dibutuhkan sebuah wadah formal seperti sekolah. Agar efektifitas kegiatan belajar- mengajar lebih baik, ditambah lagi tersedianya tenaga
pengajar yang memang siap membentuk generasi muda menjadi generasi yang siap menciptakan perubahan melalui talenta, bakat, dan ilmu yang
mereka dapatkan melalui latar belakang pendidikan mereka. 4.
pembangunan pendidikan harus mengarah pada terciptanya efisiensi pengelolaan pendidikan, dan hal ini akan tercapai bila tujuan pendidikan
tercapai: dimana tujuan dari Yayasan Peduli Karakter Bangsa yaitu “ menolong masyarakat prasejahtera keluar dari kemiskinan dengan
membangun generasi berpendidikan dan menjadi komunitas yang berkarakter menuju Indonesia baru” maka untuk mencapainya harus ada
struktur pelaksana yang jelas melalui sebuah lembaga formal maka Yayasan Peduli Karakter Bangsa mendirikan Sekolah Kristen Talita
Kum. Zainuddin, M. 2008:14
5.4 Proses Terbentuknya Pendidikan Karakter
Melihat hasil perubahan kebijakan- kebijakan pendidikan terutama dari segi kurikulum pendidikan, masih juga belum kontributif bagi semua masyarakat,
terutama bagi masyarakat miskin. Ibu Sora dan Team memikirkan inovasi baru untuk melengkapi pendidikan yang ditawarkan pemerintah agar kontributif bagi masyarakat
pinggiran. Baik dari aspek fasilitas untuk menampung jumlah yang sudah melebihi
kapasitas, sampai kepada aspek nilai- nilai yang harus diterapkan. Belajar dari banyak
pengalaman dan keterlibatan langsung dalam kehidupan masyarakat dalam
Universitas Sumatera Utara
melakukan pelayanan masyarakat di daerah pinggiran. Ibu Sora dan Team akhirnya memilih pendidikan karakter character Building sebagai dasar yang perlu
diperhatikan bagi pendidikan masyarakat pinggiran. Selain untuk mencapai Visi dan Misi yang ingin dicapai yaitu “menolong masyarakat pra sejahtera keluar dari
kemiskinan tetapi juga ingin membangun generasi berpendidikan dan menjadi komunitas yang berkarakter menuju Indonesia baru”. Tetapi juga berdasarkan
realita kehidupan masyarakat pinggiran setelah melakukan survei lapangan untuk melihat kehidupan anak- anak yang berasal dari daerah pinggiran mereka
menemukan bahwa cara masyarakat bersosialisasi maupun pola hidup sangat perlu
dibenahi.
Anak- anak tidak memiliki pola intreraksi yang baik dengan sesamanya juga dengan orang- orang yang berusia lebih tua dari mereka. Seperti mengucapkan
kalimat- kalimat kotor, kasar, jorok, tidak memiliki sopan- santun, sembarangan dalam banyak hal. Selain itu mereka juga tidak memiliki perhatian yang penuh dari
orangtua, dikarenakan orangtua mereka masih harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan sehari- hari. Lingkungan tempat anak bertumbuh juga tidak mendukung
secara positif tahap- tahap perkembangan yang harus dilalui seorang anak. Ditambah lagi anak yang harus membantu orangtua bekerja mencari uang untuk kebutuhan
kehidupan sehari- hari. Sehingga banyak faktor yang mempengaruhi tingkah- laku anak dalam bersikap dan bertindak di kehidupan sehari- hari. Seperti hal etika,
loyalitas, tanggungjawab, dan kejujuran yang sangat kurang. Ibu Sora dan Team akhirnya memutuskan untuk menjadikan pendidikan
karakter sebagai salah satu pondasi dan aspek yang sangat penting diperhatikan.
