Pelaksanaan Pembayaran Jasa Lingkungan Kawasan Sumber Mata Air Paniis

Kuningan dengan Kota Cirebon yang terjadi pada pertengahan sampai akhir tahun 2004. Berdasarkan data perhitungan alat pengukuran debit air, PDAM Kota Cirebon telah mengambil air dari kawasan Mata Air Paniis melebihi ijin pengambilan air rata-rata lebih sebesar 155 literdetik Sumarman 2006. Peningkatan konsumsi air minum masyarakat di Kota Cirebon yang terus meningkat menjadi alasan bagi PDAM Kota Cirebon untuk mengambil air di atas yang diijinkan. Hasil perhitungan kebutuhan air minum selama 30 tahun menunjukkan bahwa jumlah pasokan air dari kawasan tersebut sebesar 860 literdtk atau 74,304 juta literhari, sedangkan kebutuhan air bersih di Kota Cirebon hingga tahun 2015 mencapai 1.382 ldtk atau 43,58 juta m 3 per tahun. Adanya kelebihan debit air terukur ini memicu adanya konflik lebih lanjut diantara kedua daerah tersebut, Kabupaten Kuningan bahkan mengancam untuk mengurangi pasokan air ke Kota Cirebon melalui pemasangan gate valve. Pengurangan pasokan ini menyebabkan tidak mengalirnya air di beberapa wilayah di Kota Cirebon dan menyebabkan kerugian PDAM Kota Cirebon, sehingga menimbulkan krisis air bersih di Kota Cirebon. Atas dasar konflik tersebut, Kota Cirebon dan Kabupaten Kuningan membuat perjanjian kerja sama No. 44 tahun 2004 dan Nomor 690Perj.35- ekon2004 tanggal 17 Desember 2004 tentang Pemanfaatan air dari sumber mata air Paniis Kecamatan Pasawahan Kabupaten Kuningan berdasarkan Keputusan Bersama Bupati kuningan dan Walikota Cirebon Nomor 616Kep.59-Huk2004 Tahun 2004 dan Nomor 32 Tahun 2004 tanggal 16 Desember 2004 tentang Pemanfaatan Sumber Air dari Mata Air Kabupaten Kuningan, diatur bahwa Bupati Kuningan dan Walikota Cirebon sepakat melaksanakan konservasi melalui pelestarian lingkungan Sumber Daya Air dengan ketentuan Walikota Cirebon akan melakukan pembayaran dana kompensasi untuk pelaksanaan konservasi dengan nilai yang ditentukan berdasarkan kesepakatan, yaitu sebesar Rp1.750.000.000 per tahun dan perjanjian pemasangan water meter untuk mengetahui jumlah debit air yang mengalir ke Kota Cirebon Pembagian besaran prosentasi dikaitkan dengan besaran realisasi yang diterima Pemerintah Daerah Kabupaten Kuningan pada tahun 2005 sebesar Rp1.750.000.000 dapat dilihat pada tabel berikut ini : Tabel 8. Pembagian Dana Pembayaran Jasa Lingkungan No Lembaga, Dinas dan Desa Porsi Dana yang disalurkan Rp 1 Pemerintah Daerah 62.5 1.093.750.000 2 Dana Konservasi Hutan Gunung Ciremai yang dikelola oleh Dinas Hutbun dan Dinas Kebersihan dan Pertamanan Subdin Lingkungan Hidup 30 525.000.000 3 Desa-desa yang terkait dengan catchment area dan pemanfaat mata air Paniis 7.5 131.250.000 JUMLAH 100 1.750.000.000 Sumber : Sumarman 2006 Porsi Pemerintah daerah dipergunakan untuk kebutuhan pembangunan pemerintah daerah, yang didalamnya sudah termasuk upah pungut dana kompensasi yang dikelola oleh Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Kuningan, biaya pemeliharaan water meter dan bangunannya di lokasi mata air Cipaniis dan upah biaya pembacaan water meter oleh petugas dari Sumber Daya Air dan Pertambangan Kabupaten Kuningan. Porsi dinas pengelola dana konservasi hutan