Studi Pengendalian Persediaan Bahan Baku Industri Pengolahan Rotan Di Kabupaten Cirebon Provinsi Jawa Barat

(1)

STUDI PENGENDALIAN PERSEDIAAN BAHAN BAKU

INDUSTRI PENGOLAHAN ROTAN DI KABUPATEN

CIREBON PROVINSI JAWA BARAT

MOCHAMMAD ARIEF SULISTYO NUGROHO

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2007


(2)

Mochammad Arief Sulistyo Nugroho. Study Of The Raw Material Inventory Control Of Rattan Industries In Cirebon, West Java. (Under Supervision of Yulius Hero and Sudaryanto).

Non timber forest product such as rattan, have quite big role for economics such as living source, absorber of labours and also as resource of stock – exchange. Exploiting of the rattan is assessed progressively grow and expand both as household needs (furniture etc.) and raw material for industries.

Currently because of the rattan raw materials amount has decreasing cause the price improvement in the last few years, many of the rattan industries was closed because of the high cost production. Another solution of this problem is inventory control (storage and order) rattan material to get cost efficiency. One step participating in the future, needs more research for inventory control of raw material rattan for rattan industries.

The market challenge for rattan industries is getting higher while rattan raw material stock progressively getting rare. For that, rattan industries needed a raw material inventory so production process can still go on.

Mostly the rareness of raw material that happened in rattan industries in sub – province Cirebon is not because of the raw material inventory is low, but its because the high exports of the rattan raw material which is have the better quality ,so that domestic rattan industries specially in sub – province Cirebon obtain the lower quality of rattan raw materials especially for the type of rattan manau and asalan semambu.

Inventory control is almost done by entire company in medium and big scale, for a while only some of the small industries do the inventory control. There are some medium scale industries which don’t do inventory control of raw material, and only ordering to small industry directly.

Generally the small industries is sub – contractor that obtaining raw materials which is coming from medium or big scale industries. So that is very rare for a small industries to do the inventory control, because of the direct use of obtained raw material is used for production process. At medium scale industry (CV Pesona Rattan Nusantara), the optimal ordering amount based on EOQ method which is can minimize the inventory cost for stem polish (28 – 30 mm) is 1.243,51 Kg, core (15 mm) is 175,43 Kg, fitrit (3,5 mm) is 1.190,85 Kg, and asalan semambu (26 – 28 mm) is 695,41 Kg. While for the big industry (PT Mutiara Habemindo Rotan), ordering amount for core (11 mm) is 1.419,2 Kg, stem polish (26 – 28 mm) is 5.075, 42 Kg, fitrit (3 mm) is 3.670,84 Kg, and tohiti polish (26 – 28 mm) is 1.905,25 Kg.


(3)

RINGKASAN

Mochammad Arief Sulistyo Nugroho. Studi Pengendalian Persediaan Bahan Baku Industri Pengolahan Rotan di Kabupaten Cirebon Provinsi Jawa Barat. (Dibawah bimbingan Ir. Yulius Hero, M.Sc.F dan Ir. Sudaryanto).

Hasil hutan bukan kayu seperti rotan, mempunyai peranan yang cukup besar bagi perekonomian yaitu sebagai sumber mata pencaharian, penyerap tenaga kerja serta sebagai sumber devisa. Pemanfaatan rotan tersebut dinilai semakin tumbuh dan berkembang baik sebagai bahan keperluan rumah tangga (meubel dan lain – lain) maupun sebagai bahan baku industri.

Saat ini dikarenakan jumlah bahan baku rotan yang semakin menurun menyebabkan harga bahan baku rotan semakin tinggi beberapa tahun terakhir ini, sehingga mengakibatkan banyak industri rotan yang tutup karena biaya produksi yang tinggi. Salah satu solusi terhadap permasalahan ini adalah melalui pengendalian persediaan (penyimpanan dan pemesanan) bahan baku rotan untuk mendapatkan efisiensi biaya. Sebagai langkah partisipatif dimasa yang akan datang, diperlukan suatu kajian yang lebih mendalam terhadap pengendalian persediaan bahan baku pada industri pengolahan rotan.

Tantangan pasar untuk industri rotan semakin tinggi sedangkan pasokan bahan baku semakin langka, untuk itu industri pengolahan rotan memerlukan suatu pengendalian terhadap persediaan bahan baku sehingga proses produksi dapat terus berlanjut.

Secara garis besar kelangkaan bahan baku yang terjadi pada industri pengolahan rotan di Kabupaten Cirebon bukan dikarenakan persediaan bahan baku yang telah menipis melainkan tingginya ekspor bahan baku mentah yang memiliki kualitas bagus sehingga industri pengolahan rotan dalam negeri khususnya di Kabupaten Cirebon memperoleh bahan baku dengan kualitas yang kurang baik terutama untuk jenis rotan manau dan asalan semambu.

Pengendalian persediaan hampir dilakukan oleh seluruh perusahaan dalam skala industri menengah dan besar, sedangkan untuk industri kecil hanya beberapa yang melakukan pengendalian persediaan. Ada beberapa industri menengah yang tidak melakukan pengendaliaan persediaan bahan baku, dan hanya melakukan pemesanan kepada pengesub secara langsung.

Umumnya industri kecil merupakan industri pengesub yang memperoleh bahan baku dari pemberi pesanan yang berasal dari industri menengah dan atau besar. Sehingga sangat jarang bagi industri kecil untuk melakukan pengendalian persediaan, dikarenakan bahan baku yang diperoleh langsung habis terpakai untuk proses produksi. Pada industri menengah (CV Pesona Rattan Nusantara), kuantitas pemesanan optimal berdasarkan metode EOQ yang dapat meminimalkan biaya persediaan untuk batang poles (28 – 30 mm) adalah sebesar 1.243,51 Kg, core (15 mm) adalah sebesar 175,43 Kg, untuk fitrit (3,5 mm) adalah sebesar 1.190,85 Kg, dan untuk asalan semambu (26 – 28 mm) kuantitas pemesanan optimal adalah sebesar 695,41 Kg. Pada industri besar (PT Rotan Habemindo Mutiara), kuantitas pemesanan optimal untuk core (11 mm) adalah sebesar 1.419,2 Kg, batang poles (26 – 28 mm) sebesar 5.075,42 Kg, fitrit (3 mm) sebesar 3.670,84 Kg dan tohiti poles (18 – 20 mm) kuantitas pemesanan optimal adalah sebesar 1.905,25 Kg.


(4)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Studi Pengendalian Persediaan Bahan Baku Industri Pengolahan Rotan di Kabupaten Cirebon Provinsi Jawa Barat adalah benar – benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Desember 2007

M. Arief Sulistyo Nugroho


(5)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Skripsi : Studi Pengendalian Persediaan Bahan Baku Industri Pengolahan Rotan di Kabupaten Cirebon Provinsi Jawa Barat

Nama : Mochammad Arief Sulistyo Nugroho

NIM : E14102053

Menyetujui : Komisi Pembimbing

Ketua, Anggota,

Ir.Yulius Hero , M.Sc.F Ir. Sudaryanto

NIP. 131 916 788 NIP. 130 814 497

Mengetahui :

Dekan Fakultas Kehutanan IPB,

Dr. Ir. Hendrayanto, M.Agr

NIP. 131 578 788


(6)

INDUSTRI PENGOLAHAN ROTAN DI KABUPATEN

CIREBON PROVINSI JAWA BARAT

MOCHAMMAD ARIEF SULISTYO NUGROHO

Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Kehutanan

Pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2007


(7)

PRAKATA

Segala puji adalah milik Allah SWT, pemilik kehidupan dari semua kehidupan, pencipta langit dan semesta. Atas rahmat, berkah dan nikmat-Nya yang tak terhingga, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Studi Pengendalian Persediaan Bahan Baku Industri Pengolahan Rotan di Kabupaten Cirebon Provinsi Jawa Barat”.

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah banyak membantu :

1. Bapak Ir. Yulius Hero, M.Sc.F, selaku dosen pembimbing I yang telah memberikan bimbingan dan dorongan sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.

2. Bapak Ir. Sudaryanto, selaku dosen pembimbing II yang telah memberikan bimbingan dan masukan bagi penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.

3. Bapak Dr. Ir. A. Machmud Thohari, DEA selaku dosen penguji dari Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ibu Dr. Ir. Lina Karlinasari, M.Sc.F. Trop selaku dosen penguji dari Departemen Hasil Hutan yang telah banyak memberikan masukan bagi penulis selama ujian komprensif berlangsung.

4. Dosen – Dosen Fakultas Kehutanan yang telah memberikan ilmu pengetahuan dan wawasan yang telah membuka cakrawala penulis selama perkuliahan berlangsung.

5. Bapak H. Sumartja selaku Ketua ASMINDO Komisariat Daerah yang telah banyak memberikan informasi mengenai keadaan industri rotan Kabupaten Cirebon serta menyediakan tempat singgah selama penelitian.

6. Bapak Hendra Sastra selaku pendiri dan ketua APIKK (Asosiasi Pengusaha Industri Kecil dan Kerajinan Kabupaten Cirebon) yang telah banyak memberikan informasi dan data mengenai industri rotan Kabupaten Cirebon. 7. Ibu Widya selaku kepala bagian bahan gudang pada PT Mutiara Habemindo


(8)

kepala bagian produksi yang telah membantu dalam proses penelitian.

9. Bapak Junaidi selaku pemilik dari PO Junaidi dan Mas Mali yang telah membantu selama proses penelitian.

10.Bapak Gatot selaku pegawai ASMINDO Komisariat Daerah Kabupaten Cirebon yang telah memberikan lokasi penelitian dan akses masuk di beberapa industri rotan di Kabupaten Cirebon.

11.Keluarga besar ayahanda Zaenal Arifin serta ibunda Anugerah Suciati tercinta, kakak – kakakku M. Nur Arifianto (Alm), Nurul Endah Ardianti, Dino Irawan, keponakanku tersayang, Sasya dan Daffa, malaikat duniawi yang selalu ada seumur hidupku Kassandra Dewi serta cahaya surgaku Ariendra Rasyad yang selalu memberikan dukungan spiritual dan doa tanpa henti – hentinya untuk penulis sehingga skripsi ini dapat terlaksana dengan baik. 12.Saudara – Saudaraku di Wisma Cibanteng Indah, Among, Viki, Tezar, Berry,

Suhada, Dhika yang telah banyak memberikan dukungan moral, serta masukan dalam pembuatan skripsi ini.

13.Rekan – Rekan yang tengah berjuang di kampus, Ace , John, Dwi Karsono, Bayu, Yudha, Hendra, Dedi serta semua rekan – rekan Fahutan 39 yang telah dulu mencapai garis depan, terutama Dodi, Hamzah, Alfianto, Resman, dan Inten atas kebersamaan dalam menyelesaikan kuliah.

14.Rekan – rekan Sektor VI Club, Yuri, Igun, Ujang, Aconk, Iyas atas semua kenangan dan kesenangan yang diukir bersama.

15.Dan pihak lain yang tidak mungkin disebutkan namanya dalam kesempatan ini.

Semoga Allah SWT memberikan limpahan rahmat-Nya kepada semua pihak baik yang tersebutkan maupun tidak yang telah membantu penulis menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak kekurangan dan kelemahan dalam penyusunan skripsi ini. Harapan penulis semoga penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang memerlukannya.

Penulis


(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta 11 Mei 1984. Penulis merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Zaenal Arifin dan Ibu Anugerah Suciati. Penulis mengawali jenjang pendidikan di Taman Kanak-kanak Parkit Jakarta pada tahun 1989. Pendidikan dasar diselesaikan pada tahun 1996 di SD Negeri 19 Pagi Jakarta. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan

di SLTP Negeri 115 Jakarta dan lulus pada tahun 1999. Penulis melanjutkan pendidikan di SMU Negeri 26 Jakarta dan lulus pada tahun 2002.

Penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor di Program Studi Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan pada tahun 2002 melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Pada tahun 2006 penulis melaksanakan Praktek Pengenalan dan Pengelolaan Hutan (P3H) Non-Getas (Kamojang – Sancang) selama 1 bulan dan di KPH Indramayu selama satu bulan. Pada tahun 2007 Penulis melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) Tematik di Desa Sukasari dan Banjarwangi Kecamatan Menes Kabupaten Pandeglang dua bulan.

