3. Lapisan Subkutan
Lapisan ini terdiri atas jaringan ikat longgar dan lemak. Pada embrio lapisan subkutan mulai berkembang pada bulan ke 5, pada
lobulus ini sel-sel lemak dan kolagen dipisahkan oleh septa fibrosa dari pembuluh darah. Jaringan subkutan berfungsi dalam
penyediaan energi James et al., 2006.
2.2.2 Penetrasi Obat Melalui Kulit
Proses penetrasi melalui stratum korneum dapat terjadi dengan adanya proses difusi melalui dua mekanisme:
A. Absorbsi transepidermal
Merupakan jalur difusi melalui stratum korneum yang dapat terjadi melalui dua jalur yakni jalur transeluler yang berarti
proses difusi terjadi melalui protein dalam sel serta melewati daerah kaya akan lipid atau bersifat lipofil, dan jalur
paraseluler yang berarti proses difusi berlangsung melalui ruang antar sel. Penetrasi berlangsung melalui dua tahap:
pertama pelepasan obat dari pembawa ke stratum korneum, tergantung koefisien partisi obat dalam pembawa serta stratum
korneum, kedua difusi melalui epidermis dan dermis dibantu oleh aliran pembuluh darah dermis Banker Rhode 2002.
B. Absorbsi transappendageal
Merupakan jalur masuknya obat melalui folikel rambut dan kelenjar keringat melalui pori-pori, sehingga memungkinkan
obat berpenetrasi. Penetrasi obat melalui jalur transepidermal lebih baik dari jalur ini, dikarenakan luas permukaan jalur
transappendageal lebih kecil Banker Rhode 2002.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2.2.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penetrasi
Usia - penetrasi lebih baik pada bayi baru lahir dan anak- anak dibandingkan pada orang dewasa.
Kondisi kulit - penetrasi kulit lebih baik pada permukaan kulit yang terluka atau terkelupas.
Hidrasi kulit - penetrasi lebih baik pada kulit terhidrasi dari pada
kulit kering.
Hidrasi dapat
meningkatkan permeabilitas stratum korneum sebab air merupakan
peningkat penetrasi yang efektif. Jenis pembawa - pembawa pada sediaan topikal dapat
mempengaruhi penetrasi dan penyerapan obat pada permukaan kulit. Hal ini tergantung pada jenis pembawa
yang digunakan dan kondisi kulit. Hiperemia - vasodilatasi pembuluh darah dapat meningkat
penetrasi lokal atau sistemik Banker Rhode 2002.
2.3 Krim
2.3.1 Pengertian Krim
Krim merupakan suatu bentuk sediaan setengah padat yang mengandung satu atau lebih bahan obat terlarut atau terdispersi dalam bahan
dasar yang sesuai FI Edisi IV. Mengandung air tidak kurang dari 60 dan dimaksudkan untuk pemakaian luar tubuh FI Edisi III. Krim merupakan
bentuk emulsi dengan konsistensi semisolida sehingga mempunyai viskositas yang lebih tinggi dibandingkan dengan sediaan likuida. Pada umumnya
sediaan krim dibagi menjadi dua tipe emulsi yaitu tipe minyak dalam air OW terdiri dari tetes-tetes kecil minyak fase internal yang terdispersi
dalam air fase eksternal, dan sebaliknya pada krim air dalam minyak WO Huczko, 1999. Krim dengan basis minyak dalam air memiliki sifat yang
lebih nyaman dan cenderung disukai oleh masyarakat, karena memberikan
konsistensi yang berminyak dan cenderung lengket, akan tetapi banyak bahan aktif yang bersifat hidrofobik yang pelepasannya lebih mudah, dan
meningkatkan konsentrasi bahan larut air jika menggunakan basis jenis ini . Krim tipe air dalam minyak sering digunakan untuk memberikan efek emolien
pada kulit, digunakan sebagai ointment dan lebih mudah menyebar saat dioleskan Nayank, 2004.
2.3.2 Tipe Krim
Sediaan krim dapat dibuat dua tipe emulsi yakni fase minyak yang terdispersi dalam air ma dan fase air yang terdispersi dalam minyak am.
