Pelaksanaan Pembayaran Jasa Lingkungan Kawasan Sumber Mata Air Paniis
Kuningan dengan Kota Cirebon yang terjadi pada pertengahan sampai akhir tahun 2004. Berdasarkan data perhitungan alat pengukuran debit air, PDAM Kota
Cirebon telah mengambil air dari kawasan Mata Air Paniis melebihi ijin pengambilan air rata-rata lebih sebesar 155 literdetik Sumarman 2006.
Peningkatan konsumsi air minum masyarakat di Kota Cirebon yang terus meningkat menjadi alasan bagi PDAM Kota Cirebon untuk mengambil air di atas
yang diijinkan. Hasil perhitungan kebutuhan air minum selama 30 tahun menunjukkan bahwa jumlah pasokan air dari kawasan tersebut sebesar 860
literdtk atau 74,304 juta literhari, sedangkan kebutuhan air bersih di Kota Cirebon hingga tahun 2015 mencapai 1.382 ldtk atau 43,58 juta m
3
per tahun. Adanya kelebihan debit air terukur ini memicu adanya konflik lebih lanjut
diantara kedua daerah tersebut, Kabupaten Kuningan bahkan mengancam untuk mengurangi pasokan air ke Kota Cirebon melalui pemasangan gate valve.
Pengurangan pasokan ini menyebabkan tidak mengalirnya air di beberapa wilayah di Kota Cirebon dan menyebabkan kerugian PDAM Kota Cirebon, sehingga
menimbulkan krisis air bersih di Kota Cirebon. Atas dasar konflik tersebut, Kota Cirebon dan Kabupaten Kuningan
membuat perjanjian kerja sama No. 44 tahun 2004 dan Nomor 690Perj.35- ekon2004 tanggal 17 Desember 2004 tentang Pemanfaatan air dari sumber mata
air Paniis Kecamatan Pasawahan Kabupaten Kuningan berdasarkan Keputusan Bersama Bupati kuningan dan Walikota Cirebon Nomor 616Kep.59-Huk2004
Tahun 2004 dan Nomor 32 Tahun 2004 tanggal 16 Desember 2004 tentang Pemanfaatan Sumber Air dari Mata Air Kabupaten Kuningan, diatur bahwa
Bupati Kuningan dan Walikota Cirebon sepakat melaksanakan konservasi melalui pelestarian lingkungan Sumber Daya Air dengan ketentuan Walikota Cirebon
akan melakukan pembayaran dana kompensasi untuk pelaksanaan konservasi dengan nilai yang ditentukan berdasarkan kesepakatan, yaitu sebesar
Rp1.750.000.000 per tahun dan perjanjian pemasangan water meter untuk mengetahui jumlah debit air yang mengalir ke Kota Cirebon
Pembagian besaran prosentasi dikaitkan dengan besaran realisasi yang diterima Pemerintah Daerah Kabupaten Kuningan pada tahun 2005 sebesar
Rp1.750.000.000 dapat dilihat pada tabel berikut ini :
Tabel 8. Pembagian Dana Pembayaran Jasa Lingkungan
No Lembaga, Dinas dan Desa
Porsi Dana yang disalurkan Rp
1 Pemerintah Daerah
62.5 1.093.750.000
2 Dana Konservasi Hutan Gunung
Ciremai yang dikelola oleh Dinas Hutbun dan Dinas
Kebersihan dan Pertamanan Subdin Lingkungan Hidup
30 525.000.000
3 Desa-desa yang terkait dengan
catchment area dan pemanfaat
mata air Paniis 7.5
131.250.000
JUMLAH 100
1.750.000.000 Sumber : Sumarman 2006
Porsi Pemerintah daerah dipergunakan untuk kebutuhan pembangunan pemerintah daerah, yang didalamnya sudah termasuk upah pungut dana
kompensasi yang dikelola oleh Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Kuningan, biaya pemeliharaan water meter dan bangunannya di lokasi mata air Cipaniis dan
upah biaya pembacaan water meter oleh petugas dari Sumber Daya Air dan Pertambangan Kabupaten Kuningan. Porsi dinas pengelola dana konservasi hutan
Gunung Ciremai dikelola untuk Dinas Kehutanan dan Perkebunan Hutbun dan Dinas Kebersihan dan Pertamanan Subdin Lingkungan Hidup dibawah kendali
Pemerintah Daerah Kabupaten Kuningan, untuk pembagian berapa besaran masing-masing dinas tergantung kebutuhan dan diatur oleh lembaga yang terkait.