Selama menjadi mahasiswa penulis aktif dalam organisasi kemahasiswaan. Organisasi yang pernah diikuti penulis adalah Unit Bola Basket IPB @gric tahun 2003-2006. Penulis juga aktif dalam menyelenggarakan berbagai event khususnya dalam bidang olahraga antara lain Invitasi Bola Basket IPB pada tahun 2003 dan

E-Competiton pada tahun 2005. Selain itu penulis juga aktif dalam bidang seni musik. Dengan pengalaman sebagai bintang tamu di KEMON (Kenduri Motor Nasional) dan Clear Top 10 tahun 2001, kontrak selama tiga bulan di Twilight Cafe Kemang tahun 2004, lima bulan di Plaza Ex dan Nidji opening tour pada tahun 2006.

Dalam rangka menyelesaikan studi di Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, penulis melakukan penelitian dan menyusun skripsi dengan judul ”Studi Pengendalian Persediaan Bahan Baku Industri Pengolahan Rotan di Kabupaten Cirebon Propinsi Jawa Barat”, dibawah bimbingan Ir. Yulius Hero, M.Sc.F dan Ir. Sudaryanto.


(10)

DAFTAR ISI... i

DAFTAR TABEL... iii

DAFTAR GAMBAR ... v

DAFTAR LAMPIRAN... vi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan Penelitian ... 4

1.3 Manfaat Penelitian ... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Industri ... 5

2.2 Pengelompokkan Industri ... 5

2.3 Industri Rotan... 6

2.4 Rotan ... 7

2.5 Proses Pemungutan Rotan... 17

2.6 Proses Pengolahan Rotan ... 19

2.7 Persediaan ... 23

2.8 Economic Order Quantity ... 29

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Penentuan Lokasi dan Waktu Penelitian... 32

3.2 Jenis dan Sumber Data ... 32

3.3 Bahan dan Alat... 33

3.4 Metode Pengambillan Contoh... 33

3.5 Metode Pengolahan dan Analisis Data ... 33

3.6 Asumsi dan Batasan ... 35

BAB IV GAMBARAN UMUM INDUSTRI ROTAN DI KABUPATEN CIREBON 4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian... 36

4.2 Sejarah Industri Rotan di Kabupaten Cirebon ... 37


(11)

STUDI PENGENDALIAN PERSEDIAAN BAHAN BAKU

INDUSTRI PENGOLAHAN ROTAN DI KABUPATEN

CIREBON PROVINSI JAWA BARAT

MOCHAMMAD ARIEF SULISTYO NUGROHO

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2007


(12)

Mochammad Arief Sulistyo Nugroho. Study Of The Raw Material Inventory Control Of Rattan Industries In Cirebon, West Java. (Under Supervision of Yulius Hero and Sudaryanto).

Non timber forest product such as rattan, have quite big role for economics such as living source, absorber of labours and also as resource of stock – exchange. Exploiting of the rattan is assessed progressively grow and expand both as household needs (furniture etc.) and raw material for industries.

Currently because of the rattan raw materials amount has decreasing cause the price improvement in the last few years, many of the rattan industries was closed because of the high cost production. Another solution of this problem is inventory control (storage and order) rattan material to get cost efficiency. One step participating in the future, needs more research for inventory control of raw material rattan for rattan industries.

The market challenge for rattan industries is getting higher while rattan raw material stock progressively getting rare. For that, rattan industries needed a raw material inventory so production process can still go on.

Mostly the rareness of raw material that happened in rattan industries in sub – province Cirebon is not because of the raw material inventory is low, but its because the high exports of the rattan raw material which is have the better quality ,so that domestic rattan industries specially in sub – province Cirebon obtain the lower quality of rattan raw materials especially for the type of rattan manau and asalan semambu.

Inventory control is almost done by entire company in medium and big scale, for a while only some of the small industries do the inventory control. There are some medium scale industries which don’t do inventory control of raw material, and only ordering to small industry directly.

Generally the small industries is sub – contractor that obtaining raw materials which is coming from medium or big scale industries. So that is very rare for a small industries to do the inventory control, because of the direct use of obtained raw material is used for production process. At medium scale industry (CV Pesona Rattan Nusantara), the optimal ordering amount based on EOQ method which is can minimize the inventory cost for stem polish (28 – 30 mm) is 1.243,51 Kg, core (15 mm) is 175,43 Kg, fitrit (3,5 mm) is 1.190,85 Kg, and asalan semambu (26 – 28 mm) is 695,41 Kg. While for the big industry (PT Mutiara Habemindo Rotan), ordering amount for core (11 mm) is 1.419,2 Kg, stem polish (26 – 28 mm) is 5.075, 42 Kg, fitrit (3 mm) is 3.670,84 Kg, and tohiti polish (26 – 28 mm) is 1.905,25 Kg.


(13)

RINGKASAN

Mochammad Arief Sulistyo Nugroho. Studi Pengendalian Persediaan Bahan Baku Industri Pengolahan Rotan di Kabupaten Cirebon Provinsi Jawa Barat. (Dibawah bimbingan Ir. Yulius Hero, M.Sc.F dan Ir. Sudaryanto).

Hasil hutan bukan kayu seperti rotan, mempunyai peranan yang cukup besar bagi perekonomian yaitu sebagai sumber mata pencaharian, penyerap tenaga kerja serta sebagai sumber devisa. Pemanfaatan rotan tersebut dinilai semakin tumbuh dan berkembang baik sebagai bahan keperluan rumah tangga (meubel dan lain – lain) maupun sebagai bahan baku industri.

Saat ini dikarenakan jumlah bahan baku rotan yang semakin menurun menyebabkan harga bahan baku rotan semakin tinggi beberapa tahun terakhir ini, sehingga mengakibatkan banyak industri rotan yang tutup karena biaya produksi yang tinggi. Salah satu solusi terhadap permasalahan ini adalah melalui pengendalian persediaan (penyimpanan dan pemesanan) bahan baku rotan untuk mendapatkan efisiensi biaya. Sebagai langkah partisipatif dimasa yang akan datang, diperlukan suatu kajian yang lebih mendalam terhadap pengendalian persediaan bahan baku pada industri pengolahan rotan.

Tantangan pasar untuk industri rotan semakin tinggi sedangkan pasokan bahan baku semakin langka, untuk itu industri pengolahan rotan memerlukan suatu pengendalian terhadap persediaan bahan baku sehingga proses produksi dapat terus berlanjut.

Secara garis besar kelangkaan bahan baku yang terjadi pada industri pengolahan rotan di Kabupaten Cirebon bukan dikarenakan persediaan bahan baku yang telah menipis melainkan tingginya ekspor bahan baku mentah yang memiliki kualitas bagus sehingga industri pengolahan rotan dalam negeri khususnya di Kabupaten Cirebon memperoleh bahan baku dengan kualitas yang kurang baik terutama untuk jenis rotan manau dan asalan semambu.

Pengendalian persediaan hampir dilakukan oleh seluruh perusahaan dalam skala industri menengah dan besar, sedangkan untuk industri kecil hanya beberapa yang melakukan pengendalian persediaan. Ada beberapa industri menengah yang tidak melakukan pengendaliaan persediaan bahan baku, dan hanya melakukan pemesanan kepada pengesub secara langsung.

Umumnya industri kecil merupakan industri pengesub yang memperoleh bahan baku dari pemberi pesanan yang berasal dari industri menengah dan atau besar. Sehingga sangat jarang bagi industri kecil untuk melakukan pengendalian persediaan, dikarenakan bahan baku yang diperoleh langsung habis terpakai untuk proses produksi. Pada industri menengah (CV Pesona Rattan Nusantara), kuantitas pemesanan optimal berdasarkan metode EOQ yang dapat meminimalkan biaya persediaan untuk batang poles (28 – 30 mm) adalah sebesar 1.243,51 Kg, core (15 mm) adalah sebesar 175,43 Kg, untuk fitrit (3,5 mm) adalah sebesar 1.190,85 Kg, dan untuk asalan semambu (26 – 28 mm) kuantitas pemesanan optimal adalah sebesar 695,41 Kg. Pada industri besar (PT Rotan Habemindo Mutiara), kuantitas pemesanan optimal untuk core (11 mm) adalah sebesar 1.419,2 Kg, batang poles (26 – 28 mm) sebesar 5.075,42 Kg, fitrit (3 mm) sebesar 3.670,84 Kg dan tohiti poles (18 – 20 mm) kuantitas pemesanan optimal adalah sebesar 1.905,25 Kg.


(14)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Studi Pengendalian Persediaan Bahan Baku Industri Pengolahan Rotan di Kabupaten Cirebon Provinsi Jawa Barat adalah benar – benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Desember 2007

M. Arief Sulistyo Nugroho


(15)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Skripsi : Studi Pengendalian Persediaan Bahan Baku Industri Pengolahan Rotan di Kabupaten Cirebon Provinsi Jawa Barat

Nama : Mochammad Arief Sulistyo Nugroho

NIM : E14102053

Menyetujui : Komisi Pembimbing

Ketua, Anggota,

Ir.Yulius Hero , M.Sc.F Ir. Sudaryanto

NIP. 131 916 788 NIP. 130 814 497

Mengetahui :

Dekan Fakultas Kehutanan IPB,

Dr. Ir. Hendrayanto, M.Agr

NIP. 131 578 788


(16)

INDUSTRI PENGOLAHAN ROTAN DI KABUPATEN

CIREBON PROVINSI JAWA BARAT

MOCHAMMAD ARIEF SULISTYO NUGROHO

Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Kehutanan

Pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2007


(17)

PRAKATA

Segala puji adalah milik Allah SWT, pemilik kehidupan dari semua kehidupan, pencipta langit dan semesta. Atas rahmat, berkah dan nikmat-Nya yang tak terhingga, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Studi Pengendalian Persediaan Bahan Baku Industri Pengolahan Rotan di Kabupaten Cirebon Provinsi Jawa Barat”.

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah banyak membantu :

1. Bapak Ir. Yulius Hero, M.Sc.F, selaku dosen pembimbing I yang telah memberikan bimbingan dan dorongan sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.

2. Bapak Ir. Sudaryanto, selaku dosen pembimbing II yang telah memberikan bimbingan dan masukan bagi penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.

3. Bapak Dr. Ir. A. Machmud Thohari, DEA selaku dosen penguji dari Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ibu Dr. Ir. Lina Karlinasari, M.Sc.F. Trop selaku dosen penguji dari Departemen Hasil Hutan yang telah banyak memberikan masukan bagi penulis selama ujian komprensif berlangsung.

4. Dosen – Dosen Fakultas Kehutanan yang telah memberikan ilmu pengetahuan dan wawasan yang telah membuka cakrawala penulis selama perkuliahan berlangsung.

5. Bapak H. Sumartja selaku Ketua ASMINDO Komisariat Daerah yang telah banyak memberikan informasi mengenai keadaan industri rotan Kabupaten Cirebon serta menyediakan tempat singgah selama penelitian.

6. Bapak Hendra Sastra selaku pendiri dan ketua APIKK (Asosiasi Pengusaha Industri Kecil dan Kerajinan Kabupaten Cirebon) yang telah banyak memberikan informasi dan data mengenai industri rotan Kabupaten Cirebon. 7. Ibu Widya selaku kepala bagian bahan gudang pada PT Mutiara Habemindo


(18)

kepala bagian produksi yang telah membantu dalam proses penelitian.

9. Bapak Junaidi selaku pemilik dari PO Junaidi dan Mas Mali yang telah membantu selama proses penelitian.

10.Bapak Gatot selaku pegawai ASMINDO Komisariat Daerah Kabupaten Cirebon yang telah memberikan lokasi penelitian dan akses masuk di beberapa industri rotan di Kabupaten Cirebon.

