berpengaruh terhadap cara-cara berpikir mereka, yang ada giliranya akan berakibat pada kehidupan sosial ekonomi mereka. Kondisi kehidupan mereka yang selama ini
senantiasa akrab dengan berbagai bentuk kekurangan, dalam hal ini tampak dari hasil pendapatan yang mereka peroleh sebagai pemulung yang mana hanya cukup untuk
mengganjal perut dari hari-ke hari. Dengan kata lain hanya pas - pasan saja. Bahkan kenyataan yang tampak bahwa dari kebanyakan keluarga pemulung asal suku Batak,
mereka tetap saja marginal dan cenderung miskin. Masalah mereka sebenarnya berkaitan dengan permasalahan relasi sosioal budaya sebagai implikasi dari
konstruksi citra negatif yang dialamatkan pada kehidupan semacam ini oleh masyarakat dan pemerintah. Parsudi Suparlan 1984:179 melihat bahwa kaum
marginal tidak memiliki tempat tinggal tetap, mempunyai pekerjaan tak layak, seperti pemulung, pedagang asongan, pengemis, dan lainnya. Moeliono dan Anggal
menjelaskan, bahwa mereka bekerja disektor informal, hidup secara subsisten dari ke hari-hari, dan menjadi massa mengambang secara sosial dan politik. Mereka
terabaikan dan tak terlayani oleh berbagai bentuk pelayanan formal: pendidikan, kesehatan, fasilitas sosial, partisipasi politik, dan lain-lain. Selanjutnya keseluruhan
kondisi tersebut diatas menimbulkan cenderung miskin, yang pada akhirnya menimbulkan beberapa pertanyaan : 1 Apa yang menjadi latar belakang mereka
terjun kebidang pekerjaan tersebut : 2 Apa yang menjadi permasalahan mereka dan faktor-faktor apa saja yang mungkin menjadi pengaruh terhadap kondisi kehidupan
sosial ekonomi mereka.
1.2. Perumusan Masalah
Sebagai pemulung penghasilan yang diperoleh dipengaruhi berbagai faktor, baik dari dirinya sendiri maupun dari luar eksternal . Mengenai jam kerja mereka
biasanya dimulai pagi hari sekitar pukul 6.00 wib, dan berakhir pada sore harinya. Dari sekian panjang jam kerja mereka bisa dikatakan hanya sebagian kecil
jam kerja saja yang tergolong produktif. Adanya tingkat pendidikan yang rendah bahkan tidak sama sekali tentunya
menentukan atau berpengaruh terhadap cara berpikir mereka yang pada gilirannya
Universitas Sumatera Utara
akan berakibat terhadap situasi kehidupan sosial ekonomi mereka. Penerapan strategi dalam bekerja, pengaturan penghasilan, pembina di dalam keluarga hingga orientasi
hidup setidaknya bertitik tolak dari sana. Dengan kondisi yang demikian kelihatannya mustahil bagi para pemulung untuk pindah pekerjaan ke sektor formal. Dari
keadaan-keadaan seperti diatas kiranya dapat dirumuskan beberapa hal yang menjadi permasalahan. Adapun penelitian ini nantinya difokuskan pada kehidupan sosial
ekonomi pemulung. Dengan demikian tentunya menyoroti hal-hal yang berhubungan dengan masalah produksi, konsumsi maupun distribusi hasil pendapatan. Adapun
perumusan masalah yang lengkap adalah sebagai berikut : 1.
Apa latar belakang mereka memilih sektor informal, dalam hal ini sebagai pemulung. Apakah ada sebab lain yang membuat mereka tetap menekuni
pekerjaan tersebut ? 2.
Masalah - masalah apa sebenarnya yang mereka hadapi sehingga dapat berada dalam kehidupan yang marginal itu ?
3. Faktor - faktor apa saja yang mempengaruhi terhadap pendapatan mereka
yang pada akhirnya juga memberikan warna pada corak kehidupan mereka ?
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1. Tujuan penelitian
Bertitik tolak dari permasalahan yang diuraikan diatas, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat dan menyelidiki segi-segi kehidupan sosial dan
ekonomi keluarga para pemulung. Merujuk pada Melly G. Tan 1977 maka keadaan sosial ekonomi itu mencakup 3 tiga aspek yaitu : pekerjaan, pendidikan
dan penghasilan. Dari itu akan terlihat bagaimana cara mereka menjalani kehidupan dengan memanfaatkan potensi-potensi yang dimiliki, cara mengalokasikan
penghasilan sehingga dapat terus survive. Untuk lebih jelasnya maka latar belakang sosial ekonomi itu akan diperhatikan secara life history. Kajian Antropologi yang
bersifat holistik ini akan menjadikan penelitan ini dapat pula meliputi antar hubungan sosial sesama pemulung. Dimana juga akan terlihat hubungan antara seama mereka,
baik cara mereka dalam bekerja.
