mereka terapkan setelah disesuaikan dengan keadaan masyarakat dan kebutuhan masyarakat yang sedang mereka tolong melalui 9 sembilan model pendidikan
karakter yaitu ketaatan, empati, disiplin, etika tanggung jawab, kesabaran, sportif, jujur, komitmen .
5.6 Guru sebagai Pendidik Karakter
Dalam pendidikan karakter yang dilakukan Ibu Sora dan Team menyadari bahwa tidak sembarang pendidik yang bisa terlibat di dalam pendidikan ini. Karena
untuk menjadi pendidik karakter, pendidik harus terlebih dahulu menghidupi karakter tersebut. Bagaimana mungkin mengajarkan nilai- nilai kepada anak- anak sementara
nilai- nilai tersebut tidak dimiliki dan bukan gaya hidup pendidik. Maka oleh karena itu diperlukan pendidik yang benar- benar menang dalam karakter, karena berbicara
masalah pendidikan karakter bukanlah hal yang mudah dan sembarangan. Dalam istilah lain seperti pedang bermata dua, dia menghunus yang dipedangnya dan
pemilik pedangnya. Dalam artinya bahwa pendidikan karakter yang diterapkan tidak hanya berlaku bagi yang di didik tetapi bagi yang mendidik. Maka oleh karena itu
Ibu Sora dan Team menentukan beberapa kriteria pendidik seperti menyukai dan mencintai anak- anak, memiliki visi dan misi pribadi untuk anak- anak, hidup di
dalam nilai- nilai kekristenan yang kuat, inovatif, siap bekerja untuk keadaan apapun demi pengembangan masyarakat yang sedang di diberdayakan, memberi hidup
dengan ketulusan hati untuk menolong masyarakat pra- sejahtera keluar dari kemiskinan.
Universitas Sumatera Utara
Selain keterbatasan dana, juga dikarenakan tidak banyak orang yang berminat terlibat dalam pendidikan masyarakat pinggiran maka beberapa guru ataupun staff
harus merangkap dalam berbagai posisi guna pengembangan pendidikan yang sudah dilangsungkan. Menyadari bahwa dalam menjalankan fungsinya, guru bisa memiliki
berbagai macam tugas, misalnya menjadi pengajar bidang mata pelajaran tertentu. Dalam waktu bersamaan, guru juga dapat memikul tugas sebagai wali kelas,
pendamping kegiatan ekstrakulikuler, kepala sekolah, staf yang mengurus organisasi, manajemen, dan pengembangan sekolah. Terlepas dari berbagai macam posisi yang
disandangnya, sadar atau tidak, perilaku dan tindakan guru dalam melaksanakan tugas- tugas tersebut merupakan wahana utama pembelajaran karakter, itu sebabnya
guru disebut sebagai pendidik karakter sadar atau tidak mereka terhadap posisi mereka.
Yayasan Peduli Karakter Bangsa menganggap bahwa mendidik dalam hal ini tidak sekedar berurusan dengan penyampaian mata pelajaran. Guru mendidik dengan
cara menghadirkan diri mereka secara utuh dihadapan siswa dan dengan itu siswa merasakan kehadiran guru sebagai sosok yang istimewa, sebagai pribadi yang
memberikan inspirasi dan rasa hormat. Guru sebagai pendidik karakter diharapkan dapat menggambarkan bagaimana relasi antarindividu dalam dunia pendidikan sebab
menjadi guru itu pada hakikatnya menempatkan diri sebagai teladan kehidupan bagi para siswa. Sebagai guru kehidupan, ia berfungsi bukan hanya membuat siswa
menjadi pintar dan mengusai materi, namun membuat siswa bertumbuh secara integral dan utuh sebagai manusia supaya mereka dapat semakin berkembang dalam
Universitas Sumatera Utara
perjumpaan dengan orang lain yang mengukuhkan individualitas dan keunikan dirinya. Seperti yang dituturkan oleh Ibu Desi Natalia Pr 26 Thn selaku informan:
“ untuk mendidik anak- anak pinggiran dalam hal karakter kita harus terlebih dahulu menghidupi karakter tersebut. Sehingga
semua yang kita sampaikan tidak hanya menjadi sebuah wacana melainkan hidup yang kita bagi. Mereka melihat langsung
contohnya nyata dari kita. Misalnya kita melarang mereka mengucapkan kata sia- sia kepada teman mereka, seperti mengejek
teman mereka dengan kata bodoh. Sementara kita sering mengucapkan kata bodoh kepada mereka, ketika mereka salah.