11.Keluarga besar ayahanda Zaenal Arifin serta ibunda Anugerah Suciati tercinta, kakak – kakakku M. Nur Arifianto (Alm), Nurul Endah Ardianti, Dino Irawan, keponakanku tersayang, Sasya dan Daffa, malaikat duniawi yang selalu ada seumur hidupku Kassandra Dewi serta cahaya surgaku Ariendra Rasyad yang selalu memberikan dukungan spiritual dan doa tanpa henti – hentinya untuk penulis sehingga skripsi ini dapat terlaksana dengan baik. 12.Saudara – Saudaraku di Wisma Cibanteng Indah, Among, Viki, Tezar, Berry,

Suhada, Dhika yang telah banyak memberikan dukungan moral, serta masukan dalam pembuatan skripsi ini.

13.Rekan – Rekan yang tengah berjuang di kampus, Ace , John, Dwi Karsono, Bayu, Yudha, Hendra, Dedi serta semua rekan – rekan Fahutan 39 yang telah dulu mencapai garis depan, terutama Dodi, Hamzah, Alfianto, Resman, dan Inten atas kebersamaan dalam menyelesaikan kuliah.

14.Rekan – rekan Sektor VI Club, Yuri, Igun, Ujang, Aconk, Iyas atas semua kenangan dan kesenangan yang diukir bersama.

15.Dan pihak lain yang tidak mungkin disebutkan namanya dalam kesempatan ini.

Semoga Allah SWT memberikan limpahan rahmat-Nya kepada semua pihak baik yang tersebutkan maupun tidak yang telah membantu penulis menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak kekurangan dan kelemahan dalam penyusunan skripsi ini. Harapan penulis semoga penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang memerlukannya.

Penulis


(19)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta 11 Mei 1984. Penulis merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Zaenal Arifin dan Ibu Anugerah Suciati. Penulis mengawali jenjang pendidikan di Taman Kanak-kanak Parkit Jakarta pada tahun 1989. Pendidikan dasar diselesaikan pada tahun 1996 di SD Negeri 19 Pagi Jakarta. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan

di SLTP Negeri 115 Jakarta dan lulus pada tahun 1999. Penulis melanjutkan pendidikan di SMU Negeri 26 Jakarta dan lulus pada tahun 2002.

Penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor di Program Studi Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan pada tahun 2002 melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Pada tahun 2006 penulis melaksanakan Praktek Pengenalan dan Pengelolaan Hutan (P3H) Non-Getas (Kamojang – Sancang) selama 1 bulan dan di KPH Indramayu selama satu bulan. Pada tahun 2007 Penulis melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) Tematik di Desa Sukasari dan Banjarwangi Kecamatan Menes Kabupaten Pandeglang dua bulan.

Selama menjadi mahasiswa penulis aktif dalam organisasi kemahasiswaan. Organisasi yang pernah diikuti penulis adalah Unit Bola Basket IPB @gric tahun 2003-2006. Penulis juga aktif dalam menyelenggarakan berbagai event khususnya dalam bidang olahraga antara lain Invitasi Bola Basket IPB pada tahun 2003 dan

E-Competiton pada tahun 2005. Selain itu penulis juga aktif dalam bidang seni musik. Dengan pengalaman sebagai bintang tamu di KEMON (Kenduri Motor Nasional) dan Clear Top 10 tahun 2001, kontrak selama tiga bulan di Twilight Cafe Kemang tahun 2004, lima bulan di Plaza Ex dan Nidji opening tour pada tahun 2006.

Dalam rangka menyelesaikan studi di Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, penulis melakukan penelitian dan menyusun skripsi dengan judul ”Studi Pengendalian Persediaan Bahan Baku Industri Pengolahan Rotan di Kabupaten Cirebon Propinsi Jawa Barat”, dibawah bimbingan Ir. Yulius Hero, M.Sc.F dan Ir. Sudaryanto.


(20)

DAFTAR ISI... i

DAFTAR TABEL... iii

DAFTAR GAMBAR ... v

DAFTAR LAMPIRAN... vi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan Penelitian ... 4

1.3 Manfaat Penelitian ... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Industri ... 5

2.2 Pengelompokkan Industri ... 5

2.3 Industri Rotan... 6

2.4 Rotan ... 7

2.5 Proses Pemungutan Rotan... 17

2.6 Proses Pengolahan Rotan ... 19

2.7 Persediaan ... 23

2.8 Economic Order Quantity ... 29

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Penentuan Lokasi dan Waktu Penelitian... 32

3.2 Jenis dan Sumber Data ... 32

3.3 Bahan dan Alat... 33

3.4 Metode Pengambillan Contoh... 33

3.5 Metode Pengolahan dan Analisis Data ... 33

3.6 Asumsi dan Batasan ... 35

BAB IV GAMBARAN UMUM INDUSTRI ROTAN DI KABUPATEN CIREBON 4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian... 36

4.2 Sejarah Industri Rotan di Kabupaten Cirebon ... 37


(21)

ii   

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Karakteristik Industri Pengolahan Rotan di Kabupaten Cirebon... 39

5.2 Perkembangan Industri Pengolahan Rotan di Kabupaten Cirebon ... 39

5.3 Proses Produksi ... 43

5.4 Bahan Baku ... 44

5.5 Sistem Pengadaan Bahan Baku... 46

5.6 Prosedur Pembelian Bahan Baku ... 47

5.7 Pengendalian Persediaan Bahan Baku ... 48

5.9 Industri Kecil... 50

5.10 Industri Menengah ... 53

5.11 Industri Besar ... 65

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ... 84

6.2 Saran... 85

DAFTAR PUSTAKA ... 87


(22)

 

DAFTAR TABEL

No Teks Hal 1. Laju Pertumbuhan Delapan Spesies Komersial Rotan ... 10 2. Potensi Produksi Bahan Baku Rotan Indonesia ... 12 3. Perkembangan Antarpulau Bahan Baku Rotan Dalam Negeri Tahun 1995

dan 1996 ... 15 4. Saham Perdagangan Rotan Dunia Tahun 1980... 16 5. Volume Ekspor Rotan Dari Indonesia Sejak Tahun 2000 s.d 2005... 17 6. Penyerapan Tenaga kerja pada Industri Pengolahan Rotan Tahun 1997 –

2006 ... 42 7. Standar Kualitas Rotan... 45 8. Total Pemakaian Bahan Baku pada PO Junaidi Tahun 2006... 50 9. Pemakaian Bulanan untuk Bahan Baku Rotan Batang Poles Diameter 28 –

30 mm, Core Diameter 10 mm dan Fitrit Diameter 3,5 mm Periode Tahun 2006 (Kg) ... 51 10.Komponen Biaya Pemesanan per Pesanan Rotan PO Junaidi (Rp)... 52 11.Komponen Biaya Penyimpanan PO Junaidi per Unit PO Junaidi, 2006 ... 53 12.Total Pemakaian Bahan Baku pada CV Pesona Rattan Nusantara Tahun

2006 ... 54 13.Pemakaian Bulanan untuk Bahan Baku Rotan Batang Poles Diameter 28 –

30 mm, Core Diameter 15 mm, Fitrit Diameter 3,5 mm dan Asalan Semambu Diameter 26 – 28 mm Periode Tahun 2006 (Kg)... 56 14.Komponen Biaya Pemesanan per Pesanan Rotan CV Pesona Rattan

Nusantara Tahun 2006... 57 15.Komponen Biaya Penyimpanan Rotan Batang Poles Diameter 28 – 30 mm,

Core Diameter 15 mm, Fitrit diameter 3,5 mm dan Asalan Semambu Diameter 26 – 28 mm... 58 16.Total Frekuensi Pemesanan dan Kuantitas Pesanan dengan Metode yang

Diterapkan CV Pesona Rattan Nusantara, 2006... 59 17.Perbandingan frekuensi pesanan dan kuantitas pesanan kedua metode pada


(23)

iv   

18.Perbandingan Biaya Persediaan Rotan Kedua Metode pada CV Pesona Rattan Nusantara 2006 ... 64 19.Total Pemakaian Bahan Baku pada PT Mutiara Habemindo Rotan Selama

Tahun 2006... 66 20.Pemakaian Bulanan untuk Bahan Baku Rotan Core Diameter 11 mm,

Batang Poles 26 – 28 mm, Fitrit Diameter 3 mm dan Tohiti Poles Diameter 18 - 20 mm Periode Tahun 2006 (Kg) ... 68 21.Komponen Biaya Pemesanan per Pesanan Rotan PT Mutiara Habemindo

Rotan Selama Tahun 2006 ... 69 22.Komponen Biaya Penyimpanan Rotan Core 11 mm, Batang Poles Diameter

26 – 28 mm, Fitrit Diameter 3 mm dan Tohiti Poles Diameter 18 – 20 mm ... 69 23.Total Frekuensi Pemesanan dan Kuantitas Pesanan dengan Metode yang

Diterapkan PT Mutiara Habemindo Rotan, 2006... 70 24.Perbandingan Frekuensi Pemesanan dan Kuantitas Pesanan Kedua

Metode pada PT HBM,2006 ... 72 25.Perbandingan Biaya Persediaan Rotan Kedua Metode pada PT HBM


(24)

 

DAFTAR GAMBAR

No Teks Hal 1. Kerangka Pemikiran Studi Pengendalian Persediaan Bahan Baku Rotan .... 3 2. Alur Perdagangan/ Tata Niaga rotan di Indonesia ... 14 3. Hubungan Antara Biaya Pemesanan dan Biaya Penyimpanan ... 29 4. Tingkat persediaan versus waktu bagi EOQ ... 30 5. Pertumbuhan Industri Pengolahan Rotan di Kabupaten Cirebon ... 40 6. Perkembangan Volume Produksi Industri Pengolahan Rotan di Kabupaten

Cirebon ... 40 7. Perkembangan Tenaga Kerja pada Industri Pengolahan Rotan Tahun 1997

– 2006 ... 41 8. Penjualan Rotan pada CV Nusantara Periode 2002 – 2006... 43 9. Tingkat Persediaan Rotan Jenis Batang Poles (28 – 30 mm) Vs Waktu

Bagi EOQ ... 61 10.Tingkat Persediaan Rotan Jenis Core (15 mm) Vs Waktu Bagi EOQ... 62

11.

Tingkat Persediaan Rotan Jenis Fitrit (3,5 mm) Vs Waktu Bagi EOQ... 63 12.Tingkat Persediaan Rotan Jenis Asalan Semambu (26 – 28 mm) Vs Waktu

Bagi EOQ ... 63 13.Tingkat Persediaan Rotan Jenis Core (11 mm) Vs Waktu Bagi EOQ... 73 14.Tingkat Persediaan Rotan Jenis Batang Poles (26 – 28 mm) Vs Waktu

Bagi EOQ ... 74 15.Tingkat Persediaan Rotan Jenis Fitrit (3 mm) Vs Waktu Bagi EOQ... 75 16.Tingkat Persediaan Rotan Jenis Tohiti Poles (26 – 28 mm) Vs Waktu Bagi


(25)

vi   

DAFTAR LAMPIRAN

No Teks Hal

1. Perkembangan Jumlah Unit Usaha, Volume Produksi, Nilai Investasi dan Nilai Produksi Industri Produk Jadi Rotan di Kabupaten Cirebon ... 90 2. Penyerapan Tenaker pada Industri Produk Jadi Rotan Tahun 1997 – 2006.. 91 3. Perhitungan Komponen Biaya Pemesanan dan Biaya Penyimpanan Rotan

pada PO Junaidi ... 92 4. Banyak Pemesanan, Pembelian, dan Persediaan Bahan Baku PO

Junaidi, Tahun 2006 ... 93 5. Perhitungan Komponen Biaya Pemesanan dan Biaya Penyimpanan Rotan

pada CV Pesona Rattan Nusantara... 95 6. Banyak Pemesanan, Pembelian, dan Persediaan Rata – rata Bahan Baku

CV Pesona Rattan Nusantara, Tahun 2006 ... 96 7. Biaya Persediaan Bahan Baku dengan Metode Perusahaan, CV Pesona

Rattan Nusantara, 2006 ... 99 8. Perhitungan Jumlah Bahan Baku Optimal Berdasarkan EOQ pada CV

Pesona Rattan Nusantara... 100 9. Perhitungan Titik Pemesanan Kembali CV Pesona Rattan Nusantara ... 101 10.Perhitungan Biaya Persediaan Berdasarkan Metode EOQ pada CV Pesona

Rattan Nusantara ... 102 11.Perhitungan Komponen Biaya Pemesanan dan Biaya Penyimpanan Rotan

pada PT Mutiara Habemindo Rotan... 103 12.Banyak Pemesanan, Pembelian dan Persediaan Bahan Baku PT Mutiara

Habemindo Rotan, Tahun 2006 ... 104 13.Biaya Persediaan Bahan Baku dengan Metode Perusahaan, PT Mutiara

Habemindo Rotan, 2006 ... 106 14.Perhitungan Jumlah Bahan Baku Optimal Berdasarkan EOQ pada PT


(26)

 

15.Perhitungan Titik Pemesanan Kembali PT HBM ... 108

16.

