Penegakan diagnosis tuberkulosis paru adalah dengan menilai gejala klinis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan radiologi, pemeriksaan sputum dan tes
tuberkulin. Salah satu instrumen penegakan diagnosis tuberkulosis paru adalah pemeriksaan sputum. Pemeriksaan sputum adalah penting karena dengan
ditemukannya kuman BTA, diagnosis tuberkulosis sudah dapat dipastikan Amin Bahar, 2009
Pewarnaan Bakteri Tahan Asam BTA memiliki sensivitas sekitar 40- 60 dalam mengkonfirmasi kasus Tuberkulosis TB paru Raviglione
O’Brien, 2010. Di Indonesia, proporsi BTA positif diantara semua pasien TB paru tercatat pada tahun 2011 adalah 62 Kemenkes, 2012.
Menurut Dikromo, Antariksa, dan Nawas 2011 dalam penelitiannya, 83 pasien yang didiagnosis TB-HIV di RS. Persahabatan tahun 2005 sampai 2008
menunjukkan pasien dengan BTA positif adalah sebanyak 28 orang 33,7 dan 55 orang 66,3 yang hasil BTA negatif.
Menurut Fredy, Liwang, Kurniawan, dan Nasir 2012 dalam penilitiannya, 122 pasien yang didiagnosis TB-HIV di RS. Cipto Mangunkusumo
tahun 2008 sampai 2011 menunjukkan pasien dengan BTA positif adalah sebanyak 22 orang 18 dan 100 orang 82 yang hasil BTA negatif.
Menurut Coimbra et al. 2012 dalam penelitiannya, hasil pemeriksaan sputum yang negatif merupakan salah satu faktor yang berhubungan dalam
terlambatnya pengobatan pada pasien koinfeksi TB-HIV. Hal ini menjadikan penderita TB-HIV terlambat ditangani.
1.2. Rumusan Masalah
Bagaimanakah gambaran mikroskopis BTA pada pasien suspek TB Paru- HIV yang berobat di Klinik Care Support and Treatment CST Pusyansus RSUP.
Haji Adam Malik Medan periode Januari 2011 - Desember 2012? 1.3.Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran mikroskopis BTA pada pasien-pasien suspek TB Paru-HIV yang berobat di Klinik
CST Pusyansus RSUP. Haji Adam Malik Medan 2011-2012.
Universitas Sumatera Utara
1.3.2. Tujuan Khusus
Yang menjadi tujuan khusus dalam penelitian ini adalah: a. Untuk mengetahui angka kejadian HIVAIDS di Klinik CST
Pusyansus RSUP. Haji Adam Malik Medan periode Januari 2011 - Desember 2012.
b. Untuk mengetahui angka kejadian koinfeksi TB Paru-HIV di Klinik CST Pusyansus RSUP. Haji Adam Malik Medan periode Januari 2011
- Desember 2012. c. Untuk mengetahui karakteristik responden berdasarkan umur, jenis
kelamin, tingkat pendidikan dan cara penularan pada pasien TB Paru- HIV di Klinik CST Pusyansus RSUP. Haji Adam Malik Medan
periode Januari 2011 - Desember 2012.
1.4. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat: 1. Bagi peneliti, untuk menambah wawasan dan pengetahuan dalam
penerapan ilmu yang diperoleh selama masa perkuliahan. 2. Dapat digunakan sebagai informasi bagi penelitian selanjutnya yang
berhubungan dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis. 3. Dapat memberikan informasi bagi praktisi kesehatan dalam menilai
gambaran BTA dalam penegakan diagnosis koinfeksi TB Paru-HIV.
Universitas Sumatera Utara
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. HIVAIDS 2.1.1. Epidemiologi HIVAIDS
Secara global, terdapat 34 juta orang yang hidup dengan HIV pada akhir tahun 2011. Pada daerah Afrika Sub-Sahara, kira-kira 1 dari 20 orang dewasa
hidup dengan HIV. Pada tahun 2011 kematian akibat AIDS juga tak kalah tingginya. Sekitar 1,7 juta orang meninggal akibatnya UNAIDS,2011.
Indonesia merupakan salah satu negara yang mengalami peningkatan jumlah insidensi infeksi HIV. Sejak tahun 2001-2011, Indonesia mengalami
peningkatan lebih dari 25 infeksi HIV pada orang dewasa sekitar 15-49 tahun UNAIDS,2011.
Menurut Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 2012 pada tahun 2012 jumlah kasus HIV adalah sebesar 98.390 kasus dan AIDS sebesar 42.887
yang mana pada tahun 2011 jumlah kasus HIV sebesar 76.879 kasus dan AIDS sebesar 29.879 kasus.
2.1.2. Struktur HIV
HIV termasuk dalam genus Lentivirus dari famili Retroviridae. Struktur HIV berbentuk sferis yang terdiri atas capsid yang terselimuti dengan envelope
yang berupa komponen membran dan membran yang berasal dari sel host. Capsid berbentuk peluru yang terbentuk dari protein p24 dari gen gag, capsid berisi dua
duplikat utas RNA yang merupakan genom virus. Di dalam capsid juga terdapat enzim reverse trancriptase, RNase-H, Integrase, dan Protease. Dibawah
membran host yang membungkus capsid terdapat matriks yang membentuk struktur virus yang tersusun oleh protein p17 gag outer core. Permukaan luar
membran terdapat envelope glikoprotein yang terdiri atas dua komponen yaitu gp41 dan gp120. Komponen gp41 merupakan protein transmembran dan bagian
eksternalnya terikat protein gp120 secara nonkovalen hidrofobik. Unit gp41-
Universitas Sumatera Utara
gp120 terdapat pada permukaan virus dalam bentuk trimer dan berperan dalam binding dan fusi virion pada sel target Widodo Lusida,2007.