Gunung Ciremai dikelola untuk Dinas Kehutanan dan Perkebunan Hutbun dan Dinas Kebersihan dan Pertamanan Subdin Lingkungan Hidup dibawah kendali Pemerintah Daerah Kabupaten Kuningan, untuk pembagian berapa besaran masing-masing dinas tergantung kebutuhan dan diatur oleh lembaga yang terkait. Setelah penandatanganan kerjasama, pembayaran jasa lingkungan dilakukan oleh Pemerintah Kota Cirebon sebanyak dua kali yaitu tahun 2005 dan 2008, sedangkan pada 2006 dan 2007 pembayaran jasa lingkungan dibayar oleh Pemerintah Propinsi Jawa Barat. Pada tahun 2008, Pemerintah Kota Cirebon mulai mempertanyakan dasar hukum perjanjian kerjasama tahun 2004 tentang pembayaran jasa lingkungan hal ini dikarenakan perwakilan BPK Badan Pengawas Keuangan Jawa Barat mengeluarkan surat bahwa pembayaran kompensasi air yang hanya berdasar pada nota kesepakatan tidak mempunyai dasar hukum yang kuat. Munculnya serangkaian konflik antara Kabupaten Kuningan dan Kota Cirebon kemudian diselesaikan dengan bantuan Pemerintah Propinsi Jawa Barat dengan memfasilitasi pertemuan antara kedua pihak tersebut dan dibuatlah Perjanjian Kerjasama No. 10 Tahun 2009690Perj. I- Adm Perek2009 tentang Kerjasama Pengelolaan Sumber Mata Air Desa Paniis Kecamatan Pasawahan Kabupaten Kuningan. Dalam perjanjian ini Kota Cirebon dalam hal ini PDAM Kota Cirebon bersedia memberi dana kompensasi untuk pemeliharaan dan pelestarian sumber mata air Desa Paniis Kecamatan Pasawahan Kabupaten Kuningan kepada Kabupaten Kuningan sebesar Rp. 80,00 m 3 setelah dikurangi toleransi kebocoran 20 dan pemberian dana kompensasi dilaksanakan setiap tanggal 15 pada bulan pertama setiap triwulannya. Kemudian Kabupaten Kuningan berkewajiban menyediakan pasokan air yang dibutuhkan bagi keperluan pemenuhan kebutuhan air Kota Cirebon dan berkewajiban memelihara sumber daya air dan melestarikan lingkungan termasuk pemberdayaan masyarakat sekitar sumber air dan kewajiban Kota Cirebon adalah menggunakan dan mengambil air sesuai dengan ijin yang diberikan oleh Kabupaten Kuningan, memberikan dana kompensasi, turut serta membantu memelihara dan melestarikan lingkungan sekitar lokasi pengambilan air serta menjaga dan memelihara hubungan yang harmonis dengan masyarakat sekitar sumber mata air. Pembayaran Jasa Lingkungan yang dikembangkan oleh Kabupaten Kuningan dan Kota Cirebon adalah PES-like karena dalam pelaksanaannya dana konservasi di Kabupaten Kuningan masuk dalam Pendapatan Asli Daerah PAD dan didasarkan pada produk product-based PES yang lebih mengkhususkan pada jenis tertentu yaitu mata air Paniis. Dana Konservasi yang masuk dalam PAD seharusnya dialokasikan secara langsung untuk upaya konservasi kawasan sumber mata air Paniis, alokasi dana pembayaran jasa lingkungan yang tidak tepat sasaran ini menyebabkan program pembayaran jasa lingkungan antara Kabupaten Kuningan dan Kota Cirebon menjadi tidak efektif dalam upaya peningkatan kualitas kawasan sumber mata air Paniis. Program pembayaran jasa lingkungan yang dilakukan oleh Kota Cirebon seharusnya dilakukan langsung misalnya dalam bentuk program ke kawasan. Namun, hal tersebut belum dilaksanakan karena TNGC belum mendapatkan Surat Edaran SE sehingga dana konservasi masih dalam