Sediaan krim tipe minyak dalam air ma megandung fase minyak yang terdispersi dalam fase air yang bertindak sebagai fase kontinu, digunakan
sebagai pembersih dan pelembab kulit, meninggalkan lapisan berminyak atau film pada kulit. Pada krim tipe ma fase kontinu akan menguap dan
meningkatkan konsentrasi obat larut air yang terikat dalam film sehingga meningkatkan konsentrasi obat di stratum korneum, krim tipe ini bersifat non-
oklusif karena tidak mendeposit film terus menerus namun dapat mendeposit lipid dan bahan pelembab lainnya pada stratum korneum,. Pada sediaan krim
tipe am dimana fase air terdispersi dalam fase minyak sebagai fase kontinu digunakan sebagai ointment atau salep karena kandungan mineral oil yang
besar sehingga dapat digunaan untuk kulit yang meradang Nayank, 2004.
2.3.3 Komponen Krim
2.3.3.1 Setil alkohol
Dalam krim setil alcohol digunakan karena mempunyai sifat pengemulsi. Hal tersebut dapat meningkatkan stabilitas, memperbaiki tekstur,
dan juga meningkatkan konsistensin sediaan krim. Sifat emolien dimaksudkan karena penyerapan dan retensi setil allkohol pada epidermis yang dapat
meminyaki dan melembutkan kulit. Konsentrasi yang digunakan untuk emollient yaitu 2 - 10 sedangkan sebagai pengemulsi konsentrasi yang
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
digunakan yaitu 2 – 5 . Setil alkohol sangat mudah larut dalam etanol 95
dan eter. Kelarutan dapat dipercepat jika suhu dinaikan Wade dan Weller, 1994.
2.3.3.2 Gliserin
Gliserin banyak digunakan dalam formulasi farmasi dan topical sebagai humektan dan emolien. Gliserin larut dalam pelarut air, methanol,
etanol, tidak larut dalam benzene dan kloroform. Konsentrasi yang digunakan sebagai humektan 1
– 30 . 2.3.3.3
Metil Paraben
Metil paraben banyak digunakan sebagai pengawet antimikroba dalam kosmetik, produk makanan, dan formulasi farmasi. Metil paraben dapat
digunakan baik sendiri, dalam kombinasi dengan paraben lain, atau dengan agen antimikroba lain. Pada produk kosmetik, metil adalah yang paling sering
digunakan dalam pengawet antimikroba. Mempunyai aktivitas mikroba antara pH 4
– 8. Konsentrasi yang digunakan adalah 0,02 – 0,3 .
2.3.3.4 Propil Paraben
Propil paraben digunakan juga sebagai antimikroba dalam produkn farmasi. Mempunyai aktivitas antimikroba pada rentang pH 4
– 8. Konsentrasi yang digunakan sebagai antimikroba adalah 0,01
– 0,6 . 2.3.3.5
Trietanolamin
Trietanolamin banyak digunakan dalam formulasi sediaan topikal, terutama dalam pembentukan emulsi. Trietanolamin terbentuk sebagai cairan
kental yang jernih, tidak berwarna hingga kuning pucat, dan berbau sedikit amoniak. Trietanolamin merupakan emulgator yang berfungsi untuk
menurunkan tegangan permukaan dua fase sehingga bersifat sebagai surfaktan, juga untuk menstabilkan tingkat pH. Larut dalam 95 etanol,
methanol, air Rowe, et al., 2009.
2.3.3.6 Asam Stearat
Berbentuk padatan Kristal berwarna putih atau sedikit kuning, mengkilat, praktis tidak larut air, berfungsi sebagai emulsifying agent Rowe,
et al., 2009.
2.3.3.7 Aquadest
Aquadest merupakan air murni yang diperoleh dengan penyulingan. Perolehan air murni yaitu dengan cara penyulingan, pertukaran ion, osmosis
terbalik atau cair lain yang sesuai. Air murni bebas dari kotoran dan mikroba dibanding dengan air biasa. Air murni banyak digunakan dalam bentuk-
bentuk sediaan yang mengandung air, kecuali dimaksud untuk pemberian parenteral Ansel, 1989.