Genom HIV terdiri atas dua molekul identik single stranded positive RNA yang biasa dikenal dengan diploid. Genom HIV mengkode tiga struktural protein
yaitu gag, pol, dan env, serta mengkode juga enam gen regulator. Dua gen regulator yaitu tat dan rev dibutuhkan saat replikasi dan empat lainnya yaitu ref,
vif, vpr, dan vpu tidak dibutuhkan saat replikasi dan dikenal dengan accessory genes. Gen-gen ini akan ditranslasi menjadi protein-protein prekursor pembentuk
virion baru Widodo Lusida,2007.
Gambar 2.1. Struktur HIV Sumber: Penyakit Infeksi di Indonesia, 2007
2.1.3. Siklus Hidup HIV
Masuknya HIV ke dalam sel host didahului dengan proses yang kompleks dari interaksi beberapa protein. Virus membutuhkan kurang lebih dua reseptor
pada sel target CD4 sebagai reseptor utama dan koreseptor, reseptor kemokin. Ketika virus mulai menginfeksi sel, gp120 akan berikatan dengan CD4
pada sel host. Ikatan tersebut akan merubah konformasi gp120, terbukanya lokasi ikatan untuk reseptor kemokin sehingga dapat berikatan dengan reseptor kemokin
pada sel host. Ikatan tersebut akan berakibat pada gp41. Gp41 akan memperantarai fusi virus dengan membran sel target, sehingga terlepasnya capsid
ke dalam sitoplasma sel host Widodo Lusida, 2007 Di dalam sitoplasma, genom virus yang berupa RNA segera ditranskripsi
balik menjadi DNA. Pertama kali enzim reverse transcriptase akan membuat
Universitas Sumatera Utara
DNA utas tunggal komplementer terhadap RNA virus. Berikutnya enzim RNase- H akan mendegradasi RNA virus dan menggantinya dengan mensintesis DNA
utas kedua, sehingga terbentuk double stranded DNA. DNA virus akan bermigrasi dari sitoplasma ke nukleus dan kemudian akan mengalami sirkularisasi
nonkovalen yang berhubungan dengan Long Terminal Repeat sequences LTR. Enzim Integrase mengintegrasikan DNA virus secara acak ke dalam DNA host.
LTR virus berperan sebagai promoter ekspresi gen virus. Transkripsi terjadi karena bantuan faktor transkrisi dari host, antara lain adalah NF-Kb Nuclear
Factor kappa B dan NF-AT Nuclear Factor Activated T cell. Protein komponen virus terekspresi dari mRNA berbeda yang berasal dari DNA proviral. Protein
prekursor 55kDa akan terpotong menjadi semua protein core virus yang dipotong pada N terminal oleh protease virus menjadi protein sub unit gag p17, p24, p7,
dan p9. Protein Pol berupa prekursor dari protein RT, RNase, protease, dan integrase. Protein turunan Protein Pol tersebut segera dikemas dalam inti dari
virus baru. Protein prekursor gp160 Env ditranslasi dari transkrip ssRNA. Prekursor gp160 akan mengalami pembelahan oleh enzim seluler dalam apparatus
golgi menjadi protein matur gp41 dan gp120 Widodo Lusida, 2007 Virion lengkap tersusun pada sitoplasma sel host dekat tepi membran.Core
virus yang tersusun segera mengalami budding pada permukaan membran sel yang terinfeksi, dengan membawa komponen envelope berupa membran sel host
beserta protein envelope virus Widodo Lusida, 2007
2.1.4. Transmisi virus
Menurut Fauci Lane 2008, Virus HIV ditularkan melalui beberapa cara yaitu:
1. Transmisi Seksual Virus HIV merupakan salah satu penyakit menular seksual PMS.
HIV berada bebas dan menginfeksi mononuklear pada cairan semen. Meningkat jumlahnya seiring meningkatnya jumlah sel mononuklear pada
epididimis dan uretritis. Virus juga didapatkan pada cairan vaginal dan hapusan serviks.
Universitas Sumatera Utara
Terdapat hubungan penularan HIV melalui hubungan seksual kelamin-anus. Hal ini terjadi karena mukosa rektum yang tipis dan mudah
terjadi luka mengakibatkan adanya kontaminasi sperma yang mengandung virus HIV dengan luka pada mukosa rektum. Penularan HIV juga terjadi
pada hubungan seksual kelamin-kelamin. Walaupun mukosa vagina lebih tebal, namun juga dapat terjadi luka yang akan terkontaminasi oleh sperma
yang mengandung HIV. Hubungan seksual kelamin-oral, menurut beberapa penelitian memiliki tingkat penularan HIV yang sangat rendah.
Namun, asumsi tersebut tidak dapat menjamin sepenuhnya. 2. Darah
HIV juga dapat ditularkan melalui transfusi darah, transplantasi jaringan, ataupun penggunaan jarum suntik yang bergantian.
3. Penularan ibu ke bayi Infeksi HIV dapat ditularkan dari ibu ke janinnya saat hamil, persalinan,
ataupun ASI. Kemungkinan penularan dari ibu ke janin adalah 15-25 pada negara maju dan 25-35 pada negara berkembang. Tingginya
kemungkinan penularan berkaitan dengan beberapa faktor. Salah satunya adalah tingginya viremia pada ibu. Pada 552 ibu hamil di Amerika Serikat,
tingkat penularan ibu ke bayi pada ibu dengan 1000copy RNA HIVml darah adalah 0, pada ibu dengan 1000-10.000copy RNA HIVml darah
adalah 16,6, 21,3 pada ibu dengan 10.001-50.000 copyml darah, 30,9 pada ibu dengan 50.001-100.000 copyml darah, dan 40,6 pada
ibu 100.000copyml. Penularan melalui ASI bergantung pada jumlah virus yang terdeteksi pada
ASI, adanya mastitis, jumlah CD4 ibu yang rendah, dan defisiensi vitamin A pada ibu. Risiko penularan HIV melalui ASI sangat tinggi pada awal-
awal bulan menyusui. Oleh sebab itu, pemberian ASI eksklusif harus dihindari pada ibu yang terinfeksi HIV.