bentuk uang tunai. SE tersebut merupakan landasan awal pemanfaatan jasa lingkungan air dan wisata alam yang dikeluarkan olrh Dirjen Pengelolaan Hutan dan Konservasi Alam PHKA. SE Dirjen PHKA tersebut berlaku secara nasional karena belum ada peraturan dari Menteri Kehutanan yang mengatur pemanfaat air. 6.1.1 Perubahan Status Kawasan Mata Air Paniis Masuk dalam Kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai TNGC Sebelum menjadi kawasan taman nasional saat zaman pemerintahan kolonial Belanda, kawasan hutan Gunung Ciremai sudah ditetapkan sebagai kawasan hutan tutupan atau hutan lindung. Saat pemerintahan Indonesia tepatnya pada tahun 1978, hutan Gunung Ciremai ditetapkan sebagai hutan produksi yang pengelolaannya diserahkan kepada Perum Perhutani. Perubahan fungsi kawasan dari hutan lindung menjadi hutan produksi membawa dampak yang nyata terhadap perubahan ekologi kawasan Gunung Ciremai dimana sebagian besar vegetasi hutan alam diganti menjadi vegetasi dengan tujuan produksi yang mayoritas ditanami pohon pinus. Intensifnya kegiatan ekonomi oleh masyarakat menyebabkan turunnya kualitas lingkungan hutan. Untuk mengembalikan fungsi ekologis Gunung Ciremai akibat kegiatan produksi yang dikelola oleh Perum Perhutani, maka kawasan hutan Gunung Ciremai dialih fungsikan sebagai kawasan hutan lindung melalui SK. Menteri Kehutanan Nomor : 195Kpts-II2003 tanggal 4 Juli 2003 tentang penunjukan sebagian kelompok hutan produksi Gunung Ciremai Kabupaten Kuningan dan Kabupaten Majalengka menjadi hutan lindung yang dapat memberikan manfaat jasa lingkungan dan keanekaragaman hayati. Walaupun telah terjadi pengalihan fungsi, kawasan tersebut belum dikelola menjadi kawasan lindung yang baik Renstra Balai TNGC 2010-2014, 2012. Masyarakat penggarap masih melakukan kegiatan tumpang sari dan penggarapan di kawasan hutan lindung. Oleh karena tidak efektifnya pengelolaan kawasan hutan Gunung Ciremai sebagai hutan lindung, maka status kawasan ini ditingkatkan menjadi kawasan taman nasional. Sebelum menjadi Taman Nasional Gunung Ciremai, status Gunung Ciremai sebagai kawasan resapan air yang memasok air minum bagi wilayah- wilayah di sekitarnya juga tercantum dalam Peraturan Daerah Kabupaten Kuningan Nomor 32 Tahun 2002 tentang Rencana Umum Tata Ruang RUTR Gunung Ciremai. Dalam RUTR tercantum bahwa Gunung Ciremai selain berfungsi untuk mengalokasikan ruang dalam kawasan tersebut, juga bernilai ekonomi karena berkaitan dengan jaminan komitmen Kabupaten Kuningan untuk memasok air dalam jumlah dan kualitas yang stabil sepanjang tahun. Pelaksanaan RUTR sebagai sebuah sertifikat komitmen dari daerah hulu untuk hilirnya tersebut merupakan terobosan kebijakan dalam kerjasama antar daerah. Bagi bidang perencanaan wilayah, proses pembuatan perda ini menjadi bukti bahwa dokumen RUTR tidak hanya bermanfaat dalam mengalokasikan ruang saja, namun berdampak ekonomi dalam meningkatkan pendapatan daerah hulu. Wilayah pengguna air di bagian hilir cenderung lebih merasa aman apabila wilayah hulu sebagai pemasok air mampu menunjukkan komitmen dalam menjaga kawasan resapan airnya, sehingga kesediaan wilayah hilir untuk membayar atas air yang digunakannya diperkirakan akan