Setelah penandatanganan kerjasama, pembayaran jasa lingkungan dilakukan oleh Pemerintah Kota Cirebon sebanyak dua kali yaitu tahun 2005 dan 2008,
sedangkan pada 2006 dan 2007 pembayaran jasa lingkungan dibayar oleh Pemerintah Propinsi Jawa Barat. Pada tahun 2008, Pemerintah Kota Cirebon
mulai mempertanyakan dasar hukum perjanjian kerjasama tahun 2004 tentang pembayaran jasa lingkungan hal ini dikarenakan perwakilan BPK Badan
Pengawas Keuangan Jawa Barat mengeluarkan surat bahwa pembayaran kompensasi air yang hanya berdasar pada nota kesepakatan tidak mempunyai
dasar hukum yang kuat. Munculnya serangkaian konflik antara Kabupaten Kuningan dan Kota
Cirebon kemudian diselesaikan dengan bantuan Pemerintah Propinsi Jawa Barat dengan memfasilitasi pertemuan antara kedua pihak tersebut dan dibuatlah
Perjanjian Kerjasama No. 10 Tahun 2009690Perj. I- Adm Perek2009 tentang Kerjasama Pengelolaan Sumber Mata Air Desa Paniis Kecamatan Pasawahan
Kabupaten Kuningan. Dalam perjanjian ini Kota Cirebon dalam hal ini PDAM Kota Cirebon bersedia memberi dana kompensasi untuk pemeliharaan dan
pelestarian sumber mata air Desa Paniis Kecamatan Pasawahan Kabupaten Kuningan kepada Kabupaten Kuningan sebesar Rp. 80,00 m
3
setelah dikurangi toleransi kebocoran 20 dan pemberian dana kompensasi dilaksanakan setiap
tanggal 15 pada bulan pertama setiap triwulannya. Kemudian Kabupaten Kuningan berkewajiban menyediakan pasokan air yang dibutuhkan bagi
keperluan pemenuhan kebutuhan air Kota Cirebon dan berkewajiban memelihara sumber daya air dan melestarikan lingkungan termasuk pemberdayaan masyarakat
sekitar sumber air dan kewajiban Kota Cirebon adalah menggunakan dan mengambil air sesuai dengan ijin yang diberikan oleh Kabupaten Kuningan,
memberikan dana kompensasi, turut serta membantu memelihara dan melestarikan lingkungan sekitar lokasi pengambilan air serta menjaga dan
memelihara hubungan yang harmonis dengan masyarakat sekitar sumber mata air. Pembayaran Jasa Lingkungan yang dikembangkan oleh Kabupaten
Kuningan dan Kota Cirebon adalah PES-like karena dalam pelaksanaannya dana konservasi di Kabupaten Kuningan masuk dalam Pendapatan Asli Daerah PAD
dan didasarkan pada produk product-based PES yang lebih mengkhususkan pada jenis tertentu yaitu mata air Paniis. Dana Konservasi yang masuk dalam
PAD seharusnya dialokasikan secara langsung untuk upaya konservasi kawasan sumber mata air Paniis, alokasi dana pembayaran jasa lingkungan yang tidak tepat
sasaran ini menyebabkan program pembayaran jasa lingkungan antara Kabupaten Kuningan dan Kota Cirebon menjadi tidak efektif dalam upaya peningkatan
kualitas kawasan sumber mata air Paniis. Program pembayaran jasa lingkungan yang dilakukan oleh Kota Cirebon
seharusnya dilakukan langsung misalnya dalam bentuk program ke kawasan. Namun, hal tersebut belum dilaksanakan karena TNGC belum mendapatkan Surat
Edaran SE sehingga dana konservasi masih dalam bentuk uang tunai. SE
tersebut merupakan landasan awal pemanfaatan jasa lingkungan air dan wisata alam yang dikeluarkan olrh Dirjen Pengelolaan Hutan dan Konservasi Alam
PHKA. SE Dirjen PHKA tersebut berlaku secara nasional karena belum ada peraturan dari Menteri Kehutanan yang mengatur pemanfaat air.