Perhitungan Biaya Persediaan Berdasarkan EOQ Pada PT HBM ... 109 17.Contoh Kegiatan Proses Produksi Industri Rotan... 110


(27)

I.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Hutan sebagai suatu ekosistem merupakan sumberdaya alam yang komplek dan mempunyai banyak manfaat langsung maupun tidak langsung yang meliputi manfaat ekologis, sosial dan ekonomi. Dari segi ekologis, hutan berperan sebagai perlindungan ekosistem flora, fauna dan sumber plasma nutfah. Sedangkan dari segi ekonomi dan sosial, hutan berperan sebagai sumber devisa dan mata pencaharian bagi masyarakat. Sehingga hutan selain dituntut untuk dapat memberikan manfaat ekologis juga diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan bagi masyarakat.

Seiring dengan pertambahan populasi dan perkembangan ekonomi, permintaan global dan regional untuk barang dan jasa yang dihasilkan dari hutan akan terus meningkat, sementara areal berhutan di beberapa negara cenderung menurun. Semakin berkurangnya luas areal hutan yang ada pada saat ini berpengaruh terhadap berkurangnya jumlah produksi kayu yang dihasilkan. Memperhatikan kondisi dan tingkat degradasi hutan yang ada sampai saat ini menimbulkan ketidakseimbangan antara jumlah permintaan dengan jumlah penawaran terhadap produk kayu, sehingga terjadi perubahan kebijakan untuk memanfaatkan hasil hutan bukan kayu.

Hasil hutan bukan kayu merupakan benda – benda hayati yang dihasilkan dari hutan selain kayu. Banyak hasil hutan bukan kayu yang memiliki potensi ekonomi untuk di pasarkan pada saat ini dan masa yang akan datang. Hasil hutan bukan kayu di Indonesia sudah sejak lama dimanfaatkan oleh penduduk di sekitar hutan namun pada umumnya upaya pemanfaatan tersebut masih merupakan kegiatan musiman dan sambilan. Meski demikian, tidak sedikit jenisnya yang telah dimanfaatkan di luar negeri.

Hasil hutan bukan kayu seperti rotan, mempunyai peranan yang cukup besar bagi perekonomian yaitu sebagai sumber mata pencaharian, penyerap tenaga kerja serta sebagai sumber devisa. Pemanfaatan rotan tersebut dinilai semakin tumbuh dan berkembang baik sebagai bahan keperluan rumah tangga (meubel dan lain – lain) maupun sebagai bahan baku industri.


(28)

Puncak kejayaan ekspor rotan jadi di Indonesia terjadi pada tahun 1986 sejak dikeluarkannya SK Menteri Perdagangan No.274/Kpts/XI/1986 tentang Pelarangan Ekspor Rotan Asalan yang telah dibersihkan dan diasapi diikuti dengan dikeluarkannya SK Menteri Perdagangan No.190/Kpts/VI/1988 tentang Pelarangan Ekspor Rotan Asalan. Namun saat ini produk jadi rotan kalah bersaing di pasar internasional dengan produk dari negara lain yang sumber rotannya berasal dari Indonesia tetapi mampu menjual dengan harga yang lebih murah. Keadaan ini terjadi sejak dibukanya kembali kran ekspor rotan alam dan budidaya pada tahun 1998, sehingga menyebabkan kenaikan volume ekspor rotan mentah dan kelangkaan bahan baku bagi industri dalam negeri (Anonimous, 2004).

Sehubungan dengan adanya kelangkaan bahan baku industri rotan dalam negeri pemerintah mengambil tindakan dengan mengeluarkan Surat Keputusan (SK) Menperindag Nomor : 355/MPP/Kpts/9/2004 tentang Pengaturan Ekspor Rotan, yang berisi tentang diberlakukannya kembali larangan ekspor rotan asalan dan rotan setengah jadi yang berasal dari hutan alam. Namun ternyata peraturan tersebut tidak bertahan lama sebab pada tahun 2005 pemerintah kembali mengeluarkan kebijakan mengenai rotan asalan dan setengah jadi dengan Peraturan Menperindag Nomor : 12/M-Dag/Per/6/2005 yang dikeluarkan pada tanggal 30 juni 2005. Hal tersebut menimbulkan kekhawatiran di kalangan para pelaku industri pengolahan rotan akan kurangnya stok bahan baku terutama di Kabupaten Cirebon yang sangat dikenal sebagai sentra produksi mebel rotan. Bahan baku industri mebel di Pulau Jawa ini sangat tergantung pada pasokan dari daerah produsen rotan, seperti Kalimantan, Sulawesi, dan Sumatera.

Saat ini dikarenakan jumlah bahan baku rotan yang semakin menurun menyebabkan harga bahan baku rotan semakin tinggi beberapa tahun terakhir ini, sehingga mengakibatkan banyak industri rotan yang tutup karena biaya produksi yang tinggi. Salah satu solusi terhadap permasalahan ini adalah melalui pengendalian persediaan (penyimpanan dan pemesanan) bahan baku rotan untuk mendapatkan efisiensi biaya. Sebagai langkah partisipatif dimasa yang akan datang, diperlukan suatu kajian yang lebih mendalam terhadap pengendalian persediaan bahan baku pada industri pengolahan rotan. Kerangka pemikiran kajian disajikan pada Gambar 1.


(29)

3

Pengendalian Persediaan Perusahaan Saat Ini

Proses Produksi Efisiensi Biaya

EOQ

(Economic Order Quantity) Analisis Pengendalian

Persediaan Bahan Baku

Industri rotan

Sumber Bahan Baku Rotan

Volume Penggunaan Bahan Baku

Waktu Tunggu Bahan Baku

Biaya Persediaan Bahan Baku (Biaya Pemesanan & Biaya

Penyimpanan) Bahan Baku

Rotan

Persediaan Barang

Pasar

Gambar 1 Kerangka Pemikiran Studi Pengendalian Persediaan Bahan Baku Rotan


(30)

1.2. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mengetahui pelaksanaan pengendalian persediaan bahan baku industri rotan. 2. Mengetahui permasalahan yang dihadapi dalam proses pengendalian

persediaan bahan baku rotan dan kelestarian usaha.

1.3. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat sebagai sumber informasi dan bahan pertimbangan dalam pengendaliaan bahan baku pada industri pengolahan rotan untuk mendapatkan efisiensi biaya atau biaya paling optimal.


(31)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Industri

Industri adalah sekolompok perusahaan yang menawarkan suatu produk atau kelas produk yang merupakan substitusi dekat satu sama lain. Sedangkan perusahaan adalah organisasi yang dikembangkan oleh seseorang atau sekumpulan orang dengan tujuan untuk menghasilkan berbagai jenis barang dan jasa yang dibutuhkan masyarakat. Tujuan setiap perusahaan adalah meraih keuntungan semaksimal mungkin dan mempertahankan kelesatarian perusahaan (Kotler, 1998 dalam Hatta, 2003).

Ensiklopedia Indonesia, 1982 mendefinisikan industri sebagai bagian dari proses produksi yang tidak secara langsung mengambil atau mengerjakan bahan dasar atau bahan baku secara mekanis atau kimiawi sehingga menjadikannya lebih berharga untuk dipakai manusia. Perusahaan yang mengambil bahan dasar dari alam, kemudian langsung mengolahnya melalui peralatan mekanik yang kompleks, disebut industri.

Selanjutnya Badan Pusat Statistik (1999) memberikan batasan bahwa industri adalah suatu unit atau kesatuan produksi yang terletak pada suatu tempat tertentu dan melakukan kegiatan untuk mengubah barang / bahan baku baik secara mekanis, kimia atau dengan tangan menjadi menjadi produk baru atau kegiatan mengubah barang yang kurang nilainya dengan maksud mendekatkan produk tersebut kepada konsumen akhir.

2.2. Pengelompokan Industri

Di Indonesia pengelompokan industri dilakukan oleh berbagai instansi dengan menggunakan berbagai kriteria. Kriteria yang digunakan oleh beberapa instansi untuk mengelompokkan industri adalah sebagai berikut :

1) Berdasarkan Tenaga Kerja

BPS (1984) mengelompokan industri Indonesia berdasarkan ukuran perusahaan yang besarnya tergantung jumlah karyawan tiap perusahaan, yang ditetapkan menjadi empat golongan, yaitu :


(32)

a. Industri kerajinan, memiliki 1 – 4 karyawan b. Industri kecil, memiliki 5 – 19 karyawan c. Industri sedang, memiliki 20 – 99 karyawan d. Industri besar, memiliki ≥ 100 karyawan

2) Berdasarkan Investasi

Depperindag juga mengeluarkan ketentuan sendiri tentang industri skala kecil menengah (IKM) yang dituangkan dalam Keputusan Menpperindag (Kepmenpperindag) No.257/MPP/Kep/7/1997. Di dalam Kepmenpperindag tersebut disebutkan bahwa yang termasuk dengan IKM adalah usaha dengan nilai investasi maksimal Rp. 5 miliar termasuk tanah dan bangunan.

3) Berdasarkan Hasil Penjualan

Menteri Negara Koperasi dan UKM menggolongkan Industri berdasarkan hasil penjualan, yaitu :

a. Industri dengan hasil penjualan sampai dengan Rp. 1 milyar digolongkan dalam Industri kecil.

b. Industri dengan hasil penjualan antara Rp. 1 - 50 milyar digolongkan dalam Industri menengah.

c. Industri dengan hasil penjualan lebih dari 50 milyar digolongkan dalam industri besar.

4) Berdasarkan Asset

Di dalam UU No. 9/1995, penggolongan IKM dikelompokkan dengan kriteria :

a. Industri Kecil memiliki asset bersih paling banyak Rp. 200 juta tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha.

b. Industri Menengah memiliki asset bersih Rp. 200 juta - 10 miliar termasuk tanah dan bangunan.

2.3. Industri Rotan

Industri kerajinan rotan merupakan suatu bentuk usaha yang membuat barang-barang kerajinan dengan bahan utama rotan. Industri kerajinan rotan ini akan meningkatkan nilai tambah rotan, dari rotan batangan menjadi berbagai


(33)

7

macam perabot rumah tangga. Industri rotan digolongkan menurut tingkat pengolahan dan hasil produksinya sebagai berikut:

1) Industri bahan mentah

Industri yang mengolah rotan mentah menjadi rotan W (washed) dan S (sulphurized), polish kasar dan rotan belahan (split). Industri ini merupakan usaha pengawetan rotan bulat sebagai bahan baku.

2) Industri barang setengah jadi

Industri yang menghasilkan kulit rotan, hati rotan , polish halus dan komponen

furniture. Mengolah rotan W dan S menjadi produk antara yang siap dipergunakan bagi industri barang jadi.

3) Industri barang jadi

Industri yang mengolah produk-produk setengah jadi serta rotan W dan S menjadi barang yang siap dikonsumsi (tikar, anyaman, furniture dan barang dari rotan lainnya).

2.4. Rotan

2.4.1. Morfologi Umum

Rotan termasuk dalam divisi Spermatophyta, subdivisi Angiospermae, kelas Monocotyledonae, ordo Palmales dan famili Palmae. Sampai sekarang di dunia sudah ditemukan sebanyak 22 genera dan 8 genera di antaranya terdapat di Indonesia. Dari 8 genera tersebut ditemukan sebanyak 306 jenis, namun masih sangat sedikit yang diperdagangkan, yaitu tidak lebih dari 10 jenis saja (Rachman, 1990 dalam Kurniawaty, 1998).