meningkat. Peningkatan apresiasi nilai ini dari wilayah hilir ini berkaitan dengan adanya komitmen yang jelas dari wilayah hulu sebagai pemasok air untuk melindungi wilayahnya sebagai resapan air Upaya-upaya penyelesaian konflik sumber air minum lintas di wilayah Gunung Ciremai tersebut didorong oleh suatu kemitraan yang luas antara pemerintah, lembaga legislatif, perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, dan kelompok masyarakat lainnya. Kesepahaman untuk memberikan kontribusi dari hilir ke hulu diharapkan akan meningkatkan upaya kelestarian lingkungan sumber mata air, sehingga distribusi manfaat air diantara pihak-pihak yang berkepentingan dapat berjalan lebih adil. Dalam pelaksanaannya keberadaan RUTR Gunung Ciremai masih menghadapi sejumlah permasalahan yang mengganggu perlindungan fungsi sumber daya alam yang ada, misalnya perambahan lahan kawasan hutan cukup tinggi akibat keterbatasan lahan milik masyarakat. Komoditas yang diusahakan petani di kawasan Gunung Ciremai umumnya adalah sayuran dan palawija yang pengolahannya sangat intensif sehingga mempercepat degradasi tanah. Kegiatan penambangan pasir di kawasan Gunung Ciremai juga menimbulkan degradasi tanah yang sangat serius dan mengancam fungsi kawasan tersebut sebagai wilayah resapan air. Adanya permasalahan-permasalahan tersebut menunjukkan bahwa Perda RUTR Gunung Ciremai masih memerlukan upaya penegakan yang serius. Atas dasar tersebut kemudian dikeluarkanlah Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : SK.424Menhut-II2004 tanggal 19 Oktober 2004, bahwa sebagian kelompok hutan Gunung Ciremai seluas 15.500 ha diubah statusnya menjadi Taman Nasional Gunung Ciremai TNGC. Sejak keluarnya keputusan tentang TNGC tersebut, maka kawasan hutan di kelompok hutan Gunung Ciremai yang umumnya merupakan hutan lindung dan berdasarkan RUTR Ciremai merupakan zona inti beralih fungsi menjadi taman nasional yang dikategorikan sebagai kawasan hutan konservasi. Adanya perubahan status kawasan hutan dari hutan lindung menjadi taman nasional di sebagian kelompok hutan Gunung Ciremai memerlukan upaya penataan kembali terhadap isi dari RUTR di lapangan, atau sebaliknya dalam menyusun Rencana Pengelolaan Taman Nasional Gunung Ciremai TNGC maka isi dari RUTR Gunung Ciremai yang telah di-perda-kan dapat diadopsi dalam rencana tersebut, sehingga antara kepentingan konservasi dalam TNGC bisa sinergis dengan RUTR Ciremai yang telah ada. Oleh karena itu konsultasi publik yang lebih luas dalam menyusun Rencana Pengelolaan TNGC perlu melibatkan semua pihak yang berkepentingan dengan kawasan Gunung Ciremai. Penunjukan kawasan hutan Gunung Ciremai menjadi taman nasional merupakan usulan Pemerintah Kabupaten Kuningan melalui surat Nomor.5221480Dishutbun tanggal 26 Juli 2004 perihal “Proposal Kawasan Hutan Gunung Ciremai sebagai Kawasan Pelestarian A lam” dan Pemerintah Kabupaten Majalengka melalui surat Nomor. 5222394Hutbun tanggal 13 Agustus 2004 perihal “Usulan Gunung Ciremai sebagai kawasan Pelestarian Alam”. Proposal usulan Bupati Kuningan ditindak lanjuti dengan Surat Bupati Kuningan kepada Ketua Dewan Perwakilan Rayat Daerah Kabupaten Kuningan melalui suratnya No. 522.61653Dishutbun tanggal 13 Agustus 2004 perihal “Pengelolaan Kawasan Hutan Gunung Ciremai sebagai Kawasan Pelestarian Alam”. Hal tersebut langsung mendapat respon dari DPRD Kabupaten Kuningan dengan mengirimkan surat kepada Menteri Kehutanan melalui surat pimpinan DPRD Kabupaten Kuningan Nomor. 