4. Penularan melalui cairan tubuh lain
Universitas Sumatera Utara
Walaupun HIV dapat diisolasi dalam jumlah sedikit pada saliva, namun tidak ada bukti yang meyakinkan bahwa HIV dapat ditularkan melalui
saliva.
2.1.5. Patogenesis HIV
Virus biasanya masuk tubuh dengan menginfeksi sel Langerhans di mukosa rektum atau mukosa vagina yang kemudian bergerak dan bereplikasi di
kelenjar getah bening setempat. Virus kemudian disebarkan melalui darah yang disertai dengan sindrom berupa panas, mialgia, dan arthralgia. Virus menginfeksi
CD4, makrofag dan sel dendritikAPC Antigen Presenting Cell dalam darah dan organ limfoid Djoerban Djauzi, 2009.
Antigen virus nukleokapsid, p24 dapat ditemukan dalam darah selama fase ini. Fase ini kemudian dikontrol oleh sel T CD8 dan antibodi dalam sirkulasi
terhadap p24 dan protein envelop gp120 dan gp41. Respon inmun tersebut menghancurkan virus HIV dalam KGB selama fase selanjutnya dan fase laten
Djoerban Djauzi, 2009. Antibodi muncul di sirkulasi dalam beberapa minggu setelah infeksi,
namun secara umum dapat dideteksi pertama kali setelah replikasi virus telah menurun. Walau antibodi ini umumnya memiliki aktifitas netralisasi yang kuat
terhadap virus, namun ternyata tidak dapat mematikan virus Djoerban Djauzi, 2009.
Dalam folikel limfoid, virus terkonsentrasi dalam bentuk kompleks imun yang diikat oleh sel dendritikAPC. Meskipun dalam kadar rendah virus
diproduksi dalam fase laten, destruksi sel CD4 berjalan terus dalam kelnjar limfoid. Akhirnya jumlah sel CD4 dalam sirkulasi menurun. Hal ini dapat
memerlukan beberapa tahun dan kemudian menjadi fase progresif kronis dimana penderita menjadi rentan tehadap infeksi oportunistik Baratawidjaja
Rengganis, 2010. Virus HIV yang berikatan dengan CD4 memerlukan reseptor untuk masuk
dan menginfeksi. Terdapat dua koreseptor yang digunakan virus HIV yaitu CXCR4 untuk menginfeksi sel T dan CCR5 yang digunakan untuk menginfeksi
makrofag Baratawidjaja Rengganis,2010.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.2. Patogenesis HIV Sumber: Immunologi Dasar, 2010
2.1.6. Patofisiologi AIDS
Dalam tubuh penderita, partikel virus bergabung dengan DNA sel pasien, sehingga satu kali seseorang terinfeksi HIV, seumur hidup ia akan tetap terinfeksi.
Dari semua orang yang terinfeksi HIV, sebagian masuk ke tahap AIDS pada 3 tahun pertama, 50 berkembang menjadi AIDS pada 10 tahun, dan sesudah 13
tahun hampir semua orang yang terinfeksi HIV menunjukkan gejala AIDS Djoerban Djauzi, 2009.
Infeksi HIV tidak langsung menimbulkan gejala tertentu. Sebagian menunjukkan gejala tidak khas pada infeksi akut HIV, 3-6 minggu setelah
terinfeksi. Gejala yang timbul adalah demam, nyeri menelan, pembengkakan kelenjar getah bening, ruam, diare, atau batuk. Setelah infeksi akut, dimulailah
infeksi HIV asimtomatik tanpa gejala. Masa tanpa gejala ini umumnya berlangsung selama 8-10 tahun Djoerban Djauzi, 2009.
Universitas Sumatera Utara
Pada waktu orang dengan infeksi HIV masih merasa sehat, klinis tidak menimbulkan gejala, pada waktu itu terjadi replikasi HIV yang tinggi, 10 pertikel
setiap hari. Replikasi ini disertai mutasi dan seleksi virus sehingga virus menjadi resisten. Bersamaan dengan replikasi virus, terjadi kehancuran limfosit CD4 yang
tinggi Djoerban Djauzi, 2009. Seiring dengan makin memburuknya kekebalan tubuh, penderita mulai
menampakkan gejala-gejala akibat infeksi oportunistik seperti berat badan menurun, demam lama, rasa lemah, pembesaran kelnjar getah bening, diare,
tuberkulosis, infeksi jamur, herpes, dan lain sebagainya Djoerban Djauzi, 2009
2.1.7. Gejala klinis
Menurut Fauci Lane 2008, gejala klinis HIVAIDS adalah: 1. Sindroma HIV akut
Gejala klinis yang khas pada sindroma HIV akut adalah demam, ruam kulit, faringitis dan mialgia. Gejala ini bertahan selama satu atau beberapa
minggu dan perlahan mereda akibat respon imun dan menurunnya jumlah virus dalam darah.
2. Fase asimtomatik Pada stadium ini terjadi replikasi yang progresif HIV. Pada pasien yang
tingkat replikasi dan penuruan jumlah CD4 yang tinggi akan lebih cepat untuk masuk ke fase selanjutnya.
3. Fase simtomatik Gejala dari penyakit HIV dapat muncul kapan saja dalam perjalan penyakit
ini. Hal ini berkaitan dengan jumlah CD4. Hal yang dapat menimbulkan komplikasi yang sangat membahayakan pada HIV terjadi pada pasien
dengan CD4 200mikroliter. Dapat teradi infeksi-infeksi lain yang menyertai penderita HIV pada fase ini seperti: P.jiroveci, mikobakterium
atipik, CMV, mikobakterium, dan organisme lain yang tidak menimbulkan gangguan pada orang dengan sistem imun baik.