6.1.1 Perubahan Status Kawasan Mata Air Paniis Masuk dalam Kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai TNGC
Sebelum menjadi kawasan taman nasional saat zaman pemerintahan kolonial Belanda, kawasan hutan Gunung Ciremai sudah ditetapkan sebagai
kawasan hutan tutupan atau hutan lindung. Saat pemerintahan Indonesia tepatnya pada tahun 1978, hutan Gunung Ciremai ditetapkan sebagai hutan produksi yang
pengelolaannya diserahkan kepada Perum Perhutani. Perubahan fungsi kawasan dari hutan lindung menjadi hutan produksi membawa dampak yang nyata
terhadap perubahan ekologi kawasan Gunung Ciremai dimana sebagian besar vegetasi hutan alam diganti menjadi vegetasi dengan tujuan produksi yang
mayoritas ditanami pohon pinus. Intensifnya kegiatan ekonomi oleh masyarakat menyebabkan turunnya
kualitas lingkungan hutan. Untuk mengembalikan fungsi ekologis Gunung Ciremai akibat kegiatan produksi yang dikelola oleh Perum Perhutani, maka
kawasan hutan Gunung Ciremai dialih fungsikan sebagai kawasan hutan lindung melalui SK. Menteri Kehutanan Nomor : 195Kpts-II2003 tanggal 4 Juli 2003
tentang penunjukan sebagian kelompok hutan produksi Gunung Ciremai Kabupaten Kuningan dan Kabupaten Majalengka menjadi hutan lindung yang
dapat memberikan manfaat jasa lingkungan dan keanekaragaman hayati. Walaupun telah terjadi pengalihan fungsi, kawasan tersebut belum dikelola
menjadi kawasan lindung yang baik Renstra Balai TNGC 2010-2014, 2012. Masyarakat penggarap masih melakukan kegiatan tumpang sari dan penggarapan
di kawasan hutan lindung. Oleh karena tidak efektifnya pengelolaan kawasan hutan Gunung Ciremai sebagai hutan lindung, maka status kawasan ini
ditingkatkan menjadi kawasan taman nasional. Sebelum menjadi Taman Nasional Gunung Ciremai, status Gunung
Ciremai sebagai kawasan resapan air yang memasok air minum bagi wilayah-
wilayah di sekitarnya juga tercantum dalam Peraturan Daerah Kabupaten Kuningan Nomor 32 Tahun 2002 tentang Rencana Umum Tata Ruang RUTR
Gunung Ciremai. Dalam RUTR tercantum bahwa Gunung Ciremai selain berfungsi untuk mengalokasikan ruang dalam kawasan tersebut, juga bernilai
ekonomi karena berkaitan dengan jaminan komitmen Kabupaten Kuningan untuk memasok air dalam jumlah dan kualitas yang stabil sepanjang tahun.
Pelaksanaan RUTR sebagai sebuah sertifikat komitmen dari daerah hulu untuk hilirnya tersebut merupakan terobosan kebijakan dalam kerjasama antar
daerah. Bagi bidang perencanaan wilayah, proses pembuatan perda ini menjadi bukti bahwa dokumen RUTR tidak hanya bermanfaat dalam mengalokasikan
ruang saja, namun berdampak ekonomi dalam meningkatkan pendapatan daerah hulu. Wilayah pengguna air di bagian hilir cenderung lebih merasa aman apabila
wilayah hulu sebagai pemasok air mampu menunjukkan komitmen dalam menjaga kawasan resapan airnya, sehingga kesediaan wilayah hilir untuk
membayar atas air yang digunakannya diperkirakan akan meningkat. Peningkatan apresiasi nilai ini dari wilayah hilir ini berkaitan dengan adanya komitmen yang
jelas dari wilayah hulu sebagai pemasok air untuk melindungi wilayahnya sebagai resapan air
Upaya-upaya penyelesaian konflik sumber air minum lintas di wilayah Gunung Ciremai tersebut didorong oleh suatu kemitraan yang luas antara
pemerintah, lembaga legislatif, perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, dan kelompok masyarakat lainnya. Kesepahaman untuk memberikan kontribusi
dari hilir ke hulu diharapkan akan meningkatkan upaya kelestarian lingkungan sumber mata air, sehingga distribusi manfaat air diantara pihak-pihak yang
berkepentingan dapat berjalan lebih adil. Dalam pelaksanaannya keberadaan RUTR Gunung Ciremai masih
menghadapi sejumlah permasalahan yang mengganggu perlindungan fungsi sumber daya alam yang ada, misalnya perambahan lahan kawasan hutan cukup