661266DPRD perihal dukungan atas usulan pengelolaan kawasan hutan Gunung Ciremai menjadi kawasan taman nasional. Pengusulan tersebut dilatar belakangi oleh fungsi ekologi Gunung Ciremai yang sangat besar khususnya sebagai daerah catchment area daerah tangkapan air yang sangat berperan penting sebagai penyedia air baik sebagai bahan baku air minum maupun air irigasi pertanian bagi tiga kabupaten di sekitarnya yaitu Kuningan, Majalengka dan Cirebon. Adanya perubahan status hutan Gunung Ciremai menjadi Taman Nasional Gunung Ciremai menyebabkan perubahan status kawasan hutan sekitar Mata air Paniis menjadi bagian dari Taman Nasional Gunung Ciremai. Salah satu permasalahan yang dihadapi oleh TNGC adalah belum optimalnya kerjasama dan koordinasi dengan pihak lain sehingga belum ditemukan visi bersama sebagai arah pengelolaan multipihak TNGC dan masih kurang adanya sinergitas langkah, pemahaman dan sinkronisasi program oleh seluruh stakeholder Renstra Balai TNGC 2010-2014, 2012. Permasalahan tersebut harus di selesaikan melalui adanya kerjasama dengan berbagai pihak terutama dengan pengguna manfaat kawasan TNGC, misalnya Kota Cirebon sebagai pengguna manfaat kawasan mata air Paniis. Pengelolaan hutan kawasan mata air paniis yang telah berpindah ke TNGC harus didukung oleh daerah pengguna manfaat kawasan tersebut misalnya oleh Kota Cirebon sebagai pengguna utama mata air Paniis. Hal ini juga telah dilaksanakan oleh Kabupaten Cirebon sebagai pengguna manfaat air dari Gunung Ciremai yaitu Blok Cipujangga yang melakukan upaya partisipatif bekerjasama langsung dengan TNGC dalam konservasi wilayah sekitar mata air. Sejak tahun 2011, TNGC bekerjasama dengan Perusahaan Daerah Air Minum Tirta Jati Kabupaten Cirebon dalam pemanfaatan jasa lingkungan air di kawasan TNGC dimana telah disepakati oleh kedua pihak untuk : 1. Pemanfaatan Jasa Lingkungan air yang besarannya sesuai dengan yang diijinkan dari pejabat yang berwenang atau maksimal 20 dari debit air yang berasal dari sumber mata air Blok Cipujangga Resort Pasawahan, Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah I Balai TNGC. 2. Pembangunan sarana penunjang berupa Bron Captering, Bak Penampung Air Bersih dan Jaringan Pipa Transmisi. 3. Program konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. 4. Monitoring dan Evaluasi. Adanya kerjasama langsung antara TNGC dan Kabupaten Cirebon dalam pengelolaan daerah kawasan sumber mata air Cipujangga menimbulkan pemikiran bahwa Kota Cirebon sebagai pengguna manfaat air dari kawasan Gunung Ciremai juga dapat langsung bekerjasama dengan TNGC sebagai pemegang wilayah kawasan catchment area mata air Paniis, sehingga dapat secara aktif bekerjasama untuk melakukan upaya perlindungan wilayah mata air Paniis untuk tujuan mengoptimalkan pemanfaatan secara lestari potensi sumber air Paniis. 