Bentuk dan sifat – sifat jenis rotan dibedakan menurut jumlah batang tiap rumpun, sistem perakaran, bentuk alat pemanjat, bentuk dan perkembangan daun, bunga dan buah ( Dansfield, 1996 ).

1. Batang

Pada umumnya batang –batang rotan diliputi oleh pelepah daun dan terdiri dari ruas – ruas panjang, tapi ini biasanya hanya tampak di hutan pada bagian batang sebelah bawah dan sudah tua dari sebagian besar batang – batang yang telah masak. Batang – batang dari beberapa species dapat tumbuh dengan panjang


(34)

yang mengagumkan. Burkill (1935) dalam Dansfield (1996), mencatat panjang dari suatu batang rotan manau yaitu 556 feet atau sekitar 169,5 meter.

Diameter batang rotan bervariasi mulai dari species dengan batang tanpa pelepah, berdiameter kurang lebih 3 mm misalnya rotan pulut merah (Calamus javensis) sampai pada species yang berdiameter 10 cm seperti rotan manau (Calamus manan).

Dansfield (1996) mengatakan bahwa jumlah batang per rumpun pada masing – masing jenis rotan bervariasi, ada yang berkelompok dan ada yang berbatang tunggal. Jenis yang berbatang tunggal antara lain rotan manau (Calamus manan), rotan tohiti (Calamus inops) dan rotan ombol (Calamus symphysipus), sedangkan jenis rotan yang berumpun diantaranya yaitu rotan sega (Calamus caesius), rotan irit (Calamus trachycoleus) dan hampir seluruh genus

Ceratolobus dan Korthalsia.

2. Daun

Daun rotan terbagi dapat dibagi ke dalam tiga atau empat bagian yaitu pelepah daun, petiole, laminar dan cirrus jika ada. Pelepah daun adalah bagian yang cukup penting pada rotan dari pandangan taksonomi (Dansfield, 1996). Cirrus merupakan bagian yang digunakan sebagai alat untuk merambat.

3. Alat Perambat

Rotan merupakan tumbuhan merambat di pohon – pohon penopangnya (turus). Ada dua organ yang berguna sebagai alat untuk merambat yaitu dengan bantuan duri – duri pengait yang terdapat pada ujung tangkai daun, disebut sebagai cirrus atau dengan bantuan flagella pada pelepah daun.

Cirrus dapat ditemukan pada jenis – jenis rotan dengan genus Ceratolobus,

Daemonorops, Plectocomis, Plectocomiopsis, Myrialepsis dan Korthalsia serta banyak species dari genus Calamus (Dansfield, 1996).

4. Buah

Buah rotan menyerupai deretan – deretan vertical dari sisik – sisik yang saling bertumpuk. Sisik – sisik ini biasanya keras dan mengkilap serta secara


(35)

9

teratur vertikal bercelah – celah sepanjang garis tengahnya. Jumlah dari barisan vertikal sisik – sisik ini , kadang digunakan untuk kepentingan taksonomi. Sisik ini mempunyai penampakan yang sangat menarik. Warnanya biasanya beragam mulai dari coklat kekuningan, coklat muda, sampai coklat gelap kehitaman, tetapi sekali waktu berwarna magenta atau gabungan seperti gading dan hitam (Dansfield, 1996).

2.4.2. Pemanfaatan

Karena kekuatan, kelenturan dan keseragamannya, batang polos rotan dimanfaatkan secara komersial untuk mebel dan anyaman rotan. Umumnya diameter rotan batang bervariasi antara 3 – 60 mm atau lebih, bergantung pada spesiesnya. Di daerah pedesaan, banyak spesies rotan telah digunakan selama berabad – abad untuk berbagai tujuan seperti tali – temali, konstruksi, keranjang, atap dan tikar (Dansfield, 1996).

Sementara itu Heyne (1927), Burkill (1935) dan Corner (1966) dalam

Dansfield (1996) telah mendaftar berbagai penggunaan lokal rotan. Penggunaan itu begitu banyak sehingga perhitungan yang lengkap adalah mustahil. Rotan dibuat untuk membuat keranjang, tikar, mebel, tangkai sapu, pemukul permadani, tongkat, perangkap ikan, tirai, kurungan burung, dan untuk hampir semua tujuan lain apapun yang menuntut kekuatan dan kelenturan yang digabung dengan keringanan. Ikatan pada rumah, pagar, jembatan dan bahkan perahu dilakukan dengan rotan. Pinak-pinak daun rotan tua dianyam untuk atap, pinak daun muda digunakan sebagai kertas rokok, tunas muda dimakan, buah rotan digunakan beragam sebagai buah dan obat, dan ‘darah naga’ yang diperoleh dari kulit buah beberapa spesies pernah digunakan sebagai zat warna, pernis dan dalam jamu lokal.

Jenis-jenis rotan di Indonesia yang memegang peranan penting dalam perdagangan adalah:

1) Rotan manau (Calamus manan Miq) dari Sumatera dan Kalimantan. 2) Rotan sega (Calamus caesius Bl) dari Sumatera dan Kalimantan. 3) Rotan semambu (Calaus scipionum) dari Sumatera dan Kalimantan. 4) Rotan irit (Calamus trachyoleus) dari Kalimantan.


(36)

5) Rotan umbulu (Calamus simphysipus) dari Maluku dan Sulawesi.

6) Rotan cacing (Calamus ciliaris), seuti (C. ornatus), seel (Daemonorops melanochaetes) dari Jawa.

7) Rotan suwei ( Calamus papuanus Becc.) dari Irian Jaya.

8) Rotan jermasin (C. leioucaulis), tarumpu (C. muricetus), batang (C. zollingerii) dan tohiti ( C. inops) dari Sulawesi.

2.4.3. Pertumbuhan

Kebanyakan rotan yang tumbuh secara alami menghasilkan semai melimpah, namun mortalitas tinggi, agaknya karena persaingan merebut cahaya, air dan zat hara, dan karena pemangkasan, menyebabkan hanya sedikit semai mencapai dewasa. Cahaya juga meningkatkan pemanjangan batang (Manokaran 1985 dalam Dansfield, 1996). Pemanjangan batang bersifat sinambung, tetapi beragam dari kurun ke kurun waktu.

Meskipun tidak ada informasi yang diterbitkan mengenai laju pertumbuhan rotan yang tumbuh liar, informasi semacam itu tersedia untuk spesies – spesies komersial yang mengikuti lintasan silvikultur. Beberapa informasi diberikan dalam Tabel 1.

Tabel 1 Laju Pertumbuhan Delapan Spesies Komersial Rotan

Spesies Laju Pertumbuhan (m/tahun)

Laju Pertumbuhan Batang Terpanjang (m/tahun)

Calamus caesius 1,9 3,9 – 5,6

C. egregious - 0,8

(2,0)

C. hainanensis - 3,5

(5,0)

C. manan - 1,2

(2,3)

C. scipionum 0,1 1,0

C. tetradactylus - 2,3


(37)

11

Tabel 1 (Lanjutan)

C. trachycoleus - (3,0)

(5,0) (7,0)

Daemonorops margaritae - (2,0 – 2,5)

Sumber: Manokaran (1985) dan Xu (1985, 1989) dalam Dansfield (1996)

Ket : Angka dalam kurung merupakan taksiran, angka – angka lain merupakan nilai terukur. 2.4.4. Potensi Rotan Indonesia

Rotan di Indonesia umumnya tumbuh di hutan – hutan lebat yang ditumbuhi oleh kayu karena rotan termasuk tumbuhan memanjat pada pohon. Dari 15 suku palmae, 8 jenis diantaranya ditemukan dan tumbuh di Indonesia. Adapun jumlah total rotan yang sudah ditemukan dan digunakan untuk keperluan lokal mencapai kurang lebih 128 jenis. Sementara itu, rotan yang sudah umum diusahakan/ diperdagangkan dengan harga tinggi untuk berbagai keperluan baru mencapai 28 jenis saja. Jenis rotan lainnya belum begitu tersentuh karena kecilnya potensi dan belum dikenal sifat – sifatnya (Januminro, 2000).

Luas kawasan hutan di Indonesia sebenarnya mencapai total 120 juta hektar, sedangkan luas kawasan yang disurvei hanya mencakup kawasan hutan yang mewakili saja, yakni hanya pada areal seluas 5,6 juta hektar di 16 Provinsi Indonesia. Secara keseluruhan, besarnya potensi penyediaan rotan dari 16 Provinsi di Indonesia di luasan areal yang telah disurvei mencapai kurang lebih 573.890 ton/ tahun (Januminro, 2000).

Balitbang Kehutanan Departemen Kehutanan memperkirakan bahwa produksi rotan tahun 2005 sebesar 622.000 ton yang dihasilkan oleh beberapa daerah penghasil bahan baku rotan di Indonesia yang tersebar di 20 propinsi. Potensi produksi tersebut merupakan potensi produksi lestari atau potensi per tahun selama ini adalah rata – rata sekitar 622.000 ton per tahun.


(38)

Tabel 2 Potensi Produksi Bahan Baku Rotan Indonesia

No Provinsi Potensi Produksi (ton/ thn)

1. NAD 28.000

2. Riau 5.000

3. Sumatera Utara 12.000

4. Sumatera Barat 38.000

5. Jambi 13.000

6. Bengkulu 25.000

7. Sumatera Selatan 22.000

8. Lampung 5.000

9. Kalimantan Barat 50.000

10. Kalimantan Tengah 70.000

11. Kalimantan Selatan 15.000

12. Kalimantan Timur 65.000

13. Sulawesi Utara 20.000

14. Sulawesi Tengah 75.000

15. Sulawesi Selatan 37.000

16. 17. 18. 19. 20.

Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur

Maluku Papua Sulawesi Tenggara 13.000 5.000 25.000 68.000 31.000 Jumlah 622.000

Sumber : Balitbang Kehutanan, Departemen Kehutanan, 2005

2.4.5. Tata Niaga Rotan

Para petani atau pemungut rotan merupakan pihak yang paling berperan dalam membentuk rantai perdagangan atau tata niaga rotan. Mereka melakukan pemungutan dan pengambilan rotan dari hutan bebas atau dari kebun – kebun rotan, kemudian membawanya ke desa – desa. Rotan hasil pemungutan tersebut langsung dijual bebas kepada pedagang pengumpul atau diolah dahulu melalui proses peruntian, pengawetan dan pemutihan. Harga jual rotan yang telah dilakukan pengolahan pendahuluan lebih tinggi daripada rotan yang langsung dijual setelah dipanen.

Pedagang pengumpul rotan umumnya adalah penduduk sekitar desa, tempat rotan banyak tumbuh dan dipungut. Mereka adalah penduduk yang memiliki cukup modal sendiri atau pedagang perantara yang mendapat dukungan


(39)

13

modal dari pengusaha industri rotan atau pedagang antarpulau. Pedagang pengumpul biasanya mempunyai basis usaha di sekitar desa atau di kota Kecamatan. Pedagang perantara terdiri atas dua tingkatan, yaitu pedagang yang membeli rotan dengan kedudukan di sekitar desa atau Kecamatan, dan pedagang rotan berkedudukan di tingkat Kabupaten yang membeli rotan dari pedagang perantara tingkat desa/ Kecamatan atau langsung membeli rotan dari rakyat/ petani. Pedagang pengumpul tingkat yang kedua ini memerlukan modal dan tempat/ gudang yang cukup besar karena jumlah rotan yang dibeli akan lebih besar.

Rotan yang diterima oleh pedagang pengumpul dapat dijual dengan dua cara. Pertama, rotan yang terkumpul dijual langsung kepada industri pengawetan/ rotan jika di daerah tersebut tersedia industri pengawetan rotan. Kedua, rotan yang terkumpul dijual kepada pedagang antarpulau jika di daerah tersebut tidak ada industri pengawetan rotan. Pedagang antarpulau akan menjual rotan tersebut kepada industri yang ada di luar daerah atau di luar pulau.