Universitas Sumatera Utara
Melihat keadaan bangsa saat ini tidak dikarenakan kekurangan orang pintar, melainkan orang- orang berkarakter maka banyak terjadi koruspsi, nepotisme, dan
hal- hal buruk lainnya yang membuat negara kita terlihat sangat buruk di mata dunia dari segi integritas. Maka untuk memiliki pemimpin yang berkarakter harus dimulai
dari generasi yang paling muda yaitu anak- anak. Dengan tujuan menanamkan nilai- nilai yang benar kepada anak- anak semenjak mereka kecil, jadi nilai- nilai itu tidak
hanya menjadi sebuah panutan ataupun aturan dalam bermasyarakat melainkan nilai- nilai yang dianut secara pribadi yang sudah menjadi prinsip di dalam diri mereka
masing- masing sampai mereka tua. Ibu Sora dan Team tetap melaksanakan atau menjalankan sistem pendidikan
yang dicanangkan oleh pemerintah sesuai dengan kurikulum yang berlaku. Tetapi mereka harus melakukan beberapa inovasi dalam melakukan metode atau strategi
pendidikan bagi masyarakat pinggiran, terutama dalam hal karakter agar kontributif bagi masyarakat yang sedang di bina. Karena mereka melihat bahwa daya tangkap
baik dari segi Intelectual Quotient IQ maupun dari segi Emotional Quotient EQ anak- anak pinggiran berbeda dengan anak- anak yang bertumbuh di lingkungan yang
normal. Maka untuk membenahi mereka dari segi IQ dan EQ agar seimbang, Ibu Sora dan Team menjadikan pendidikan karakter sebagai alat penggerak untuk mencapai
hal tersebut. Seperti yang dituturkan oleh Ibu Mida Hotmaida Sinaga Pr 31 thn dari
wawancara yang dilakukan :
Universitas Sumatera Utara
“Negara kita yang saat ini disebut sebagai negara yang sedang berkembang, sangat membutuhkan Sumber Daya Manusia yang
berkualitas, baik itu secara intelektual maupun karakter. Saat ini banyak kita temukan orang pintar namun tidak memiliki karakter
yang benar. Untuk itu sangat dibutuhkan sistem pendidikan yang benar-benar dirancang untuk mencapai tujuan yang dinginkan
yakni menghasilkan generasi yang berkarakter dan cerdas. Sehingga nantinya mereka mampu mengubah kehidupan mereka
kearah yang lebih baik. Begitu juga bangsa ini dimata dunia karena mereka memiliki integritas yang tinggi ketika ditempatkan
dimanapun sesuai dengan tujuan mereka masing- masing. Tetapi karena berbicara karakter, itu bukan hal yang mudah dan sempit.
Sehingga kami memprioritaskan kepada 9 karakter dari 46 karakter yang seharusnya ada. Sembilan karakter ini kami fokuskan karena
ini lebih kontributif untuk anak- anak sebelum mereka memasuki masa remaja dan merupakan karakter dasar yang harus dimiliki. ”
Dari data di atas peneliti melihat bahwa realita masyarakat yang ada membuktikan bahwa masyarakat memang telah kehilangan karakter. Bukti paling
besar dapat kita lihat dari integritas bangsa kita di mata dunia dalam beberapa hal sangat memprihatinkan, contohnya korupsi, pembajakan, dan lain- lain. Semuanya
dimulai dari kesalahan- kesalahan kecil yang diputihkan dan dianggap biasa oleh
Universitas Sumatera Utara
masyarakat. Padahal membentuk nilai yang tanpa disadari terbawa sampai ke usia dewasa.
Dalam program pengentasan kemiskinan yang selama ini ada hanya merupakan program pemberdayaan masyarakat yang lebih terfokus pada bantuan
teknis. Misalnya, pemberian modal usaha, pelatihan, dan bantuan-bantuan material lainnya. Tentu saja tidak salah, karena semua bantuan-bantuan teknis untuk
mengangkat mereka yang miskin menjadi sejahtera itu sangat penting. Dari itu semua ada yang kurang lengkap dalam program pemberdayaan masyarakat miskin tersebut.
