Upaya Penyelesaian Okupasi Tanah Perkebunan

untuk penanaman tebu, jagung, dan lain sebagainya. Kedua pada sisi pendistribusian. Pada sisi ini, masih banyak pertanyaan yang harus dijawab adalah : siapa yang akan menjadi subyek penerima manfaat langsung pembagian tanah, dengan cara bagaimana redistribusi tanah ini akan dilakukan dan apa bentuk hak yang akan timbul atas tanah-tanah tersebut, program ikutan apa yang akan dijalankan oleh pemerintah untuk melindungi para penerima manfaat program. Serta bagaimana status tanah yang sudah berpindah kepada pihak lain baik sebagai hak milik maupun sewa. Pertama jika benar yang diungkap Alm Tengku Rijal Nurdin 2003 bahwa rakyat yang akan mendapatkan tanah eks HGU adalah mereka-mereka yang memiliki alas hak yang jelas. Dengan demikian, masyarakat yang selama ini melakukan reklaiming, dan sebagian telah melakukan pengeloaan terhadap tanah tersebut akan menjadi pihak yang dirugikan sebab kebanyakan dari mereka tidak memiliki alas hak sebagaimana yang diatur dalam KUHP Perdata kecuali alas historis. Soal ini tentu saja akan menjadi polemik baru pada situasi konlik agraria di Sumatera Utara. Sebab jika redistribusi salah sasaran, bukan penyelesaian yang akan terjadi tetapi justru konlik baru. Kedua, sebagaimana yang dijelakan oleh AP Parlindungan Komentar Atas UU Pokok Agraria. 42-44.2008 bahwa wewenang hak menguasai dari Negara dalam sebagaimana diatur dalam pasal 2 UUPA yang berbunyi: a. Mengatur dan menyelenggarkan peruntukkan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaannya. b. Menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai atas bagian dari bumi, air, dan ruang angkasa itu. c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan hukum mengenai bumi, air, dan ruang angkasa.