Universitas Sumatera Utara
Kemudian hubungan antara pemulung dengan elemen-elemen orang--orang yang terdapat pada sistem sosial di lokasi kerja mangkalnya, seperti halnya
hubungan para petugas dengan orang-orang yang berada di sekitar lokasi mangkalnya.
1.3.2 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah terutama dalam penerapan teori- teori atau konsep ilmu antropologi yang selama ini diperoleh dalam perkuliahan.
5elain itu mernberitahukan tentang usaha sektor informal ini kepada masyarakat luas agar dapat mengetahuinya. Khususnya bagi penentu kebijakan yang berhubungan
dengan masalah ini, di mana diharapkan hasil penelitian ini dapat dipergunakan sebagai bahan pertimbangan, perbandingan ataupun acuan. Selanjutnya untuk penulis
pribadi sebagai bahan untuk menulis skripsi guna menyelesaikan pendidikan dari FISIP USU Medan.
1.3.3. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Desa Namo Bintang, Kecamatan Pancur Batu, Kabupaten Deli Serdang, dengan alasan kawasan ini mempakan tempat pembuangan
akhir sampah yang berasal dari penduduk kota Medan.
1.4. Tinjauan Pustaka
Sudah menjadi ciri umum dan merupakan kenyataan yang tidak dapat disangkal lagi di kebanyakan negara berkembang saat ini, bahwa begitu jelas terdapat
adanya ketimpangan yang mencolok dalam hal tersedianya jumlah sektor produksi terhadap kemampuan untuk menyerap tenaga kerja itu sendiri. Dengan kata lain dapat
dikatakan kurang terjadi pemerataan dalam hal memperoleh kesempatan dan peluang pekerjaan. Masalah - masalah tingkat pendidikan yang rendah, ketrampilan dan
kurang tersedianya modal yang relatif cukup, semakin kompleksnya permasalahan yang ada di kota-kota khususnya di Indonesia.
Universitas Sumatera Utara
Konsekuensi logis yang dirasa paling cocok sebagai jalan keluarnya adalah menyeimbangkan potensi yang ada dengan sektor - sektor peluang kerja yang
tersedia. Alternatif yang paling cocok adalah berkecimpung di sektor informal, dimana secara umum di sektor ini tidak bagitu banyak menuntut persyaratan kerja
yang lebih khusus dan lebih memberi peluang. Secara langsung maupun tidak langsung dalam hal ini jelas sektor informal mampu menanggulangi masalah
kependudukan, khususnya yang berkaitan dengan masalah kesempatan bekerja, terutama di daerah perkotaan. Tindak lanjut dari fenomena ini dapat kita lihat dari
kenyataan bahwa begitu banyak pilihan yang terlibat ke dalam sektor ini seperti misalnya : Tukang Becak, Pedangang Kaki Lima, Pembantu Rumah Tangga, Penjual
makanan dan minuman ringan di penggir jalan dan lain-lain. Banyaknya ragam kegiatan di sektor informal ini lama kelamaan semakin menarik perhatian untuk
diketahui bagaimana keberadaan mereka lebih jauh lagi dalam menekuni bidang pekerjaanya. Pembahasan mengenai kenyataan bahwa sektor informal telah menjadi
wadah yang tepat dan ampuh dalam meyerap sejumlah besar tenaga kerja terutama di perkotaan, haruslah tentunya didasarkan pada pengetahuan siapa dan apa alasan yang
mendorong mereka untuk memasuki sektor informal ini Ramli, 1992 : 14 . Pandangan beberapa ahli lebih lanjut, dipakai penulis dalam membahas apa
sebenarnya sektor informal ini. Kajian mengenai sektor informal pertama sekali dikemukakan oleh seorang
Antropologi Inggris bernama Keith Hart pada 1973. Konsep Keit Hart selanjutnya dijadikan acuan dalam menyoroti masalah - masalah kesempatan kerja terutama
terhadap keluarga-keluarga kurang mampu di daerah perkotaan yang selanjutnya disebutnya sebagai kaum pekerja perkotaan urban labour force . Secara jelas dalam,
konsep Hart dinyatakan adanya perbedaan antara sektor formal dan informal , diantaranya dilihat dari keteraturan waktu kerja, curahan waktu kerja, status
hukumnya, serta hubungannya dengan sektor kerja yang lain. Khusus terhadap sektor informal, Hart mengemukakan ciri khusus di mana secara umum ditandai dengan
adanya pendidikan yang rendah, modal usaha yang relatif kecil, upah yang rendah dan kegiatan usaha yang berskala kecil. Hal lain yang menarik perhatian dalam mengkaji
Universitas Sumatera Utara
pembahasan di sektor informal ini adalah terdapatnya perbedaan khusus dalam sektor itu sendiri antara lain yaitu sektor informal sah dan sektor informal tidak sah.
