tidak mau masuk menyerambah menerjang dinamika kehidupan sekolah. Situasi ini jika tidak dicermati akan menggerus visi dan mematikan inspirasi
guru. Di sini guru tertantang untuk melihat dan memahami kembali apakah
visi dan inspirasi pendidikan yang membuatnya memiliki keterarahan ke depan yang menjadi pandu dan arah bagi kinerjanya saat ini. Tanpa visi dan
inspirasi ini, guru bisa bertindak sekadar menjadi pelaksana dari harapan dan keinginan sebuah lembaga atau keinginan orang lain. Guru bisa menjadi
sekadar petugas administratif, penyalur ilmu, tanpa memahami apakah pekerjaan profesional yang dilakukannya benar-benar membentuk karakter
dan mengembangkan siswa. Di masa di mana standardisasi menjadi jargon, guru bisa terjerumus menjadi tukang yang tugasnya mentrasfer ilmu, namun
gagal mengembangkan kesadaran dalam diri anak didik bahwa mereka juga adalah individu yang aktif dan tanggap atas berbagai macam tantangan
lingkungan sosial yang mereka hadapi.
5.7 Proses Penerapan Pendidikan Karakter Oleh Yayasan Peduli Karakter Bangsa
Pendidikan Karakter yang dilakukan Ibu Sora dan Team ditanamkan semenjak mereka menginjak taman kanak- kanak, anak- anak diajarkan 9 sembilan karakter
tersebut setiap harinya di sekolah. Pendidikan Karakter dilakukan bukan dengan bidang studi khusus, tetapi diselipkan dalam kegiatan belajar- mengajar dengan
bentuk yang aplikatif sehingga dapat diikuti, dipahami, dan dihidupi oleh anak- anak
Universitas Sumatera Utara
Setiap pelajaran dimulai guru membiasakan anak- anak untuk berdoa dan mengucapkan salam. Memberikan motivasi di awal pelajaran, menerapkan disiplin-
disiplin dalam melangsungkan kegiatan belajar- mengajar, mentransferkan kata- kata positif untuk menyemangati dan merubah gambar diri anak secara perlahan.
Semuanya dimulai dengan membangun nilai untuk diri mereka sendiri, artinya anak- anak diajarkan bertanggung- jawab terhadap diri sendiri terlebih dahulu baru dunia di
luar dirinya. Karena cara pandang atau tingkah laku seseorang terhadap dirinya sendiri, menentukan cara lakunya terhadap orang lain. Oleh karena itu untuk
menghasilkan pendidikan karakter yang benar semua harus dimulai dari diri si anak. Dengan menstimulus mereka dengan kata- kata positif yang mengatakan bahwa
mereka unik, spesial, dan berharaga apapun latar belakang mereka. Sekalipun dunia menolak dan menganggap mereka rendah tetapi Tuhan memandang mereka indah dan
tidak pernah menolak mereka, dapat merubah cara pandang mindset yang terbangun selama ini dari keluarga mereka dikarenakan pola didik orangtua yang
tidak benar dan faktor latar belakang anak yang sangat memberi pengaruh terhadap rasa percaya diri si anak. Sebagai contoh kecilnya adalah belajar kebersihan diri
mereka sendiri, dari cara berpakaian, cara menyikat gigi, dan cara menggunakan sabun ketika mandi, menyampaikan keinginan mereka tanpa harus berteriak atau
menangis, tidak menggap diri mereka rendah, tidak minder, melatih percaya diri anak.
Setelah itu dilanjut dengan karakter yang berhubungan dengan dunia luar seperti memberi salam pada guru, teman, dan sahabat- sahabat mereka dengan cara
yang sopan, Setiap guru mulai memasuki kelas harus memulai pelajaran dengan doa,
Universitas Sumatera Utara
dan anak- anak diajari untuk mengucapkan terimakasih kepada guru yang telah memberikan pelajaran kepada mereka. Anak- anak juga dilatih untuk bisa memimpin
doa di dalam kelas, dan dilatih secara perlahan untuk bisa menertibkan diri mereka tanpa harus diperintah. Melatih anak meminta maaf kepada teman ataupun guru
ketika mereka salah. Merespon anak- anak dengan perkataan- perkataan positif yang mengajak mereka untuk terbuka dan tidak takut salah. Karena untuk setiap
kesalalahan ada pengampunan, semua dilakukan untuk anak bersikap jujur. Karena tidak dibangun jiwa tertolak ke dalam diri mereka ketika mereka salah seperti
memarahinya di depan umum, mengucapkan kata- kata yang mematikan potensinya seperti kata bodoh, nakal, tidak berubah, keras kepala, dan lain- lain. Semua itu harus
dimulai dari guru terlebih dahulu, guru harus meminta maaf dan memeluk anak setelah mereka mendisiplin anak. Dilakukan agar anak tidak merasa tertolak dan
mengerti bahwa mereka di disiplin karena mereka dikasihi dan mereka belajar untuk ke depannya.