Universitas Sumatera Utara
2.1.8. Stadium Klinis HIVAIDS
Menurut Kemenkes 2009, stadium klinis HIVAIDS adalah sebgai berikut:
I. Stadium 1
a Tidak ada gejala b Limfadenopati Generalisata Persisten
II. Stadium 2
a Penurunan berat badan bersifat sedang yang tak diketahui penyebabnya 10 dari perkiraan berat badan atau berat badan sebelumnya
b Infeksi saluran pernafasan yang berulang sinusitis, tonsillitis, otitis media, faringitis
c Herpes zoster d Keilitis angularis
e Ulkus mulut yang berulang f Ruam kulit berupa papel yang gatal Papular pruritic eruption
g Dermatisis seboroik h Infeksi jamur pada kuku
III. Stadium 3
a Penurunan berat badan bersifat berat yang tak diketahui penyebabnya lebih dari 10 dari perkiraan berat badan atau berat badan sebelumnya
b Diare kronis yang tak diketahui penyebabnya selama lebih dari 1 bulan c Demam menetap yang tak diketahui penyebabnya
d Kandidiasis pada mulut yang menetap e
Oral hairy leukoplakia f Tuberkulosis paru
g Infeksi bakteri yang berat contoh: pneumonia, empiema, meningitis, piomiositis, infeksi tulang atau sendi, bakteraemia, penyakit inflamasi
panggul yang berat h Stomatitis nekrotikans ulserative akut, gingivitis atau periodontitis
i Anemi yang tak diketahui penyebabnya 8gdl, netropeni 0.5 x 109l danatau trombositopeni kronis 50 x 109l
Universitas Sumatera Utara
IV. Stadium 4
a Sindrom wasting HIV b Pneumonia Pneumocystis jiroveci
c Pneumonia bacteri berat yang berulang d Infeksi herpes simplex kronis orolabial, genital, atau anorektal selama
lebih dari 1 bulan atau viseral di bagian manapun e Kandidiasis esofageal atau kandidiasis trakea, bronkus atau paru
f Tuberkulosis ekstra paru g Sarkoma Kaposi
h Penyakit Cytomegalovirus retinitis atau infeksi organ lain, tidak termasuk hati, limpa dan kelenjar getah bening
i Toksoplasmosis di sistem saraf pusat j Ensefalopati HIV
k Pneumonia Kriptokokus ekstrapulmoner, termasuk meningitis l Infeksi mycobacteria non tuberkulosis yang menyebar
m Leukoencephalopathy multifocal progresif n Cyrptosporidiosis kronis
o Isosporiasis kronis p Mikosis diseminata histoplasmosis, coccidiomycosis
q Septikemi yang berulang termasuk Salmonella non-tifoid r Limfoma serebral atau Sel B non-Hodgkin
s Karsinoma serviks invasif t Leishmaniasis diseminata atipikal
u Nefropati atau kardiomiopati terkait HIV yang simtomatis
2.1.9. Pemeriksaan Penunjang HIVAIDS
Menurut Retnowati 2007, ada beberapa macam pemeriksaan penunjang pada pasien HIVAIDS:
1. Pemeriksaan antibodi terhadap HIV Antibodi yang biasanya diperiksa adalah IgG yang terbentuk sekitar 3-6
minggu pasca terinfeksi. Metode pemeriksaan antibodi adalah Enzyme-
Universitas Sumatera Utara
linked Immunosorbant Assay ELISA dan Rapid test. Hasil pemeriksaan tersebut juga dapat dikonfirmasi dengan menggunakan tes Western Blot.
2. Deteksi antigen HIV. Pendeteksian antigen HIV adalah menggunakan deteksi protein virus dan deteksi asam nukleat. Deteksi protein virus
dilakukan dengan mendeteksi protein p24 dengan metode p24 antigen capture assay. Deteksi asam nukleat dilakukan dengan metode Polymerase
Chain Reaction PCR. 3. Pemeriksaan kadar CD4 dan Viral Load. Pemeriksaan kadar CD4
bertujuan dalam pemantauan keberhasilan terapi dan tingkat keparahan penyakit. Pemeriksaan tersebut dapat dialkukan dengan imunofloresen
antibodi monoklonal atau dengan alat flowcytometer. Namun, bila terdapat keterbatasan alat, dapat dilakukan dengan penghitungan limfosit total.
Pemeriksaan Viral Load dilakukan untuk mengetahui jumlah virus dan berguna dalam pemantauan hasil pengobatan.
2.1.10. Penatalaksanaan HIVAIDS
Untuk memulai terapi antiretroviral, sebaiknya dilakukan pemeriksaan kadar CD4 terlebih dahulu. Pengobatan dimulai pada kadar CD4 350 selmm
3
. Namun, jika tidak tersedia peralatan pemeriksaan kadar CD4, dapat dilakukan
pemberian obat antiretroviral berdasarkan stadium klinis Kemenkes,2009.
Tabel 2.1. Saat memulai terapi pada ODHA dewasa Target Populasi
Stadium Klinis Jumlah sel CD4
Rekomendasi
Penderita HIV dewasa
Stadium klinis 1 dan 2
350 selmm3 Belum mulai
terapi. Monitor gejala klinis dan
jumlah sel CD4 setiap 6-12 bulan.