Yang termasuk dalam sektor informal sah adalah : a.
Kegiatan-Kegiatan primer dan sekunder seperti : pertanian, perkebunan yang berorientasi pasar, kontraktor bangunan dan kegiatan-kegiatan yang berhubungan
dengannya, pengrajin usaha sendiri, pembuatan sepatu, penjahit, pengusaha BIR dan Alkohol.
b. Usaha tersier dengan modal yang relatif besar, seperti : perumahan, transportasi,
usaha-usaha untuk kepentingan umum, spekulasi barang-barang dagangan, kegiatan sewa menyewa.
c. Distribusi kecil-kecilan, seperti : pedagang pasar, pedagang kelontong, pedagang
kaki lima, usaha makanan jadi, pelayan bar, pengangkutan barang agen atas komisi dan penyalur.
d. Jasa jasa yang lain seperti : pemusik ngamen, pengusaha binatu, penyemir sepatu,
tukang cukur, pembuang sampah, j uru potret, pekerj a reperasi kendaraan maupun reperasi lainnya dan juga pemulung.
Selanjutnya yang termasuk dalam sektor informal tidak sah adalah : a.
Jasa kegiatan dan perdagangan gelap pada umumnya, seperti : penadah barang curian, lintah darat tukang kredit dan pegadaian dengan tingkat bunga yang tidak
sah, perdagangan obat bius, pelacuran, mucikari, penyeludupan, suap - menyuap, pelbagai macam korupsi politik, perlindungan kejahatan dan sebagainya.
b. Transaksi pencurian kecil misalnya : pencopetan, pencurian besar misalnya :
pembongkaran, pemalsuan uang dan penipuan , perjudian dan lain-lain Hart dalam Chirs Manning dan Tadjuddin N. Effendy, 1985:78-80.
Pendapat Hart tentang sektor informal sebagai kegiatan yang berskala kecil, didukung oleh Sethuraman yang menganggap kehadiran sektor informal terutama
disebabkan manifestasi dari situasi pertumbuhan kesempatan kerja di negara sedang berkembang. Mereka yang bergerak di sektor informal tidak membutuhkan jalur
birokrasi formal dalam proses mobilitas vertikal Sethuraman dalam Chris Manning
Universitas Sumatera Utara
dan Tadjuddin N. Effendy, 1985 :91. Selanjutnya Sethuraman berpendapat bahwa sektor informal terdiri dari unit-unit berskala kecil yang menghasilkan dan
mendistribusikan barang dan jasa dengan tujuan pokok menciptakan kesempatan kerja dan pendapatan bagi diri sendiri dan usaha ini sangat dihadapkan pada
berbagai kendala seperti faktor modal Sethuraman dalam Titik Handayani, 1993 :285.
Sri Edi Swasono 1986 berpendapat bahwa adanya sektor informal bukun karena sekedar kurangnya lapangan kerja, apalagi menampung lapangan kerja yang
terbuang dari sektor formal, tetapi sektor informal tersebut adalah sebagai pilar bagi keseluruhan sistem ekonomi. Kenyataan bahwa sektor formal dapat hidup karena
adanya pembayaran upah buruh secara murah. Selanjutnya upah yang rendah ini diterima parah buruh, karena sektor informal dapat menyediakan kehidupan murah
bagi buruh yang berupah rendah ini. Kenyataan ini menujukkan bahwa sektor informal telah mensubsidi sektor formal, dan merupakan sektor yang efisien karena
mampu menyediakan kehidupan murah. Menurut Kartini Syahrir, sektor informal berkembang sejalan dengan
pertumbuhan ekonomi. Bahwa terdapat hubungan saling membutuhkan diantara sektor formal dan sektor informal dengan ciri padat karya. Ragam pekerjaan di
sektor informal terjadi sebagai respon pembangunan itu sendiri, yang memberikan tempat bagi bertambahnya sektor jasa sedemikian rupa sehingga memungkinkan
sektor informal berperan penting di dalamnya Kartini Syahrir, 1985 :102. Mazumdar menganalisa sektor informal ini dari sudut dikotomi sektor
informal dan sektor formal. Ia mengatakan bahwa sektor formal adalah sektor yang lebih mendapat proteksi, sedangkan sektor informal tidak mendapat proteksi.