Setiap anak yang mampu melakukan tanggung jawab mereka baik dari hal kecil ataupun hal besar akan mendapatkan apresiasi dari para teman dan guru berupa
pujian dan ucapan terimakasih. Dari sana anak- anak di ajarkan untuk memiliki kesadaran dalam mengucapkan terimakasih kepada orang- orang yang sudah
membantu mereka. Guru juga mengajarkan anak empati dengan cara mengajak anak- anak berkunjung ke rumah teman mereka yang sedang sakit, berdoa bersama untuk
teman- teman mereka yang sedang mengalami sakit taupun masalah dalam
keluarganya. Ini dilakukan untuk membangun rasa kekeluargaan satu sama lain
Universitas Sumatera Utara
Sementara bagi mereka yang gagal akan diberikan disiplin. Yayasan Peduli Karakter Bangsa tidak menggunakan kata “hukuman” kepada anak- anak yang
melakukan kesalahan tetapi kata disiplin. Hukuman terkesan memberikan sanksi atas kesalahan yang mereka lakukan dan menimbulkan dampak yang buruk buat anak
seperti rasa malu, takut salah, tidak percaya diri, bahkan penilaian terhadap diri mereka sendiri. Kata disiplin lebih mengajarkan anak- anak untuk mengatur diri
mereka sendiri dalam contoh kecilnya menahan ego yang merugikan diri sendiri dan orang lain baik itu hal kecil dan besar, berubah dan terus belajar sampai mereka
berhasil. Dalam masalah pendisiplinan guru dilarang menentukan bentuk disiplin
secara penuh, hanya 50 saja, untuk 50 lagi anak- anak diberikan kebebasan dalam menentukan disiplin yang akan mereka terima jika mereka melanggar
kesepakatan yang sudah dilakukan antara guru dengan murid. Dengan artian yang lain, anak- anak memberi konsekuensi sendiri terlebih dahulu kepada mereka untuk
kesalahan yang mereka lakukan. Dan jika konsekuensi itu juga tidak mampu mendisplin anak, maka hak 50 guru berlaku dalam mengatasi masalah yang ada.
Setelah itu guru akan memberikan pengarahan dan pembandingan tentang perilaku positif dan negatif yang dilakukan anak, dan meminta mereka memilih negatif atau
positif. Hal ini diperkuat oleh Ibu Erni Pr 37 thn berikut ini ungkapan ibu Erni:
“anak- anak sebenarnya sedang berada pada masa labil oleh karena itu di dalam kelas berikan pilihan sebesar 50 kepada anak untuk
menentukan pilihan- pilihan pendisiplinan yang dilakukan. 50
Universitas Sumatera Utara
lagi diberikan hak kepada guru sebagai otoritas mereka jika keadaan sudah tidak bisa diatasi lagi dengan pilihan sekalipun.
