diketahui bahwa: a. Terdapat 25 pernyataan positif berada dalam kategori tinggi yakni
dalam rentang 80-100, b. Terdapat 2 pernyataan positif dalam kategori sedang yakni dalam
rentang 60-80. c. Sedangkan untuk 3 pernyataan negatif termasuk dalam kategori sangat
rendah yakni dalam rentang 0-20. Hasil penilaian tersebut menegaskan bahwa sebagian besar siswa
mengalami pernyataan-pernyataan tersebut. Peneliti menyimpulkan implementasi model pendidikan karakter melalui layanan bimbingan
klasikal dengan pendekatan experiential learning efektif digunakan untuk meningkatkan karakter entrepreneurship.
B. Pembahasan
Hasil penelitian menggambarkan bahwa secara umum tingkat karakter entrepreneurship pada siswa kelas VIII Tirtatedja SMP Stella
Duce 2 Yogyakarta sebelum dan sesudah mendapatkan layanan bimbingan klasikal dengan pendekatan experiential learning, untuk sebagian besar
siswa memang memiliki karakter entrepreneurship pada kategori sedang dan tinggi. Meski demikian terdapat 2 siswa yang berada dalam kategori
rendah. Hal ini diduga dapat terjadi karena para siswa memang sudah memiliki karakter entrepreneurship yang terbentuk dari faktor internal dan
106
eksternal yang diperoleh dari pendidikan baik dari keluarga, sekolah, masyarakat, dan lingkungan sosial dimana siswa itu berada. Selain itu
karakter entrepreneurship dapat meningkat dikarenakan siswa telah memiliki sikap untuk mencoba hal baru, berpikir kreatif dan bersikap
inovatif. Hal ini sesuai dengan pendapat Suryana 2001 bahwa karakter entrepreneurship merupakan kemampuan kreatif dan inovatif yang
dijadikan dasar untuk menciptakan peluang usaha dalam meraih kesuksesan. Meski demikian kreativitas dan inovatif saja belum cukup
dalam membangun karakter entrepreneurship, karena masih terdapat aspek-aspek lain yang membentuk karakter entrepreneurship. Salah satu
aspek yang
mempengaruhi adalah
pendidikan dan
pelatihan entrepreneurship yang sangat penting dalam membangun karakter
entrepreneurship. Seperti dikatakan Ciputra, Tanan Waluyo 2011 bahwa pendidikan dan pelatihan dengan waktu yang cukup baik di sekolah
formal maupun non formal memiliki peran sangat besar dalam membentuk karakter entrepreneurship.
Buchori Fathurrahman, dkk, 2013 menjelaskan bahwa upaya pembentukan dan pengembangan karakter, salah satunya karakter
entrepreneurship bukan hanya membawa siswa ke pengenalan nilai secara kognitif dan afektif namun juga ke pengalaman secara nyata dalam
kehidupan sehari-hari. Terbentuknya karakter dipengaruhi oleh berbagai faktor. Seperti dikatakan Zubaedi 2012, keturunankeluarga dan
lingkungan dapat mempengaruhi pembentukan karakter seseorang.
107
Keluarga merupakan tempat pendidikan yang pertama dan utama bagi perkembangan karakter anak. Pola asuh orangtua, nilai-nilai yang
ditanamkan pada anak, aturan-aturan keluarga dan sikap orangtua terhadap pendidikan memiliki pengaruh pada karakter anak. Begitupun dengan
lingkungan yang merupakan tempat bagi anak mengembangkan karakter yang dimiliki, yang dimulai dari lingkungan secara fisik hingga
lingkungan sosial anak berada. Jika dilihat pada tugas perkembangan remaja, karakter
entrepreneurship termasuk
dalam upaya
dalam mempersiapkan
kemandirian secara ekonomi. Pada tahap ini, remaja mulai untuk mempersiapkan pekerjaan dan karier yang sesuai dengan minatnya.