2.3.4 Stabilitas Emulsi
Emulsi terdiri atas dua cairan berupa tetesan kecil atau droplet yang tidak bercampur. Emulsi diklasifikasikan menjadi dua jenis; emulsi minyak
dalam air OW dimana tetesan minyak terdispersi dalam media air, emulsi air dalam minyak WO dimana tetesan air terdispersi dalam media minyak
Dalgleish, 2006. Berdasarkan ukuran droplet, emulsi dibedakan menjadi 3
jenis: Tabel 2.1 Tipe Emulsi
Jenis Emulsi Ukuran Droplet
Makroemulsi tipe OW dan WO 0.1
–5 m Nanoemulsi
20 –100nm
Mikroemulsi 5
–50nm Wiley, 2013
2.3.4.1 Kriming dan Sedimentasi
Kriming dan sedimentasi merupakan perubahan ketidakstabilan emulsi yang dapat terlihat secara kasat mata, ditandai dengan warna keputihan yang
berkumpul di lapisan atas emulsi ataupun terdapat dilapisan bawah yang disebut sedimentasi Pichot, 2010. Proses ini terjadi akbit gaya gravitasi dan
sentrifugal, gradient konsentrasi akan menumpuk pada lapisan atas emulsi karena droplet bergerak naik jika densitasnya lebih rendah dari medium
pendispersi. Gradient konsentrasi akan menumpuk bergerak ke lapisan bawah sediaan jika densitas droplet lebih besar dibanding medium
Wiley, 2013.
2.3.4.2 Flokulasi
Metode termudah untuk mengamati flokulasi droplet dengan menggunakan mikroskop. Flokulasi adalah efek antagonis dalam stabilitas
emulsi. Proses flokulasi terbentuk akibat gaya tarik vander walls, menyebabkan agregasi droplet tanpa perubahan ukuran droplet. Pembentukan
droplet flokulasi mempengaruhi laju kriming sediaan. Dalam emulsi encer, interaksi antar droplet hanya sedikit atau tidak terjadi sama sekali sehingga
cenderung meningkatkan laju kriming karena dentitas media yang lebih kecil dibanding droplet menyebabkan droplet berkumpul di lapisan atas. Adanya
flokulasi dapat meningkatkan viskositas sediaan emulsi Pichot, 2010.
2.3.4.3 Koalesen
Koalesen merupakan bergabungnya dua droplet atau lebih membentuk satu kesatuan menjadi lebih besar, sehingga terbentuk lapisan minyak
dibagian atas emulsi. Hal tersebut terjadi akibat adanya penipisan atau pecahnya lapisan film antar droplet sehingga terbentuk kesatuan antar droplet
Wiley, 2013.
2.4 Tumbuhan Paku
Tumbuhan paku memiliki keaneka ragaman tinggi dan merupakan vegetasi yang lebih mudah ditemui di daerah dataran tinggi. Secara ekologis
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
tumbuhan paku memiliki fungsi sebagai penyeimbang ekosistem karena dapat mencegah erosi, pengaturan tata air, juga membantu dalam proses pelapukan
serasah hutan Arini, 2009 . dalam kegunaannya terhadap manusia tumbuhan paku dapat dimanfaatkan menjadi sayur-sayuran, kerajinan tangan, tanaman
hias, serta obat-obatan tradisional Rismunandar dan Ekowati, 1991. Berbeda dengan lumut, tumbuhan paku Pteridophyta memiliki ukuran lebih besar
dengan panjang daun mencapai 3 m dan terdapat jaringan pembuluh berupa xilem dan floem. Pada sporofit dewasa tumbuhan ini telah memiliki akar,
batang, dan daun sejati Hartini, 2006.
2.4.1 Penyebaran Tumbuhan Paku
Tumbuhan paku dapat tumbuh pada daerah dataran tinggi maupun rendah, lebih banyak ditemukan pada dataran tinggi dan tempat lembab, ada
pula yang bersifat epifit. Pola penyebaran tumbuhan paku umumnya tergantung pada faktor lingkungan dan keistimewaan biologis yang terdapat
pada setiap jenis tumbuhan ini. Sastrapradja, 1979 dalam Haryadi, 2000.