Tetapi itu pun kami sebagai guru tidak bisa menunjukkan sikap otoriter kepada anak- anak tetapi sikap tegas. Sehingga anak
menghargai dan memiliki rasa aman kepada kita sebagai pendidik dan panutan bagi mereka.saya tidak menjadikan pendidikan
karakter itu sebagai mata pelajaran khusus. Saya selalu menyelipkannya di dalam setiap pelajaran yang sedang berlangsung
sebagai sebuah motivasi ataupu nilai- nilai yang harus disepakati. Misalnya ketika mereka ribut di dalam kelas dan tidak ada yang
mendengarkan saya. Saya akan memberikan pilihan kepada mereka dengan mengatakan “silahkan ribut, ibu akan diam” ketika mereka
diam saya bertanya mengapa mereka berhenti ribut. Dan bertanya apa yang mereka ributkan dan apa fungsi mereka ribut di dalam
kelas ketika saya sedang mengajar. Saya membiarkan mereka membuat pilihan- pilihan yang menurut mereka pantas untuk
dilakukan. Saya tidak menjadikan diri saya sebagai guru yang otoriter dan memiliki kekuasaan penuh atas mereka. Setelah mereka
mebuat pilihan saya mengajak mereka membuata kesepakatan yang harus dijalankan ketika pelajaran berlangsung. Bagi yang
melanggar akan diberikan disiplin, kami tidak memakai kata menghukum bagi anak- anak yang melakukan kesalahan atau
pelanggaran, tapi kata disipilin. Karena dengan kata disiplin ada
Universitas Sumatera Utara
yang mereka harus pelajari dan tidak lakuikan lagi untuk lebih baik. Sementara kata hukuman terkesan seperti sanksi ataupun
ganjaran bagi kesahalan. Karena kesalah butuh kesempatan untuk berubah lewat disiplin bukan ganjaran atau hukuman”
Hal yang sama diungkapkan oleh Ibu Tince Sinaga Pr. 27 thn dari wawancara yang saya lakukan adalah :
“jika saya menegur mereka saya akan meminta maaf secara pribadi dan memeluk mereka. Itu dilakukan agar anak tidak menyimpan
luka dan sakit hati kepada kita. Mereka mengerti bahwa teguran yang kita berikan itu karena kita mengasihi mereka. Agar mereka
lebih baik dan tau menempatkan sesuatu”
Dari data dan hasil peneliti menyimpulkan bahwa dalam menjalankan pendidikan karakter terdapat tiga elemen yang penting untuk diperhatikan yaitu
prinsip, proses dan prakteknya dalam pengajaran. Pendekatan yang sebaiknya dilaksanakan adalah meliputi:
1. sekolah harus dipandang sebagai suatu lingkungan yang diibaratkan seperti pulau dengan bahasa dan budayanya sendiri. Namun sekolah juga harus memperluas
pendidikan karakter bukan saja kepada guru, staf dan siswa didik, tetapi juga kepada keluargarumah dan masyarakat sekitarnya.
2. Dalam menjalankan kurikulum karakter maka sebaiknya pengajaran tentang nilai-nilai berhubungan dengan sistem sekolah secara keseluruhan diajarkan sebagai
Universitas Sumatera Utara
subyek yang berdiri sendiri separate-stand alone subject namun diintegrasikan dalam kurikulum sekolah keseluruhan seluruh staf menyadari dan mendukung tema
nilai yang diajarkan. 3. Penekanan ditempatkan untuk merangsang bagaimana siswa
menterjemahkan prinsip nilai ke dalam bentuk perilaku pro-sosial. Mengingat moral adalah sesuatu yang bersifat abstrak maka nilai-nilai moral kebaikan harus diajarkan
pada generasi muda ini. Oleh sebab itu tema yang sesuai dengan usia anak dalam berpikir konkrit perlu diakomodasi. Cerita-cerita kepahlawanan dan kisah kehidupan
yang perlu diteladani baik dari para orang bijak, maupun para pejuang bangsa dan humanisme tetap diperlukan. Bahkan imajinasi anak terhadap kehidupan yang ideal
ini meskipun apa yang dilihatnya dari sekitarnya tidaklah demikian perlu ditekankan kepada anak agar ia mencintai kebajikan dan terdorong untuk berbuat hal
yang sama. http:openlibrary.orgbOL1384Mhtmlkemiskinan
dan pendidikan karakter oleh Oleh Muhtadi
Baik dan buruk dapat mulai diajarkan kepada siswa didik. Sekali lagi perlu dipahami benar oleh para pendidik dan pemerhati kehidupan bangsa, bahwa
pendidikan moral dan karakter adalah seperti dua sisi mata uang yang saling melengkapi yang memiliki tujuan mulia dalam membentuk moral manusia. Oleh
karena itu dalam memberikan jenis hukuman juga pendidik karakter harus memikirkan dampak terhadap karakter anak nantinya. hukuman yang identik
dilakukan dalam bentuk hukuman fisik ringan sebaiknya diganti dengan sebuah disiplin, walaupun sebenarnya tindakan tersebut sudah diterapkan oleh generasi
Universitas Sumatera Utara
sebelum kita. Ketika hukuman fisik dilakukan, sebenarnya kita sedang menunjukkan kepada anak- anak bahwa memukul orang dibenarkan ketika kita marah kepadanya
dan rasa sakit menjadi konsekuensi dari suatu kesalahan. Punishment hukuman yang diberikan kepada murid tentu saja harus berbeda
dengan dunia militer yang lebih mengedepankan hukuman fisik dan terkesan menjatuhkan mental. Di dunia pendidikan, hukuman kepada murid tidak berakibat
kepada tekanan psikologis yang dapat menyumbat kreativitas, bakat dan minat anak, seperti unsur dilecehkan, dipermalukan, dianaktirikan dan sebagainya. Walaupun
kadar ringan dan beratnya sanksi akan berbeda-beda tergantung dari tingkat kesalahan yang dibuat. Kita tahu sendiri bahwa setiap anak lahir dalam keluarga yang
memiliki cara masing-masing dalam membesarkan anak mereka. Dalam beberapa keluarga, kedua orangtua mungkin sama- sama permisif. Namun dikeluarga yang
lain, kedua orang tua mungkin sama- sama otoritatif. Tidak ada satupun teknik pengasuhan yang sempurna karena semua anak berbeda temperamen dan
kepribadiannya.