Kami sebagai guru sangat pantang mengucapkan kata bodoh kepada murid, karena itu bisa merusak potensi diri mereka. Mereka
menganggap bahwa itu penilaian yang diberikan guru mereka kepada mereka, dan sampai kapanpun mereka akan berpikir mereka
bodoh padahal semua anak memiliki keunikan dan kelebihannya masing- masing”
Hal yang sama di ungkapkan oleh Ibu Tince Pr 27 thn pada waktu diwawancarai berikut ini :
“ kalau berbicara karakter kita tidak bisa hanya omongkosong saja. Pendidikan karakter yang kita terapkan tidak boleh hanya menjadi
sebuah teori. Kita harus menjadikannya sebagai sebuah kehidupan yang akan kita aplikasikan dalam kehidupan kita sehari- hari. Oleh
Universitas Sumatera Utara
karena itu saya sebagai guru harus sudah lebih dulu menghidupinya baru saya bisa menerapkannya lewat tindakan yang
akan ditiru anak- anak baru kita menjelaskan apa bedanya kita melakukan tindakan A dan tindakan B.jadi pendidikan karakter ini
lebih kepada pengajaran yang aplikatif. Karakter ini luas, tidak hanya berbicara sikap dan tindakan tetapi juga mental dan mindset.
Justru kadang mindset seseorang menentukan cara dia bertindak. Apalagi anak- anak yang berasal dari lingkungan yang tidak
memiliki keteraturan, dia memiliki mindset yang sudah berakar dalam pikirannya dan dia merasa itu benar karena selama ini tidak
ada yang menegurnya dalam melakukan itu. Apalagi di dalam kelas kami sangat menentang memaharahi atau membentak anak di
depan teman- teman mereka, bahkan menghukumnya di depan kelas kecuali itu disiplin yang dia tawarkan kepada kami jika dia
melanggar kesepakatan yang sudah ditetapkan. Karena memarahi atau membentak anak di depan umun akan merusak mentalnya dan
gambar dirinya. Itu bisa terus tertanam di dalam memorinya dan akan merusak mentalnya, dampaknya bisa takut melakukan
kesalahan, merasa tidak berharga, dan menolak dirinya jika dia salah”
Kembali diperkuat oleh Ibu Erni Hutajulu Pr 37 Thn dari hasil wawancara yang dilakukan oleh peneliti:
Universitas Sumatera Utara
“ karakter itu tidak hanya sebagai sebuah nilai yang harus diajarkan, melainkan hidup. Dalam pendidikan karakter kita sedang
membagi ilmu tetapi membagi hidup. Bagaimana kita dapat membagi hidup yang benar jika kita tidak memiliki hidup yang
benar. Untuk itu saya sebagai guru harus lebih dulu membenahi diri saya benar- benar. Saya harus benar- benar mengerti bahwa saya
sedang memberkati orang lain lewat kehidupan saya yang benar. Walaupun dalam proses menjalaninya saya sangat dituntun untuk
komitmen. Tetapi mengingat panggilan saya sebagai guruu saya terus belajar untuk memiliki karakter yang benar”
Dari hasil wawancara di atas peneliti dapat melihat bahwa sebenarnya guru adalah profesi publik yang berkaitan langsung dengan hajat hidup orang banyak.
Guru bahkan merupakan profesi yang memiliki fungsi istimewa dalam menjaga kelangsungan sebuah masyarakat, sebuah bangsa. Sementara itu dunia, negara, dan
masyarakat di mana para berpijak dan melangkahkan kaki sedang mengalami perubahan yang sangat cepat dan dahsyat. Dalam dunia yang datar orang dapat berlari
lebih kencang sebab seolah tiada halangan menghadang. Tanah lapang untuk bermain menjadi datar dan tidak bergelombang atau bergunung- gunung lagi. Dinamika
kehidupan dalam masyarakat menjadi semakin terburu, tergesa- gesa dan saling bersaing. Logika kecepatan menjadi jargon. Siapa dapat mengerjakan sesuatu secara
cepat dan tepat dia yang akan menguasai keadaan.
Universitas Sumatera Utara
Ironisnya, dalam situasi dunia yang serba berlari ini, menjalani profesi sebagai guru melahirkan paradoks. Sementara dinamika masyarakat berubah begitu cepat,
praktik harian dalam kinerja guru tidak berubah. Adalah sebuah kemendesakan bahwa dalam dunia yang lari tunggang langgang dan senatiasa berubah, guru juga
dituntut untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan dalam masyarakat. Identitas guru sebagai pelaku perubahan akan semakin hilang jika mereka gagal menanggapi
secara cermat logika kecepatan dan tuntutan akan aktualitas dan relevansi kinerjanya bagi masyarakat.
