BUMN dan Pelepasan Aset

tanah perkebunan di tangan Pemerintah Jepang. Jepang juga mengambilalih pengelolaan perkebunan baik milik swasta maupun tanah rakyat dengan atau tanpa ganti kerugian, dengan dalih untuk kepentingan militer. Kepentingan militer tersebut berkaitan dengan upaya Jepang utuk mengatasi blockade Sekutu. Untuk itu diperlukan persediaan pangan yang cukup dengan melipatgandakan hasil bumi. Dalam usaha memenuhi kebutuhan pangan pemerintah Jepang memberikan ijin kepada penduduk untuk menggarap tanah-tanah kosong bekas perkebunan Belanda yang ditinggal pemiliknya. Tanah-tanah bekas perkebunan tersebut diusahakan dalam rangka memenuhi kebutuhan pangan bala tentara Jepang. Diizinkannya rakyat menggarap tanah perkebunan oleh pemerintah yang sedang berkuasa Jepang mengantar pada anggapan bahwa penggarapan tanah secara demikian adalah sah menurut hukum atau setidak-tidaknya sebagai “quasi legal basis”, yang kemudian diistilahkan dengan okupasi “quasi legal” menurut Karl Pelzer. Pada masa revolusi kemerdekaan 1945-1949, menyerahkan Jepang kepada Sekutu, meninggalkan warisan persoalan pendudukan tanah perkebunan oleh rakyat semakin rumit dan kompleks. Oleh sebab itu kekayaan perkebunan yang mendukung perekonomian nasional itu telah terjadi serta diupayakan bagaimana perkebunan segera dapat beroperasi dengan baik. Dalam masa pancaroba ini keadaan masyarakat serba belum menentu sehingga sambil mempertahankan kemerdekaan, menata perekonomian dan menegakkan ketertiban hukum. Di belakang kepentingan perang sekutu yang menerima kekalahan perang Pemerintah Militer Jepang, ternyata membonceng kepentingan pengusaha Belanda yang ingin mendapatkan kembali perkebunan terutama di Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur sangat besar artinya bagi Negeri Belanda. Oleh sebab itu segala upaya militer Agresi Militer I dan II Belanda begitupun hasil Konferensi Meja Bundar, menegaskan eksistensi dan pengakuan milik aset Belanda yang ada di Indonesia. Pada masa Republik Indonesia Serikat, Agresi militer Belanda pertama pada bulan Juli 1947 ditujukan pertama-tama ke daerah pusat onderneming lainnya di Indonesia, demikian juga sasaran agresi kedua pada bulan Desember 1948 daerah-daerah onderneming pula, seperti Asahan, Malang Selatan, dan Kediri. Perusahaan perkebunan Belanda onderneming menurut sejarahnya adalah hasil kerjasama antara raja-raja di Sumatera Timur yang diwujudkan berupa pemberian konsesi-konsesi tanah.