350 selmm3 Mulai terapi
Stadium Klinis 3 dan 4
Berapapun jumlah sel CD4
Mulai terapi Pasien
dengan koinfeksi TB
Apapun stadium klinisnya
Berapapun jumlah sel CD4
Mulai terapi Pasien dengan
koinfeksi Hepatitis B kronik aktif
Apapun stadium klinisnya
Berapapun jumlah sel CD4
Mulai terapi
Ibu Hamil Apapun stadium
klinisnya Berapapun jumlah
sel CD4 Mulai terapi
Universitas Sumatera Utara
Sumber: Kemenkes, 2009 Pemerintah menganjurkan pemberian pengobatan antiretroviral
mengandung 2 Nucleoside Reverse Trancriptase Inhibitor + 1 Non Nucleoside Reverse Trancriptase Inhibitor.
Tabel 2.2. Panduan lini pertama yang direkomendasikan pada orang yang belum pernah menerima terapi antiretroviral
Populasi Target Pilihan yang direkomendasikan
Catatan
Dewasa dan anak Zidovudin atau Tenofovir +
Lamivudin atau Emtricitabine + Efavirenz atau Nevirapine
Merupakan pilihan panduan yang sesuai
untuk sebagian besar pasien. Gunakan FDC
jika ada.
Perempuan Hamil Zidovudin + Lamivudin +
Efavirenz atau Nevirapine Tidak boleh
menggunakan Efavirenz pada
trisemester pertama. Tenofovir bisa menjadi
pilihan
Ko-infeksi HIV- TB
Zidovudin atau Tenofovir + Lamivudin + Efavirenz
Mulai terapi antiretroviral segera
setelah terapi TB dapat ditoleransi antara 2
minggu hingga 8 minggu
Ko-infeksi HIV- Hepatitis B kronik
aktif Tenofovir + Lamivudin +
Efavirenz atau Nevirapine Diperlukan penggunaan
2 ARV yang memiliki aktivitas anti-HBV
Sumber: Kemenkes,2011 Pemantauan klinis terhadap pengobatan antiretroviral dilakukan pada
minggu 2, 4, 8, dan 24 minggu sejak mulai terapi antiretroviral dan kemudian setiap 6 bulan bila pasien telah mencapai keadaan stabil. Pemantauan CD4 perlu
dilakukan secara rutin setiap 6 bulan, atau lebih sering bila ada indikasi klinis Kemenkes,2011.
2.2. Tuberkulosis 2.2.1. Epidemiologi Tuberkulosis
Pada tahun 2011, di dunia diperkirakan insidensi kasus TB sebesar 8,7 juta, atau setara dengan 125 kasus per 100.000 populasi. Diperkirakan kasus
terbanyak terjadi di Asia dan Afrika WHO,2011.
Universitas Sumatera Utara
Di Indonesia, angka notifikasi kasus BTA positif baru pada tahun 2011 adalah 83 kasus per 100.000 penduduk, yang meningkat dari tahun sebelumnya
yaitu 78 kasus per 100.000 penduduk Kemenkes,2012.
2.2.2. Mycobacterium tuberculosis
Bakteri penyebab tuberkulosis adalah Mycobacterium tuberculosis, berebentuk batang, aerob, berukuran 0,4 x 3 mikrometer, dan tidak berspora.
Mycobacterium tidak dapat diklasifikasikan sebagai bakteri gram negatif ataupun positif. Namun, digolongkan sebagai Bakteri Tahan Asam karena sekali bakteri
tersebut diwarnai, tidak dapat dilunturkan lagi menggunakan asam alkohol Brooks, Butel, dan Morse, 2004.
2.2.3. Patogenesis Tuberkulosis
1. Tuberkulosis Primer Penularan terjadi akibat kuman yang terdapat dalam droplet yang
infkesius terhisap masuk kedalam paru-paru oleh penderita. Kuman pertama kali akan berhadapan dengan neutrofil dan kemudian dengan
makrofag. Kebanyakan bakteri akan dibersihkan oleh makrofag dan sebagian lagi tetap terperangkap pada jaringan paru. Bakteri yang
terperangkap ini akan berkembang biak pada makrofag. Kemudian akan terbentuk fokus primer yang merupakan sarang-sarang tuberkulosis. Dari
fokus primer akan timbul limfangitis lokal menuju hilus dan diikuti pembersaran kelenjar getah bening hilus limfadenitis regional. Hal ini
membentuk kompleks primer Amin Bahar, 2009. 2. Tuberkulosis Pasca Primer
Kuman yang dorman pada tuberkulosis primer akan muncul kembali menjadi tuberkulosis pasca primer sekunder. Tuberkulosis
sekunder terjadi akibat penurunan kekebalan tubuh seperti AIDS, penyakit keganasan, diabetes, dan pada penurunan imun lainnya. Dimulai dengan
pembentukan sarang dini di regio atas paru-paru dan menginvasi ke parenkim paru-paru. Dalam 3-10 minggu sarang dini membentuk suatu
granuloma yang terdiri dari sel histiosit dan datia langerhans yang dikelilingi oleh limfosit dan jaringan ikat. Nekrosis perkejuan terjadi
Universitas Sumatera Utara
akibat jaringan disekitar tuberkel mengalami nekrosis. Nekrosis perkejuan akan menjadi kavitas bila isi-nya keluar akibat dibatukkan. Dapat juga
terjadi TB milier akibat isi kavitas menyebar melalui arteri Amin Bahar, 2009
2.2.4. Gejala Klinis TB
Menurut Amin Bahar 2009, gejala klinis TB adalah: 1. Demam, biasanya subfebril. Dapat terjadi secara kambuh-kambuhan.
2. BatukBatuk darah, akibat terjadinya iritasi pada bronkus. Batuk darah terjadi akibat pecahnya pembuluh darah. Kebanyakan terjadi pada
kavitas, namun juga dapat terjadi pada ulkus dinding bronkus. 3. Sesak nafas, ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut dan infiltrasi
meliputi sebagian paru. 4. Nyeri dada, timbul akibat peradangan yang mencapai pleura sehingga
terjadi pleuritis. 5. Malaise, ditemukan berupa anoreksia, badan semakin kurus, sakit kepala,
meriang, nyeri otot, keringat malam.