6.2 Kondisi Sebelum dan Sesudah Program Pembayaran Jasa Lingkungan PJL berdasarkan Analisis Manfaat-Biaya PDAM Kota Cirebon Analisis Manfaat-Biaya adalah bentuk dari analisis ekonomi yang membandingkan manfaat dan biaya pengeluaran yang dihasilkan dari dua kegiatan atau lebih. Perhitungan biaya ditinjau dari sisi pengguna jasa lingkungan terhadap biaya langsung direct cost yang dikeluarkan dalam perolehan air selama adanya program pembayaran jasa lingkungan, sedangkan perhitungan manfaat dilihat dari pendapatan yang dihasilkan oleh PDAM Kota Cirebon. Berdasarkan nilai biaya yang dikeluarkan oleh PDAM Kota Cirebon pada periode pelaksanaan program pembayaran jasa lingkungan dan pada periode sebelum pelaksanaan program pembayaran jasa lingkungan, dapat dilihat bahwa nilai perbandingan pendapatan dan biaya pada tahun 2004 bernilai 1,12 kemudian pada tahun 2005 perbandingan nilai pendapatan dan biaya sebesar 1,13 hal ini menunjukkan bahwa pada saat sebelum pelaksanaan pembayaran jasa lingkungan nilai biaya yang dikeluarkan dan manfaat yang diterima oleh PDAM Kota Cirebon lebih rendah dibandingkan saat pelaksanaan pembayaran jasa lingkungan dengan nilai BCR lebih tinggi. Setelah berjalannya program pembayaran jasa lingkungan di tahun 2005, nilai prosentase BCR semakin meningkat. Adanya peningkatan biaya karena dimasukkannya nilai pembayaran jasa lingkungan, diikuti dengan adanya peningkatan nilai pendapatan yang mengindikasikan adanya peningkatan volume penjualan Tabel 9 yang dilakukan oleh PDAM Kota Cirebon dengan adanya program pembayaran jasa lingkungan. Pada tahun 2008 nilai BCR mengalami penurunan, hal ini diperkirakan disebabkan oleh adanya konflik antara Kota Cirebon dengan Kabupaten Kuningan disebabkan perbedaan pencatatan debit air, sehingga Kabupaten Kuningan melakukan pengurangan debit air sehingga mengganggu pasokan air ke daerah Kota Cirebon bagian Utara. Adanya gangguan ini menyebabkan PDAM Kota Cirebon mengalami kerugian karena pasokan air menjadi terhenti. Tabel 9. Perbandingan nilai BCR PDAM Kota Cirebon Sebelum Pembayaran Jasa Lingkungan dan Setelah Pembayaran Jasa Lingkungan Tahun Manfaat Biaya BCR 2003 21.688.290.000 19.415.250.000 1.12 2004 22.656.287.207 20.075.863.058 1.13 2005 32.544.329.903 27.656.704.106 1.18 2006 31.863.298.250 27.751.483.561 1.15 2007 33.484.090.649 29.433.322.162 1.14 2008 35.042.548.460 32.327.111.951 1.08 2009 37.892.998.671 35.414.603.922 1.07 2010 36.271.692.577 32.994.340.803 1.10 2011 37.615.270.195 36.820.712.627 1.02 Sumber: Laporan Akhir Corporate Plan PDAM Kota Cirebon 2011 Tabel 10.Kapasitas Produksi PDAM Kota Cirebon 2003-2011 Tahun Volume m3thn Debit literdetik 2003 24305791 772 2004 26659018 843 2005 27247022 864 2006 26262302 833 2007 26621154 844 2008 25432691 798 2009 25769459 818 2010 25439273 807 2011 25800000 818 Sumber: Laporan Akhir Corporate Plan PDAM Kota Cirebon 2011 Gambar 6. Grafik Nilai BCR dan selama Periode Sebelum Pembayaran Jasa Lingkungan dan Setelah Periode Pembayaran Jasa Lingkungan Gambar 7. Grafik Kapasitas Produksi PDAM Kota Cirebon 2003-2011 Kemudian pada tahun 2010, produksi PDAM Kota Cirebon meningkat diikuti oleh adanya peningkatan BCR, tetapi kemudian tahun 2011 nilai produksi PDAM menurun kembali walaupun realisasinya belum bisa diketahui karena masih dalam tahun