Faktor yang menjadikan seseorang itu jadi pemulung adalah dikarenakan tidak mempunyai keterampilan, tidak mempunyai uang unuk modal, tingkat pendidikan
rendah dan bahkan belum pernah menikmati bangku pendidikan. Oleh karena itu mereka memilih bekerja sebagai pemulung yang memang gratis dan tidak
membutuhkan modal yang besar. Inilah sekelumit tentang pemulung yang telah peneliti peroleh, kiranya dapat
membantu dalam memahami dan mengenal asal-usul mereka. Sebagai pembahasan selanjutnya, dibawah ini penulis akan mendeskripsikan
keadaan para pemulung tersebut.
3.2 Keadaan Pemulung
Pembahasan mengenai keadaan pemulung ini, dalam pendeskripsiannya akan lebih tampak kepada persoalan seputar profil. Adapun poin-poin yang akan diuraikan
dalam pembahasan ini adalah seputar kehidupan sehari-hari mereka dalam bidang perekonomian, kehidupan sosial, pendidikan dan kehidupan keagamaan, hingga
kesehatan mereka.
a. Seputar Kehidupan Ekonomi
Berdasarkan pengamatan dan informasi, bagi pemulung di sini, “mulung” atau “nyari” umumnya sebagai bentuk mata pencaharian atau pekerjaan. Terutama untuk
menafkahi anak-anak dan isteri mereka, informan komar bukan nama sebenarnya menuturkan bahwa ia datang ke Medan adalah untuk mencari nafkah. Penuturan
lainnya, Ali bukan nama sebenarnya sudah hampir dua tahun menjadi pemulung
Universitas Sumatera Utara
dan mengaku sebelumnya pernah bekerja di Jakarta juga menuturkan, ia menjadi pemulung karena disana baginya tidak ada pekerjaan pen.
Selain sebagai migran yang datang ke Kota Medan untuk mencari pekerjaan. Mereka menjadi pemulung, karena faktor pendidikan yang minim serta ekonomi yang
kurang. Untuk pendidikan mereka umunya terbilang rendah, sangat jarang ditemui yang berpendidikan menengah apalagi pendidikan tinggi. Informan Maman bukan
nama sebenarnya menuturkan karena faktor pendidikan mereka kurang dan faktor tidak punya uang untuk modal, maka bekerja sebagai pemulung yang memang gratis
dan tidak membutuhkan modal yang besar lebih baik. Selain faktor pekerjaan dan pendidikan, diantara mereka menjadi pemulung
karena menunggu masa panen saja. Artinya, mereka datang ke kota ini selama musim paceklik, dan kembali setelah mereka mendapatkan modal yang cukup untuk apa
yang mereka ingin lakukan di desa, terutama untuk kebutuhan pasca panen. Seperti penuturan Naima bukan nama sebesarnya salah satu pemulung disini asal Langkat,
ketika ditanya tentang apa yang mendorongnya menjadi pemulung. Ia menuturkan, bahwa mulung baginya untuk sementara saja, yakni mengisi waktu kosong
menganggur di kampung. Musim panen ia kembali pulang, pada musim mandur menyamai benih padi sampai ditanam ia kembali ke sini sebagai pemulung. Hal ini
ia lakukan berulang-ulang, dan ia pun menikmatinya. Informan lain menuturkan, bahwa mulung nyari baginya pekerjaan kedua, karena di pagi hari ia bekerja sebagai
penarik becak dan siang hari ia sebagai pemulung. Ia melakukan hal ini sebagai pengisi waktu kosong saja. Dari informasi tersebut, dapat dilihat bahwa di antara
mereka ada yang menjadikan pekerjaan mulungnya sebagai pekerjaan pertama
Universitas Sumatera Utara
pokok. Disisi lain ada juga yang menjadikannya sebagai pekerjaan kedua saya sampingan atau sementara.
