3. Lapisan Subkutan
Lapisan ini terdiri atas jaringan ikat longgar dan lemak. Pada embrio lapisan subkutan mulai berkembang pada bulan ke 5, pada
lobulus ini sel-sel lemak dan kolagen dipisahkan oleh septa fibrosa dari pembuluh darah. Jaringan subkutan berfungsi dalam
penyediaan energi James et al., 2006.
2.2.2 Penetrasi Obat Melalui Kulit
Proses penetrasi melalui stratum korneum dapat terjadi dengan adanya proses difusi melalui dua mekanisme:
A. Absorbsi transepidermal
Merupakan jalur difusi melalui stratum korneum yang dapat terjadi melalui dua jalur yakni jalur transeluler yang berarti
proses difusi terjadi melalui protein dalam sel serta melewati daerah kaya akan lipid atau bersifat lipofil, dan jalur
paraseluler yang berarti proses difusi berlangsung melalui ruang antar sel. Penetrasi berlangsung melalui dua tahap:
pertama pelepasan obat dari pembawa ke stratum korneum, tergantung koefisien partisi obat dalam pembawa serta stratum
korneum, kedua difusi melalui epidermis dan dermis dibantu oleh aliran pembuluh darah dermis Banker Rhode 2002.
B. Absorbsi transappendageal
Merupakan jalur masuknya obat melalui folikel rambut dan kelenjar keringat melalui pori-pori, sehingga memungkinkan
obat berpenetrasi. Penetrasi obat melalui jalur transepidermal lebih baik dari jalur ini, dikarenakan luas permukaan jalur
transappendageal lebih kecil Banker Rhode 2002.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2.2.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penetrasi
Usia - penetrasi lebih baik pada bayi baru lahir dan anak- anak dibandingkan pada orang dewasa.
Kondisi kulit - penetrasi kulit lebih baik pada permukaan kulit yang terluka atau terkelupas.
Hidrasi kulit - penetrasi lebih baik pada kulit terhidrasi dari pada
kulit kering.
Hidrasi dapat
meningkatkan permeabilitas stratum korneum sebab air merupakan
peningkat penetrasi yang efektif. Jenis pembawa - pembawa pada sediaan topikal dapat
mempengaruhi penetrasi dan penyerapan obat pada permukaan kulit. Hal ini tergantung pada jenis pembawa
yang digunakan dan kondisi kulit. Hiperemia - vasodilatasi pembuluh darah dapat meningkat
penetrasi lokal atau sistemik Banker Rhode 2002.
2.3 Krim
2.3.1 Pengertian Krim
Krim merupakan suatu bentuk sediaan setengah padat yang mengandung satu atau lebih bahan obat terlarut atau terdispersi dalam bahan
dasar yang sesuai FI Edisi IV. Mengandung air tidak kurang dari 60 dan dimaksudkan untuk pemakaian luar tubuh FI Edisi III. Krim merupakan
bentuk emulsi dengan konsistensi semisolida sehingga mempunyai viskositas yang lebih tinggi dibandingkan dengan sediaan likuida. Pada umumnya
sediaan krim dibagi menjadi dua tipe emulsi yaitu tipe minyak dalam air OW terdiri dari tetes-tetes kecil minyak fase internal yang terdispersi
dalam air fase eksternal, dan sebaliknya pada krim air dalam minyak WO Huczko, 1999. Krim dengan basis minyak dalam air memiliki sifat yang
lebih nyaman dan cenderung disukai oleh masyarakat, karena memberikan
konsistensi yang berminyak dan cenderung lengket, akan tetapi banyak bahan aktif yang bersifat hidrofobik yang pelepasannya lebih mudah, dan
meningkatkan konsentrasi bahan larut air jika menggunakan basis jenis ini . Krim tipe air dalam minyak sering digunakan untuk memberikan efek emolien
pada kulit, digunakan sebagai ointment dan lebih mudah menyebar saat dioleskan Nayank, 2004.
2.3.2 Tipe Krim
Sediaan krim dapat dibuat dua tipe emulsi yakni fase minyak yang terdispersi dalam air ma dan fase air yang terdispersi dalam minyak am.