6. Kewenangan Pemerintah dan Pemerintah Daerah

Negara pemerintah pusat memiliki wewenang tertinggi dalam pengelolaan agraria, sedangkan pemerintah daerah tidak boleh melakukan tindakan kewenangan agraria kecuali kewenangan yang didelegasikan oleh pemerintah pusat. Hal senada disampaikan bahwa sekalipun di dalam Udang-undang 322004 tentang Otonomi Daerah serta Peraturan Pemerintah No 382007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, Pemerintahan Kabupaten Kota. Disebutkan bahwa salah satu urusan wajib dan kewenangan pemerintah provinsi adalah pelayanan dalam bidang pertanahan Pasal 13 huruf k, Undang–undang 322004. Pasal 7 ayat 2 hurup r PP 38 tahun 2007. Akan tetapi hadirnya Undang-undang No 2 Tahun 2012 serta Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2015 tentang Badan Pertanahan Nasional BPN menempatkan kewenangan pemerintah daerah pada bidang pertanahan menjadi sumir tidak jelas. Pasal 2 menyebutkan, BPN bertugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pertanahan. Kemudian pasal berikutnya, menyebutkan bahwa BPN memiliki 11 fungsi, dan beberapa fungsi tersebut antara lain pengaturan dan penetapan hak atas tanah, pembinaan dan pelayanan administrasi umum bidang pertanahan, pelaksanaan penatagunaan tanah, pengaturan, dan penetapan hak - hak atas tanah, pembatalan penghentian hubungan antara orang dan atau badan hukum dengan tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang belaku, reformasi agraria dan penataan wilayah-wilayah khusus. Lahirnya berbagai peraturan ini adalah bukti nyata dari proses resentralisasi bidang pertanahan yang dilakukan pemerintah Indonesia. Menurut Boedi Harsono, ada roh yang berbeda pada otonomi di Indonesia khususnya bidang pertanahan ketika masih menggunakan Undang-undang 222002 dengan Undang-undang 322004. Misalnya: dalam UU No. 32 Tahun 2004, kewenangan yang menjadi urusan wajib Pemerintahan Provinsi dalam skala Provinsi meliputi: ”pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupatenkota”. Kewenangan yang menjadi urusan wajib Pemerintahan KabupatenKota yang berskala Kabupaten Kota meliputi: ”pelayanan pertanahan”, sedangkan UU No. 22 Tahun 1999 menyatakan, bahwa bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten dan Daerah Kota meliputi: ”...pertanahan..”, tanpa disertai dengan kata pelayanan. Hal ini memberikan arti bahwa dari segi lingkup kewenangan, UU No. 22 Tahun 1999 dalam hal penyerahan kewenangan di bidang pertanahan kepada pemerintah daerah Pemerintah Kabupaten Kota, lebih luas jika dibandingkan dengan UU No. 32 Tahun 2004 yang hanya sebatas pelayanan pertanahan. Kewenangan pemerintah daerah khususnya bidang pertanahan yang diberikan oleh Undang-undang 222002 ini kemudian dikuatkan oleh : Keputusan Pesiden Nomor 48 Tahun 1999 tentang Tim Pengkajian Kebijaksanaan Peraturan Perundang-undangan dalam Rangka Pelaksanaan Landreform, Keputusan Presiden Nomor 10 Tahun 2001 tentang Pelaksanaan Otonomi Daerah di bidang Pertanahan, serta Keputusan Pesiden Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan. Pada Pasal 2 ayat 1 dan 2 Kepres No. 34 Tahun 2003 misalnya disebutkan: 1. Sebagian kewenangan Pemerintah di bidang pertanahan dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten Kota. 2. Kewenangan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 adalah: a. Pemberian ijin lokasi; b. Penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan; c. Penyelesaian sengketa tanah garapan; d. Penyelesaian masalah ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan; e. Penetapan subyek dan obyek redistribusi tanah, serta ganti kerugian tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee; f. Penetapan dan penyelesaian masalah tanah ulayat; g. Pemanfaatan dan penyelesaian masalah tanah kosong; h. Pemberian ijin membuka tanah; dan i. Perencanaan penggunaan tanah wilayah kabupatenkota. Penjelasan baik yang diungkapkan oleh AP Parlindungan, ini paling tidak menyapaikan dua pesan. Pertama bahwa domain redistribusi tanah bukanlah kewenangan pemerintah daerah tetapi adalah kewenangan pemerintah pusat cq Badan Pertanahan Nasional. Ada nomenklatur yang berbeda antara saat pengusulan pelepasan HGU PTPN II seluas 5.873,068 ha pada tahun 2002 – 2003 dengan realitas sekarang ini 2015. Harus diingat bahwa pada saat usulan pelepasan tersebut Indonesia masih memakai Undang-undang No 22 Tahun 2002 yang memberikan ruang yang cukup luas pada pemerintah daerah khususnya pemerintah kabupaten kota mengenai soal-soal pertanahan termasuk penetapan subjek dan objek redistribusi tanah. Yang saat ini telah direduksi dengan keluarnya Undang-undang No. 322004, Peraturan Presiden 172015, serta peraturan- peraturan lainnya yang mengarah pada resentralisasi bidang pertanahan. Realitas ini menyampaikan Pesan Kedua bahwa sekalipun menurut SK BPN No. 42, 43 dan 44HGUBPN2002, telah disebutkan bahwa tanah- tanah perkebunan yang tidak di perpanjang tersebut akan menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara dan menyerahkan pengaturan penguasaan, pemilikan, pemanpaatan, dan penggunaan tanah tersebut kepada Gubernur Provinsi Sumatra Utara dan selanjutnya di proses sesuai ketentuan dan perundang-undangan yang berlaku setelah memperoleh ijin pelepasan aset dari Menteri yang berwenang dalam hal ini Menteri BUMN RI. Namun berdasarkan peraturan dan perundang-undangan yang ada pengaturan dan penetapan hak atas tanah tidak berada di dalam wilayah kewenangan Gubernur. Sebagai pejabat dekonsentrasi, Gubernur bisa saja melakukan langkah- langkah koordinatif seperti yang dilakukan sekarang Forum Pimpinan Daerah : kejaksaan, Kepolisian, Pengadilan, BPN, dan pemerintah Kabupaten Kota terkait, namun jika mekanisme redistribusi termasuk bentuk hak ditimbulkan atas reditribusi, serta penyelesaian pengambilalihan kembali lahan yang sudah bersertipikat atas nama pengusaha, tidak di buat dengan benar, efektif, dan transparan maka sangat terbuka peluang rencana yang ada akan dijalankan berakhir dengan blunder. Ketiga, redistribusi ini seharusnya tidak semata-mata membagi-bagikan tanah pada petani. Belajar dari banyak Negara Cina, Jepang, dan Taiwan, serta Korea Selatan yang sukses melakukan reditribusi tanah, mereka ternyata tidak hanya melakukan redistribusi tetapi mereka juga menjalankan sejumlah program ikutan yakni: penyediaan segala kemudahan bagi petani penerima tanah untuk memulai mengembangkan potensi produktivitasnya di atas tanah yang mereka terima, kemudian melakukan proteksi terhadap hasil-hasil produksi kelompok-kelompok petani, serta memberikan perlindungan ketika petani-petani penerima tanah masih harus memperkuat unit-unit ekonomi produksinya. Pada soal proteksi hasil-hasil pertanian pemerintah daerah memang dibatasi oleh regulasi yang ada kebijakan soal impor, perjanjian sistem perdagang bilateral, dan multilateral dan lain-lain namun pada soal memberikan ruang yang lebih luas bagi petani untuk mengembangkan unit-unit produksinya pemerintah daerah memiliki potensi yang sangat besar.