tinggi akibat keterbatasan lahan milik masyarakat. Komoditas yang diusahakan petani di kawasan Gunung Ciremai umumnya adalah sayuran dan palawija yang
pengolahannya sangat intensif sehingga mempercepat degradasi tanah. Kegiatan penambangan pasir di kawasan Gunung Ciremai juga menimbulkan degradasi
tanah yang sangat serius dan mengancam fungsi kawasan tersebut sebagai wilayah resapan air. Adanya permasalahan-permasalahan tersebut menunjukkan bahwa
Perda RUTR Gunung Ciremai masih memerlukan upaya penegakan yang serius. Atas dasar tersebut kemudian dikeluarkanlah Surat Keputusan Menteri
Kehutanan Nomor : SK.424Menhut-II2004 tanggal 19 Oktober 2004, bahwa sebagian kelompok hutan Gunung Ciremai seluas 15.500 ha diubah statusnya
menjadi Taman Nasional Gunung Ciremai TNGC. Sejak keluarnya keputusan tentang TNGC tersebut, maka kawasan hutan di kelompok hutan Gunung Ciremai
yang umumnya merupakan hutan lindung dan berdasarkan RUTR Ciremai merupakan zona inti beralih fungsi menjadi taman nasional yang dikategorikan
sebagai kawasan hutan konservasi. Adanya perubahan status kawasan hutan dari hutan lindung menjadi taman
nasional di sebagian kelompok hutan Gunung Ciremai memerlukan upaya penataan kembali terhadap isi dari RUTR di lapangan, atau sebaliknya dalam
menyusun Rencana Pengelolaan Taman Nasional Gunung Ciremai TNGC maka isi dari RUTR Gunung Ciremai yang telah di-perda-kan dapat diadopsi dalam
rencana tersebut, sehingga antara kepentingan konservasi dalam TNGC bisa sinergis dengan RUTR Ciremai yang telah ada. Oleh karena itu konsultasi publik
yang lebih luas dalam menyusun Rencana Pengelolaan TNGC perlu melibatkan semua pihak yang berkepentingan dengan kawasan Gunung Ciremai.
Penunjukan kawasan hutan Gunung Ciremai menjadi taman nasional merupakan
usulan Pemerintah
Kabupaten Kuningan
melalui surat
Nomor.5221480Dishutbun tanggal 26 Juli 2004 perihal “Proposal Kawasan Hutan Gunung Ciremai sebagai Kawasan Pelestarian A
lam” dan Pemerintah Kabupaten Majalengka melalui surat Nomor. 5222394Hutbun tanggal 13
Agustus 2004 perihal “Usulan Gunung Ciremai sebagai kawasan Pelestarian Alam”. Proposal usulan Bupati Kuningan ditindak lanjuti dengan Surat Bupati
Kuningan kepada Ketua Dewan Perwakilan Rayat Daerah Kabupaten Kuningan melalui suratnya No. 522.61653Dishutbun tanggal 13 Agustus 2004 perihal
“Pengelolaan Kawasan Hutan Gunung Ciremai sebagai Kawasan Pelestarian Alam”. Hal tersebut langsung mendapat respon dari DPRD Kabupaten Kuningan
dengan mengirimkan surat kepada Menteri Kehutanan melalui surat pimpinan
DPRD Kabupaten Kuningan Nomor. 661266DPRD perihal dukungan atas usulan pengelolaan kawasan hutan Gunung Ciremai menjadi kawasan taman
nasional. Pengusulan tersebut dilatar belakangi oleh fungsi ekologi Gunung Ciremai yang sangat besar khususnya sebagai daerah catchment area daerah
tangkapan air yang sangat berperan penting sebagai penyedia air baik sebagai bahan baku air minum maupun air irigasi pertanian bagi tiga kabupaten di
sekitarnya yaitu Kuningan, Majalengka dan Cirebon. Adanya perubahan status hutan Gunung Ciremai menjadi Taman Nasional
Gunung Ciremai menyebabkan perubahan status kawasan hutan sekitar Mata air Paniis menjadi bagian dari Taman Nasional Gunung Ciremai. Salah satu
permasalahan yang dihadapi oleh TNGC adalah belum optimalnya kerjasama dan koordinasi dengan pihak lain sehingga belum ditemukan visi bersama sebagai
arah pengelolaan multipihak TNGC dan masih kurang adanya sinergitas langkah, pemahaman dan sinkronisasi program oleh seluruh stakeholder Renstra Balai
TNGC 2010-2014, 2012. Permasalahan tersebut harus di selesaikan melalui adanya kerjasama dengan berbagai pihak terutama dengan pengguna manfaat
kawasan TNGC, misalnya Kota Cirebon sebagai pengguna manfaat kawasan mata air Paniis.