Yayasan Peduli karakter Bangsa yang dibawahi oleh Ibu Sora sendiri melihat ada perbedaan nuansa antara konsep guru sebagai pengajar dan pendidik. Dan kata
pendididik guru berperan lebih sebagai model bagi pembentukkan karakter. Kehadiran, sikap, pemikiran, nilai-nilai, keprihatinan, komitment, dan visi yg
dimilikinya merupakan dimensi penting yang secara tidak langsung mengajarkan nilai yang membentuk karakter siswa. Tindakan seperti ini memiliki cakupan yang
lebih luas dan lebih eksistensial. Apapun fungsi dan jabatan guru di dalam sekolah, sebagai pengampu mata pelajaran tertentu di dalam kelas, menjadi pendamping
ekstrakulikuler, bahkan menjadi staf dan pimpinan pendidikan educational leader, mereka tidak dapat menanggalkan keberadaan diri mereka sebagai pendidik karakter.
Sejauh lingkungan hidup yang ia jalani dan alami adalah perjumpaan antarmanusia, disitu senantiasa terjadi dialog, transaksi, komunikasi nilai. Setiap perilaku yang
tampil mencerminkan nilai-nilai tertentu yang bisa ditangkap oleh individu lain, meskipun nilai tersebut tidak selalu eskplisit dinyatakan. Sebaliknya, pengertian guru
sebagai pengajar memiliki konotasi lebih sempit sekedar sebagai pelaku penyampai
Universitas Sumatera Utara
materi pelajaran tertentu yang mengajarkan isi materi pembelajaran secara efektif dan efesien sesuai dengan bidang yang diampunya.
Mungkin pembedahan diatas secara teoretis bisa dipahami dan dimengerti. Namun, dengan membuat pembedahan di atas tidak bermaksud memberikan evaluasi
dan penilaian bahwa tindakan mendidik lebih baik dibandingkan dengan tindakan mengajar. Pada kenyataannya, kegiatan mengajar dan mendidik berbaur menjadi satu.
Mengajar selalu memiliki unsur mendidik dan mendidik selalu menyertakan unsur pengajaran. Mungkin pembedaan tegas keduanya hanyalah bersifat teknis, dalam
artian bahwa pengajaran senantiasa menyertakan adanya evaluasi. Sementara, ketika guru menjadi pendidik tidak ada evaluasi teknik atas hasil didikannya itu, sebab hasil
didikan itu adalah perubahan sikap perilaku dan sikap yang akan bertahan lebih stabil bagi perkembangan kedewasaan anak didik.
Perubahan dalam diri anak didik tidak bisa dilihat secara kasat mata karena proses pendidikan karakter terjadi secara laten, pelan-pelan dan berlangsung
sepanjang hayat. Pendidikan karakter bukanlah sebuah program pendidikan yang menawarkan keajaiban, yang mampu membuat anak didik mendadak menjadi
malaikat. Pendidikan karakter justru lebih terbentuk ketika guru bersama-sama dengan anak didik dan anggota komunitas sekolah berjuang jatuh bangun untuk
menghayati visi dan merealisasikan nilai-nilai pendidikan dalam hidup mereka secara bersama-sama.
Dari hasil wawancara di atas juga dapat di simpulkan bahwa dalam setiap proses pembentukan diri mengandaikan adanya asumsi-asumsi dasar yang menjadi
prinsip bagi proses perkembangan diri individu. Prinsip ini menjadi semacam
Universitas Sumatera Utara
landasan dan fondasi yang merupakan tanah kokoh tempat berpijak bagi guru dalam memperkuat keberadaan dirinya sebagai perilaku perubahan. Untuk itu, ada beberapa
prinsip dasar yang menjadi fondasi pengembangan diri guru sebagai pendidik karakter. Prinsip-prinsip itu antara lain :
5.6.1 Menghidupi Visi dan Inspirasi Pribadi
Prinsip pertama bagi perkembangan keberadaan guru sebagai pendidik karakter adalah kemampuannya dalam menghadapi visi dan inspirasi yang
menjadi jiwa bagi kinerja profesional mereka. Dunia berubah, masyarakat berubah, dan tatanan nilai pun berubah. Dinamika masyarakat berkembang
semakin pesat dan berlari dengan kecepatan yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya, membuat guru bisa mengalami kekaburan visi dan kekeringan
inspirasi. Ini terjadi karena nilai-nilai yang tampil dalam masyarakat tidak selamanya selaras dengan dinamika kinerja dalam dunia pendidikan. Bahkan,
seringkali nilai-nilai baru yang muncul malahan bertentangan dengan tujuan pendidikan. Salah satu tantangan guru sebagai pendidik karakter dalam
sebuah masyarakat yang ditandai dengan jungkir balik tatanan nilai adalah menghidupi visi dan inspirasi yang menjadi jiwa bagi kinerja lembaga
pendidikan. Dalam bahasa manajemen, visi dipahami sebagai gambaran mental