7. Konlik Agraria

Konlik agraria di Indonesia dan Sumatera Utara khususnya, sepertinya telah menjadi persoalan tanpa ujung. Yang terjadi bukan hanya tidak dapat diselesaikannya kasus-kasus lama, namun eskalasi konlik-konlik baru juga mengalami peningkatan sampai pada titik yang cukup mengkhawatirkan. Rasio jumlah tanah untuk pertanian dengan jumlah kebutuhan penduduk terhadap tanah yang timpang, serta tidak ditempatkanya investasi pengelolaan sumberdaya alam pada areal yang bijak disinyalir menjadi penyebab utama mengapa konlik agraria di Indonesia menjadi semakin kompleks. Undang-undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 sebenarnya telah meletakkan tonggak dasar bagi penyelesaian persoalan tersebut. Namun berbagai peraturan perundang-undangan yang dilahirkan setelahnya, secara langsung ataupun tidak langsung telah membekukan undang – undang tersebut UUPA. Fakta ini memberikan penjelasan pada kita bahwa persoalan konlik agraria tidaklah berdimensi tunggal apalagi keadaerahan. Ia konlik agraria tidaklah berada pada ruang hampa minus intervensi internasional, nasional, maupun regional. Artinya penyelesaian konlik agraria terutama di Sumatera Utara, tidak bisa hanya didukung oleh niat baik pemerintah daerah, tapi harus mendapat dukungan pada skala yang lebih luas: pemerintah pusat dan masyarakat sipil. Sekalipun demikian untuk konteks Sumatera Utara paling tidak ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk merespon persoalan tersebut, yang akan dijabarkan dalam beberapa berikut: a. Untuk Tanah Eks HGU PTPN II Membentuk forum daerah yang terdiri dari : pemerintah kabupaten kota, BPN, PTPN II, Kepolisian, Kejaksaan, pengadilan, dan masya- ra kat, untuk kemudian: melakukan pemetaan terhadap tanah-ta- nah eks HGU, merumuskan formulasi tentang siapa saja yang ber- hak mendapatkan tanah eks HGU PTPN tersebut dan hak apa yang akan ditimbulkan atas redistribusi tersebut, merumuskan formulasi mekanisme redistribusi serta program ikutan yang akan dijalankan setelah redistribusi. Melakukan langkah-langkah hukum dan administratif terhadap kelompok–kelompok atau perorangan diluar kelompok yang berhak petani penggarap yang telah membuat sertipikat atas tanah–tanah tersebut. b. Meminta PTPN, kepolisian, masyarakat, dan perusahaan lainnya untuk tidak melakukan okupasi terhadap tanah-tanah yang masih bermasalah dan masih diferiikasi. Perseroan Terbatas Perkebunan Nusantara II PTPN II adalah sebuah badan usaha milik negara yang bergerak di bidang agribisnis perkebunan, produksinya meliputi budidaya kelapa sawit, karet, kakao, gula, dan tebu yang areal penanamannya tersebar di Sumatera Utara.