Pengelolaan hutan kawasan mata air paniis yang telah berpindah ke TNGC harus didukung oleh daerah pengguna manfaat kawasan tersebut misalnya oleh
Kota Cirebon sebagai pengguna utama mata air Paniis. Hal ini juga telah dilaksanakan oleh Kabupaten Cirebon sebagai pengguna manfaat air dari Gunung
Ciremai yaitu Blok Cipujangga yang melakukan upaya partisipatif bekerjasama langsung dengan TNGC dalam konservasi wilayah sekitar mata air. Sejak tahun
2011, TNGC bekerjasama dengan Perusahaan Daerah Air Minum Tirta Jati Kabupaten Cirebon dalam pemanfaatan jasa lingkungan air di kawasan TNGC
dimana telah disepakati oleh kedua pihak untuk : 1. Pemanfaatan Jasa Lingkungan air yang besarannya sesuai dengan yang
diijinkan dari pejabat yang berwenang atau maksimal 20 dari debit air yang berasal dari sumber mata air Blok Cipujangga Resort Pasawahan,
Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah I Balai TNGC.
2. Pembangunan sarana penunjang berupa Bron Captering, Bak Penampung Air Bersih dan Jaringan Pipa Transmisi.
3. Program konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. 4. Monitoring dan Evaluasi.
Adanya kerjasama langsung antara TNGC dan Kabupaten Cirebon dalam pengelolaan daerah kawasan sumber mata air Cipujangga menimbulkan
pemikiran bahwa Kota Cirebon sebagai pengguna manfaat air dari kawasan Gunung Ciremai juga dapat langsung bekerjasama dengan TNGC sebagai
pemegang wilayah kawasan catchment area mata air Paniis, sehingga dapat secara aktif bekerjasama untuk melakukan upaya perlindungan wilayah mata air
Paniis untuk tujuan mengoptimalkan pemanfaatan secara lestari potensi sumber air Paniis.
6.2 Kondisi Sebelum dan Sesudah Program Pembayaran Jasa Lingkungan PJL berdasarkan Analisis Manfaat-Biaya PDAM Kota Cirebon
Analisis Manfaat-Biaya adalah bentuk dari analisis ekonomi yang membandingkan manfaat dan biaya pengeluaran yang dihasilkan dari dua
kegiatan atau lebih. Perhitungan biaya ditinjau dari sisi pengguna jasa lingkungan terhadap biaya langsung direct cost yang dikeluarkan dalam perolehan air
selama adanya program pembayaran jasa lingkungan, sedangkan perhitungan manfaat dilihat dari pendapatan yang dihasilkan oleh PDAM Kota Cirebon.
Berdasarkan nilai biaya yang dikeluarkan oleh PDAM Kota Cirebon pada periode pelaksanaan program pembayaran jasa lingkungan dan pada periode sebelum
pelaksanaan program pembayaran jasa lingkungan, dapat dilihat bahwa nilai perbandingan pendapatan dan biaya pada tahun 2004 bernilai 1,12 kemudian pada
tahun 2005 perbandingan nilai pendapatan dan biaya sebesar 1,13 hal ini menunjukkan bahwa pada saat sebelum pelaksanaan pembayaran jasa lingkungan
nilai biaya yang dikeluarkan dan manfaat yang diterima oleh PDAM Kota Cirebon lebih rendah dibandingkan saat pelaksanaan pembayaran jasa lingkungan
dengan nilai BCR lebih tinggi. Setelah berjalannya program pembayaran jasa lingkungan di tahun 2005,
nilai prosentase BCR semakin meningkat. Adanya peningkatan biaya karena dimasukkannya nilai pembayaran jasa lingkungan, diikuti dengan adanya
peningkatan nilai pendapatan yang mengindikasikan adanya peningkatan volume penjualan Tabel 9 yang dilakukan oleh PDAM Kota Cirebon dengan adanya
program pembayaran jasa lingkungan. Pada tahun 2008 nilai BCR mengalami penurunan, hal ini diperkirakan disebabkan oleh adanya konflik antara Kota
Cirebon dengan Kabupaten Kuningan disebabkan perbedaan pencatatan debit air, sehingga Kabupaten Kuningan melakukan pengurangan debit air sehingga
mengganggu pasokan air ke daerah Kota Cirebon bagian Utara. Adanya gangguan ini menyebabkan PDAM Kota Cirebon mengalami kerugian karena pasokan air
menjadi terhenti.
