II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN
2.1. Tinjauan Pustaka
Area Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia secara berturut-turut pada tahun 1999, 2000, 2001 dan 2002 adalah sekitar 3.172.163 Ha, 3.393.421 Ha,
3.584.486 Ha dan 4.116.646 Ha. Kelapa sawit terbesar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Irian Jaya Barat Papua dan Jawa Barat Ditjenbun, 2002.
Area Perkebunan Kelapa Sawit di Sumatera Utara pada tahun 2002 berada di posisi kedua di Indonesia, yaitu 776.670 Ha. Berdasarkan kepemilikan,
Perkebunan Kelapa Sawit di Sumatera Utara secara berturut-turut terdiri dari pemilik kecil, milik pemerintah, area perusahaan swasta, yaitu sekitar 186.991,78
Ha, 273.278,97 Ha dan 317.398,98 Ha Disbun Sumut, 2002. Dalam perekonomian Indonesia, komoditas kelapa sawit memegang
peranan yang cukup strategis karena komoditas ini mempunyai prospek yang cerah bagi sumber devisa negara. Disamping itu, kelapa sawit merupakan bahan
baku utama minyak goreng yang banyak dipakai di seluruh dunia sehingga secara terus-menerus mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat Suyatno, 1995.
Analisis yang lebih rinci tentang dampak ekonomis pajak ekspor dari produk-produk ini tidak dapat digeneralisasi, tetapi masih harus memperhitungkan
beberapa variabel penting seperti penurunan penerimaan ekspor para produsen. Pengembangan agroindustri dan komoditi CPO ini tidak dilakukan dengan proses
perencanaan yang matang. Kemudahan-kemudahan yang diberikan kepada pihak swasta pada tahap investasi pembukaan kebun baru kelapa sawit cenderung
berlebihan Sofyan, 2000.
Universitas Sumatera Utara
Sebagian besar hasil-hasil bidang pertanian rakyat adalah bahan makanan terutama beras untuk konsumsi sendiri, sedangkan hampir seluruh hasil
perkebunan adalah ekspor Mubyarto, 1989. Pembekuan sementara izin investasi PMA di perkebunan dan pengelolaan
CPO dimaksudkan untuk membendung usaha besar-besaran dari pengusaha asing khususnya pengusaha Malaysia yang berambisi tetap menjadi yang terbesar di
dunia dalam Perkebunan Kelapa Sawit yang cenderung mengarah pada pola monopoli baru dalam bisnis sawit Indonesia. Dampak dari pengusaan areal ini
kemungkinan akan berpengaruh ke sektor industri serta perolehan devisa ekspor Sofyan, 2000.
Pada awalnya, minyak sawit dikembangkan untuk mengisi kekurangan pasokan minyak nabati domestik yang tidak dapat dipenuhi minyak kelapa.
Namun, karena mampu mengimbangi pertumbuhan konsumsi, minyak sawit menjadi minyak utama 90 dalam konsumsi masyarakat Indonesia sekarang
ini. Penggunaan minyak sawit sebagian besar untuk pangan sedangkan untuk industri oleokimia relatif masih kecil seperti pada Tabel 4 Ambar dkk, 2007.
Tabel 4. Penggunaan Minyak Dalam Negeri Jenis
Industri Pemakaian minyak sawit ribu ton
1988 1993
1999 2006
Oleopangan 954
2.154 2.954
3.000 Oleokimia
254 496
650 800
Jumlah 1.218
2.650 3.504
3.800
Sumber : Ambar dkk, 2007 Konsumsi minyak sawit naik sejalan dengan pertambahan penduduk,
pertumbuhan ekonomi dan semakin diterimanya minyak sawit di pasar. Konsumsi minyak sawit nasional CPO 1988 adalah 1,2 juta ton, 1,9 juta ton pada 1993, 2,5
juta ton pada 1997 dan 3,5 juta ton pada 1999. Berdasarkan angka tersebut
Universitas Sumatera Utara
pertumbuhan konsumsi minyak sawit dalam negeri adalah sekitar 11,5 tahun. Pertumbuhan konsumsi untuk oleopangan adalah 12, lebih besar dibandingkan
pertumbuhan konsumsi untuk oleokimia 10 Ambar dkk, 2007. Perkembangan harga minyak sawit CPO di pasar domestik dan
internasional sejak tahun 1988 sampai dengan 1998 menunjukkan bahwa pergerakan harga bulanan minyak sawit menunjukkan pergerakan harga minyak
sawit mempunyai siklus bisnis dengan panjang sekitar 5-6 tahun. Siklus bisnis ini menjadi rujukan perubahan harga global. Selain siklus bisnis, harga minyak sawit
juga mempunyai fluktuasi musiman yang dalam istilah teknis disebut seasonility. Harga rata-rata minyak sawit di pasar internasional dan domestik dapat dilihat
pada Tabel 5 Ambar dkk, 2007.