2.2.5. Pemeriksaan Penunjang TB
Pemeriksaan penunjang TB paru adalah melalui beberapa pemeriksaan yaitu:
1. Mikroskopis BTA. Diagnosis yang meyakinkan adalah berdasarkan penemuan bakteri
M.tuberculosis pada pewarnaan sputum ataupun jaringan. Pemeriksaan ini memiliki sensitivitas yang rendah 40-60. Metode pewarnaan adalah
menggunakan metode Ziehl Nielsen ataupun Kinyoun. Pada pasien yang diduga menderita TB, dilakukan pengambilan 3 spesimen sputum yang
diambil pada pagi hari dan langsung diwarnai Raviglione O’Brien, 2009.
Pemeriksaan dahak untuk diagnosis dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berturut-turut berupa sewaktu-pagi-sewaktu
Kemenkes,2011.
Universitas Sumatera Utara
Bakteri tahan asam diinterpretasikan berwarna merah pada pewarnaan Kinyoun dan Ziehl Nielsen. Laporan pemeriksaan dibuat dalam beberapa
skala. Skala yang sering dipakai adalah skala International Union Againts Tuberculosis an Lung Disease IUATLD Kumala,2009.
Tabel 2.3. Interpretasi BTA menurut IUALTD Interpretasi
Keterangan
Negatif Bila tidak ditemukan BTA dalam 100 lapangan
pandang Tulis jumlah BTA
Bila ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapangan pandang
1+ atau + Bila ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapangan
pandang 2+ atau ++
Bila ditemukan 1-10 BTA dalam satu lapangan pandang
3+ atau +++ Bila ditemukan lebih dari 10 BTA dalam satu
lapangan pandang Sumber: Diagnosis Laboratorium Mikrobiologi Klinik, 2009
2. Kultur Kultur M.tuberculosis dilakukan pada media Lownstein-Jensen atau
Middlebrook 7H107H11 dan diinkubasi pada 35-37 celsius dengan CO2
5-10 selama 8 minggu Brooks, Butel, dan Morse, 2009. 3. Radiologi
Secara radiologis, TB paru dibedakan atas: a. TB paru primer : Kelainan biasanya terjadi pada satu lobus, dan
paru kanan lebih sering terkena. Kelainan foto toraks yang dominan adalah limfadenopati hilus dan mediastinum. Pada paru
bisa dijumpai infiltrat, ground glass opacity, konsolidasi segmental atau lobar, dan atelektasis, kavitas. Efusi pleura bisa dijumpai
umumnya unilateral disertai kelainan pada paru Icksan Luhur, 2008.
b. TB paru post primer i. TB paru fokal : Bercak infiltrat yang bisa retikulogranuler,
nodul-nodul yang bisa setempat atau milier, ground glass opacity, konsolidasi serta kavitas, dan efusi pleura.
Predileksi lesi biasanya di daerah segmen apikal dan
Universitas Sumatera Utara
segmen posterior lobus atas serta segmen superior lobus bawah.
ii. TB pneumonia dan bronkopneumonia : Lobus paru bisa terlihat konsolidasi dan kavitas bisa terlihat daerah
konsolidasi pada lobus yang terkena. TB bronkopneumonia bisa memperlihatkan gambaran patchy dan bilateral
infiltratdan melibatkan daerah yang jarang terkena pada TB.
iii. Tuberkuloma : gambaran berupa nodul yang tegas, tetapi bisa dijumpai tepi ireguler karena adanya fibrosis. Bisa
multipel dan mencapai ukuran 5 cm dan bisa didapati kalsifikasi pada nodul.
iv. TB paru milier : bisa dijumpai foto toraks normal atau bisa berupa nodul milier berukuran 2-3 mm, yang tersebar
merata di kedua paru. c. Pleuritis TB : terjadi efusi pleura. Icksan Luhur, 2008
4. Tes tuberkulin Uji tuberkulin mengandung derivat protein yang dimurnikan melalui
fraksionisasi kimiawi dari konsentrasi filtrat kaldu tempat basil tuberkulosis ditumbuhkan. Terbagi atas 1TU, 5TU, dan 250 TU. Yang
sering digunakan adalah 5TU. Tuberkulin diberikan dengan cara disuntikkan ke pasien. Orang yang belum pernah kontak dengan
mikobakterium tidak akan menimbulkan reaksi terhadap uji tuberkulin. Sedangkan orang yang pernah mengalami infeksi primer, terjadi indurasi,
edema, eritema, dan bahkan nekrosis sentral pada daerah penyuntikan dalam waktu 24-48 jam Brooks, Butel, dan Morse, 2008.
Hal ini disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas tipe lambat, yang mengakibatkan sel T tersensitasi dan menggerakkan limfosit ke tempat
suntikan. Limfosit akan merangsang terbentuknya indurasi dan vasodilatasi lokal, edema, deposit fibrin, dan penarikan sel inflamasi ke
tempat suntikan Kenyorini, Suradi, dan Surjanto, 2006.
Universitas Sumatera Utara
Hasil postif jika indurasi lebih besar sama dengan 10 mm. Interpretasi positif adalah menandakan bahwa seorang individu pernah terinfeksi
diwaktu lampau dan terus mengandung mikobakterium yang hidup dalam beberapa jaringan Brooks, Butel, dan Morse, 2008.
5. PCR Polymerase Chain Reaction Reaksi PCR adalah metode amplifikasi suatu sekuens DNA tertentu. PCR
merupakan cara yang sensitif, selektif, dan sangat cepat untuk memperbanyak sekuens DNA yang diinginkan. Granner Weil,2006
Salah satu metode dalam mendeteksi TB adalah Xpert MTBRIF yang merupakan pengembangan dari metode PCR untuk mendeteksi gen TB.
