Kewenangan Pemerintah Terhadap Hak Guna Usaha

pengelolaan sumberdaya alam pada areal yang bijak disinyalir menjadi penyebab utama mengapa konlik agraria di Indonesia menjadi semakin kompleks. Undang-undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 sebenarnya telah meletakkan tonggak dasar bagi penyelesaian persoalan tersebut. Namun berbagai peraturan perundang-undangan yang dilahirkan setelahnya, secara langsung ataupun tidak langsung telah membekukan undang – undang tersebut UUPA. Fakta ini memberikan penjelasan pada kita bahwa persoalan konlik agraria tidaklah berdimensi tunggal apalagi keadaerahan. Ia konlik agraria tidaklah berada pada ruang hampa minus intervensi internasional, nasional, maupun regional. Artinya penyelesaian konlik agraria terutama di Sumatera Utara, tidak bisa hanya didukung oleh niat baik pemerintah daerah, tapi harus mendapat dukungan pada skala yang lebih luas: pemerintah pusat dan masyarakat sipil. Sekalipun demikian untuk konteks Sumatera Utara paling tidak ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk merespon persoalan tersebut, yang akan dijabarkan dalam beberapa berikut: a. Untuk Tanah Eks HGU PTPN II Membentuk forum daerah yang terdiri dari : pemerintah kabupaten kota, BPN, PTPN II, Kepolisian, Kejaksaan, pengadilan, dan masya- ra kat, untuk kemudian: melakukan pemetaan terhadap tanah-ta- nah eks HGU, merumuskan formulasi tentang siapa saja yang ber- hak mendapatkan tanah eks HGU PTPN tersebut dan hak apa yang akan ditimbulkan atas redistribusi tersebut, merumuskan formulasi mekanisme redistribusi serta program ikutan yang akan dijalankan setelah redistribusi. Melakukan langkah-langkah hukum dan administratif terhadap kelompok–kelompok atau perorangan diluar kelompok yang berhak petani penggarap yang telah membuat sertipikat atas tanah–tanah tersebut. b. Meminta PTPN, kepolisian, masyarakat, dan perusahaan lainnya untuk tidak melakukan okupasi terhadap tanah-tanah yang masih bermasalah dan masih diferiikasi. Perseroan Terbatas Perkebunan Nusantara II PTPN II adalah sebuah badan usaha milik negara yang bergerak di bidang agribisnis perkebunan, produksinya meliputi budidaya kelapa sawit, karet, kakao, gula, dan tebu yang areal penanamannya tersebar di Sumatera Utara.

8. Perseroan Terbatas PTPN II

Dalam peta lokasi Sumatera Utara, perusahaan ini menguasai lahan di tiga kabupaten yaitu Serdang Bedagai, Deli Serdang, dan Langkat yang dibagi menjadi lima distrik. Budidaya kelapa sawit menempati areal seluas 85.988,92 ha, karet 10.608,47 ha, kakao 1.981,96 ha dan tebu seluas 13.226,48 ha. Perusahaan perkebunan ini berkantor pusat di Tanjung Morawa, Provinsi Sumatera Utara. Berdirinya PTPN II didasari oleh ketentuan- ketentuan dalam Undang-undang No. 9 Tahun 1969 dan Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 1969 yang mengatur tentang Perusahaan Perseroan. PTPN II didirikan pada tanggal 5 April 1976 melalui Akte Notaris GHS Loemban Tobing, SH. No. 12 selanjutnya disahkan oleh Menteri Kehakiman dengan Surat Keputusan No. Y.A5438 tanggal 28 Januari 1977 dan diumumkan dalam Lembaran Negara No. 52 tahun 1978. Lahan-lahan yang dikuasai PTPN II memiliki keterkaitan sejarah yang cukup panjang dengan perusahaan-perusahaan perkebunan Belanda. Lahan PTPN II berasal dari konsesi tanah NV. Van Deli Maatschappij seluas 250.000 ha yang diusahai sejak 1870. Pengambilalihan tanah-tanah milik perkebunan Belanda ini bermula pada 7 November 1957 terkait dengan krisis politik Perebutan Irian Barat dengan Belanda, Soekarno selaku Presiden Republik Indonesia mengumumkan untuk mengambil alih seluruh perkebunan milik orang Belanda. Pengumuman tersebut diteruskan dengan keluarnya pengumuman Menteri Kehakiman G.A Maengkom pada tanggal 5 Desember 1957 yang menyatakan pengambil alihan akan dilakukan oleh pihak yang berwenang, yaitu Penguasan Militer Pusat dan Daerah. Namun Juanda Kartawidjaja selaku Menteri Pertahanan dan pimpinan tertinggi militer Republik Indonesia pada tanggal 9 Desember 1957 memberi wewenang kepada Menteri Pertanian untuk mengeluarkan peraturan terkait dengan pengelolaan perkebunan Belanda. Dengan kewenangan tersebut Menteri Pertanian menempatkan perkebunan Belanda dibawah pengawasan sebuah organisasi yang bernama Pusat Perkebunan Negara PPN. Organisasi ini menjadi cikal bakal lahirnya PTPN yang pada masa selanjutnya menguasai konsesi tanah yang dimiliki perkebunan Belanda di Sumatera setelah dikeluarkan Undang- Undang No. 86 Tahun 1958 tentang Nasionalisasi Perusahaan-Perusahaan Milik Belanda di Indonesia.