Tabel 5. Harga Rata-Rata Minyak Sawit di Pasar Domestik Internasional Tahun
Harga Lokal
Harga Ekspor
Tahun Harga
Lokal Harga
Ekspor RpKg
USTon RpKg
USTon
1988 502
463 1997
1.424 545
1989 552
524 1998
3.600 663
1990 531
280 1999
3.423 436
1991 655
339 2000
3.338 310
1992 728
394 2001
3.763 286
1993 694
407 2002
3.714 390
1994 988
525 2003
3.852 443
1995 1.275
628 2004
4.284 471
1996 1.148
532 2005
4.034 422
Sumber : Ambar dkk, 2007 Secara keseluruhan, konsumsi minyak goreng rumah tangga per kapita
mengalami peningkatan, namun dengan laju yang semakin menurun. Rata-rata konsumsi minyak goreng per kapita pada tahun 1993 adalah 7,625 liter di daerah
pedesaan, 9,375 liter di daerah perkotaan dan 8,375 liter di seluruh Indonesia Amang dkk, 1996.
Universitas Sumatera Utara
Proyeksi minyak goreng dilakukan dengan asumsi bahwa dampak perubahan harga minyak goreng dinetralisir oleh dampak perubahan harga-harga
lain, sehingga perubahan konsumsi minyak goreng per kapita hanyalah akibat dari dampak perubahan pendapatan riil per kapita. Laju pertumbuhan pendapatan riil
per kapita diasumsikan sama dengan laju pertumbuhan produksi domestik bruto riil yaitu 6,2 tahun Buku Repelita VI. Perkiraan jumlah penduduk juga
diperoleh dari buku Repelita VI. Proyeksi konsumsi minyak goreng untuk konsumsi pangan hingga tahun 2013 dapat dilihat pada Tabel 6.
Amang dkk,1996.
Tabel 6 . Proyeksi Konsumsi Minyak Goreng untuk Konsumsi Pangan Hingga Tahun 2013
Tahun Penduduk
ribu orang Konsumsi per
kapita literorang
Total konsumsi juta liter
1993 189.136
8,060 1.524
1998 204.424
8,539 1.745
2003 219.380
9,062 1.988
2008
233.571 9,638
2.251
2013 246.520
10,273 2.533
Sumber : Amang dkk, 1996 Secara umum, konsumsi minyak goreng per kapita diperkirakan masih
akan terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir ini, namun laju peningkatan tersebut akan semakin rendah. Perpaduan antara peningkatan konsumsi per kapita
dan pertambahan jumlah penduduk akan membuat permintaan minyak goreng untuk pangan rumah tangga akan meningkat terus. Potensi permintaan domestik
yang besar ini tentu merupakan peluang yang baik bagi pengembangan industri minyak goreng dalam negeri Amang dkk, 1996.
Upaya stabilisasi harga dapat dilakukan lewat pasar berjangka, karena mekanisme yang sangat transparan memungkinkan diketahuinya demand-supply
Universitas Sumatera Utara
setiap saat, dan bagi yang ingin mempermainkan supply dengan menumpuk stok akan rugi sendiri karena pasar memberikan indikasi harga yang tidak
memungkinkan untuk dipermainkan Sofyan, 2000. Industri oleopangan perlu terus meningakatkan mutu produknya sehingga
mampu menembus pasar minyak makan dunia yang masih sangat besar, khususnya India, Cina, Asia Selatan dan Timur tengah Ambar dkk, 2007
Apabila tidak ada perubahan dalam teknologi maka pembangunan pertanian pun terhenti. Produksi terhenti kenaikannya, bahkan dapat menurun
karena menurunnya kesuburan tanah atau karena kerusakan yang semakin meningkat oleh hama penyakit yang merajalela Mubyarto, 1989.