Sensitifitas alat ini lebih tinggi dibandingkan dengan metode pewarnaan BTA. Pada koinfeksi HIV-TB, sensitifitas pewarnaan BTA dapat
menurun. Namun hal ini tidak terjadi pada metode PCR WHO,2011
2.2.6. Penatalaksanaan TB
Tujuan penatalaksanaan TB adalah menghentikan transmisi tuberkulosis dengan menjadikan pasien tidak infeksi dan mencegah morbiditas dan mortalitas
dengan mengobati pasien. Empat obat-obatan lini pertama digunakan pada penatalksanaan TB yaitu : Isoniazid H, Rifampicin R, Pyrazinamide Z, dan
Ethambutol E. Lini kedua pada pengobatan TB digunakan pada pasien-pasien yang telah mengalami resisten pada pengobatan lini pertama. Terdapat enam
golongan obat-obatan lini kedua yaitu: golongan aminoglikosida yang dapat diinjeksikan Streptomycin S, Kanamycin, Amikasin; Capreomycin Polypeptida
yang dapat diinjeksikan; Ethionamide, cycloserine, dan Para-Aminosalicylic PAS; dan antibiotik golongan flouroquinolon Raviglione O’Brien, 2010
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia 2011 menetapkan regimen pengobatan terhadap TB sebagai berikut:
a. Kategori 1 Diberikan untuk pasienbaru TB paru BTA positif, pasien TB paru BTA
negatif foto toraks positif, dan TB ekstra paru. Regimen pengobatan yang diberikan adalah pada tahap intensif diberikan 2HRZE HRZE diberikan
Universitas Sumatera Utara
sekali sehari selama 2 bulan dan tahap lanjutan diberikan 4H3R3 HR diberikan 3 kali seminggu selama 4 bulan.
b. Kategori 2 Panduan obat ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati
sebelumnya dimana pasien mengalami pasien kambuh, pasien gagal, dan pasien dengan pengobatan setelah putus berobat. Panduan yang diberikan
pada tahap intensif adalah 2HRZES HRZES diberikan sekali sehari selama 2 bulan atau 2HRZE HRZE diberikan sekali sehari selama 2
bulan dan tahap lanjutan diberikan 5H3R3E3 HRE diberikan 3 kali seminggu selama 5 bulan.
c. OAT sisipan OAT sisipan adalah sama seperti panduan paket untuk tahap intensif
kategori 1 yang diberikan selama sebulan. Pemantauan hasil pengobatan adalah dengan pemeriksaan ulang dahak
secara mikroskopis. Pemeriksaan dahak dinilai lebih baik dalam mengontrol hasil pengobatan dibandingkan dengan hasil pemriksaan radiologi. Dahak diperiksa 2
kali yaitu sewaktu dan pagi. Hasil pemeriksaan dikatakan negatif bila didapatkan kedua pemeriksaan tersebut negatif, dan postif jika didapatkan salah satu atau
keduanya positif Kemenkes,2011.
2.3. Koinfeksi TB-HIV
2.3.1. Epidemiologi TB-HIV
Tuberkulosis merupakan salah satu infeksi oportunistik yang menyerang pasien HIVAIDS. Tahun 2011 di Amerika Serikat, dari 8.683 orang yag
didiagnosis TB yang menjalani tes HIV, 6 menderita koinfeksi dengan HIV. Tahun 2006 769 dari 6.533 pasien TB didiagnosis menderita koinfeksi HIV
CDC,2013.
2.3.2. Hubungan TB-HIV
Melemahnya imunitas tubuh penderita HIVAIDS sehingga menjadikannya mudah menderita infeksi oportunistik. Aktifitas Limfosit T CD4
yang berperan untuk merangsang makrofag dalam melakukan fagositosis, merangsang respon inflamasi, dan merangsang proliferasi sel B menjadi
Universitas Sumatera Utara
berkurang dan bahkan tidak terjadi pada pasien HIV. Tuberkulosis dapat muncul dalam berbagai stadium infeksi HIV. Ketika imunitas selular sebagian terganggu,
TB paru menunjukkan gambaran infiltrat pada lobus atas, kavitas, dan tanpa limfadenopati atau efusi pleura yang signifikan. Pada HIV stadium lanjut, TB
menunjukkan gejala seperti TB primer dengan infiltrat milier, sedikit atau tanpa kavitas dan limfadenopati intra toraks. Pemeriksaan sputum positif sangat jarang
ditemukan pada pasien yang menderita HIV. Hal ini menjadikan TB sulit didiagnosis pada pasien HIV Raviglione O’Brien, 2010.
I. Peningkatan Infeksi Reaktivasi TB oleh HIV
Penurunan CD4 merupakan hal yang terjadi pada penderita AIDS. Hal ini memberi pengaruh besar terhadap peningkatan reaktivasi TB laten dan juga
meningkatkan kemungkinan infeksi baru. Beberapa mekanisme yang mendukung infeksi TB pada penderita HIV adalah peningkatan reseptor TB pada makrofag,
manipulasi jalur pembunuhan bakteri oleh HIV, perubahan regulasi kemotaksis dan ketidakseimbangan Th1Th2. Kemudian HIV juga mempengaruhi respon
apoptosis makrofag yang diperantarai Tumor Necrosis Factor TNF terhadap M.tuberculosis sehingga menjadikan bakteri tersebut dapat bertahan Pawlowski
et al.,2012 Pada TB fase laten, kuman TB tidak sepenuhnya dimusnahkan walaupun
kuatnya pertahanan dari Th1. Kegagalan atau melemahnya pertahanan tersebut dapat menimbulkan reaktivasi infeksi tersebut. Beberapa mekanisme imun yang
mempertahankan dan menjaga perkembangan bakteri TB mengalami gangguan akibat infeksi dari HIV. Sehingga meningkatkan kemungkinan untuk menjadikan
TB aktif Pawlowski et al., 2012. Granuloma terbentuk untuk melokalisasi TB agar tidak menyebar dan
berkembang. CD4 dan TNF memegang peranan penting dalam menjaga utuhnya granuloma tersebut. Keutuhan granuloma dapat terganggu pada orang yang
mengalami penurunan sitem imun, dan hal inilah yang menjadi hipotesa bagaimana HIV mengeksaserbasi TB yaitu melalui manipulasi dari granuloma.