Menurut teori Ginzberg Santrock, 1996 menyatakan bahwa remaja usia 11-17 sedang berada dalam tahap tentatif yakni tahap dimana remaja mulai
mengevaluasi minat, kemampuan, dan nilai mereka. Jelas bahwa pada usia remaja sedang berada tahap untuk mengeksplorasi karir sesuai dengan
minat, kemampuan, dan nilai yang mereka yakini. Jadi karakter entrepreneurship merupakan salah satu upaya untuk mengenalkan salah
satu karir bagi remaja. Selain itu, karakter entrepreneurship yang diberikan berguna untuk membantu remaja dalam mengeksplor minat dan
kemampuan mereka. Dilihat rata-rata pada hasil perhitungan skor sebelum pretest
yakni 52,02 dan sesudah posttest yakni 52,22, jika dihitung terdapat selisih 0,18 poin. Dapat dikatakan bahwa implementasi mengalami
108
kenaikanpeningkatan, meskipun kenaikan skornya sangat kecil sehingga tak berartitidak bermakana. Kenaikanpeningkatan yang sangat kecil
tersebut mengakibatkan tidak adanya peningkatan yang signifikan pada karakter entrepreneurship siswa. Menurut peneliti hal ini mungkin terjadi
karena terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi siswa dalam mengisi tes tingkat karakter entrepreneurship saat pemberian layanan.
Hasil penelitian
menunjukkan bahwa
tingkat karakter
entrepreneurship siswa kelas VIII SMP Stella Duce 2 Yogyakarta sebelum pretest dan sesudah posttest mendapatkan layanan bimbingan klasikal
dengan pendekatan experiential learning tahun ajaran 20152016 tidak secara signifikan dapat meningkatkan karakter entrepreneurship. Jika
dilihat pada hasil hitung two-related sample test Wilcoxon pada p value Asymp.Sig 2 tailed sebesar 0,735 di mana lebih tinggi dari batas kritis
penelitian yakni 0,05 0,7350,05 menunjukkan hasil bahwa tidak terdapat perbedaan signifikan antara pemahaman sebelum dan sesudah
mendapatkan perlakuan bimbingan klasikal dengan pendekatan experiential learning. Ini dapat terjadi karena terdapat beberapa faktor
yang mempengaruhi siswa dalam mengisi tes tingkat karakter entrepreneurship.
Pada sesi layanan pertama dengan topik Berpikir Kreatif, siswa diberikan dinamika kelompok game “Kugambarkan apa yang aku
pikirkan”. Siswa dibagi kelompok dan setiap anggota kelompok harus menggambar di sebuah kertas tetapi masing-masing hanya boleh
109
menggambar satu garis yang tidak terputus. Game ini mengajarkan siswa untuk berpikir kreatif dengan keterbatasan yang ada yakni tidak boleh
mendiskusikan apa yang akan digambar serta setiap anggota hanya boleh menggambar satu garis. Terdapat kelompok yang berhasil menggambar
bentuk tertentu, namun juga terdapat kelompok yang gagal. Namun dari hasil sharing dan refleksi pada dinamika kelompok, siswa-siswi telah
mampu menunjukkan kreativitasnya. Pada sesi layanan kedua dengan topik Young Entrepreneurship
siswa diberikan dinamika kelompok berupa “Surat Tugas”. Surat tugas tersebut mengajak siswa untuk membuat iklas suatu produk. Permainan ini
menanamkan nilai karakter entrepreneurship kepada siswa bahwa menjadi entrepreneur bukan hanya mampu untuk menciptakan produkjasa saja
namun juga harus mampu dan berani untuk mempromosikan dan menjualnya kepada orang lain. Dari hasil sharing dan refleksi sebagian
kelompok mampu untuk mempromosikan suatu produk kepada teman- temannya. Sikap keberanian untuk mengambil peluang, percaya diri dan
siap menghadapi risiko inilah yang perlu ditanamkan kepada siswa. Pada sesi layanan ketiga dengan topik “Hasil Karyaku” siswa