Ketika harga suatu komoditas berubah, semakin lama perubahan itu berlangsung, akan semakin besar informasi yang mengalir perihal perubahan harga itu. Artinya,
makin banyak orang yang mengetahuinya. Kedua, para konsumen akan semakin berkesempatan menyesuaikan konsumsinya, bila waktu yang tersedia lebih
panjang. Kenyataanya, semakin panjang waktu yang mereka dapatkan, semakin ringan biaya bagi mereka guna membiasakan diri dengan pola konsumsi yang
baru Miller dan Meiners, 2000 Afandi 2008 dengan penelitian judul Kointegrasi CPO Internasional,
CPO Domestik dan Minyak Goreng Domestik dengan menggunakan data harga CPO internasional bulanan 2003-2007, data harga CPO domestik bulanan 2003-
2007 dan data harga minyak goreng domestik bulanan 2003-2007, melakukan uji unit root dengan uji Augmented Dickey-Fuller ADF memperoleh hasil bahwa
data-data tersebut sudah stasioner pada level yang sama yaitu pada turunan pertama atau I1 dengan kesimpulan bahwa variabel harga minyak goreng sudah
Universitas Sumatera Utara
stasioner pada diferensi yang pertama. Hal ini dapat dilihat dari nilai probabilistiknya yaitu 0,0002 0,05 pada tingkat kepercayaan 5, ini berarti
data sudah stationer. Kemudian membandingkan nilai absolut statistik t 5,424125 dengan nilai kritis menurut tabel MacKinnon pada tingkat 1, 5
atau 10. Ternyata nilai absolut statistik t lebih besar dibanding dengan nilai-nilai kritisnya, sehingga dapat disimpulkan bahwa data sudah stasioner. Variabel harga
CPO domestik sudah stasioner pada diferensi yang pertama. Hal ini dapat dilihat dari nilai probabilistiknya yaitu 0,0000 0,05 pada tingkat kepercayaan 5, ini
berarti data sudah stationer. Kemudian membandingkan nilai absolut statistik t 6,261157 dengan nilai kritis menurut tabel MacKinnon pada tingkat 1, 5
atau 10. Ternyata nilai absolut statistik t lebih besar dibanding dengan nilai-nilai kritisnya, sehingga dapat disimpulkan bahwa data sudah stasioner. Variabel harga
CPO internasional sudah stasioner pada diferensi yang pertama. Hal ini dapat dilihat dari nilai probabilistiknya yaitu 0,0003 0,05 pada tingkat kepercayaan
5, ini berarti data sudah stationer. Kemudian membandingkan nilai absolut statistik t 5,277060 dengan nilai kritis menurut tabel MacKinnon pada tingkat
1, 5 atau 10. Ternyata nilai absolut statistik t lebih besar dibanding dengan nilai-nilai kritisnya, sehingga dapat disimpulkan bahwa data sudah stasioner dan
siap dianalisis ke uji kointegrasi. Afandi 2008 juga telah melakukan uji kointegrasi antara harga CPO
domestik dengan harga CPO internasional dan kointegrasi antara harga minyak goreng domestik dengan harga CPO domestik. Hasil dari uji kointegrasi antara
harga CPO domestik dengan harga CPO internasional Lampiran 10 menjelaskan bahwa trace statistic lebih kecil dari nilai critical value pada tingkat 50,05,
Universitas Sumatera Utara
yaitu 19,17685 25,87211. Begitu juga nilai probabilistiknya lebih besar dari nilai kritis tingkat kepercayaan 5 yaitu 0,2704 0,05. Hal ini menyatakan
bahwa kedua variabel yaitu harga CPO domestik dan harga CPO internasional tidak saling berkointegrasi.
