Kriteria dan Klasifikasi Lahan Kritis

bisa diandalkan, sehingga keputusan akhir yang diambil menjadi lebih obyektif dan mendekati kenyataan di lapangan. Oleh karena itu, dalam pengembangan kriteria lahan kritis, selain didasarkan pada pertimbangan atau judgment dari pakar maka penyusunan kriteria dengan menambahkan pertimbangan dari hasil analisis statistik menjadi perlu untuk dilakukan. Selain dari pada itu, upaya ini dapat ditempuh dalam rangka mereduksi perbedaan dan silang pendapat yang terjadi antar pakar, sehingga dapat digunakan untuk mengambil keputusan yang lebih baik dalam ketidakpastian.

2.6. Kriteria dan Klasifikasi Lahan Kritis

Beberapa kriteria dan klasifikasi kekritisan lahan yang ada di Indonesia diuraikan sebagai berikut: Direktorat Rehabilitasi dan Konservasi Tanah, Departemen Kehutanan Tahun 1997, menggolongkan tingkat kekritisan lahan kedalam lima kelompok, yaitu : 1 Tidak kritis; 2 Potensial kritis; 3 Agak kritis; 4 Kritis; dan 5 Sangat kritis. Kriteria pengelompokan ini didasarkan pada variabel-variabel: kondisi tutupan vegetasi, kemiringan lereng, tingkat erosi, penutupan oleh batuan, tingkat pengelolaan manajemen dan produktivitas lahan. Kriteria penetapan lahan kritis kawasan budidaya untuk usaha pertanian, Direktorat RKT, Departemen Kehutanan, dapat dilihat pada Lampiran 1 dan 2. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat Tahun 1997 dan Balai penelitian tanah Tahun 2007, mengelompokkan lahan kritis atau lahan terdegradasi atas empat tingkat kekritisan lahan, yaitu: 1 Potensial kritis; 2 Semi kritis; 3 Kritis; dan 4 Sangat kritis. Kriteria pengelompokan ini didasarkan pada variabel- variabel: kondisi penutupan vegetasi, tingkat torehankerapatan drainase, penggunaan lahan dan kedalaman tanah. Kriteria penilaian lahan kritis menurut Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat dapat dilihat pada Lampiran 3 dan 4. Kementerian Lingkungan Hidup menyebut lahan kritis sebagai tanah rusak Firmansyah et al., 2008. Menurut PP No 150 Tahun 2000, pengklasifikasian kekritisan tanah di lahan kering dilakukan dengan menentukan baku mutu ambang kekritisannya. Kriteria ini ditujukan untuk pengendalian kerusakan tanah untuk produksi biomassa. Penilaian kekritisan lahan tersebut didasarkan pada parameter ketebalan solum, kebatuan permukaan, komposisi fraksi, berat isi, porositas total, derajat pelulusan air, pH, DHL, redoks, dan jumlah mikroba. Lebih rinci kriteria ambang kritis dapat dilihat pada Lampiran 5. Sementara itu dalam Sitorus 2004 mengemukakan, ditinjau dari aspek kerusakan fisik, lahan kritis dapat digolongkan atas empat kelompok, yaitu : 1 Lahan potensial kritis; 2 Lahan semihampir kritis; 3 Lahan kritis; dan 4 Lahan sangat kritis. Kriteria pengelompokan ini didasarkan pada tingkat kerusakan, ditinjau dari variabel-variabel: tingkat erosi, kedalaman efektif tanah, penutupan tanaman, topografi dan kesuburan tanah. Lahan potensial kritis, adalah lahan yang masihkurang produktif bila diusahakan untuk pertanian tanaman pangan atau mulai terjadi erosi ringan, akan tetapi apabila pengelolaanya tidak didasarkan pada kaidah-kaidah konservasi tanah, maka lahan dapat menjadi rusak dan cenderung akan berubah menjadi lahan semi kritis atau kritis. Lahan potensial kritis di lapangan dapat dicirikan dengan keadaan sebagai berikut: a Pada lahan belum terjadi erosi atau mulai terjadi erosi ringan, namun karena keadaan topografinya bergelombang dan pengusahaan lahan yang kurang tepat, maka erosi dapat terjadi terutama apabila dalam pemanfaatannya tidak disertai dengan kegiatan-kegiatan pencegahan erosi dan tindakan konservasi tanah lainnya. Misalnya, hutan yang baru dibuka; b Tanah mempunyai kedalaman efektif yang cukup dalam, lapisan atas top soil lebih dari 