Industri pengawetan rotan yang membeli dari pedagang pengumpul atau pedagang antarpulau akan mengolahnya lebih lanjut menjadi rotan yang sudah diawetkan, diputihkan, atau dalam bentuk rotan split. Hasil olahan tersebut diserahkan kepada industri barang jadi atau langsung diekspor jika peraturan pemerintah mengizinkan mengirimkan rotan bulat untuk diekspor.

Rotan yang diterima oleh pedagang pengumpul umumnya hanya sebatas pencucian dan pemasakan saja. Rotan yang telah diolah tersebut dibawa kepada pedagang antarpulau atau langsung dikirimkan ke gudang industri pengolahan (Januminro, 2000).


(40)

INDUSTRI BARANG JADI/SETENGAH

JADI PETANI PEMUNGUT

PEDAGANG PENGUMPUL I & II

INDUSTRI PENGAWETAN

ROTAN W& S

PEDAGANG ANTARPULAU

PEDAGANG BESAR

KONSUMSI DALAM NEGERI PEDAGANG KECIL

EKSPOR

SUMBER BAHAN BAKU

Gambar 2 Alur Perdagangan/ Tata Niaga Rotan di Indonesia

2.4.6. Perkembangan Peredaran Rotan

1) Peredaran Dalam Negeri

Data yang dihimpun pada tahun 1971 menunjukkan bahwa perdagangan rotan antarpulau atau dalam negeri sebagian besar dikuasai oleh daerah produsen yaitu Kalimantan sebesar 69 %, Sulawesi 23 % dan daerah lainnya 8 %. Daerah yang menjadi tujuan perdagangan rotan antarpulau sebagian besar adalah Jawa sebesar 57 %, Ujung Pandang sebesar 31 % dan daerah lainnya sebesar 12 %.

Kondisi perdagangan rotan antarpulau dari daerah Kalimantan sejak tahun 1995 menurun drastis, yakni hanya 291,992 ton. Namun Kekurangan itu diisi oleh daerah Sulawesi sebesar 193.995,984 ton dan daerah lainnya 471,663 ton.


(41)

15

Tabel 3 Perkembangan Antarpulau Bahan Baku Rotan Dalam Negeri Tahun 1995 dan 1996

Tahun 1995

Daerah Asal Jumlah (ton) Daerah Tujuan Jumlah (Ton)

Kalimantan : 291,992 Surabaya 192.540,661

Kalsel 227,639 Jakarta 1.364,319

Kalbar 57,639 Daerah lain 814,659

Kaltim 6,377

Sulawesi : 193.995,984

Sulteng 65.069,388 Sultra 3.575,456

Sulut 65.275,058

Sulsel 60.036,082

Daerah lain 471,663

Jumlah 194.759,63 Jumlah 194.759,63

Tahun 1996

Daerah Asal Jumlah (ton) Daerah Tujuan Jumlah (Ton)

Kalimantan : 99.118,391 Surabaya 230.707,004

Kalsel 99.041,167 Jakarta 26.359,402

Kalbar 69,571 Sampit/ Kalteng 49.384

Kaltim 7,653 Daerah lain 25.981,6

Sulawesi : 232.273,23

Sulteng 77.681 Sultra 4.218,547

Sulut 78.330,070

Sulsel 72.043,297

Daerah lain 547,071

Jumlah 332.432 Jumlah 332.432

Sumber : Januminro, 2000

Terjadinya perubahan perdagangan rotan antarpulau dari Kalimantan dikarenakan terjadinya perubahan aktivitas pengusahaan rotan itu sendiri. Kalimantan saat ini tidak hanya dikenal sebagai daerah penghasil rotan mentah, tetapi juga dikenal sebagai daerah industri pengolahan rotan mentah menjadi barang setengah jadi dan jadi untuk bahan ekspor.

2) Peredaran Rotan Luar Negeri

Rotan Indonesia sampai dengan tahun 1980 telah memberikan kontribusi sebesar dalam memenuhi keperluan rotan dunia, yaitu sebesar 73,8 % atau sebesar 81,26 ribu ton dari total 112,2 ribu ton perdagangan rotan dunia. Negara tujuan


(42)

utama perdagangan rotan Indonesia adalah Hongkong, Singapura, Taiwan dan Negara maju lainnya.

Pasokan bahan baku rotan dunia saat ini berasal dari Indonesia diperkirakan mencapai 90 %, Malaysia sebesar 4 %, dan Negara lainnya (Thailand dan Filipina) sebesar 6 %.

Tabel 4 Saham Perdagangan Rotan Dunia Tahun 1980

Negara Pengimpor Share

Negara Pengekspor

Negara Maju

Hongkong Singapura Taiwan x 1000 ton %

Indonesia 11,35 41,64 19,16 9,11 81,26 73,8

Philipina 7,81 0,11 0,06 - 7,98 7,2 Thailand 6,32 2,46 0,16 - 8,94 8,2

Malaysia 5,99 0,26 0,26 1,05 9,46 8,6

Mexico 0,57 - - - 0,57 0,5

Lain – lain 1,91 - - - 1,91 1,7

Jumlah 33,95 44,47 21,44 10,26 11,12 100

Sumber : Januminro, 2000

Hongkong dan Singapura telah lama mengimpor rotan mentah dari Indonesia, kemudian, kedua Negara tersebut mengekspor hasil olahan rotan ke berbagai negara dengan keuntungan berlipat.

Jumlah ekspor bahan baku produk rotan Indonesia sampai dengan tahun 1981 telah mencapai jumlah 65,5 ribu ton dengan perincian ekspor rotan asalan sebesar 70,34 %, rotan setengah jadi sebesar 28 %, dan barang jadi hanya sebesar 1, 47 %. Begitu pula, tahun 1985 masih tampak bahwa ekspor rotan Indonesia masih berbentuk rotan asalan yang prosentasenya meningkat menjadi 76 %, rotan setengah jadi dan jadi menurun menjadi sebesar 23 % dan 1 % (Januminro, 2000).

Berikut ini disajikan pula data ekspor rotan dan produk rotan Indonesia sejak tahun 2001 sampai dengan 2005.


(43)

17

Tabel 5 Volume Ekspor Rotan dan Produk Rotan Tahun 2001 – 2005

Tahun (Kg) No Uraian

2001 2002 2003 2004 2005 1 Mebel

Rotan

96.955.526 111.695.155 115.866.950 119.867.898 113.449.672

2 Barang Anyaman

Rotan

21.377.516 22.698.955 22.681.603 14.851.152 11.527.266

3 Rotan Setengah

Jadi

24.115.713 22.999.118 32.745.778 34.794.927 19.794.721

Sumber : Dephut, 2006

2.5. Proses Pemungutan Rotan

2.5.1. Umur dan Ciri Rotan Siap Panen

Umur panen rotan yang telah diketahui selama ini baru terbatas pada rotan yang telah lama dibudidayakan, yakni rotan irit, taman, pulut merah, dan manau. Panen rotan pertama kali umumnya dilakukan pada umur antara 6 – 8 tahun untuk rotan berdiameter kecil, yaitu rotan irit dan rotan taman. Sedangkan untuk rotan berdiameter besar, yaitu rotan manau, panen dilakukan setelah mencapai umur 12 – 15 tahun. Dengan catatan, tanaman rotan tersebut sejak ditanam hingga masa panen selalu dipelihara dan dirawat secara intensif. Bila tanaman rotan tidak dipelihara dan dirawat secara intensif, maka umur panennya akan lebih lama lagi (Januminro, 2000).

Tanaman rotan pada umumnya tumbuh berumpun dan mengelompok, maka umur dan tingkat ketuaan rotan yang siap dipanen berbeda. Oleh karena itu, pemungutan rotan dilakukan secara pemilihan atau tebang pilih, yaitu rotan yang sudah masak tebang saja yang dipungut. Menurut Januminro (2000) pada rotan yang tumbuh secara alami ataupun yang dibudidayakan, tanda – tanda bahwa rotan tersebut telah siap dipanen adalah :

a. Daun dan durinya sudah patah.

b. Warna durinya sudah berubah menjadi hitam atau kuning kehitam - hitaman.

c. Sebagian batangnya sudah tidak dibalut oleh pelepah daun dan telah berwarna hijau.


(44)

2.5.2. Cara Pemungutan Rotan

Menurut Januminro (2000), cara pemungutan rotan yang dilakukan oleh petani rotan di daerah pedalaman Kalimantan Tengah adalah :

a. Duri dan pelepah daun yang menempel pada batang rotan yang akan dipanen dibersihkan. Pembersihan duri dan pelepah dilakukan dengan cara dipukul – pukul memakai parang bagian samping.

b. Batang rotan yang telah dibersihkan duri – durinya dan pelepahnya dipotong antara 1 m dari pangkal batang supaya masih dapat tumbuh tunas baru lagi. Pemotongan batang rotan yang terlalu pendek dapat menyebabkan pembusukan sehingga menggangu pertumbuhan anakan dan tumbuhan lainnya dalam satu rumpun.

c. Duri dan pelepah daun yang sudah lepas dari batang rotan disingkirkan agar tidak menggangu pekerjaan selanjutnya.

d. Batang rotan bagian pucuknya yang menempel pada pohon inang dapat dilepas dengan cara dipotong ujungnya memakai galah yang diberi pisau kecil pada ujungnya atau dipanjat langsung pada pohon inangnya dan dipotong.

e. Batang rotan yang telah dipotong pangkalnya ditarik dan dipotong sepanjang panjang ukuran yang diinginkan. Sisa batang rotan yang telah dipotong dan masih mungkin ditarik dapat dipotong lagi sampai batang rotan tersebut habis.

f. Bersamaan dengan menarik batang rotan tersebut dilakukan penyingkiran duri dan pelepah daun.

g. Batang rotan yang sudah dipotong dikumpulkan dan dilipat menjadi dua, kemudian diikat dan diangkut ke tempat pengumpulan.

2.5.3. Frekuensi pemungutan

Jarak pemungutan rotan yang pertama dan pemungutan berkutnya dapat dilakukan dengan selang waktu 2 tahun sekali. Jika selang waktu pemungutan rotan dalam setiap rumpun dilakukan kurang dari 2 tahun sekali, maka kualitas batang rotan yang dihasilkan akan rendah. Namun, pemungutan rotan yang


(45)

19

dilakukan lebih dari 2 tahun sekali (misalnya 3 tahun sekali atau lebih) menjadi kurang ekonomis.

Setiap rumpun rotan yang tumbuh berkelompok biasanya hanya rotan yang sudah tua saja yang dipungut. Pemungutan batang rotan yang sudah tua tersebut biasanya hanya dibatasi antara 20 – 30 % dari jumlah batang yang ada dalam setiap rumpun. Sedangkan sisanya dilakukan pemungutan pada periode berikutnya. Setelah batang rotan yang dipungut, maka akan segera tumbuh tunas – tunas baru. Kegiatan panen rotan disarankan untuk dilakukan pada saat musim kemarau tiba agar pengeringannya mudah dilakukan dengan sinar matahari. (Januminro, 2000).

2.6. Proses Pengolahan Rotan

Tujuan pengolahan rotan asalan sebelum menjadi bahan setengah jadi dan barang jadi adalah untuk :

1. Menghilangkan kotoran dan selaput silica yang masih melekat pada batang rotan.

2. Mendapatkan bahan baku rotan yang tahan terhadap hama dan penyakit. 3. Menghasilkan bahan baku rotan bulat (amplas dan serut), kulit dan hati

rotan yang diinginkan sesuai dengan tujuan penggunaanya.

4. Meningkatkan nilai tambah, keindahan, hasil guna bahan baku rotan.

2.6.1. Tahap – Tahap Pengolahan Rotan Asalan (W dan S) a) Pemotongan rotan

Pemotongan rotan dilakukan untuk membagi panjang rotan menjadi beberapa bagian yang ukurannya standar yang berlaku umum dalam perdagangan rotan. Biasanya, rotan dipotong sepanjang 5 m – 6 m dan selanjutnya dilipat (ditekuk) menjadi 2 bagian rotan berdiameter kecil, sedangkan untuk rotan berdiameter besar tanpa ditekuk. Pemotongan dilakukan pada saat sebelum peruntian atau sebelum dilakukan sortasi kualitas.