CD4 yang menjaga keutuhan granuloma mengalami gangguan akibat dari infeksi HIV sehingga struktur granuloma menjadi rusak. Hal ini menyebabkan bakteri TB
Universitas Sumatera Utara
dapat menyebar dari granuloma dan menyebabkan infeksi Pawlowski et al., 2012.
Gambar 2.3 Mekanisme Aktivasi TB Laten oleh HIV Sumber:
http:iai.asm.org
II. Peningkatan Replikasi HIV akibat TB
Bakteri TB meningkatkan replikasi akut ataupun kronik HIV pada sel T dan makrofag. Pada penelitian in vitro ditemukan peningkatan viral load pada
pasien yang terinfeksi HIV-TB. Juga didapatkan bahwa TB dapat meningkatkan infeksi dan replikasi dari HIV pada monocyte-derived macrophage MDM ,
meningkatkan efisiensi transmisi virus dari MDM yang terinfeksi ke sel T, peningkatan replikasi akibat peningkatan dari koreseptor CXCR4. TNF yang
diproduksi akibat respon dari infeksi TB mengaktifkan replikasi HIV di makrofag. Bakteri TB yang bertahan pada sel dendritik secara aktif menurunkan kerja pro-
inflamatory dan kemampuan mempresentasikan antigen Pawlowski et al., 2012.
2.3.3. Diagnosis TB Paru-HIV
Pendekatan diagnostik TB paru pada penderita HIVAIDS tidak berbeda dengan orang non-HIVAIDS yang diduga TB paru atas dasar keluhan dan
pemeriksaan fisik serta harus diperiksa sputum 3 kali. Hasil sputum negatif tidak
Universitas Sumatera Utara
menyingkirkan adanya penyakit. Kemudian dilakukan kultur terhadap sputum Wulandari, 2007.
Menurut Onubogu et al. 2010 dalam penelitiannya, dari 236 pasien TB- HIV yang diperiksa mikroskopis BTA didapatkan 145 orang negatif dan 91 orang
positif. Namun, dari 145 orang yang negatif tersebut dilakukan kultur terhadap sputum dan didapatkan hasil kultur positif. Menurut Coimbra et al. 2012 dalam
penelitiannya, hasil pemeriksaan sputum yang negatif merupakan salah satu faktor yang berhubungan dalam terlambatnya pengobatan pada pasien koinfeksi TB-
HIV. Menurut Fredy, Liwang, Kurniawan Nasir 2012, terdapat korelasi
yang sangat lemah antara jumlah CD4 dengan jenis TB pada pasien TB-HIV di Indonesia p=0.042.
2.3.4. Penatalaksanaan TB-HIV
Panduan penatalaksanaan antiretroviral untuk koinfeksi tuberkulosis yang berlaku di Indonesia adalah:
Tabel 2.4, Terapi ARV untuk pasien koinfeksi TB CD4
Panduan yang dianjurkan Keterangan
Berapapun jumlah CD4 Mulai terapi TB. Gunakan panduan yang
mengandung EFV AZT atau TDF + 3TC + EFV
600mghari. Setelah OAT selesai maka
bila perlu EFV dapat diganti dengan NVP.
Pada keadaan dimana panduan
berbasis NVP terpaksa digunakan
bersamaan dengan pengobatan TB maka NVP
diberikan tanpa lead-in dose NVP diberikan tiap
12 jam sejak awal terapi Mulai terapi ARV segera
setelah terapi TB dapat ditoleransi antara 2
minggu hingga 8 minggu
CCD4 tidak mungkin diperiksa
Mulai terapi TB Mulai terapi ARV segera
setelah terapi TB dapat ditoleransi antara 2
minggu hingga 8 minggu
Sumber: Kemenkes, 2011
Universitas Sumatera Utara
Kualitas hidup penederita koinfeksi TB-HIV sangat terpengaruh akibat penyakitnya. Menurut penelitian Deribew et al.2009, didapatkan kualitas hidup
penderita TB-HIV lebih rendah dari pada penderita HIV tanpa koinfeksi. Hal ini disebabkan tingginya tingakat depresi, rendahnya dukungan keluarga, rendahnya
pendidikan pasien sehingga meningkatkan stigma yang buruk pada dirinya sendiri. Dalam penelitian lain Deribew et al. 2013, dalam penelitiannya
menyatakan bahwa terdapat peningkatan kualitas hidup yang signifikan pada pasien koinfeksi TB-HIV pasca pengobatan ART dan Anti-TB pada bulan keenam
pasca pengobatan.
Universitas Sumatera Utara
BAB 3
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL
3.1. Kerangka Konsep Penelitian
Penelitian ini untuk mengetahui gambaran mikroskopis BTA pada pasien suspek TB Paru-HIV.
Gambar 3.1. Kerangka konsep penelitian gambaran mikroskopis BTA pada pasien suspek koinfeksi TB Paru-HIV
3.2. Definisi Operasional
3.2.1. Pasien HIV positif
a. Definisi
: Penderita HIV positif adalah penderita HIV berusia 15 tahun yang berkunjung dan didiagnosis dokter
menderita infeksi virus HIV, sesuai yang tercatat di Rekam Medis Klinik Pusyansus RSUP.. Haji Adam Malik Medan periode
Januari 2011 sampai Desember 2012. b.
Cara ukur : Observasi
c. Alat ukur