Keluarga Parasian Purba Nama

Rawendra dapat pergi sendiri, tetapi kadang di jempat oleh Joseph atau Ita. Anak Joseph yang paling bungsu seorang laki-laki masih berumur lima tahun dan belum bersekolah bernama Radja. Kulit Radja agak putih dibandingkan dengan kedua kakaknya. Joseph sehabis pulang kerja sering bermain dengan Radja sambil menanti saat mandi atau makan malam. Waktu pulang Joseph setiap hari siang jam 12. Selain bermain bersama anak-anak kemudian pergi mandi. Joseph mengaku merasa lebih segar kalau bisa bermain bersama anak-anaknya apabila sehabis pulang kerja. Seperti kata Joseph : “… hilang rasanya capek kalau sudah berjuma dan main-main sama anak- anak. Habis saya kan tidak sempat punya banyak waktu demikian setiap harinya”. Kenyataannya pada hari libur pun Joseph tetap memanfaatkan untuk bekerja. Bagi Joseph waktu adalah uang. “… sekarang waktu adalah uang, tidak bekerja tidak ada uang …”. Untuk saya kebutuhan sehari-hari Joseph menyerahkan ke istrinya Ita. Termasuk keperluan sekolah anak-anak mereka. Ita sendiri biasanya menghabiskan biaya untuk keperluan makan sehari-hari antara Rp. 150.000,- sampai Rp. 250.000,- per bulannya. Memang jumlah uang yang diberikan Joseph kurang untuk keperluan sehari-hari dalam sebulan, umtuk mengatasi itu Ita menambahkannya dengan uang hasil pulungannya.