Sediaan krim tipe minyak dalam air ma megandung fase minyak yang terdispersi dalam fase air yang bertindak sebagai fase kontinu, digunakan
sebagai pembersih dan pelembab kulit, meninggalkan lapisan berminyak atau film pada kulit. Pada krim tipe ma fase kontinu akan menguap dan
meningkatkan konsentrasi obat larut air yang terikat dalam film sehingga meningkatkan konsentrasi obat di stratum korneum, krim tipe ini bersifat non-
oklusif karena tidak mendeposit film terus menerus namun dapat mendeposit lipid dan bahan pelembab lainnya pada stratum korneum,. Pada sediaan krim
tipe am dimana fase air terdispersi dalam fase minyak sebagai fase kontinu digunakan sebagai ointment atau salep karena kandungan mineral oil yang
besar sehingga dapat digunaan untuk kulit yang meradang Nayank, 2004.
2.3.3 Komponen Krim
2.3.3.1 Setil alkohol
Dalam krim setil alcohol digunakan karena mempunyai sifat pengemulsi. Hal tersebut dapat meningkatkan stabilitas, memperbaiki tekstur,
dan juga meningkatkan konsistensin sediaan krim. Sifat emolien dimaksudkan karena penyerapan dan retensi setil allkohol pada epidermis yang dapat
meminyaki dan melembutkan kulit. Konsentrasi yang digunakan untuk emollient yaitu 2 - 10 sedangkan sebagai pengemulsi konsentrasi yang
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
digunakan yaitu 2 – 5 . Setil alkohol sangat mudah larut dalam etanol 95
dan eter. Kelarutan dapat dipercepat jika suhu dinaikan Wade dan Weller, 1994.
2.3.3.2 Gliserin
Gliserin banyak digunakan dalam formulasi farmasi dan topical sebagai humektan dan emolien. Gliserin larut dalam pelarut air, methanol,
etanol, tidak larut dalam benzene dan kloroform. Konsentrasi yang digunakan sebagai humektan 1
– 30 . 2.3.3.3
Metil Paraben
Metil paraben banyak digunakan sebagai pengawet antimikroba dalam kosmetik, produk makanan, dan formulasi farmasi. Metil paraben dapat
digunakan baik sendiri, dalam kombinasi dengan paraben lain, atau dengan agen antimikroba lain. Pada produk kosmetik, metil adalah yang paling sering
digunakan dalam pengawet antimikroba. Mempunyai aktivitas mikroba antara pH 4
– 8. Konsentrasi yang digunakan adalah 0,02 – 0,3 .
2.3.3.4 Propil Paraben
Propil paraben digunakan juga sebagai antimikroba dalam produkn farmasi. Mempunyai aktivitas antimikroba pada rentang pH 4
– 8. Konsentrasi yang digunakan sebagai antimikroba adalah 0,01
– 0,6 . 2.3.3.5
Trietanolamin
Trietanolamin banyak digunakan dalam formulasi sediaan topikal, terutama dalam pembentukan emulsi. Trietanolamin terbentuk sebagai cairan
kental yang jernih, tidak berwarna hingga kuning pucat, dan berbau sedikit amoniak. Trietanolamin merupakan emulgator yang berfungsi untuk
menurunkan tegangan permukaan dua fase sehingga bersifat sebagai surfaktan, juga untuk menstabilkan tingkat pH. Larut dalam 95 etanol,
methanol, air Rowe, et al., 2009.
2.3.3.6 Asam Stearat
Berbentuk padatan Kristal berwarna putih atau sedikit kuning, mengkilat, praktis tidak larut air, berfungsi sebagai emulsifying agent Rowe,
et al., 2009.
2.3.3.7 Aquadest
Aquadest merupakan air murni yang diperoleh dengan penyulingan. Perolehan air murni yaitu dengan cara penyulingan, pertukaran ion, osmosis
terbalik atau cair lain yang sesuai. Air murni bebas dari kotoran dan mikroba dibanding dengan air biasa. Air murni banyak digunakan dalam bentuk-
bentuk sediaan yang mengandung air, kecuali dimaksud untuk pemberian parenteral Ansel, 1989.
2.3.4 Stabilitas Emulsi
Emulsi terdiri atas dua cairan berupa tetesan kecil atau droplet yang tidak bercampur. Emulsi diklasifikasikan menjadi dua jenis; emulsi minyak
dalam air OW dimana tetesan minyak terdispersi dalam media air, emulsi air dalam minyak WO dimana tetesan air terdispersi dalam media minyak
Dalgleish, 2006. Berdasarkan ukuran droplet, emulsi dibedakan menjadi 3
jenis: Tabel 2.1 Tipe Emulsi
Jenis Emulsi Ukuran Droplet
Makroemulsi tipe OW dan WO 0.1
–5 m Nanoemulsi
20 –100nm
Mikroemulsi 5
–50nm Wiley, 2013