2.4.2 Ciri Umum Tumbuhan Paku
Umunya berupa kormus karena memiliki akar, batang, dan daun sejati. Berkembang biak dengan spora. Akar tumbuhan paku berfungsi sebagai
penahan tumbuhan di dalam tanah, menyerap air dan mineral dari dalam tanah. Pada bawah permukaan daun dewasa sering dijumapi bitnik hitam yang
disebut sorus, dibagian dalamnya terdapat kumpulan spora yang dilindungi suatu selaput disebut indusium. Bentuk indusium berbeda-beda pada setiap
jenisnya, sehingga dapat membedakan antara satu jenis tumbuhan paku dengan tumbuhan paku jenis lainnya Hartini,2006.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Fishtail swordfern
Aspidium biserratum var. furcans
Aspidium gibbosum
Nephrolepis davallioides var. furcans
Nephrolepis biserrata var. furcans
Tectaria falcata
2.5.3 Deskripsi
Nephrolepis falcata memiliki stolon yang menyebar dengan ketebalan 1-1,5 mm. Memiliki cabang dengan sudut sempit. Pada paku dengan spesies
ini jarang ditemukan sisik yang terdapat pada stolon. Panjang daun + 65-200 cm, lebar + 7-10 cm. Pinnae pada bagian tengahnya melengkung sampai
berbentuk bulan sabit. Sisik yang terdapat pada lamina berbeda-beda, dapat tersebar pada seluruh pemukaan daun, ada pula yang hanya tersebar pada
titik tertentu. Sorus atau kantung spora berbetuk bulat menyerupai bitnik hitam, marginal membentuk 19-29 pasang pinnae yang berfungsi dalam
fertilisasi. Memiliki indusium berbetuk ginjal Hovenkamp Miyamoto 2005.
2.5.4 Distribusi dan Habitat Nephrolepis falcata
Tumbuhan paku spesies Nephrolepis falcata dilaporkan tersebar dari daerah dataran rendah sampai dataran tinggi, dengan ketinggian 300-2500 m.
mudah ditemui pada daerah lembab, dibebatuan, ada pula yang menempel di pohon Hovenkamp dan Miyamoto, 2005. Tumbuhan paku ini memiliki
penyebaran yang relative cepat. Penyebarannya dapat ditukan di hutan tropis Amerika terutama Florida dan Hawai, Filipina, tersebar di wilayah Asia, juga
di daerah perairan seperti Australia dan Papua nugini Wunderlin dan Hansen, 2000; Wilson, 2002.
2.5.5 Kandungan Kimia dan Aktivitas Biologi
Telah dilakukan penelitian sebelumnya yang mempublikasikan kandungan kimia dan aktivitas biologi Nephrolepis falcata. Hasil uji aktivitas
tumbuhan paku menunjukan, Nephrolepis falcata memiliki aktivitas sebagai antioksidan dan antiinflamasi, dengan kandungan kimia antara lain senyawa
fenolat dan flavonoid Komala, 2015. Table 2.2 Skrining Fitokimia Ekstrak Nephrolepis falcata
No Kandungan Kimia
Nephrolepis falcata MeOH
EtOAc 1
Alkaloid -
- 2
Flavonoid +
+ 3
Triterpenoid -
+ 4
Steroid -
- 5
Fenol +
- 6
Saponin +
- Komala, 2015
2.6 Antioksidan dan Radikal Bebas
Antioksidan merupakan suatu zat yang berperan dalam perlindungan terhadap sel-sel tubuh dari kerusakan yang diakibatkan oleh molekul tidak
stabil yakni radikal bebas dengan cara berinteraksi dan menstabilkan radikal bebas sehingga mencegah terjadinya kerusakan sel. Antioksidan adalah
molekul yang dapat mencegah ataupun memperlambat oksidasi molekul lain. Oksigen merupakan suatu atom sangat reaktif yang berpotensi merusak
molekul atau disebut radikal bebas. Radikal bebas mampu menyerang sel-sel tubuh normal, menyebabkan sel berubah struktur maupun fungsinya dan
merupakan faktor utama penyebab penuaan, dan timbulnya penyakit degeneratif seperti kanker Sies, 1997.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Radikal bebas merupakan molekul bermuatan berfragmen, yang memiliki satu atau lebih elektron bebas pada orbit terluarnya dan cenderung mencari
elektron dari zat lain untuk dapat berikatan dan membentuk reaksi berantai Valko et al., 2007. Spesies oksigen reaktif ROS adalah istilah yang
meliputi semua molekul mengandung oksigen yang bersifat reaktif, termasuk molekul, termasuk radikal bebas. Menurut Mark Percival dalam clinical
nutrition insights, Antioxidant terdapat beberapa jenis ROS, termasuk radikal hidroksil, anion radikal superoksid , hidrogen peroksida, singlet oksigen,
radikal nitrat oksida, radikal hipoklorit, dan berbagai lipid peroksida. Semua ROS tersebut dapat bereaksi dengan membran lipid, asam nukleat, protein dan
enzim, serta molekul kecil lainnya, sehingga mengakibatkan kerusakan sel. Berdasarkan mekanismenya, reaksi rantai melibatkan radikal bebas dibagi dua
tahapan yakni inisiasi dan propagasi. Menurut Gordon 1990, antioksidan fenol memiliki aktivitas yang dapat menghentikan atau menghambat tahapan
inisiasi dengan cara bereaksi dengan radikal asam lemak atau menghambat tahapan propagasi dengan cara bereaksi dengan radikal peroksi atau radikal
alkoksi, dengan reaksi berikut : Tahapan Reaksi Inisiasi dan Propagasi:
Inisiasi : AH + R A + RH merupakan tahap awal pembentukan radikal bebas.