diajak untuk melakukan dinamika kelompok “Aku Bisa Menghasilkan
Karya”. Siswa sebelumnya telah diminta untuk membawa barang-barang bekas di sekeliling mereka. Secara berkelompok, siswa diajak untuk
membuat suatu karya dengan barang bekas yang mereka bawa. Dari hasil dinamika kelompok, siswa telah mampu berkarya membuat suatu produk
110
dengan barang-barang bekas. Setiap kelompok berhasil memanfaatkan barang-barang bekas yang sudah tidak digunakan menjadi barang yang
berguna dan bernilai secara ekonomis. Dari hasil sharing dan refleksi didapati bahwa siswa-siswi merasa senang dan bangga bisa memanfaatkan
barang-barang bekas yang terkadang dianggap tidak berguna lagi. Sedangkan jika dilihat dari self assesment scaleskala penilaian diri
yang dihimpun dari 3 sesi layanan dapat dilihat terdapat peningkatan hasil setiap sesinya. Jika dilihat dari setiap siswa juga terdapat peningkatan pada
skor karakter entrepreneurship dari setiap sesi layanan. Dilihat dari hasil capaian skor karakter entrepreneurship setiap sesi layanan termasuk dalam
katergori rendah hingga tinggi. Pada sesi I, terdapat 1 siswa dalam kategori tinggi, 24 siswa dalam
kategori sedang, dan 2 orang dalam kategori rendah. Pada sesi mengalami peningkatan yakni terdapat 4 siswa dalam kategori tinggi, 22 orang dalam
kategori sedang dan 1 orang dalam kategori rendah. Pada sesi III juga mengalami peningkatan, yakni terdapat 11 siswa kategori tinggi, 14 orang
dalam kategori sedang dan 2 dalam kategori rendah. Dapat disimpulkan bahwa peningkatankenaikan skor karakter entrepreneurship tiap siswa
pada setiap sesi layanan tidak terlalu tinggi. Hal ini bisa saja terjadi karena banyak faktor yang mempengaruhi siswa dalam mengisi skala penilain
diri. Terdapat faktor eksternal dan faktor internal yang dapat
mempengaruhi siswa dalam mengisi tes karakter entrepreneurship, self
111
assesment scaleskala penilaian diri dan validasi efektivitas model.Faktor eksternal antara lain tingkat kesukaran soal tes karakter entrepreneurship
terlalu sulit sehingga menyebabkan kenaikan skor-skor subjek sangat kecil. Soal tes karakter entrepreneurship yang sulit tersebut
mengakibatkan ambiguitas dan kebingungan pada siswa. Selain itu, kemampuan siswa dalam membaca dan memahami soal tes karakter
entrepreneurship juga mempengaruhi siswa dalam menjawab soal-soal yang ada. Hal ini terlihat saat pengisian tes karakter entrepreneuship,
terdapat beberapa siswa yang menanyakan maksud dari soal tersebut bagaimana. Dapat disimpulkan bahwa siswa kesulitan untuk memahami
soal tes karakter tersebut. Faktor lainnya adalah jumlah item yang terlalu sedikit dan keterbatasan waktu dalam mengisi. Selain itu, faktor internal
dalam diri siswa juga dapat mempengaruhi pengisian tes karakter tersebut. Faktor internal yakni kondisi fisik dan psikis dari siswa. Waktu
pelaksanaan layanan bimbingan klasikal adalah siang hari, pada jam terakhir kegiatan pembelajaran. Hal ini yang menyebabkan kondisi fisik
siswa sudah kelelahan dan kecapekan. Selain itu, pelaksanaan layanan bimbingan klasikal ini juga bersamaan dengan waktu ulangan harian dan
persiapan Ujian Kenaikan Kelas UKK. Sehingga keadaan psikis siswa sedang tegang dan cemas. Hal ini terlihat dari hasil tulisan kesan dan
pesan yang ditujukan untuk siswa yang menulis “Jangan pake waktu UKK to mbak”. Dari pesan tersebut tersirat bahwa bagi siswa waktu
pelaksanaan layanan bimbingan klasikal ini kurang efektif.
112
BAB V PENUTUP