5.8 Hambatan dalam Penerapan Pendidikan Karakter Yang Dilakukan Oleh Yayasan Peduli Karakter Bangsa
Di dalam penerapan pendidikan karakter bagi anak- anak yang berasal dari masyarakat pinggiran tidaklah mudah dan berjalan mulus. Banyak hambatan yang
harus dilalui oleh guru sebagai pendidik dan pengajar. Dibutuhkan kesabaran yang penuh dari guru sebagai pendidik dan pengajar. Apalagi anak- anak yang berasal dari
daerah pinggiran memiliki temperamen yang lebih keras. Mereka kasar, jorok, tidak
Universitas Sumatera Utara
bisa diatur, sulit memahami arti arahan guru disebabkan daya oleh tangkap mereka yang kurang, lamban, dan tidak memiliki daya nalar yang baik. Oleh karena itu, guru-
guru yang terlibat di dalam pendidikan masyarakat pinggiran ini harus memiliki kesabaran dan mencintai anak- anak dengan tulus. Guru harus mampu menahan
emosi mereka untuk setia tindakan anak yang tidak bisa di atur dan anak- anak yang lamban dalam menangkap pelajaran yang diberikan.
Hambatan yang ada tidak hanya berasal dari anak, tetapi juga dari pihak orangtua yang tidak banyak membantu guru ataupun sekolah dalam penerapannya.
Karena ketika dilakukan survei kelapangan orangtua juga tidak memiliki pola interaksi yang baik kepada orang lain dan itu terbawa sampai ke anak mereka. Selain
itu orangtua juga sibuk mencari uang untuk memenuhi kebutuhan sehari- hari, sehingga tidak memiliki waktu yang cukup dalam membantu perkembangan anak.
Orangtua menyerahkan sepenuhnya tanggung jawab kepada sekolah untuk mendidik anak- anak mereka. Orangtua tidak memiliki waktu yang intensif dalam pendidikan
mereka, padahal untuk keberhasilan pendidikan karakter harus ada kerjasama yang baik antara sekolah dan orangtua sebagai contoh ataupun panutan anak dalam
penerapannya di kehidupan sehari- hari. Seperti ungkapan oleh Ibu Tince Sinaga Pr 27 thn .
“dalam menjalankan pendidikan karakter bagi anak-anak pinggiran sangat berbeda dengan anak-anak yang berasal dari keluarga yang
hidup dalam lingkungan yang baik. Anak-anak pinggiran sangat jorok dan bau, mereka sama sekali buta dengan kebersihan. Selain
itu sikap dan karakter anak-anak yang berasal dari keluarga yang
Universitas Sumatera Utara
tidak mampu ini sangat susah diatur, dan kasar, keras. Ditambah lagi respon atau kerjasama dari orangtua yang sama sekali tidak
ada dengan pihak sekolah, kami sangat kesulitan dalam menangani sikap atau karakter para anak didik saya di awalnya.
Hal yang sama juga diperkuat oleh Ibu Rossanna Pandiangan Pr 34 thn dari hasil wawancara yang dilakukan:
“ kalo.... orang miskin seperti kami ini kalau tidak cari uang kayakmana kami bisa makan dek? Apalagi kami ini pendatangnya
di kota medan ini sama suami. Di kota semua mahal, hidup susah. Manalah sempat kami melihat apa yang anak kami kerjakan yah...
