Patogenesis HIV Patofisiologi AIDS

Walaupun HIV dapat diisolasi dalam jumlah sedikit pada saliva, namun tidak ada bukti yang meyakinkan bahwa HIV dapat ditularkan melalui saliva.

2.1.5. Patogenesis HIV

Virus biasanya masuk tubuh dengan menginfeksi sel Langerhans di mukosa rektum atau mukosa vagina yang kemudian bergerak dan bereplikasi di kelenjar getah bening setempat. Virus kemudian disebarkan melalui darah yang disertai dengan sindrom berupa panas, mialgia, dan arthralgia. Virus menginfeksi CD4, makrofag dan sel dendritikAPC Antigen Presenting Cell dalam darah dan organ limfoid Djoerban Djauzi, 2009. Antigen virus nukleokapsid, p24 dapat ditemukan dalam darah selama fase ini. Fase ini kemudian dikontrol oleh sel T CD8 dan antibodi dalam sirkulasi terhadap p24 dan protein envelop gp120 dan gp41. Respon inmun tersebut menghancurkan virus HIV dalam KGB selama fase selanjutnya dan fase laten Djoerban Djauzi, 2009. Antibodi muncul di sirkulasi dalam beberapa minggu setelah infeksi, namun secara umum dapat dideteksi pertama kali setelah replikasi virus telah menurun. Walau antibodi ini umumnya memiliki aktifitas netralisasi yang kuat terhadap virus, namun ternyata tidak dapat mematikan virus Djoerban Djauzi, 2009. Dalam folikel limfoid, virus terkonsentrasi dalam bentuk kompleks imun yang diikat oleh sel dendritikAPC. Meskipun dalam kadar rendah virus diproduksi dalam fase laten, destruksi sel CD4 berjalan terus dalam kelnjar limfoid. Akhirnya jumlah sel CD4 dalam sirkulasi menurun. Hal ini dapat memerlukan beberapa tahun dan kemudian menjadi fase progresif kronis dimana penderita menjadi rentan tehadap infeksi oportunistik Baratawidjaja Rengganis, 2010. Virus HIV yang berikatan dengan CD4 memerlukan reseptor untuk masuk dan menginfeksi. Terdapat dua koreseptor yang digunakan virus HIV yaitu CXCR4 untuk menginfeksi sel T dan CCR5 yang digunakan untuk menginfeksi makrofag Baratawidjaja Rengganis,2010. Universitas Sumatera Utara Gambar 2.2. Patogenesis HIV Sumber: Immunologi Dasar, 2010

2.1.6. Patofisiologi AIDS

Dalam tubuh penderita, partikel virus bergabung dengan DNA sel pasien, sehingga satu kali seseorang terinfeksi HIV, seumur hidup ia akan tetap terinfeksi. Dari semua orang yang terinfeksi HIV, sebagian masuk ke tahap AIDS pada 3 tahun pertama, 50 berkembang menjadi AIDS pada 10 tahun, dan sesudah 13 tahun hampir semua orang yang terinfeksi HIV menunjukkan gejala AIDS Djoerban Djauzi, 2009. Infeksi HIV tidak langsung menimbulkan gejala tertentu. Sebagian menunjukkan gejala tidak khas pada infeksi akut HIV, 3-6 minggu setelah terinfeksi. Gejala yang timbul adalah demam, nyeri menelan, pembengkakan kelenjar getah bening, ruam, diare, atau batuk. Setelah infeksi akut, dimulailah infeksi HIV asimtomatik tanpa gejala. Masa tanpa gejala ini umumnya berlangsung selama 8-10 tahun Djoerban Djauzi, 2009. Universitas Sumatera Utara Pada waktu orang dengan infeksi HIV masih merasa sehat, klinis tidak menimbulkan gejala, pada waktu itu terjadi replikasi HIV yang tinggi, 10 pertikel setiap hari. Replikasi ini disertai mutasi dan seleksi virus sehingga virus menjadi resisten. Bersamaan dengan replikasi virus, terjadi kehancuran limfosit CD4 yang tinggi Djoerban Djauzi, 2009. Seiring dengan makin memburuknya kekebalan tubuh, penderita mulai menampakkan gejala-gejala akibat infeksi oportunistik seperti berat badan menurun, demam lama, rasa lemah, pembesaran kelnjar getah bening, diare, tuberkulosis, infeksi jamur, herpes, dan lain sebagainya Djoerban Djauzi, 2009

2.1.7. Gejala klinis