Propagasi : AH + ROO A + ROOH merupakan pemanjangan rantai
radikal bebas. AH + RO A +ROH
Radikal bebas antioksidan kemudian akan menginterferensi reaksi tahapan propagasi dengan membentuk komponen antioksidan peroksida sebagai
berikut : A + ROO ROO non radikal
A + ROO ROA non radikal Menurut Hamid et al dalam jurnalnya yang berjudul Antioxidants: Its
medicinal and pharmacological applications Klasifikasi antioksidan berdasarkan mekanisme kerjanya dibedakan menjadi dua:
Antioksidan primer antioksidan alami Merupakan antioksidan yang memiliki gugus fenolik pada umunya,
meliputi mineral antioksidan, vitamin antioksidan, dan senyawa fitokimia. Senyawa fitokimia merupakan senyawa fenolik dan bukan termasuk
dalam jenis mineral ataupun vitamin yang banyak terdapat pada tumbuhan contohnya flavonoid, katekin, karotenoid, dan lycopene.
Antioksidan sekunder antioksidan buatan Merupakan
senyawa fenolik
yang mampu
menghambat atau
menghentikan reaksi rantai radikal bebas. yang termasuk kedalam jenis ini adalah Butylated hydroxyl anisole BHA, Butylated hydroxyrotoluene
BHT, Propyl gallate PG dan metal chelating agent EDTA. Hurrell, 2003
2.7 Tekhnik Ekstraksi dan Identifikasi Senyawa
2.7.1 Tinjauan Ekstraksi 2.7.1.1 Pengertian Ekstraksi
Ekstraksi merupakan suatu proses pemisahan bahan dari campurannya yang dimaksudkan untuk menarik senyawa tertentu dengan menggunakan
pelarut yang sesuai. Proses ekstraksi dapat dilakukan dengan metode yang berbeda-beda sesuai dengan sifat dan tujuan dari ekstraksi.Mukhriani, 2014.
Proses ekstraksi pada awalnya terjadi gumpalan ekstrak dalam pelarut. Terjadi pengendapan masa pada bidang antar muka secara difusi yang disebabkan
adanya kontak antar muka antara bahan dengan pelarut. Pelarut menembus kapiler dalam suatu bahan padat dan melarutkan masa dengan konsentrasi di
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
bagian dalam bahan ekstraksi lebih tinggi. Serta dengan cara difusi akan terjadi suatu kesetimbangan konsentrasi senyawa dalam pelarut dengan
konsentrasi senyawa dalam bahan Bernasconi, et al., 1995.
2.7.1.2 Metode Ekstraksi
Beberapa macam metode ekstraksi: A.
Cara Dingin 1.
Maserasi Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan pelarut
dengan beberapa kali pengocokan atau pengdukan pada temperature ruangan kamar. Maserasi bertujuan untuk menarik zat-zat berkhasiat oleh pelarut,
dengan prinsip meode pencapaian konsentrasi pada keseimbangan. Remaserasi adalah pengulangan dalam penambahan pelarut setelah dilakukan
penyaringan maserat, dan seterusnya Depkes RI, 1995. Metode ini dilakukan dengan memasukan simplisia dan pelarut yang sesuai kedalam wadah gelap
bersifat inert dan tertutup rapat. Selama proses maserasi atau perendaman dilakukan pengocokan berulang ulang, upaya ini menjamin keseimbangan
konsentrasi senyawa bahan ekstraksi dan pelarut cepat tercapai Mukhriani, 2014.