4.3. Keluarga Parasian Purba Nama

: Parasian Purba Umur : 40 Tahun Nama Istri : Santa br. Sembiring Agama : Kristen Katolik Jumlah tanggungan : 6 empat Orang Lama Menjadi Pemulung : 15 Tahun Penghasilan per Bulan : 400.000-450.000 Orang-orang di lingkungan kerjanya biasa memanggilnya Purba, ditambah dengan julukan “Panjang”, oleh karena postur tubuhnya yang lebih panjang diantara para pemulung barang bekas yang ada disekitar tempat itu. Orangnya termasuk agak Universitas Sumatera Utara pendiam, tetapi mudah diajak untuk bercerita. Ciri lain adalah kondisi tubuh yang kurus dimana semakin menambah kekar tubuh yang lebih panjang. Dilokasi kerja si Purba kelihatan lebih sering agak menjauh dari rekan-rekan pemulung barang bekas lainnya. Hal ini tentunya semakin mempertegas sifat si Purba yang pendiam tadi. Parasian Purba demikian nama yang diberikan orang tuanya pada kelahiran tahun 1960 yang silam, di Binjai Sumatera Utara. Sampai diusianya yang ke empat belas tahun, si purba masih tinggal bersama orang tuanya dan sempat mengenyam pendidikan di Binjai sampai kelas IV Sekolah Dasar. Walaupun tidak selesai akibat kondisi keuangan yang tidak mencukupi serta niat orang tuanya yang tidak mendukung, putus sekolah membuat si Purba terpaksa hanya bisa membantu orang tuanya bekerja bila mana perlu. Di Tanjung Balai, si Purba ternyata diberi pekerjaan sebagai penjaga bioskop oleh Makciknya. Kebetulan pula bioskop tempat ia bekerja adalah kepunyan Makciknya. Mulanya ia merasa begitu senang karena untuk pertama kalinya ia bisa bekerja dan mendapatkan imbalan yang menurutnya tidak begitu besar, namun ia mengaku puas. Selain itu untuk pekerjaan sehari-hari di rumah Makciknya, ia juga diberikan sedikit tanggung jawab misalnya membersihkan halaman, mencuci piring dan lain-lain. Yang menurutnya sewajarnya ia lakukan. Saat itu dirasakan si Purba hidupnya tak ubahnya seperti keadaannya sewaktu dirumahnya dulu di Binjai. Pekerjaan sebagai penjaga karcis digeluti oleh si Purba selama hampir 12 tahun. Praktis ia tidak mendapatkan pekerjaa lain apapun di Tanjung Balai. Kebetulan Makciknya juga kurang setuju ia mencari pekerjaa lain tanpa alasan yang jelas, lagi pula merasa mereka kebutuhan si Purba tidak kurang selama mereka bersama si Purba mengaku tidak bisa berbuat apa-apa dengan keputusan Makciknya. Selama tenggang masa kerjanya itu segera menerima kabar dari orang tuanya di Binjai. Untuk segera datang karena akan dibicarakan mengenai rencana pernikahannya dengan jodoh pilihan orang tuanya dan Makciknya, mengenai jodoh pilihan orang tuanya si Purba tidak banyak komentar. Ia hanya menurut saja apa yang dikatakan oleh orang tuanya. Akibatnya pada usia ke 25 si Purba melaksanakan pernikahan dengan seorang gadis bernama Santa. Pernikahannya dilangsungkan di Universitas Sumatera Utara Medan dan tanpa memakan waktu yang lama, si Purba berangkat pula ke Tanjung Balai, untuk bisa langsung bekerja sebagaimana biasanya. Di Tanjung Balai si Purba memperoleh dua orang anak, yang pertama perempuan diberi nama Shinta. Kemudian yang kedua laki-laki diberi nama Jaya Endes. Bersama istrinya Santa tinggal di rumah Makciknya sendiri dan merupakan permintaan Makciknya juga. Setelah mendapat dua anak si Purba memutuskan untuk kembali saja ke Medan untuk membina keluarganya yang mandiri. Keputusan tersebut diambil si Purba setelah merasa perjalanan hidupnya tidak mengalami perkembangan, dalam arti dari situ ke situ saja. Dengan meminta pertimbangan dari Makciknya akhirnya si Purba diperkenankan untuk mencari pekerjaan dan membina keluarganya sendiri di Kota Medan sekitar tahun 1980, si Purba bersama keluarganya pertama pindah ke Namo Bintang. Tidak berapa lama kemudian pindah ketempatnya sekarang ini di Pasar Empat Padang Bulan, dengan status rumah sewa. Tidak berapa lama setelah tinggal di daerah pasar empat, si Purba bekerja sebagai supir sudaco, milik seorang yang juga berasal dari etnik batak selama menjadi supir si Purba sempat menabung sedikit dari sedikit dari pendapatanya. setelah hampir lebih dua tahun si Purba. Meminta berhenti sebagai supir sudaco dengan alasan yang membosankan. Pekerjaan selanjutnya di lakoni oleh si Purba adalah sebagai supir, namun kali ini ia menjadi supir pribadi orang cina.di sini ia bertugas membawa barang-barang toko lainya. Juga sekalian membawa anak-anak majikanya pulang pergi dari sekolah setiap hari. Namun di sinipun si Purba tidak betah, tetapi lebih dilibatkan karena penghasilanya kurang memuaskan. Dan menurut si Purba bahwa