Afandi 2008 melakukan uji kointegrasi antara harga minyak goreng domestik dengan harga CPO domestik Lampiran 11 dengan hasil bahwa trace
statistic lebih kecil dari nilai critical value pada tingkat 50,05, yaitu 14,84133 25,87211. Begitu juga nilai probabilistiknya lebih besar dari nilai kritis tingkat
kepercayaan 5 yaitu 0,5878 0,05. Hal ini menyatakan bahwa kedua variabel yaitu harga minyak goreng domestik dan harga CPO domestik tidak saling
berkointegrasi. Penelitian ini menyimpulkan bahwa kedua variabel yaitu harga CPO domestik dan harga CPO internasional tidak saling berkointegrasi. Begitu
juga variabel Minyak goreng domestik dan CPO domestik tidak saling berkointegrasi.
Bacuks 2006 menggunakan model Autoregresi ketika mempelajari transmisi harga pada pasar babi di Swiss. Bacuks menyimpulkan bahwa transmisi
harga diantara produsen dan konsumen bersifat asimetrik. Bacuks juga mempelajari transmisi harga daging babi sehubungan dengan siklus harga,
menyimpulkan bahwa harga konsumen sesuai secara asimetris terhadap perubahan harga disemua frekuensi.
Bakucs 2006 menyimpulkan bahwa kebanyakan hasil empiris menguatkan adanya hubungan timbal balik antara pasar peternakan dan pasar
Pengecer disemua katagori yang telah dipelajari. Singkatnya, kebanyakan penelitian menemukan bahwa transmisi harga asimetris dalam pasar kebutuhan
Universitas Sumatera Utara
pokok. Hal ini juga disebabkan terjadinya informasi yang tidak langsung yang berasal dari harga di peternakan, pengecer dan konsumen.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Paulsen 2007, dengan judul penelitian Elastisitas Transmisi Harga Salmon yang di Ekspor terhadap Harga
Salmon di Tingkat Produsen dengan Studi Kasus Norwegia, menyimpulkan bahwa elastisitas trasnsmisi harga salmon ekspor terhadap harga salmon di tingkat
produsen bersifat inelastis. Hal ini dipengaruhi oleh nilai tukar dan biaya trasportasi. Serta adanya kebijakan pemerintah berupa Pungutan Ekspor PE
Penelitian Jaldi 2007 yang berjudul Analisis Pemasaran CPO Crude Palm Oil PT. Perkebunan Nusantara IV PTPN-IV dengan identifikasi masalah
berapa besar elastisitas transmisi harga dari pemasaran CPO Crude Palm Oil PT. Perkebunan IV PTPN-IV?, mendapatkan hasil yaitu bahwa elastisitas
transmisi harga pemasaran CPO ekspor PT Perkebunan Nusantara IV PTPN-IV pada tahun 2006 adalah bersifat inelastis yaitu perubahan harga sebesar 1
ditingkat pemasar akan mengakibatkan perubahan harga sebesar -0,34 ditingkat produsen pada kegiatan pemasaran CPO Crude Palm Oil ekspor PT Perkebunan
Nusantara IV PTPN-IV. Hal ini lanjutnya, disebabkan karena adanya peningkatan input, seperti harga bahan baku TBS, harga solar dan upah tenaga
kerja dalam pembuatan CPO Crude Palm Oil dan lemahnya posisi tawar bargaining position PTPN-IV serta hal-hal yang bersifat politis, yaitu hubungan
diplomatik Indonesia dengan negara pengimpor CPO Crude Palm Oil. Hasil penelitian Jaldi 2007 juga menarik kesimpulan bahwa elastisitas
transmisi harga CPO Crude Palm Oil domestik PTPN-IV bersifat inelastis, yaitu perubahan harga sebesar 1 ditingkat pemasar akan mengakibatkan perubahan
Universitas Sumatera Utara
harga 0,59 ditingkat produsen pada kegiatan pemasaran CPO Crude Palm Oil domestik PTPN-IV. Hal ini lanjutnya, disebabkan oleh kenaikan input, seperti
bahan baku TBS, harga solar pabrik dan upah tenaga kerja dalam pembuatan CPO Crude Palm Oil dan lemahnya posisi tawar bargaining position PT
Perkebunan Nusantara-IV.
2.2. Landasan Teori