Epidemiologi TB-HIV Diagnosis TB Paru-HIV Penatalaksanaan TB-HIV

sekali sehari selama 2 bulan dan tahap lanjutan diberikan 4H3R3 HR diberikan 3 kali seminggu selama 4 bulan. b. Kategori 2 Panduan obat ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati sebelumnya dimana pasien mengalami pasien kambuh, pasien gagal, dan pasien dengan pengobatan setelah putus berobat. Panduan yang diberikan pada tahap intensif adalah 2HRZES HRZES diberikan sekali sehari selama 2 bulan atau 2HRZE HRZE diberikan sekali sehari selama 2 bulan dan tahap lanjutan diberikan 5H3R3E3 HRE diberikan 3 kali seminggu selama 5 bulan. c. OAT sisipan OAT sisipan adalah sama seperti panduan paket untuk tahap intensif kategori 1 yang diberikan selama sebulan. Pemantauan hasil pengobatan adalah dengan pemeriksaan ulang dahak secara mikroskopis. Pemeriksaan dahak dinilai lebih baik dalam mengontrol hasil pengobatan dibandingkan dengan hasil pemriksaan radiologi. Dahak diperiksa 2 kali yaitu sewaktu dan pagi. Hasil pemeriksaan dikatakan negatif bila didapatkan kedua pemeriksaan tersebut negatif, dan postif jika didapatkan salah satu atau keduanya positif Kemenkes,2011.

2.3. Koinfeksi TB-HIV

2.3.1. Epidemiologi TB-HIV

Tuberkulosis merupakan salah satu infeksi oportunistik yang menyerang pasien HIVAIDS. Tahun 2011 di Amerika Serikat, dari 8.683 orang yag didiagnosis TB yang menjalani tes HIV, 6 menderita koinfeksi dengan HIV. Tahun 2006 769 dari 6.533 pasien TB didiagnosis menderita koinfeksi HIV CDC,2013.

2.3.2. Hubungan TB-HIV

Melemahnya imunitas tubuh penderita HIVAIDS sehingga menjadikannya mudah menderita infeksi oportunistik. Aktifitas Limfosit T CD4 yang berperan untuk merangsang makrofag dalam melakukan fagositosis, merangsang respon inflamasi, dan merangsang proliferasi sel B menjadi Universitas Sumatera Utara berkurang dan bahkan tidak terjadi pada pasien HIV. Tuberkulosis dapat muncul dalam berbagai stadium infeksi HIV. Ketika imunitas selular sebagian terganggu, TB paru menunjukkan gambaran infiltrat pada lobus atas, kavitas, dan tanpa limfadenopati atau efusi pleura yang signifikan. Pada HIV stadium lanjut, TB menunjukkan gejala seperti TB primer dengan infiltrat milier, sedikit atau tanpa kavitas dan limfadenopati intra toraks. Pemeriksaan sputum positif sangat jarang ditemukan pada pasien yang menderita HIV. Hal ini menjadikan TB sulit didiagnosis pada pasien HIV Raviglione O’Brien, 2010.

I. Peningkatan Infeksi Reaktivasi TB oleh HIV

Penurunan CD4 merupakan hal yang terjadi pada penderita AIDS. Hal ini memberi pengaruh besar terhadap peningkatan reaktivasi TB laten dan juga meningkatkan kemungkinan infeksi baru. Beberapa mekanisme yang mendukung infeksi TB pada penderita HIV adalah peningkatan reseptor TB pada makrofag, manipulasi jalur pembunuhan bakteri oleh HIV, perubahan regulasi kemotaksis dan ketidakseimbangan Th1Th2. Kemudian HIV juga mempengaruhi respon apoptosis makrofag yang diperantarai Tumor Necrosis Factor TNF terhadap M.tuberculosis sehingga menjadikan bakteri tersebut dapat bertahan Pawlowski et al.,2012 Pada TB fase laten, kuman TB tidak sepenuhnya dimusnahkan walaupun kuatnya pertahanan dari Th1. Kegagalan atau melemahnya pertahanan tersebut dapat menimbulkan reaktivasi infeksi tersebut. Beberapa mekanisme imun yang mempertahankan dan menjaga perkembangan bakteri TB mengalami gangguan akibat infeksi dari HIV. Sehingga meningkatkan kemungkinan untuk menjadikan TB aktif Pawlowski et al., 2012. Granuloma terbentuk untuk melokalisasi TB agar tidak menyebar dan berkembang. CD4 dan TNF memegang peranan penting dalam menjaga utuhnya granuloma tersebut. Keutuhan granuloma dapat terganggu pada orang yang mengalami penurunan sitem imun, dan hal inilah yang menjadi hipotesa bagaimana HIV mengeksaserbasi TB yaitu melalui manipulasi dari granuloma. CD4 yang menjaga keutuhan granuloma mengalami gangguan akibat dari infeksi HIV sehingga struktur granuloma menjadi rusak. Hal ini menyebabkan bakteri TB Universitas Sumatera Utara dapat menyebar dari granuloma dan menyebabkan infeksi Pawlowski et al., 2012. Gambar 2.3 Mekanisme Aktivasi TB Laten oleh HIV Sumber: http:iai.asm.org