Tabel 9. Perbandingan nilai BCR PDAM Kota Cirebon Sebelum Pembayaran Jasa Lingkungan dan Setelah Pembayaran Jasa Lingkungan
Tahun Manfaat
Biaya BCR
2003 21.688.290.000
19.415.250.000 1.12
2004 22.656.287.207
20.075.863.058 1.13
2005 32.544.329.903
27.656.704.106 1.18
2006 31.863.298.250
27.751.483.561 1.15
2007 33.484.090.649
29.433.322.162 1.14
2008 35.042.548.460
32.327.111.951 1.08
2009 37.892.998.671
35.414.603.922 1.07
2010 36.271.692.577
32.994.340.803 1.10
2011 37.615.270.195
36.820.712.627 1.02
Sumber: Laporan Akhir Corporate Plan PDAM Kota Cirebon 2011
Tabel 10.Kapasitas Produksi PDAM Kota Cirebon 2003-2011
Tahun Volume m3thn
Debit literdetik 2003
24305791 772
2004 26659018
843 2005
27247022 864
2006 26262302
833 2007
26621154 844
2008 25432691
798 2009
25769459 818
2010 25439273
807 2011
25800000 818
Sumber: Laporan Akhir Corporate Plan PDAM Kota Cirebon 2011
Gambar 6. Grafik Nilai BCR dan selama Periode Sebelum Pembayaran Jasa Lingkungan dan Setelah Periode Pembayaran Jasa Lingkungan
Gambar 7. Grafik Kapasitas Produksi PDAM Kota Cirebon 2003-2011
Kemudian pada tahun 2010, produksi PDAM Kota Cirebon meningkat diikuti oleh adanya peningkatan BCR, tetapi kemudian tahun 2011 nilai produksi
PDAM menurun kembali walaupun realisasinya belum bisa diketahui karena masih dalam tahun berjalan. Pembayaran jasa lingkungan yang dilaksanakan oleh
PDAM Kota Cirebon tidak meningkatkan BCR PDAM secara signifikan, hal ini diperkirakan karena tidak ada peningkatan harga air dalam rangka PJL, serta
adanya pertambahan jumlah pelanggan PDAM yang tidak diikuti dengan peningkatan kapasitas produksi air yang berasal dari Mata Air Paniis.
Berdasarkan analisis tersebut dapat dilihat bahwa adanya program pembayaran jasa lingkungan sejak tahun 2004 oleh Kota Cirebon belum
meningkatkan kapasitas produksi dari PDAM. Apabila pembayaran jasa lingkungan terus dilakukan dimasa yang akan datang diperkirakan produksi air
dari mata air Paniis akan terus meningkat dan akan mengakibatkan peningkatan nilai BCR PDAM Kota Cirebon. Hal ini sesuai dengan Istiqomah 2012, bahwa
benefit akan semakin meningkat dengan bertambahnya produksi dan biaya transaksi akan semakin menurun dengan semakin tingginya produksi. Kemudian
hal ini dapat mengindikasikan bahwa sistem kerja sama dari PDAM Kota Cirebon dalam rangka pengelolaan kawasan catchment area Mata air Paniis harus tetap
dilaksanakan tetapi dalam suatu sistem kerjasama yang berbeda, terutama karena saat ini Mata Air Paniis tidak berada dalam wilayah kelola Kabupaten Kuningan
tetapi masuk ke dalam wilayah Taman Nasional Gunung Ciremai, sehingga kerjasama dapat dilakukan langsung dengan TNGC. Kerjasama ini juga dilakukan
oleh Kabupaten Cirebon yang mendapatkan air minum dari wilayah Cipujangga yang masuk ke dalam wilayah TNGC. Kerjasama Kabupaten Cirebon dengan
TNGC ini berupa sharing program pengelolaan kawasan sekitar mata air Cipujangga dimana Kabupaten Cirebon berpartisipasi aktif dalam melakukan
konservasi.