Dikotomi seperti ini mampu menjalankan kondisi struktural dari pasar tenaga kerja tersebut, khusunya dalam kaitan kebebasan dan rintangan dari mobilitas buruh
dalam Rachbini dan Hamid, 1994: 3 . Sektor informal, tumbuh dan berkembangnya di berbagai kota merupakan
gambaran sosial ekonomi dari pola kehidupan masyarakat. Rangkaian pengamatan terhadap sektor informal dapat mengembangkan berbagai persepsi baru tentang
Universitas Sumatera Utara
masalah ketenagakerjaan, karena sektor ini dikenal sebagai katup pengaman dalam menanggulangi masalah pengangguran.
Faktor-faktor yang diduga mempunyai hubungan dengan tingkat pendapat pedagang sektor informal adalah besarnya jumlah modal usaha, curahan jam kerja,
dan tingkat pendidikan pedagang sektor informal itu sendiri Edi Purnomo dan S.R.Gunawan, 1993 :154-155.
Berbagai pendapat mengenai sektor informal dan formal menurut para ahli adalah sebagai berikut. Boeke mengidentikkannya dengan sektor ekonomi kapitalis
prakapitalis Titik Handayani 1993:214. Sedangkan Geertz 1973 menyebutnya sebagai ekonomi Firma bazaar FirmsBazaar economi, istilah dari Weeks adalah
sektor modern tradisional Titik Handayani, 1993, serta Inti masa apung dari Evers 1982.
Sedangkan LL.O pada tahun 1972 Titik Handayani, 1993;215 lebih menekankan ciri-ciri yang membedakan sektor formal dan informal dengan
mengajukan tujuh ciri utama sektor informal yaitu : 1.
Mudah dimasuki siapa saja. 2.
Menggunakan sumber daya manusia 3.
Usaha umumnya dimiliki keluarga 4.
Beroperasi dalam skala kecil. 5.
Bersifat padat karya menggunakan teknologi yang telah disesuaikan dengan kondisi setempat.
6. Tidak menuntut ketrampilan yang berasal dari jalur pendidikan formal
7. Pasar yang dihadapi tidak diatur oleh pemerintah dan sangat kompetitif.
Hidayat mendefenisi sektor informal sebagai unprocted sector Hidayat. 1978:445. Selanjutnya Hidayat menambahkan dua butir defenisi sektor informal
yaitu: 1.
Sektor informal adalah sektor yang belum dapat menggunakan bantuan meskipun pemerintah telah menyediakannya.
Universitas Sumatera Utara
2. Sektor informal adalah sektor yang telah menerima bantuan tetapi belum
sanggup membuat sektor ini berdikari Hidayat, 1990. Selanjutnya Belen berpendapat bahwa pekerja di sektor informal pada
dasarnya adalah orang-orang yang memiliki jiwa wiraswasta, yaitu ulet, berani mengambil resiko, tidak begitu tergantung pada orang lain, serta percaya diri
sendiri. Selanjutnya Belen mengatakan bahwa sektor informal merupakan arena penanaman dan pembinaan jiwa wiraswasta pada generasi mendatang Belen,
1985:5. Keberadaan manusia dimuka bumi ini selalu dihadapkan situasi dan kondisi
terus berubah. Masalah pemenuhan kebutuhan hidup tetap menjadi persoalan utama, dan oleh sebab itu seseorang dengan alasan apapun harus bekerja demi untuk diri
sendiri maupun keluarganya. Dalam bekerja pun, manusia kembali dihadapkan pada pilihan yang sesuai dengan keadaan dan potensi yang ada pada dirinya. Sulitnya
memasuki lapangan pekerjaan di sektor formal yang memang masih diminati dan dianggap ideal, memaksa orang untuk mencari peluang-peluang pekerjaan di sektor
informal yang memang masih diminati dan dianggap ideal, memaksa orang untuk mencari peluang-peluang pekerjaan disektor lain demi mempertahankan hidup.