20 cm; c Persentase penutupan tanah relatif masih tinggi vegetasi rapat; d Mempunyai kemiringan lereng datar sampai berbukit; dan e Tingkat kesuburan tanah rendah sampai tinggi. Tindakan-tindakan konservasi tanah yang dilakukan di sini pada dasarnya bertujuan untuk pencegahan erosi. Menurut Notohadiprawiro 1996, lahan dapat pula bersifat kritis secara potensial ditinjau dari aspek geografi. Nisbah luas lahan terhadap jumlah penduduk yang terlalu kecil merupakan keadaan yang kritis karena dapat mengimbas pada penggunaan lahan yang eksploratif. Pada gilirannya, penggunaan lahan yang eksploratif akan menjurus ke perusakan keadaan biofisik lahan. Kekritisan semacam ini terjadi di kawasan pertanian sebagai akibat penggusuran lahan pertanian produktif. Penggusuran ini, disamping mengimbas kekritisan lahan setempat, juga memunculkan kekritisan lahan di tempat-tempat lain. Peristiwa yang terjadi di Indonesia memberikan contoh jelas. Kehilangan lahan produktif di Jawa jarang yang dapat diganti dengan pembukaan lahan baru di luar Jawa yang tingkat produktivitasnya sebanding. Lahan baru yang dibuka terpaksa dikerjakan secara lebih intensif untuk dapat mengkompensasi kehilangan produksi. Akibatnya, resiko munculnya kekritisan di lahan-lahan bukaan baru menjadi tinggi. Lahan juga dapat dinilai kritis menurut aspek geografi kalau berpotensi membahayakan lahan lain yang berada di bawah kendalinya. Misalnya, lahan di lereng atas dengan bahan yang kurang subur menimbun lahan di bawahnya, bersifat kritis karena longsoran bahan tadi akan merusak lahan hilirnya. Lahan semihampir kritis, adalah lahan yang kurangtidak produktif, dan telah terjadi erosi namun masih dapat diusahakan untuk kegiatan pertanian dengan tingkat produksi rendah. Lahan semi kritis di lapangan dapat dicirikan dengan keadaan sebagai berikut: a Tanah telah mengalami erosi dari tingkat erosi permukaan sampai erosi alur riil erosion, dengan produktivitas yang rendah; b Tanah mempunyai kedalaman efektif sangat dangkal lapisan atas kurang dari 5 cm; c Persentase penutupan lahan sedang vegetasi antara 50 sampai 75 dengan vegetasi dominan alang-alang, rumput, semak belukar dan hutan jarang; d Kemiringan lereng umumnya 18; dan e Tingkat kesuburan tanah rendah. Tindakan-tindakan konservasi tanah yang dilakukan di sini bertujuan untuk merehabilitasi lahan dan pencegahan erosi. Lahan kritis, adalah lahan yang tidak produktif atau produktivitasnya rendah sekali sehingga jika diusahakan sebagai lahan pertanian perlu didahului dengan usaha rehabilitasi. Di lapangan, lahan kritis dicirikan dengan keadaan lahan sebagai berikut: a Lahan telah mengalami erosi berat dengan tingkat erosi umumnya berupa erosi parit gully erosion; b Kedalaman solum tanah dangkal 60 cm; c Persentase penutupan lahan rendah antara 25 sampai 50; d Kesuburan tanah yang rendah, meliputi daerah perladangan yang telah rusak, padang rumput atau alang-alang dan semak belukar tandus. Lahan sangat kritis, adalah lahan-lahan yang sangat rusak sehingga tidak memungkinkan lagi untuk diusahakan sebagai lahan pertanian dan sangat sukar untuk direhabilitasi. Di lapangan, lahan sangat kritis dicirikan dengan keadaan lahan sebagai berikut: a Pada tanah telah terjadi erosi sangat berat, sebagian berada pada tingkat erosi parit, banyak dijumpai tanah longsor atau rayapan tanah soil creeping; b Lapisan-lapisan tanah produktif telah habis tererosi, kedalaman solum tanah sangat dangkal 30 cm; c Persentase penutupan tanah oleh vegetasi sangat rendah 25, kadang-kadang sebagian atau seluruhnya gundul; d Kemiringan lereng umumnya 30; dan e Tingkat kesuburan tanah sangat rendah. Tindakan-tindakan konservasi tanah yang dilakukan di sini bertujuan untuk merehabilitasi lahan.

2.7. Analisis Multi Variabel