pekerjaan ini di lakukan untuk mengisi waktu luang sambil menunggu pekerjaan lainya yang dirasa cocok di sini si Purba hanya bekerja selama kira-kira 2 tahun. Tak berapa lama kemudian, sekali ia berhenti dari supir cina, si Purba mendapat tawaran pekerjaan juga sebagai supir angkot barang oleh tetangganya. Pemiliknya mengajaknya bekerja sama berhubung kondisi fisik sering terganggu sementara permintaan angkutan barang sering menuju ke luar kota. Si Purba akhirnya setuju untuk bekerja sama, tentunya dengan permintaan gaji yang sesuai menurut permintaan si Purba, selama hampir lima 5 tahun pekerjaan ini jalaninya, dan di Universitas Sumatera Utara akui si Purba banyak sudah banyak rizki di perolehnya. Maklum tarif angkutan ke luar kota seperti Lhoksemawe,Pematang Siantar, Rantau Parapat dan lain-lain, meminta ongkos yang besar, selain itu kadang dapat tambahan bonus dari pemilik kenderaan. Namun karena kondisi si Purba juga sering terganggu , akhirnya pekerjaan supir ini di hentikan dengan alasan sakit kepada pemilik kenderaan. Setelah melihat kenyataan-kenyataan dari pengalaman si Purba selama bekerja ,maka pada tahun 1992 ia memutuskan untuk tidak menjadi supir lagi dengan alasan kesehatan sudah sering terganggu sakit dan pada akhir tahun itu juga si Purba memutuskan untuk bekerja sebagai pemulung barang bekas saja. Si Purba merasa tidak ada lagi pekerjaan yang pas untuk dia lakoni, mengenai pekerjaan memulung ini si Purba pada mulanya terasa asing karena semenjak remaja ia terbiasa bekerja sebagai supir, namun dengan sering waktu terus berjalan maka lama-kelamaan si Purba sudah malas terbiasa dengan pekerjaan yang di lakoninya sekarang di akui sebagai pemulung barang bekas. Selama menjadi pemulung barang bekas si Purba tidak pernah berpikir untuk pindah ke profesi lain lagi. Bosan rasanya kata si Purba kalau bekerja makan gaji serta di perintah oleh atasan atau majikan, menurutnya pekerjaan sekarang ini membuat ia agak merasa bebas serta tidak begitu jauh lagi dengan keluarganya. Sebab lokasi kerja kebetulan tidak begitu jauh dari rumah mereka yakni di seputaran Namo Bintang, Pancur Batu. Ditempat kerja, setiap hari tampak banyak orang-orang menanti dan mengais sampah-sampah yang ada untuk mencari barang-barang bekas yang masih bisa di daur ulang. Si Purba melakukan pekerjaan sedemikian rupa setiap harinya. Penghasilan yang diperoleh si Purba diakui hanya pas-pasan saja mengingat kebutuhan yang harus ditutupi seperti bayar listrik, uang sekolah anak-anaknya dan keperluan sehari-hari di di dapur. Namun dalam situasi pendapatan yang tidak menentu setiap hari, diperkirakan pendapatan perbulan tidak mencapai rata-rata Rp.400.000,- sampai Rp. 450.000,-. Hingga sekarang si Purba dengan keluarganya masih mendiami rumah kedua yang disewa sejak mula kehidupan mereka di Medan. Uang sewa rumah mereka Universitas Sumatera Utara bayar setelah setahun, yakni sebesar Rp.1.000.000 ,- Rumah itu merupakan rumah petak yang berlantai semen dan berdinding batu serta beratap seng. Kondisi halaman tidak mempunyai pagar dan rumah diberi cat kapur putih semua, sehingga kelihatan agak menyolok. Semua pintu dan jendela juga terbuat dari kayu atau papan dan tanpa memakai kaca, juga terdapat pembatai lantai dan atap yang berfungsi sebagai langit- langit rumah. Rumah ini terdiri dari dua buah kamar dengan pintu menghadap ke arah jalan dan satu lagi menuju dapur rumah itu. Kedua kamar di dalamnya terdapat ranjang papan dan diisi dua kasur. Sebuah kamar terdapat kelambu di mana merupakan tempat tidur si Purba beserta istrinya dan anak mereka yang terkecil perempuan yakni Marry. Disitu juga terdapat satu unit lemari kayu tempo dulu namun terlihat masih kokoh, letaknya persis disamping ranjang. Di ruang tamu atau didepan terdapat satu set kursi tamu memakai busa namun kelihatan sudah agak lusuh bahkan ada yang terkoyak pada bagian tengahnya. Selain terdapat satu unit buffet yang posisinya menghadap pintu masuk dan bersandar pada dinding kamar depan. Pada buffet diletakkan sebuah televisi berwarna 14 inci yang kondisinya memperihatinkan. Ini ditandai dengan keadaan gambar yang jelek sewaktu dipasang, namun begitu mereka tetap bisa santai menyaksikan acara yang sedang berlangsung saat itu. Di dinding terpajang beberapa fhoto keluarga dan kalender. Ada juga lukisan yang mereka sebut sebagai Tuhan yaitu berwujud manusia, yang mana mereka ini beragama Kristen. Letaknya di Sudut kiri dari pintu masuk ruangan. Di dapur Santa br. Sembiring menggunakan dua unit