Yakni, kurang diberdayakan pada aspek nilai-nilai dan budaya apa yang harus dikembangkan untuk seluruh stakeholder yang mengelola maupun kelompok
pemanfaat program tersebut. Pelembagaan nilai-nilai seperti kejujuran, kepedulian, komitmen untuk kepentingan bersama, kewirausahaan, keadilan, partisipasi dan lain
sebagainya kurang mendapatkan porsi atau perhatian dari stakeholder yang terlibat dalam tugas-tugas pemberdayaan.
Dalam konteks ini, pemberdayaan masyarakat miskin selain pemberian bantuan teknis juga merupakan wahana pendidikan karakter. Hal yang terakhir ini
terabaikan dan perlu diperkuat serta dilembagakan agar program pemberdayaan masyarakat itu berhasil baik secara teknis maupun non- teknis dapat terwujud.
Melalui proses ini kelompok sasaran harus mentransformasikan dirinya menjadi lebih jujur, amanah, peduli, berintegritas moral tinggi, kreatif, mandiri, inovatif dan
berdaya saing. Itulah yang dilakukan oleh Ibu Sora dan Team dalam melengkapi pemberdayaan pendidikan bagi masyarakat kurang mampu yang mereka lakukan.
Mereka meyadari bahwa pembentukan nilai dan karakter ini penting sebagai bagian
Universitas Sumatera Utara
menghidupkan secara terus-menerus dan berkesinambungan proses perubahan yang positif pada setiap warga masyarakat dalam menghadapi masalah dan tantangan
zamannya. Pada konteks ini, pemberdayaan masyarakat miskin diposisikan dan diletakkan. Inilah yang akan lebih menghasilkan sesuatu yang bermakna bagi upaya
mengisi perubahan di masyarakat.. Sementara dalam wujud praksis, pendidikan karakter di lingkungan
pendidikan formal dapat ditempuh lewat integrasi keilmuan. Pertama, untuk mewujudkan pendidikan karakter bagi anak didik, perlu adanya integrasi yang utuh
antara IQ intelligence quotient, EQ emotional quotient, SQ spiritual quotient Sejauh ini, sistem pendidikan Indonesia lebih berorientasi pada pengisian kognisi
yang ekuivalen dengan peningkatan IQ semata--walaupun juga di dalamnya terintegrasi pendidikan EQ. Padahal, warisan terbaik bangsa kita adalah tradisi
spritualitas SQ yang tinggi kemudian nyaris terabaikan--untuk tidak mengatakan terlupakan.
Meningkatkan kesadaran anak didik terhadap pengenalan budaya-budaya ketimuran yang sudah sejak lama dijunjung tinggi oleh nenek moyang dan founding
fathers kita. Jika itu berjalan dengan efektif dan maksimal, dimungkinkan akan timbul kesadaran bagi anak didik hingga ketika mereka lulus nanti, agar tidak melakukan
perbuatan-perbuatan tercela amoral yang itu jelas-jelas tidak mencerminkan adat dan budaya ketimuran kita.
Metode pembelajaran itu umumnya disebut sebagai pendidikan moral, yang terintegrasi ke dalam dua mata pelajaran, yakni Pancasila dan kewarganegaraan
PPKn dan pendidikan agama. Namun, dalam praktiknya terasa masih tampak
Universitas Sumatera Utara
kurang pada keterpaduan model dan strategi pembelajarannya. Siswa lebih diorientasikan pada penguasaan materi yang tercantum dalam kurikulum atau buku
teks, dan kurang mengaitkan dengan isu-isu moral esensial yang sedang terjadi dalam masyarakat sehingga peserta didik kurang mampu memecahkan masalah-masalah
moral yang terjadi dalam masyarakat.
5.5 Jenis Karakter Yang diterapkan Oleh Yayasan Peduli Karakter Bangsa