tentang keadaan organisasi yang diinginkan di masa depan. Hal sama berlaku dalam lembaga sendiri-sendiri. Atau sebuah kelompok orang yang bekerja
melaksanakan pesanan orang lain. Visi mengacu pada kenyataan realism, kepercayaan credibility, dan ketertarikan attractiveness. Ini berarti bahwa
Universitas Sumatera Utara
ada sebuah kondisi atau keadaan nyata yang ingin dicapai itu merupakan situasi yang diinginkan dan dapat dipercaya dalam arti bahwa keadaan itu
merupakan sesuatu yang layak diperjuangkan karena ada nilai dan kebaikan yang terdapat di dalam definisi kenyataan yang diinginkan tersebut. Keadaan
yang diinginkan di masa depan ini lantas menjadi daya penarik, pengikat, pendorong semangat yang memberikan tiap individu yang terlibat dorongan
moral dan rasa memiliki tugas dan panggilan bagi kehidupan. Daya tarik ini berharga karena mencoba mewujudkan sebuah keberadaan ideal
kesempurnaan yang bisa dicapai oleh manusia. Oleh karena itu, mengembangkan visi bisa berarti menciptakan gambaran mental tentang
situasi yang diinginkan di masa depan, seperti, dalam konteks pengajaran dan pembelajaran. Termasuk didalamnya menumbuhkan lingkungan yang
kondusif untuk mengajar dan belajar.Isi dan proses tentang bagaimana sekolah dan guru dapat melaksanakan tugasnya dalam mendidik dan mengajar
siswa. Tanpa memiliki visi ini, guru akan kehilangan inspirasi. Tanpa inspirasi seperti ini, guru hanya akan menjadi bulan-bulanan permainan
jungkir balik nilai yang ada dalam masyarakat. Sebab, pada kenyataannya tidak semua nilai berlaku dalam masyarakat menjadi gagasan baru yang
senantiasa relevan bagi lembaga pendidikan pada umumnya, dan kinerja guru pada khususnya. Seperti yang diungkapkan oleh Ibu Desi Natalia Pr 26
tahun berikut ini
Universitas Sumatera Utara
“ wah.... jika ditanya visi dan misi pribadi terlibat dalam pelayanan masyarakat miskin ini, paling saya hanya bilang
hati saya buat mereka yang tidak mampu mendorong saya untuk melakukan semua ini. khususnya saya menerapkan
pendidikan karakter dalam setiap aktivitas di sekolah sudah banyaklah de.... dari mereka yang dulu tidak bisa diatur,
jorok, keras, pemberontak, dan lain- lain banyak tantangan de. Sekarang sudah bisa diatur, tau apa arti taat, sopan, dan
hormat kepada orang yang lebih tua dar mereka. Tapi kalo diingat- ingat perjuangan mengaplikasikan dan menunggu
hasil nangis darah juga dulu. Kita korban waktu, perasaan, emosional yang harus tetap dijaga, itu semua karena visi kita
buat mereka harus bisa terwujud. Untuk melakukan ini butuh waktu yang panjang dan dilakukan perlahan- lahan
sampai itu benar- benar tertanam dalam benak mereka. Tidak hanya sebagai sebuah teori yang lalu lalang saja”
Dapat diartikan bahwa nilai-nilai baru seperti kecepatan, produktivitas, efektivitas, dan efesiensi merupakan mantra yang telah menyerambah hampir
pada semua bidang kehidupan. Inilah nilai-nilai baru yang menguasai dinamika kehidupan dalam masyarakat kita. Berhadapan dengan dinamika itu,
guru seperti tertinggal jauh. Guru terkesan lambat dalam menyingkapinya. Karna sekolah ada dan hadir di dalam masyarakat, tatanan nilai baru itu mau
Universitas Sumatera Utara
tidak mau masuk menyerambah menerjang dinamika kehidupan sekolah. Situasi ini jika tidak dicermati akan menggerus visi dan mematikan inspirasi
guru. Di sini guru tertantang untuk melihat dan memahami kembali apakah
visi dan inspirasi pendidikan yang membuatnya memiliki keterarahan ke depan yang menjadi pandu dan arah bagi kinerjanya saat ini. Tanpa visi dan
inspirasi ini, guru bisa bertindak sekadar menjadi pelaksana dari harapan dan keinginan sebuah lembaga atau keinginan orang lain. Guru bisa menjadi
sekadar petugas administratif, penyalur ilmu, tanpa memahami apakah pekerjaan profesional yang dilakukannya benar-benar membentuk karakter
dan mengembangkan siswa. Di masa di mana standardisasi menjadi jargon, guru bisa terjerumus menjadi tukang yang tugasnya mentrasfer ilmu, namun
gagal mengembangkan kesadaran dalam diri anak didik bahwa mereka juga adalah individu yang aktif dan tanggap atas berbagai macam tantangan
lingkungan sosial yang mereka hadapi.
5.7 Proses Penerapan Pendidikan Karakter Oleh Yayasan Peduli Karakter Bangsa