kompor untuk memasak segala keperluan tentunya untuk mamasaak Tetapi Santa lebih sering menggunakan 1 unit kompor untuk memasak air, nasi,lauk-pauk dan sebagainya. Tetapi Santa lebih sering menggunakan satu unit kompor saja seperti yang dikatan santa : “… macam manalah yang dimasak juga sedikit, yah sebentar juga selesai …” Kompor terletak di atas meja kayu yang dibuat oleh si Purba sendiri. Anak rak piring dari aluminium tempat menyimpan keperluan sehari-hari di dapur. Selain itu ada juga lemari kayu satu pintu, tapi di dalamnya terdapat tiga ruangan dimana bagian atas tidak difungsikan dan tidak begitu luas, bagian tengah digunakan sebagai Universitas Sumatera Utara tempat menyimpan makanan, sedangkan dibagian bawah untuk menyimpan bahan- bahan yang belum dimasak, beserta botol-botol kosong, jerigen dan sebagainya. Terdapat meja makan yang kecil, namun diketahui jarnag mereka pakai karena biasanya untuk makan mereka lebih suka bebas misalnya sambil nonton televisi. Untuk belanja keperluan dapur ia melakukannya setiap hari, dengan belanja di kedai yang tidak begitu jauh dari rumahnya. Kadang ia pergi belanja ke pasar kalau suaminya si Purba kebetulah dapat rezeki. Santa mengaku cukup repot mengurusi keperluan rumah tangga setiap hari teutama mengatur uang belanja. Seperti dikatakannya : “… macam mana nggak repot anak banyak, permintaan anak, uang dari mulung kadang-kadang kurang jelas pendapatannya, … wah harus pandai- pandailah mengaturnya …” Sesekali Santa tanpa sepengetahuan suaminya terpaksa harus meminjam uang dari tetangganya apabila simpanannya habis. Santa mengaku hal tersebut bukanlah kebiasaannya tetapi semata-mata karena situasi harga sekarang yang tidak menentu. Apabila ke pasar Santa bisa belanja keperluan dapur yang agak istimewa seperti membeli daging ayam, karena si Purba lebih senang dengan lauk itu. Terkadang kesal juga Santa dengan selera suaminya, pernah ia berkata : “… kita maksudnya si Purba memang pekerjaannya “mulung”, tapi seleranya seperti orang-orang kebanyakan saja. Sudah tahu pas-pasan, tapi macam mana mau dibilang ya orang memang udah itu seleranya …”. Biasanya si Purba hanya menjawab sebagai berikut : “… yang penting saya cari duit, dan kamu cukup urusin rumah saja …” Untuk kebutuhan air buat memasak, dan air minum, mereka biasanya mempergunakan air Tirtanadi. Sedangkan untuk mandi dan mencuci mereka bisa langsung memakai air sumur tanpa disaring, karena kebetulan kondisi airnya termasuk jernih. Hasil perkawinan mereka sekarang sudah mempunyai anak sebanyak enam 6 orang, yang pertama bernama Mala perempuan saat ini hanya membantu ibunya di rumah saja. Mala pendidikannya hanya sampai SMP saja. Si Purba megakui Universitas Sumatera Utara anaknya ini sifatnya agak pemalu. Anak kedua bernama Silen tamatan SMP di Pancur Batu, yang saat ini menganggur tidak melanjutkan keperguan tinggi dengan alasan keuangan. Namun pihak famili mereka sedang merencanakan untuk membawanya ke Jakarta mencari kerja. Anak si Purba ketiga saat ini masih duduk di SMK bernama Peter dan kebanyakan waktunya dihabiskan diluar membantu ayahnya. Ia duduk di kelas dua saat ini. Yang keempat duduk di kelas 1 SMP bernama Witiya selanjutnya kelima dan keenam Shinta dan Merry, keduanya saat ini SD Negeri di Pancur Batudi. Purba tidak mempunyai waktu yang tetap untuk pulang kerja setiap harinya sebab tergantung dari hasil pulungannya. Namun biasanya selalu pulang pada waktu menjelang magrib. Pada malam hari seluruh anggota keluarga berkumpul dimana masing-masing melakukan tugasnya. Purba sendiri memanfaatkan waktu malam untuk bercerita seputar kegiatan pekerjaannya dengan istrinya Sinta sambil membersihkan barang-barang bekas yang dipulungnya. Bagi Purba sebenarnya hampir tidak ada waktu luang, waktu adalah uang demikian tetap menjadi pedoman hidupnya. Apalagi saat sekarang ini disadarinya begitu banyak kebutuhan yang harus dipenuhinya untuk keenam anaknya. Purba pernah berkata demikian : “…… apalagi sekarang semuanya pakai uang, bagaimana pula bisa tenang bagi saya. Anak sudah besar permintaan pun banyak apa nggak susah juga lama-lama. Begitu yah….. terpaksa teruslah……”. Kesempatan nabung seperti pernah di lakukannya semasa bekerja sebagai pengemudi dulu hampir tidak bisa di lakukan sekarang ini. Penghasilanya selalu saja habis untuk mencukupi kebutuhan anak-anaknya maupun keperluan keluarga. Istrinya santa di anggap bijaksana dalam mengatur seluruh irama kehidupan rumah tangganya sampai saat sekarang ini. Universitas Sumatera Utara