(46)

b) Perendaman dalam air

Rotan yang sudah dipotong – potong menjadi beberapa bagian sesuai dengan ukuran diikat rapi dengan jumlah berkisar antara 50 – 100 potong. Setelah itu, rotan yang telah diikat direndam dalam air mengalir atau bak penampungan air yang khusus dibuat untuk keperluan tersebut.

Lama perendaman paling sedikit 1 – 7 hari dan selalu diawasi agar jangan sampai terjadi perubahan warna akibat kesalahan perendaman. Pada saat direndam, warna rotan umumnya kuning kehitam – hitaman. Setelah perendaman dianggap cukup, rotan diangkat untuk dilakukan peruntian.

Perendaman rotan biasanya dilakukan jika tidak sempat dilakukan peruntian secepatnya karena menunggu waktu untuk dilakukan peruntian. Bila rotan ditempatkan begitu saja selama beberapa hari tanpa direndam, maka rotan tersebut akan mudah diserang jamur perusak dan warna rotan akan berubah.

c) Pencucian dan penggosokan

Pencucian rotan bertujuan untuk menghilangkan kotoran (sisa – sisa pelepah , debu, dan lain – lain) yang masih terdapat pada batang rotan ketika dilakukan pembersihan pada tahap pengolahan rotan asalan/dasar. Dengan dilakukan pencucian ini, maka warna cahaya atau kilap yang ada pada rotan tersebut akan meningkatkan kualitasnya.

Pencucian rotan dilakukan sambil digosok – gosok. Penggosokan rotan dapat menggunakan serabut kelapa atau kain yang agak tebal dengan pasir yang bersih. Penggosokan rotan dapat juga dilakukan dengan pasir yang digenggam.

d) Peruntian

Peruntian bertujuan untuk menghilangkan epidermis sebelah dalam seludang daun yang masih melekat pada batang rotan, sekaligus menghilangkan epidermis sebelah luar batang rotan yang mengandung silica. Peruntian batang rotan ditempuh dengan cara sebagai berikut :

1. Runti jala

Rotan ditarik berpasangan dalam sebuah galangan melalui dua “rotor” terpisah yang dibuat dari kayu. Ketika bagian – bagian rotan yang sudah


(47)

21

bersih akan keluar dari roller, bagian yang keluar tersebut pembersihannya disempurnakan dengan rantai metal. Selain menggunakan roller, alat peruntian dapat juga dibuat dari sebuah galangan diantara tiga tonggak bambu.

2. Runti gosok

Batang rotan ditarik – tarik bolak – balik malalui lubang pada sepotong bambo yang diikat berdiri pada sebatang pohon.

3. Runti pelari

Rotan ditumpuk, kemudian dipukul – pukul dengan kayu atau anyaman rotan. Cara peruntian ini kurang baik karena kurang bersih dan dapat mengakibatkan cacat pada batang rotan tersebut.

Dari ketiga cara peruntian tesebut diatas, cara yang paling umum, hasilnya baik, cepat dan memuaskan adalah peruntian dengan runti jala. Kegiatan peruntian rotan dilakukan hanya terbatas pada rotan dari kelompok berdiameter kecil. Sementara untuk rotan berdiameter besar, pembersihan dilakukan dengan cara pengikisan batang dan langsung melakukan perataan buku – bukunya menggunakan pisau kecil yang khusus dibuat untuk keperluan tersebut.

e) Pengikisan

Pengikisan bertujuan untuk mengikis atau meratakan tulang rotan bagian luar yang tidak rata dengan ruasnya. Pengikisan tulang – tulang rotan ini dilaksanakan pada saat pengolahan rotan yang berasal dari rotan mentah. Meskipun demikian, tidak semua rotan dikikis tulangnya, tergantung pada jenis rotan yang diolah, diameter rotan, pesanan konsumen dan keperluan penggunaannya.

Alat pengikisan rotan terdiri atas pisau kecil yang tidak mempunyai pegangan. Pengikisan dilakukan dengan cara memegang batang rotan dengan tangan kiri dan tangan kanan memegang pisau kecil yang diberi alas kain.

f) Penjemuran/ Pengeringan

Tujuan pengeringan adalah untuk mengeluarkan air dari batang rotan agar warna rotan tidak berubah, sekaligus untuk mencegah noda – noda hitam akibat serangan jamur pada batang rotan.


(48)

Pengeringan dapat dilakukan dengan cara menjemur rotan langsung pada terik matahari. Rotan yang akan dijemur ditumpuk melintang di atas tanah dengan diberi ganjal dari kayu. Pengeringan rotan yang besar dilakukan dengan cara disandarkan pada kayu yang dibuat khusus bediri agak miring atau digantung. Rotan yang berdiameter besar dapat dikeringkan dengan cara dipanggang di dekat api. Rotan yang basah dikeringkan dengan cara ditumpuk sekitar 50 – 100 batang. Namun cara ini tidak dianjurkan karena proses pengeringannya tidak merata.

Lama penjemuran memakan waktu antara 1 – 3 hari, tergantung pada kondisi cuaca dan iklim. Lama penjemuran juga tergantung pada jenis rotan, diameter rotan, dan panjang batang. Penjemuran dan pengeringan rotan baru selesai apabila warna hijau telah berubah menjadi kuning keemas – emasan. Untuk mempercepat proses pengeringan, rotan harus selalu dibolak – balik pada saat tertentu.

g) Pelurusan dan pemotongan

Sebagian besar rotan secara tidak alami tidak ada yang lurus sempurna, terutama rotan yang berdiameter besar. Pelurusan rotan dilakukan pada jenis rotan berdiameter besar yang secara alamiah tidak lurus. Pelurusan rotan dilakukan dengan alat yang dibuat dari sebatang balok ukuran 10 cm x 10 cm, panjang 1,25 m dan pada bagian atas diberi lubang koakan untuk memasukkan dan meluruskan rotan.

Pemotongan dilakukan untuk menyeragamkan ukuran rotan secara keseluruhan sesuai dengan syarat dan kualitas yang ditentukan / diinginkan.

h) Pengawetan / Pemutihan Rotan

Pengawetan / Pemutihan Rotan bertujuan untuk mengurangi kerusakan dan kemunduran kualitas akibat senyawa berbagai organisme perusak. Pengawetan rotan dapat dilakukan dengan tiga cara sebagai berikut :

1. Perendaman pada air yang mengalir.

2. Perendaman dalam larutan pengawet / pemutih. 3. Perebusan dalam larutan bahan pengawet.


(49)

23

i) Pengasapan

Pengasapan bertujuan untuk memasukkan asap belerang ke dalam pori – pori rotan untuk membunuh dan membasmi serangan hama dan penyakit bila rotan disimpan dalam gudang terlalu lama, sekaligus untuk meningkatkan warna mutu rotan. Lama pengasapan kurang lebih 12 – 24 jam, tetapi dapat ditambah apabila warna rotan belum cukup putih atau sesuai dengan yang diinginkan. Pengasapan dilakukan dalam kamar khusus.

j) Sortasi Kualitas

Sortasi kualitas bertujuan untuk menentukan kelas dan kualitas rotan sesuai dengan standar yang berlaku atau syarat yang ditentukan menyangkut diameter, warna, cacat, dan lain sebagainya.

Sortasi kualitas dilakukan dalam dua tahap. Pertama, sortasi pada saat penentuan kualitas rotan bulat menjadi rotan bulat W dan S dan rotan bulat yang akan diolah lanjutan. Kedua, sortasi pemindahan kualitas pada saat kegiatan pengolahan lanjutan rotan menjadi barang setengah jadi.

k) Pengikatan, Penimbangan, dan Pembungkusan

Setelah rotan disortir menurut diameter dan tingkat kualitasnya, rotan – rotan tersebut diikat dan ditimbang menjadi beberapa unit berat berdasarkan jenis rotan, kualitas, dan ukurannya masing – masing. Selanjutnya, rotan yang sudah ditimbang dan diikat dibungkus agar tidak terkena kotoran.

2.7. Persediaan

Persediaan adalah sejumlah bahan – bahan, parts yang disediakan dan bahan – bahan dalam proses yang terdapat dalam perusahaan untuk proses produksi, serta barang – barang jadi / produk yang disediakan untuk memenuhi permintaan dari konsumen atau langganan setiap waktu (Assauri, 1980).

Kusuma (1999) mendefinisikan persediaan sebagai barang yang disimpan untuk digunakan atau dijual pada periode mendatang. Persediaan dapat berbentuk bahan baku yang disimpan untuk diproses, komponen yang diproses, barang dalam proses pada proses manufaktur, dan barang jadi yang disimpan untuk


(50)

dijual. Persediaan memegang peran penting agar perusahaan dapat berjalan dengan baik (Kusuma, 1999).

Persediaan menurut Handoko (1984) adalah segala sesuatu atau sumber daya – sumber daya organisasi yang disimpan dalam antisipasinya terhadap pemenuhan permintaan yang meliputi persediaan bahan mentah, barang dalam proses, barang jadi atau produk akhir, barang – barang pembantu atau pelengkap, dan komponen – komponen lain yang menjadi bagian keluaran produk perusahaan.

Manfaat memiliki persediaan bagi perusahaan menurut Sundjaja (2003) adalah :

1. Menghindari kehilangan penjualan. 2. Memperoleh diskon kuantiti. 3. Mengurangi biaya persediaan.

4. Mencapai biaya produksi yang efisien.

Menurut Assauri (1980), alasan diperlukannya persediaan yang diadakan mulai dari bentuk bahan mentah sampai dengan barang jadi, antara lain berguna untuk dapat :

1. Menghilangkan resiko keterlambatan datangnya barang atau bahan-bahan yang dibutuhkan perusahaan.

2. Menghilangkan resiko dari material yang dipesan tidak baik sehingga harus dikembalikan.

3. Untuk menumpuk bahan – bahan yang dihasilkan secara musiman sehingga dapat digunakan bila bahan itu tidak ada dalam pasaran.

4. Mempertahankan stabilitas operasi perusahaan atau menjamin kelancaran arus produksi.

5. Mencapai penggunaan mesin yang optimal.

6. Memberikan pelayanan kepada langganan dengan sebaik – baiknya dimana keinginan langganan pada suatu waktu dapat dipenuhi atau memberikan jaminan tetap tersedianya barang jadi tersebut.

7. Membuat pengadaan atau produksi tidak perlu sesuai dengan penggunaan atau penjualannya.


(51)

25

2.7.1. Jenis – jenis Persediaan

Assauri (1980) membedakan persediaan berdasarkan fungsinya, yang terdiri atas :

1. Batch Stock atau Lot Size Inventor.

Adalah persediaan yang diadakan karena kita membeli atau membuat bahan – bahan / barang – barang dalam jumlah yang lebih besar dari jumlah yang dibutuhkan pada saat itu. Jadi dalam hal ini pembelian atau pembuatan yang dilakukan untuk jumlah besar, sedangkan penggunaan atau pengeluaran dalam jumlah kecil. Terjadinya persediaan karena pengadaan bahan/ barang yang dilakukan lebih banyak dari yang dibutuhkan.

2. Fluctuation Stock.

Adalah persediaan yang diadakan untuk menghadapi fluktuasi permintaan konsumen yang tidak dapat diramalkan. Dalam hal ini perusahaan mengadakan persediaan untuk dapat memenuhi permintaan konsumen, apabila tingkat permintaan menunjukkan keadaan yang tidak beraturan atau tidak tetap dan fluktuasi permintaan tidak dapat diramalkan lebih dahulu. Jadi apabila terdapat fluktuasi permintaan yang sangat besar, maka persediaan ini (fluctuation stock) dibutuhkan sangat besar pula untuk menjaga kemungkinan naik turunnya permintaan tersebut.

3. Anticipation Stock.

Adalah persediaan yang diadakan untuk menghadapi fluktuasi permintaan yang dapat diramalkan, berdasarkan pola musiman yang tedapat dalam satu tahun dan untuk menghadapi penggunaan atau penjualan/ permintaan yang meningkat. Disamping itu anticipation stock dimaksudkan pula untuk menjaga kemungkinan sukarnya diperoleh bahan – bahan sehingga tidak mengganggu jalannya produksi atau menghindari kemacetan produksi.