II. Peningkatan Replikasi HIV akibat TB

Bakteri TB meningkatkan replikasi akut ataupun kronik HIV pada sel T dan makrofag. Pada penelitian in vitro ditemukan peningkatan viral load pada pasien yang terinfeksi HIV-TB. Juga didapatkan bahwa TB dapat meningkatkan infeksi dan replikasi dari HIV pada monocyte-derived macrophage MDM , meningkatkan efisiensi transmisi virus dari MDM yang terinfeksi ke sel T, peningkatan replikasi akibat peningkatan dari koreseptor CXCR4. TNF yang diproduksi akibat respon dari infeksi TB mengaktifkan replikasi HIV di makrofag. Bakteri TB yang bertahan pada sel dendritik secara aktif menurunkan kerja pro- inflamatory dan kemampuan mempresentasikan antigen Pawlowski et al., 2012.

2.3.3. Diagnosis TB Paru-HIV

Pendekatan diagnostik TB paru pada penderita HIVAIDS tidak berbeda dengan orang non-HIVAIDS yang diduga TB paru atas dasar keluhan dan pemeriksaan fisik serta harus diperiksa sputum 3 kali. Hasil sputum negatif tidak Universitas Sumatera Utara menyingkirkan adanya penyakit. Kemudian dilakukan kultur terhadap sputum Wulandari, 2007. Menurut Onubogu et al. 2010 dalam penelitiannya, dari 236 pasien TB- HIV yang diperiksa mikroskopis BTA didapatkan 145 orang negatif dan 91 orang positif. Namun, dari 145 orang yang negatif tersebut dilakukan kultur terhadap sputum dan didapatkan hasil kultur positif. Menurut Coimbra et al. 2012 dalam penelitiannya, hasil pemeriksaan sputum yang negatif merupakan salah satu faktor yang berhubungan dalam terlambatnya pengobatan pada pasien koinfeksi TB- HIV. Menurut Fredy, Liwang, Kurniawan Nasir 2012, terdapat korelasi yang sangat lemah antara jumlah CD4 dengan jenis TB pada pasien TB-HIV di Indonesia p=0.042.

2.3.4. Penatalaksanaan TB-HIV

Panduan penatalaksanaan antiretroviral untuk koinfeksi tuberkulosis yang berlaku di Indonesia adalah: Tabel 2.4, Terapi ARV untuk pasien koinfeksi TB CD4 Panduan yang dianjurkan Keterangan Berapapun jumlah CD4 Mulai terapi TB. Gunakan panduan yang mengandung EFV AZT atau TDF + 3TC + EFV 600mghari. Setelah OAT selesai maka bila perlu EFV dapat diganti dengan NVP. Pada keadaan dimana panduan berbasis NVP terpaksa digunakan bersamaan dengan pengobatan TB maka NVP diberikan tanpa lead-in dose NVP diberikan tiap 12 jam sejak awal terapi Mulai terapi ARV segera setelah terapi TB dapat ditoleransi antara 2 minggu hingga 8 minggu CCD4 tidak mungkin diperiksa Mulai terapi TB Mulai terapi ARV segera setelah terapi TB dapat ditoleransi antara 2 minggu hingga 8 minggu Sumber: Kemenkes, 2011 Universitas Sumatera Utara Kualitas hidup penederita koinfeksi TB-HIV sangat terpengaruh akibat penyakitnya. Menurut penelitian Deribew et al.2009, didapatkan kualitas hidup penderita TB-HIV lebih rendah dari pada penderita HIV tanpa koinfeksi. Hal ini disebabkan tingginya tingakat depresi, rendahnya dukungan keluarga, rendahnya pendidikan pasien sehingga meningkatkan stigma yang buruk pada dirinya sendiri. Dalam penelitian lain Deribew et al. 2013, dalam penelitiannya menyatakan bahwa terdapat peningkatan kualitas hidup yang signifikan pada pasien koinfeksi TB-HIV pasca pengobatan ART dan Anti-TB pada bulan keenam pasca pengobatan. Universitas Sumatera Utara BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1. Kerangka Konsep Penelitian

Penelitian ini untuk mengetahui gambaran mikroskopis BTA pada pasien suspek TB Paru-HIV. Gambar 3.1. Kerangka konsep penelitian gambaran mikroskopis BTA pada pasien suspek koinfeksi TB Paru-HIV

3.2. Definisi Operasional

3.2.1. Pasien HIV positif

a. Definisi

: Penderita HIV positif adalah penderita HIV berusia 15 tahun yang berkunjung dan didiagnosis dokter menderita infeksi virus HIV, sesuai yang tercatat di Rekam Medis Klinik Pusyansus RSUP.. Haji Adam Malik Medan periode Januari 2011 sampai Desember 2012. b. Cara ukur : Observasi

c. Alat ukur

: Rekam medis d. Skala pengukuran : Nominal Pasien Positif HIV Suspek Koinfeksi TB Paru Pemeriksaan Mikroskopis BTA Sputum BTA Sputum Positif BTA Sputum Negatif Tidak Suspek Koinfeksi TB Paru Universitas Sumatera Utara