4.4. Keluarga Robet sembiring Nama

Dokumen yang terkait

Kondisi Kehidupan Sosial Ekonomi Buruh Harian Lepas di Kelurahan Muliorejo Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang

7 122 122

Pengaruh Pengembangan Industri Kerupuk Opak Terhadap Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat (Studi Kasus : Kecamatan Pancur Batu Kabupaten Deli Serdang)

0 24 111

Dampak Peralihan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Namo Bintang Terhadap Kesejahteraan Sosial Rumah Tangga Pemulung di Desa Baru, Kecamatan Pancur Batu, Kabupatem Deli Serdang

5 82 169

Tinjauan Kehidupan Sosial Ekonomi Keluarga Pemulung di Desa Tapian Nauli Lingkungan IX Kelurahan Sunggal Kecamatan Medan Sunggal Kota Medan

0 5 102

Dampak Peralihan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Namo Bintang Terhadap Kesejahteraan Sosial Rumah Tangga Pemulung di Desa Baru, Kecamatan Pancur Batu, Kabupatem Deli Serdang

0 0 14

Dampak Peralihan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Namo Bintang Terhadap Kesejahteraan Sosial Rumah Tangga Pemulung di Desa Baru, Kecamatan Pancur Batu, Kabupatem Deli Serdang

0 0 2

Dampak Peralihan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Namo Bintang Terhadap Kesejahteraan Sosial Rumah Tangga Pemulung di Desa Baru, Kecamatan Pancur Batu, Kabupatem Deli Serdang

0 0 16

Dampak Peralihan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Namo Bintang Terhadap Kesejahteraan Sosial Rumah Tangga Pemulung di Desa Baru, Kecamatan Pancur Batu, Kabupatem Deli Serdang

0 0 41

Dampak Peralihan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Namo Bintang Terhadap Kesejahteraan Sosial Rumah Tangga Pemulung di Desa Baru, Kecamatan Pancur Batu, Kabupatem Deli Serdang

0 0 2

Dampak Peralihan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Namo Bintang Terhadap Kesejahteraan Sosial Rumah Tangga Pemulung di Desa Baru, Kecamatan Pancur Batu, Kabupatem Deli Serdang

0 0 24