berjalan. Pembayaran jasa lingkungan yang dilaksanakan oleh PDAM Kota Cirebon tidak meningkatkan BCR PDAM secara signifikan, hal ini diperkirakan karena tidak ada peningkatan harga air dalam rangka PJL, serta adanya pertambahan jumlah pelanggan PDAM yang tidak diikuti dengan peningkatan kapasitas produksi air yang berasal dari Mata Air Paniis. Berdasarkan analisis tersebut dapat dilihat bahwa adanya program pembayaran jasa lingkungan sejak tahun 2004 oleh Kota Cirebon belum meningkatkan kapasitas produksi dari PDAM. Apabila pembayaran jasa lingkungan terus dilakukan dimasa yang akan datang diperkirakan produksi air dari mata air Paniis akan terus meningkat dan akan mengakibatkan peningkatan nilai BCR PDAM Kota Cirebon. Hal ini sesuai dengan Istiqomah 2012, bahwa benefit akan semakin meningkat dengan bertambahnya produksi dan biaya transaksi akan semakin menurun dengan semakin tingginya produksi. Kemudian hal ini dapat mengindikasikan bahwa sistem kerja sama dari PDAM Kota Cirebon dalam rangka pengelolaan kawasan catchment area Mata air Paniis harus tetap dilaksanakan tetapi dalam suatu sistem kerjasama yang berbeda, terutama karena saat ini Mata Air Paniis tidak berada dalam wilayah kelola Kabupaten Kuningan tetapi masuk ke dalam wilayah Taman Nasional Gunung Ciremai, sehingga kerjasama dapat dilakukan langsung dengan TNGC. Kerjasama ini juga dilakukan oleh Kabupaten Cirebon yang mendapatkan air minum dari wilayah Cipujangga yang masuk ke dalam wilayah TNGC. Kerjasama Kabupaten Cirebon dengan TNGC ini berupa sharing program pengelolaan kawasan sekitar mata air Cipujangga dimana Kabupaten Cirebon berpartisipasi aktif dalam melakukan konservasi.

6.3 Analisis Game Theory Pelaksanaan Kelembagaan Pembayaran Jasa

Lingkungan Dalam menganalisis pelaksanaan kelembagaan pembayaran jasa lingkungan, dapat digunakan analisis game theory sehingga nilai pay off dari masing-masing pelaku pembayaran jasa lingkungan dapat diketahui. Dalam analisis ini dilakukan beberapa skenario dimana masing-masing pelaksana pembayaran jasa lingkungan mendapatkan pay off atau konsekuensi dari pelaksanaan masing-masing skenario tersebut Tabel 11. Skenario yang dibuat dalam analisis ini yaitu PDAM Kota Cirebon bekerjasama dengan Kabupaten Kuningan cooperative - cooperative, PDAM Kota Cirebon bekerjasama sedangkan Kabupaten Kuningan tidak bekerjasama non cooperative - cooperative, PDAM Kota Cirebon tidak mau bekerjasama dan Pemda Kabupaten Kuningan non-cooperative - cooperative, dan skenario terakhir yaitu PDAM Kota Cirebon dan Kabupaten Kuningan tidak mau bekerjasama non cooperative - non-cooperative Berdasarkan hasil analisis game theory diketahui bahwa apabila kedua daerah bekerjasama dalam pelaksanaan pembayaran jasa lingkungan, maka nilai pay off dari tiap bentuk kerjasama adalah Rp. 29.351.799.531 untuk PDAM Kota Cirebon dan Rp. 2.400.000.000 untuk Pemerintah Kabupaten Kuningan. Nilai pay off ini merupakan nilai pendapatan masing-masing pemain apabila kerjasama diantara keduanya dilakukan. Nilai pay off PDAM Kota Cirebon merupakan nilai air yang didapatkan dari mata air Paniis yang akan didapatkan apabila Kabupaten mengijinkan untuk mengambil air dari mata air tersebut. Nilai