Handoko (1984) membedakan persediaan menurut jenis dan posisi barang, yaitu :

1. Persediaan Bahan Baku ( Raw Materials Stock)

Yaitu persediaan dari barang – barang berwujud yang digunakan dalam proses produksi, seperti baja, kayu, dan komponen lainnya. Bahan mentah


(52)

dapat diperoleh dari sumber – sumber alam atau dibeli dari para supplier dan atau dibuat sendiri oleh perusahaan untuk digunakan dalam proses produksi selanjutnya.

2. Persediaan Komponen Rakitan (Purchased Parts/ Component Stock)

Yaitu persediaan barang – barang yang terdiri dari komponen – komponen yang diperoleh dari perusahaan lain, dimana secara tidak langsung dapat dirakit menjadi suatu produk. Misalnya pabrik mobil, dimana dalam hal ini bagian – bagian (parts) dari mobil tersebut tidak diprodusir dalam pabrik mobil, tetapi diprodusir oleh pabrik lain, dan kemudian diassembling menjadi barang jadi yakni mobil.

3. Persediaan Bahan Pembantu atau Penolong (Supplies)

Yaitu persediaan barang – barang yang diperlukan dalam proses produksi untuk membantu berhasilnya produksi, tetapi tidak merupakan bagian atau komponen dari barang jadi. Misalnya minyak solar dan minyak pelumas adalah hanya merupakan bahan pembantu.

4. Persediaan Barang Dalam Proses (Work In Process)

Yaitu persediaan barang – barang yang merupakan keluaran dari tiap – tiap bagian dalam proses produksi atau yang telah diolah menjadi suatu bentuk, tetapi masih perlu diproses lebih lanjut menjadi barang jadi.

5. Persediaan Barang Jadi (Finished Goods Stock)

Yaitu persediaan barang – barang yang telah selesai diproses atau diolah dalam pabrik dan siap untuk dijual atau dikirim kepada pelanggan.

2.7.2. Pengendalian Persediaan Bahan Baku

Bahan baku merupakan bahan langsung, yaitu bahan yang membentuk suatu kesatuan yang tidak terpisahkan dari produk jadi. Bahan baku adalah bahan utama atau bahan pokok dan merupakan komponen utama dari suatu produk (Nafarin, 2004).

Assauri (1980) menyatakan bahwa bahan baku merupakan salah satu faktor produksi yang memegang peranan penting. Karena kekurangan bahan baku dapat mengakibatkan terhambatnya proses produksi. Oleh sebab itu salah satu


(53)

27

langkah awal yang harus ditempuh dalam usaha perhitungan biaya, adalah penggunaan bahan baku secara tepat.

Seperti yang dinyatakan oleh Assauri (1980), Nafarin (2004) juga berpendapat bahwa untuk menjaga kelancaran produksi harus dipertimbangkan secara matang mengenai tersedianya bahan baku agar dapat memenuhi keperluan produksi jangka pendek maupun jangka panjang.

Pengendalian persediaan bahan baku dirasakan penting keberadaannya, berdasarkan alasan faktor tidak pasti dan tidak kontinyu. Fungsi utama pengendaliaan persediaan adalah untuk memperlancar proses produksi dan meminimumkan biaya pembelian bahan baku dengan cara menentukan jumlah persediaan yang diperlukan (Roni, 1990 dalam Hatta, 2003).

2.7.3. Biaya – Biaya Persediaan

Biaya – biaya persediaan menurut Handoko (1984) terdiri atas : 1. Biaya Penyimpanan.

Biaya penyimpanan terdiri atas biaya – biaya bervariasi secara langsung dengan kuantitas persediaan.Biaya penyimpanan per periode akan semakin besar apabila kuantitas bahan yang dipesan semakin banyak, atau rata – rata pesediaan semakin tinggi. Biaya - biaya yang termasuk dalam biaya penyimpanan adalah :

1. Biaya fasilitas – fasilitas penyimpanan. 2. Biaya modal.

3. Biaya keusangan.

4. Biaya asuransi persediaan. 5. Biaya pajak persediaan.

6. Biaya pencurian, pengrusakan, atau perampokan. 7. Biaya penanganan persediaan

8. Dan sebagainya. 2. Biaya pemesanan

Biaya pemesanan merupakan biaya yang harus ditanggung perusahaan setiap kali suatu bahan dipesan. Biaya – biaya pemesanan meliputi :

1. Pemrosesan pesanan dan biaya ekspedisi. 2. Upah.


(54)

3. Biaya telephone.

4. Pengeluaran surat menyurat.

5. Biaya pengepakan dan penimbangan. 6. Biaya pemeriksaan. Penerimaan. 7. Biaya pengiriman ke gudang. 8. Biaya hutang lancar.

9. Dan sebagainya. 3. Biaya Penyiapan.

Biaya penyiapan adalah biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan untuk memproduksi sendiri komponen tertentu bila bahan – bahan tidak dibeli. Biaya – biaya ini terdiri dari :

1. Biaya mesin – mesin manganggur. 2. Biaya persiapan tenaga kerja langsung. 3. Biaya scheduling.

4. Biaya ekspedisi. 5. Dan sebagainya.

4. Biaya Kehabisan atau Kekurangan bahan.

Biaya kehabisan bahan merupakan biaya yang timbul bilamana persediaan tidak mencukupi adanya permintaan bahan. Biaya ini adalah biaya yang paling sulit diperkirakan. Biaya – biaya yang temasuk biaya kekurangan bahan adalah :

1. Kehilangan penjualan. 2. Kehilangan langganan. 3. Biaya pemesanan khusus. 4. Biaya ekspedisi.

5. Selisih harga

6. Terganggunya operasi.

7. Tambahan pengeluaran kegiatan manajerial 8. Dan sebagainya.


(1)

Lampiran 11 Perhitungan Komponen Biaya Pemesanan dan biaya Penyimpanan

Rotan pada PT Mutiara Habemindo Rotan

Biaya Pemesanan

No Jenis Biaya Rp

1. Biaya Telepon 10.000

2. Biaya Administrasi :

a. Faktur/nota/bon/ memo 5.000

b. Alat tulis kantor 10.000

c. Kertas berkop 5.000

d. Tinta printer 30.000

e. Buku besar 10.000

3. Biaya Sourcing 50.000

4. Biaya Pengangkutan 50.000

Total 170.000

Biaya Penyimpanan

Jenis Bahan

Baku

Harga (Rp/ Kg)

(1)

Tingkat Penyusutan Bahan

Baku Tahunan (%)

(2)

Biaya Pemeliharaan

Tahunan (%)

(3)

Total Biaya Simpan (Rp/Kg/Thn)

(4) = 1 x (2+3)

Core (11 mm)

9.625 2.213,75

Batang Poles (26 – 28

mm)

7.300 1.679

Fitrit (3 mm)

13.950 3.208,5

Tohiti Poles (18 - 20 mm)

6.100

18 % 5 %

1.403


(2)

104

Lampiran 12 Banyak Pemesanan, Pembelian, dan Persediaan Bahan Baku

PT Mutiara Habemindo Rotan, Tahun 2006

Core 11 mm

Bulan Frekuensi Pemesanan (Kali) Pembelian (Kg) Persediaan awal (Kg) Pemakaian (Kg) Persediaan akhir (Kg) Persediaan Rata – rata (Kg)

Januari 0 0 0 0 0 0

Februari 0 0 0 0 0 0

Maret 0 0 0 0 0 0

April 5 1972 0 1799 173 86.5

Mei 11 4918 173 3731 1360 766.5

Juni 2 1273 1360 1193 1440 1400

Juli 0 0 1440 0 1440 1440

Agustus 5 2263 1440 2142 1561 1500.5

September 0 0 1561 107 1454 1507.5

Oktober 4 1785 1454 0 3239 2346.5

November 1 903 3239 2066 2076 2657.5

Desember 0 0 2076 127 1949 2012.5

TOTAL 28 13114 12743 11165 14692 13717.5

Batang Poles (26 – 28 mm)

Bulan Frekuensi Pemesanan (Kali) Pembelian (Kg) Persediaan awal (Kg) Pemakaian (Kg) Persediaan akhir (Kg) Persediaan Rata – rata

(Kg)

Januari 7 4030 8817 3983 8864 8840.5

Februari 12 7655 8864 1701 14818 11841

Maret 7 3488 14818 2398 15908 15363

April 12 13331 15908 10836 18403 17155.5

Mei 39 33237.22 18403 22355 29285.22 23844.11

Juni 6 4395 29285 4276 29404 29344.5

Juli 14 15073 20404 2883 32594 26499

Agustus 22 17921 32594 12619 37896 35245

September 5 1397 37896 1590 37703 37799.5

Oktober 8 8162 37703 397 45468 41585.5

November 11 5327 45468 12866 37929 41698.5

Desember 19 13192.01 37929 8900 42221.01 40075.005


(3)

Fitrit (3mm)

Bulan Frekuensi Pemesanan (Kali) Pembelian (Kg) Persediaan awal (Kg) Pemakaian (Kg) Persediaan akhir (Kg) Persediaan Rata – rata (Kg)

Januari 10 8118 18516 13160 13474 15995

Februari 8 10582 13474 4590 19466 16470

Maret 4 7768 19466 7252 19982 19724

April 7 13891 19982 6149 27724 23853

Mei 7 20299 27724 8706 39317 33520.5

Juni 5 10660 39317 6643 43334 41325.5

Juli 5 9924 43334 5090 48168 45751

Agustus 3 11200 48168 6878 52490 50329

September 4 5037 52490 2699 54828 53659

Oktober 1 699 54828 2413 53114 53971

November 3 15000 53114 9681 58433 55773.5

Desember 5 13983 58433 15231 57185 57809

TOTAL 62 127161 448846 88492 487515 468180.5

Tohiti Poles (18 – 20 mm)

Bulan Frekuensi Pemesanan (Kali) Pembelian (Kg) Persediaan awal (Kg) Pemakaian (Kg) Persediaan akhir (Kg) Persediaan Rata – rata

(Kg)

Januari 1 1152 980 0 2132 1556

Februari 1 879 2132 0 3011 2571.5

Maret 3 1809 3011 320 4500 3755.5 April 2 4230 4500 362 8368 6434

Mei 0 0 8368 0 8368 8368

Juni 1 1714 8368 400 9682 9025

Juli 3 4348 9682 1226 12804 11243

Agustus 1 776 12804 1092 12488 12646

September 0 0 12488 0 12488 12488

Oktober 0 0 12488 0 12488 12488

November 0 0 12488 515 11973 12230.5

Desember 1 71 11973 872 11172 11572.5


(4)

109

Lampiran 16 Perhitungan Titik Pemesanan Kembali PT HBM

Core (11 mm)

Permintaan per hari (d) = D / Jumlah hari kerja

= 13114 Kg / 269 hari

= 48,75 Kg/ hari

R ( Reorder point) = d L

= 48,75 Kg/hari x 6 hari

= 292,5 Kg

Batang Poles (26 – 28 mm)

Permintaan per hari (d) = D / Jumlah hari kerja

= 127208,23 Kg / 269 hari

= 472,89 Kg/ hari

R ( Reorder point) = d L

= 472,89 Kg/hari x 6 hari

= 2837,34 Kg

Fitrit (3 mm)

Permintaan per hari (d) = D / Jumlah hari kerja

= 127161 Kg / 269 hari

= 472,72 Kg/ hari

R ( Reorder point) = d L

= 472,72 Kg/hari x 6 hari

= 2836,32 Kg

Tohiti Poles (28 – 30 mm)

Permintaan per hari (d) = D / Jumlah hari kerja

= 14979 Kg / 269 hari

= 55,68 Kg/ hari

R ( Reorder point) = d L

= 55,68 Kg/hari x 6 hari

= 334,08 Kg


(5)

Lampiran 17 Contoh Kegiatan Proses Produksi Industri Rotan

       

 

       

 

       

 

Pembuatan Rangka

Proses Penganyaman

Proses Pengecatan


(6)

111   

Lampiran 17 (Lanjutan)

   

   

 

Quality Control

Proses Penjemuran