Munculnya pekerjaan disektor informal yang memang memberikan peluang kerja yang lebih luas memang dapat dijadikan jalan keluar bagi permasalahan dibidang
ketenaga kerjaan, sekaligus bidang kependudukan yang berkaitan dengan hal tersebut.
Setiap manusia merupakan anggota dari salah satu bangsa yang selalu berusaha untuk dapat hidup sesuai dengan nilai - nilai terkandung dalam khasanah
budayanya Pelly, 1985:8. Demikian juga dengan masyarakat Batak yang bekerja sebagai pemulung yang menjadi pokus dalam penelitian ini. Ketika kampung
halaman tidak memberikan harapan lagi untuk penghidupan mereka mencari alternatif lain untuk dapat bertahan hidup. Seperti telah di jelaskan di atas bahwa
pemulung adalah orang yang mencari naflcah, dengan jalan mencari dan memungut barang-barang bekas, dikumpulkan dan dijual kepada pengusaha yang akan
Universitas Sumatera Utara
mengolahnya kembali menjadi barang komoditi. Moelino dan Anggal, menjelaskan mengenai pemulung ini, bahwa mereka sebagai pekerja sektor informal, datang
secara individual atau berkelompok, yang berasal dari desa sebagai kaum migran. Selain mereka sebagai pekerja sektor informal, mereka sering disebut juga sebagai
kelompok marginal; baik secara ekonomi, politik maupun sosial. Mereka terdiri atas kelompok yang tersisih dari berbagai kegiatan dan pelayanan formal yang disediakan
oleh kota-kota bagi warganya yang beridentitas jelas. Kenyataan adalah mereka tidak serta-merta dapat menikmati berbagai bentuk pelayanan dan kemudahan yang
tersedia di kota-kota besar dikarenakan posisi dan status mereka sebagai kelompok marginal yang tidak berdaya.
Kelompok masyarakat yang satu ini umumnya hidup dan tinggal dalam kumpulan gubuk kertas, plastik dan papan-papan rombeng namun memiliki kegiatan.
Di sini ada yang harus mengumpulkan barang bekas. Bertimbun berbagai macam barang yang sudah tidak terpakai lagi, logam dari segala jenis, plastik, pecahan kaca
beling, alumunium, potongan-potongan kayu, dan aneka macam kertas. Oleh kelompok mereka, tempat pengumpulan barang sering dikenal dengan istilah lapak.
Bagi kelompok pemulung, selain mereka hidup di dunia perdagangan atau usaha barang bekas sebagai suatu pekerjaan atau mata pencaharian, juga untuk
bertahan hidup. Bahkan oleh Parsudi Suparlan, pemulung atau pengumpulan barang bekas tersebut merupakan salah satu mata pencaharian atau pekerjaan orang-orang
gelandangan. Berbeda halnya dengan Moeliono dan Anggal, mereka pemulung itu bagian dari kaum subsisten kota. Mereka hidup dari hari ke hari dengan penghasilan
yang cukup untuk konsumsi per hari. Menurut Jatiman, seperti dikutip Moeliono dan Anggal, menyebutkan bahwa subsistensi adalah ekonomi yang mencukupi
kebutahan sendiri mereka itu hidupnya dari hari ke hari. Oleh karena mereka merasa terabaikan dan tertekan, dan ada peluang untuk
melampiaskan , maka muncullah ledakan -ledakan psikologis, emosional, dan sosial dalam berbagai bentuk, seperti perampokan, pencurian, pembunuhan, pemerkosaan,
pelacur, tawuran, atau agresivitas massa. Semua itu, sampai saat ini merupakan
Universitas Sumatera Utara
ekspresi dari kekecewaan dan keterbatasan kemampuan kelompokan marginal dalam penderitaan dan kesmiskinannya.
Hal senada menurut Rodger seperti yang dikutip oleh Septiarti, mendeskripsikan bahwa dalam sektor perbaikan ekonomi kelompok ini hanya
mampu terlihat dan mernperoleh mata pencaharian pada sektor-sektor informal, tidak lain karena tergolong unskilled labor. Akibat perolehan penghasilan mereka
menjadi minimal dan tidak tetap serta sama sekali tidak ada jaminan sosial.Selain itu, dibidang sosial kelompok ini ada pada strata terendah dalam masyarakat,
dengan tingkat pendidikan rendah,atau sama sekali belum pernah menikmati bangku pendidikan; jauh dari jangkauan fasilitas umum.
1.5. Metode Penelitian 1.5.1. Tipe Penelitian