2. Perkolasi
Perkolasi adalah metode ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai terjadi penyarian sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur ruang.
Prinsip perkolasi adalah menempatkan simplisia pada bejana berbentuk silinder, yang pada bagian bawahnya diberi sekat berpori. Proses perkolasi
terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya penetesanpenampungan ekstrak, terus menerus sampai
diperoleh ekstrak perkolat Depkes RI, 1995.
B. Cara Panas
1. Refluks
Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperature didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relative konstan dengan
adanya pendinginan balik Depkes RI, 1995. 2.
Sokletasi Sokletasi adalah ekstraksi dengan menggunakan pelarut yang selalu baru,
umumnya dilakukan dengan alat khusus sampai terjadi ekstraksi kontinu, dengan jumlah pelarut yang relative konstan dengan adanya pendinginan balik
Depkes RI, 1995. Keuntungan metode ini adalah proses ekstraksi yang kontinu, sampel terekstraksi dari pelarut murni hasil kondensasi, sehingga
tidak membutuhkan banyak pelarut dan waktu pengerjaan relatif singkat. Kerugian metode ini adalah dapat senyawa termolabil dapat terdegradasi,
karena ekstrak yang diperoleh terus-menerus berada pada titik didih Mukhriani, 2014.
3. Digesti
Digesti adalah maserasi dengan pengadukan kontinu pada temperature yang lebih tinggi dari temperature kamar, yaitu secara umum dilakukan pada suhu
40-50 C Depkes RI, 1995.
4. Infus
Infus adalah ekstraksi menggunakan pelarut air pada temperature penangas air bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur terukur 90
C selama 15 menit Depkes RI, 1995.
5. Dekok
Dekok adalah ekstraksi menggunakan pelarut air pada temperatur terukur 90
C selama 30 menit Depkes RI, 1995.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2.7.1.3 Proses Pembuatan Ekstrak
Pembuatan ekstrak melalui tahapan-tahapan berikut: a.
Pembasahan Pembasahan serbuk dilakukan pada tahap penyarian, dimaksudkan agar cairan
penyari dapat memasuki pori-pori dalam simplisia sehingga mempermudah tahap penyarian berikutnya Depkes RI, 2000.
b. PenyariPelarut
Cairan penyari yang digunakan dalam pembuatan ekstrak adalah penyari yang baik untuk menarik senyawa yang terkandung dalam bahan. Faktor utama
dalam pemilihan cairan penyari adalah selektifitas, ekonomis, kemudahan bekerja, ramah lingkungan, dan aman. Dalam keamanan untuk manusia atau
hewan uji, cairan pelarut yang digunakan harus memenuhi syarat kefarmasian pharmaceutical grade. Pelarut yang aman dalam penggunaannya antara lain
air, alkohol etanol atau campuran keduanya air dan alkohol Depkes RI, 1995; Depkes RI, 2000.
c. Pemisahan dan Pemurnian
Tujuan dari pemisahan adalah untuk memisahkan menghilangkan senyawa yang tidak dikehendaki semaksimal mungkin tanpa mempengaruhi kandungan
senyawa yang dikehendaki, sehingga diperoleh ekstrak yang lebih murni. Proses-proses pada tahapan ini adalah pengendapan, pemisahan dua cairan tak
bercampur, sentrifugasi, dekantasi, filtrasi, serta proses absorpsi dan penukaran ion Depkes RI, 2000.
d. PemekatanPenguapan
Pemekatan berarti peningkatan jumlah partikel solut senyawa terlarut, dengan cara penguapan pelarut sampai ekstrak menjadi kentalpekat Depkes
RI, 2000.
2.7.2 Identifikasi Senyawa
2.7.2.1 Skrining Fitokimia
Skrining fitokimia dilakukan untuk menentukan metabolit sekunder yang terkandung dalam suatu tanaman. Telah dilakukan identifikasi parameter
standar ekstrak Nephrolepis falcata pada penelitian sebelumnya. Metabolit yang diuji keberadaannya yaitu; alkaloid, flavonoid, saponin, fenol, steroid,
terpenoid, asam lemak, kumarin dan tanin. 1.Uji Alkaloid
Ekstrak dilarutkan dalam HCl encer kemudian disaring. Tes Mayer: filtrat ditambahkan reagen mayer potassium Mercuric Iodide .