Pemulung di sini rela menyusuri jalan berkilo-kilo meter demi mencari barang-barang bekas sebagai tumpuan yang dapat merubah masa depan mereka ada
yang mulai berangkat kerja antara jam lima dan jam enam pagi. Ada juga yang mulai kerja jam tujuh pagi. Hal tersebut tergantung tempat yang akan mereka tuju. Bila
tempat itu relatif dekat, maka berangkatnya pun sekitar jam tujuh pagi. Namun bila tempat itu jauh, maka berangkatnya sekitar jam lima atau jam enam pagi. Informasi
Komar menuturkan, mereka biasanya mulai bangun tidur antara jam empat dan lima pagi. Ibu Yuli bukan nama sebenarnya salah satu pemulung asal Tanjung Balai juga
menuturkan, bila ia kelilingnya jauh maka berangkatnya setelah sholat subuh, dan bila kelilingnya dekat ia berangkat jam tujuh pagi setelah selesai pekerjaanya di
rumah. Pulangnya kadang-kadang siahg atau sore sebelum maghrib. Ia biasa keliling ke Jl. H.M. Thamrin sampai ke Jl. Putri Hijau.
Berbeda dengan penuturan Bang Ali ketika ditanya seputar mulai berangkat kerja. Ia menuturkan berangkat kerja jam enam pagi, pulang kadang-kadang jam dua
belas siang, kadang-kadang bagaimana pendapatannya. Bila sudah dapat banyak, jam dua belas ia sudah pulang, kadang-kadang sore jam tiga baru pulang. Dari beberapa
keterangan tersebut, dapat dipahami bahwa keberangkatan dan kepulangan mereka dalam kerja adalah tidak tentu tergantung keadaan saat itu. Dalam artian tergantung
penghasilan yang mereka peroleh. Sikap tidak kenal menyerah dan kerja keras nampak dalam diri mereka.
Dimana dengan status mereka sebagai pendatang telah mengharuskan mengambil
Universitas Sumatera Utara
sikap demikian yakni bersaing dan kerja keras dalam bekerja. Persaingan yang terjadi diantara mereka adalah persaingan sehat. Hal tersebut tampak dari kebebasan dalam
bentuk usaha. Tampak diantara lapak yang ada, mengumpulkan dan menjual barang bekas yang sama tanpa ada pelarangan yang berakibat persaingan yang tidak sehat
dan melahirkan konflik. Begitu juga dengan sesama pemulung, tampak mencari dan menjual barang-barang bekas ditempat yang sama pula.
Ada satu hal yang menarik mengenai bidang pekerjaan mereka. Dimana seperti berdasarkan keterangan sebelumnya, diantara mereka ada yang menjadi
pekerjaan mulung ini sebagai pekerjaan kedua saya sampingan atau sementara. Bagi mereka yang menjadi pemulung sementara ini, tampak juga memiliki pekerjaan lain
seperti buruh bangunan, tukang cuci, penarik becak. Biasanya hal ini terjad manakala mereka mengalami penurunan penghasilan usaha sedang sepi, pen.
Berdasarkan pengamatan dan informasi, pendapatan mereka untuk masa-masa sekarang tampak mengalami penurunan, tampak ketika mereka kembali dari
pencariannya. Bagi mereka penghasilan yang dulunya mudah didapatkan, sekarang menjadi lebih susah. Kemungkinan terbesar adalah diakibatkan oleh semakin
banyaknya jumlah pemulung yang tersebar di daerah ini. Mereka biasanya sehari itu mendapat penghasilan sebesar tiga puluh ribu rupiah saja. Bahkan ada juga seperti
penuturan Ibu Yuli, kadang-kadang ia sehari hanya mendapatkan lima belas ribu rupiah, itu pun bila ia sudah berusaha keliling kesana kemari.
Dari keterangan di atas, memberi pemahaman bahwa perubahan telah terjadi dalam diri mereka, terutama dalam sisi penghasilan atau pendapatan mereka.
Universitas Sumatera Utara
Moeliono dan Anggal 2000 menjelaskan, bahwa mereka sebagai pekerja sektor informal, datang secara individual atau berkelompok, yang berasal dari desa
sebagai kaum migran. Selain mereka sebagai pekerja sektor informal, mereka sering disebut sebagai orang-orang marginal, baik secara ekonomi, politik maupun sosial.
Mereka terdiri atas kelompok yang tersisih dari berbagai kegiatan dan pelayanan formal yang disediakan oleh kota-kota besar bagi warganya yang beridentitas jelas.