pay off bagi PDAM Kota Cirebon dapat pula berarti nilai yang didapat oleh PDAM Kota Cirebon apabila mau bekerjasama dalam pengelolaan kawasan sumber mata air sehingga Kabupaten Kuningan mengijinkan PDAM Kota Cirebon menggunakan sumber daya air lebih banyak, hal ini sesuai dengan penelitian Suciati 2005, bahwa adanya kerjasama dalam pembayaran kompensasi kepada pemain lain dan diilustrasikan dengan suatu fungsi karakteristik yang menggambarkan manfaat koalisi dari gaming dimana distribusi koalisi pemain hanya terjadi jiika ada tambahan pendapatan bersih dari adanya bentuk kerjasama. Nilai pay off Pemerintah Kabupaten Kuningan didapatkan dari nilai pembayaran jasa lingkungan yang dibayarkan oleh PDAM Kota Cirebon apabila Kabupaten Kuningan mengijinkan Kota Cirebon untuk menggunakan air yang berasal dari mata air Paniis. Menurut Suciati 2008, nilai ini dapat pula berarti turunnya biaya pengelolaan sumberdaya atau naiknya pendapatan bersih. Apabila PDAM Kota Cirebon tidak melakukan kerjasama dalam pelaksanaan pembayaran jasa lingkungan dan Kabupaten Kuningan melakukan kerjasama non-cooperative – cooperative maka PDAM Kota Cirebon tidak akan mendapatkan nilai pay off atau bernilai 0, hal ini dimungkinkan karena Kabupaten Kuningan tidak akan mengijinkan pengambilan air dari Mata Air Paniis yang merupakan sumber air minum bagi Kota Cirebon, sedangkan Pemerintah Kabupaten Kuningan mendapatkan nilai pay off Rp. 336.000.000. Nilai ini merupakan nilai penjualan air PDAM Kabupaten Kuningan kepada pihak lain yaitu Kabupaten Cirebon. Sebaliknya apabila PDAM Kota Cirebon melakukan kerjasama sedangkan Kabupaten Kuningan tidak melakukan kerjasama cooperative – non cooperative maka PDAM Kota Cirebon akan mendapatkan nilai pay off sebesar Rp. 22.656.287.207, dan Kabupaten Kuningan akan mendapatkan nilai pay off 0. Nilai pay off yang didapat Kota Cirebon adalah nilai pendapatan PDAM Kota Cirebon pada saat sebelum pelaksanaan program pembayaran jasa lingkungan dengan asumsi konservasi daerah sumber mata air Paniis tidak dilakukan. Sedangkan Kabupaten Kuningan mendapatkan nilai pay off 0 atas skenario ini dikarenakan Kabupaten Kuningan tidak melakukan kerjasama dengan pihak manapun dan tidak melakukan konservasi daerah sumber mata air Paniis. Apabila kedua wilayah tidak saling bekerjasama non-cooperative-non cooperative maka nilai pay off akan bernilai Rp. -5.789.670.231 untuk PDAM Kota Cirebon dan bernilai Rp. -1.128.502.325. Nilai pay off yang didapatkan oleh PDAM Kota Cirebon merupakan nilai shadow price untuk nilai penyediaan air, sedangkan nilai pay off untuk Kabupaten Kuningan merupakan biaya konservasi rata-rata setahun perhitungan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabuapaten Kuningan. Kedua nilai pay off ini bernilai negatif karena merupakan kenaikan biaya produksi bagi PDAM Kota Cirebon dan kenaikan biaya pengelolaan sumberdaya bagi Kabupaten Kuningan atau turunnya nilai pendapatan bersih. Tabel 11. Game Theory Pelaksanaan Pembayaran Jasa Lingkungan 2010 Kabupaten Kuningan PD A M K ot a C ire bon Cooperative Non Cooperative Cooperative 29.351.799.531 2.400.000.000 22.656.287.207 Non- cooperative 336.000.000 -5.789.670.231 - 1.128.502.325