Terjadinya endapan berwarna kuning mengindikasikan adanya senyawa alkaloid Tiwari, et al., 2011
Tes Dragendorf: filtrat ditambahkan reagen dragendorf Solution of Potassium Bismuth Iodide . Terjadinya endapan berwarna merah
mengindikasikan adanya senyawa alkaloid Tiwari, et al., 2011. 2.Uji Flavonoid
Sejumlah ekstrak dilarutkan dalam 5 mL air, didihkan selama 5 menit lalu disaring. Filtrat ditambahkan serbuk Mg secukupnya, 1 mL asam klorida
pekat dan 2 mL etanol. Dikocok kuat dan dibiarkan terpisah. Terbentuk warna merah, kuning, atau jingga pada lapisan etanol, mengindikasikan
adanya senyawa flavonoid Tiwari, et al., 2011. 3.
Uji Saponin Tes busa: ekstrak dilarutkan dalam 20 mL aquades, kemudian larutan
dikocok dalam labu ukur selama 15 menit. Terbentuknya lapisan busa setinggi 1 cm mengindikasikan adanya senyawa saponin Tiwari, et al.,
2011.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4. Uji Steroid dan Terpenoid
Tes Salkowski: ekstrak dilarutkan dalam kloroform dan disaring. Kemudian ditambahkan beberapa tetes asam sulfat dan dikocok. Terbentuknya warna
kuning emas mengindikasikan adanya senyawa triterpen. Tes Lieberman Buchard: ekstrak dilarutkan dalam kloroform lalu disaring,
ditambahkan beberapa tetes asam asetat anhidrat, kemudian dipanaskan dan didinginkan. Ditambahkan beberapa tetes asam sulfat. Terbentuknya cincin
coklat mengindikasikan adanya senyawa phytosterol Tiwari, et al., 2011. 5.
Uji Fenol Ekstrak ditambahkan beberapa tetes larutan FeCl
3.
Terbentuknya warna hitam kebiruan mengindikasikan adanya senyawa fenol Tiwari, et al.,
2011. 6.
Uji Tanin Tes Gelatin: ke dalam sejumlah ekstrak, ditambahkan larutan gelatin yang
mengandung natrium
hidroksida. Terbentuknya
endapan putih
mengindikasikan adanya senyawa tannin Tiwari, et al., 2011. 7.
Uji Kumarin Sejumlah 0,5 gram ekstrak ditambahkan 2,5 mL kloroform kemudian
dipanaskan selama 10 menit, selanjutnya didinginkan dan disaring. Filtrat diuapkan kemudian ditambahkan 10 mL air panas lalu didinginkan.
Tambahkan 0,5 mL ammonia 10. Adanya kumarin ditunjukan dengan adanya flourosensi hijaubiru pada sinar UV panjang gelombang 365 nm
Tiwari, et al., 2011.
8. Uji Asam Lemak
0,5 gram ekstrak dicampur dengan 5 mL eter, tuang larutan diatas kertas saring lalu biarkan sampai mengering. Munculnya transparan diatas kertas
saring menunjukan adanya asam lemak Kumari, et al., 2012. Tabel 2.3 Hasil Uji Penapisan Fitokimia Ekstrak n-Heksan Tanaman Paku
Nephrolepis falcata Cav. C. Chr. No
Kandungan Kimia Pengamatan Sampel
Ekstrak n-Heksan 1
Alkaloid -
2 Flavonoid
- 3
Tanin -
4 Saponin
- 5
Steroid +
6 Terpenoid
+ 7
Kumarin -
8 Fenol
- 9
Asam Lemak +
. Skripsi Siti Zamilatul Azkiyah, 2013
2.7.2.2 Uji Kadar Air
1 gram ekstrak ditimbang saksama dalam wadah kosong yang telah ditara, keringkan pada suhu 105
C selama 5 jam lalu ditimbang. Lanjutkan pengeringan dan timbang dalam jarak 1 jam, sampai perbedaan antara dua
penimbangan berturut-turut tidak lebih dari 0,25 Tiwari, et al., 2011. Kadar air adalah perbedaan antara berat bahan sebelum dan sesudah dilakukan
pemanasan, pengujian ini dilakukan untuk mengetahui kadar air yang