Kenyataannya adalah mereka tidak serta-merta dapat menikmati berbagai bentuk pelayanan dan kemudahan yang tersedia di kota-kota besar dikarenakan posisi dan
status mereka sebagai orang-orang marginal yang tidak berdaya. Bila dikaitkan dengan keadaaan pemulung disini, apa yang digambarkan oleh
Moeliono dan Anggal tersebut ada beberapa kesamaan. Pemulung disini, pada dasarnya secara umum mereka datang ke kota adalah untuk bekerja. Mereka
statusnya sebagai pendatang dari daerah-daerah atau pedesaan. Keluh-kesah kadang- kadang tak terlepas dari diri mereka, yang memang sebagai orang-orang kecil, yang
hanya mampu kerja disektor informal. Informan Komar menuturkan, ia kadang- kadang suka mengeluh mengenai kerja yang susah, pemasukan tidak ada, bahkan
pengeluaran lebih besar dari pendapatan. Walupun keluh-kesah tak terhindari, yang terpenting bagi mereka adalah bagaimana harus berusaha dan bertahan hidup untuk
meningkatkan taraf hidup mereka yang saat ini mereka jalani. Dengan kerja keras, mereka berharap suatu saat mereka bisa menatap hari esok yang lebih baik. Karena
itu, mereka selalu bekerja keras mengumpulkan barang-barang bekas yang laku dijual untuk sekadar penyambung hidup, sekaligus memperbaiki nasibnya dikemudian hari.
Universitas Sumatera Utara
Harapan untuk hidup lebih baik adalah dambaan setiap orang. Begitu halnya dengan pemulung, mereka hanya dengan bekal keberanian dan tekad yang kuat
datang ke kota dengan segudang harapan. Seperti penuturan Kak Anum bukan nama sebenarnya, ia menaruh harpan untuk dapat hidup bahagia, selamat dunia dan
akhiratnya. Ia juga menuturkan, yang akan menentukan adalah tetap Tuhan, sedangkan manusia hanya berusaha. Penuturan senada, bagi Bapak Ali ketika ditanya
“harapan Bapak untuk perubahan ke depan apa saja pak?”. Harapannya, pokoknya harapan saya jangan sampai didunia aja deh, tapi juga untuk di akhriat.” Jawabnya.
Dari keterangan tersebut, sesungguhnya ingin menunjukkan bahwa betapa besar harapan mereka akan masa depan. Baik masa depan mereka selama di dunia yang
fana ini maupun masa depan di akhirat kelak yang abadi, seperti yang mereka yakini selama ini.
Dalam penjelasan lain tentang perekonomian pemulung, menurut Rodger yang dikutip oleh Septiarti, bahwa dalam sektor perbaikan ekonomi kelompok ini
hanya mampu terlihat dan memperoleh mata pencaharian pada sektor-sektor informal, tidak lain karena tergolong unskilled labor. Akibatnya perolehan
penghasilan mereka menjadi minimal dan tidak tetap serta sama sekali tidak ada jaminan sosial.selain itu disidang sosial kelompok ini ada pada strata terendah dalam
masyarakat, dengan tingkat pendidikan rendah, atau sama sekali belum pernah menikmati bangku pendidikan. Jauh dari jangkauan fasilitas umum dan sebagai
penghuni bangunan sementara di lahan yang kosong atau sebagai wilde ccupatie, maka acapkali tingkat kebersihan, kebutuhan akan air minum, sanitasi tidak
memenuhi standart kesehatan Septiarti dalam Cakrawala Pendidikan, 1994:11-12.
Universitas Sumatera Utara
Apa yang diutarakan oleh Rodger tersebut, memang ada persamaan dengan pemulung disini, terutama dengan persoalan ekonomi dan pendidikan. Namun dalam
hal kondisi hunian untuk kasus disini, seperti yang telah dibahas dalam pembahasan sebelumnya, adalah cukup berbeda dengan apa yang digambarkan oleh Rodger
tersebut. Karena, secara umum mereka sudah tinggal menetap dalam hunian yang semi permanen yang disewa atau dikontrak oleh mereka. Selain itu, mereka telah
menjadi anggota masyarakat setempat telah terorganisir dan terkontrol baik, sehingga kondisinya sedikit lebih baik dari mereka yang kurang terorganisir dan tinggal dalam
hunian yang tidak jelas statusnya. Untuk kebutuhan air minum yang bersih dan sehat pun disini terpenuhi dengan baik.
Itulah beberapa deksripsi seputar perekonomian pemulung, yang memang tergambar dalam penelitian ini. Kemudian untuk keadaan pendidikan pemulung ini
akan dibahas dalam permbahasan selanjutnya di bawah ini.
b. Seputar Pendidikan