paling kami arahkan seadanya. Mereka tau dirilah orangtua mereka pekerjaannya seperti apa. Kami susah- susah menyekolahkan,
bukan karena kami banyak uang setidaknya tidak susah mereka seperti kami nanti. Apalagi zaman makin berkembangnya makanya
disekolahkan biar berubahnya mereka. Kerja guru kan membantu kami orangtua mendidik dan mengarahkan anak kami mau jadi
apa”
Universitas Sumatera Utara
Hal ini diperkuat oleh pengakuan Ibu Rukia Pr 43 tahun Selaku orangtua murid :
“ bukan kami tidak mau menjaga anak kami. Tapi waktu kami diluar untuk mencari uang sudah habis banyak. Kalau pulang
kerumah pengennya langsung istirahat aja. Kami rasa anak kami mengerti situasi orantuanya. Karena kami mengajar mereka untuk
sadar diri siapa orangtua mereka”
Hal yang sama diungkapkan oleh Ibu Juliana Tarigan Pr 32 Tahun berikut ini:
“setiap hari kami harus bekerja dua- duanya istri dan suami setelah mengantar anak kesekolah kami sudah merasa
bertanggungjawab. Walaupun kadang- kadang kami merasa bersalah harus membiarkan mereka disekolah samapai jam 6 sore
menunggu jemputan kami. Karena kami hanya bisa menjemput mereka apabila pekerjaan kami sudah selesai dikerjakan. Untuk
mendidik mereka kamis serahkan kepada sekolah. Kami ini bodohnya sekolah kami pun gak ada. Apalah yang bisa kami kasi ke
anak kami kalau didikannnya. Paling didikan apa adanya aja, supaya mereka tidak bandal”
Dalam hal ini dapat kita peneliti dapat melihat bahwa kesuksesan penerapan pendidikan karakter, apabila ada kerjasama yang baik antara sekolah, lingkungan, dan
Universitas Sumatera Utara
orangtua dalam proses penerapannya. Karena upaya pendidikan yang dilakukan di sekolah oleh para guru seperti membuat ‘istana pasir di tepi pantai’. Sekolah dengan
sekuat tenaga membangun istana yang cantik, tetapi begitu anak keluar dari lingkungan sekolah, ombak besar meluluhlantakkan istana yang telah dibangun di
sekolah. Oleh karena itu, perlu pendekatan yang komprehensif dari sekolah, keluarga, dan masyarakat dalam mengembangkan karakter anak didik yang kuat, baik, dan
positif secara konsisten. Dalam hal ini guru harus memahami tahap perkembangan anak didiknya
dikaitkan dengan teori yang dikemukakan oleh Herbert Mead, dimana anak harus melalui tiga tahap perkembangan anak. Dari penelitian di atas dapat dilihat bahwa di
sekolah anak- anak dapat melewati tahap play stahe dan game stage mereka dengan baik. Tetapi ketika mereka kembali kerumah mereka tidak menemukannya di dalam
lingkungan keluarga mereka. Hal ini lah yang bisa membuat kepribadian anak menjadi terpecah, karena apa yang mereka dapat di sekolah tidak memiliki korelasi di
keluarga mereka. Sekolah bertujuan menyelamatkan anak dari krisis karakter yang banyak
merusak moral anak bangsa, tetapi di lain sisi keluarga tidak mendukung program yang dilakukan oleh sekolah. Dalam hal ini anatara sekolah dan keluarga terjadi gape,
sehingga dalam proses play stage dan game stage anak- anak melakukan imitasi konsep diri. Tetapi hasilnya mereka justru mengalami keterpecahan kepribadian,
karena tidak tau menjadikan sekolah atau guru sebagai panutan. Ibu Sora sebagai agen sosial menyadari bahwa pendidikan karakter tidak akan berhasil jika tidak ada
peran keluarga yang benar juga. Karena anak membutuhkan tauladan yang tepat
Universitas Sumatera Utara
untuk dijadikan panutan dalam perkembangan mereka selanjutnya, dan tauladan itu harus benar sehingga visi dan misi untuk menjadikan anak sebagai pemimpin
berkarakter berhasil. Sama halnya seperti yang diungkapkan oleh Ki Hajar Dewantara dalam teori
Amongnya, bahwa sebenarnya bukan hanya guru yang bertanggung jawab dalam proses mendidik atau mengemong anak. Tetapi juga orangtua sebagai figur yang
memiliki tanggung jawab penuh terhadap perilaku anak. Dengan kata lain masyarakat adalah guru bagi anak- anak sebagai generasi muda. Maka untuk pencapaian yang
maksimal dari pendidikan karakter yang diterapkan, sangat diperlukan kerjasama yang baik antara sekolah dan orangtua dalam pelaksanaannya. Nur Wangid 2009 :
10
5.9 Strategi Pendidikan Karakter dan Implementasinya oleh Yayasan Peduli Karakter Bangsa