Content Based Image Retrieval Ekstraksi fitur Chain Code Pengkodean Tepi

- Warna hijau pada waktu muda, bila tua berwarna coklat muda atau kuning jerami dan ada coklat tua yang kehitaman. - Polong tua ada yang pecah dan tidak pecah. - Kehilangan biji karena biji pecah dapat mencapai 30-50 - Kultivar yang mudah dipecah harus dipanen sebelum polong kering atau waktu polong sudah kuning. Biji - Besarnya bervariasi tergantung kultivar, dari kecil sampai besar sehingga bobot 100 biji dapat berkisar 5-35 gram - Bentuk biji ada yang bulat dan ada yang lonjong - Biji terdiri dari kulit biji seed coatdan keping biji cotyledone serta lembaganya. - Keping biji hijau atau kuning saja - Kulit biji bervariasi bergantung kultivar : kuning, hijau, coklat, hitam atau campuran. Bulu - Daun, polong dan batang kedelai berbulu, ada yang coklat dan putih kelabu. - Sifat berbulu adalah sifat genetik - Ada juga kultivar yang tidak berbulu, bulu pendek-pendek dan jarang - Kultivar tidak berbulu, hasilnya rendah, pertumbuhannya kerdil, dan mudah diserang wereng leaf hopperpenghisap daun. Rukmana R, Yuniarsih Y. 1996

2.2 Content Based Image Retrieval

CBIR Content based image retrieval CBIR merupakan suatu pendekatan untuk masalah temu kembali citra yang didasarkan pada informasi yang terkandung di dalam citra itu sendiri seperti warna, bentuk, dan tekstur dari citra Han Ma 2002. CBIR terdiri atas dua tahap yaitu pengindeksan dan penemuan kembali citra. Gambar 2 menunjukkan diagram CBIR. Gambar 2.2 Diagram CBIR.

2.3 Citra Digital

Citra merupakan gambar pada bidang dua dimensi. Ditinjau dari sudut pandang matematis, citra merupakan sebuah fungsi kontinu dari intensitas radiasi pada bidang dua dimensi. Sumber radiasi mengeluarkan radiasi yang kemudian mengenai objek, objek memantulkan kembali sebagian dari radiasi tersebut, pantulan radiasi ini ditangkap oleh sensor pada alat-alat optik seperti mata, kamera, pemindai scanner dan sebagainya. Gambar 2.3 a Image kontinu diproyeksikan ke dalam array sensor, b Hasil penyampelan dan kuantifikasi image Selanjutnya bayangan objek tersebut direkam dalam suatu media tertentu. Citra semacam ini disebut juga sebagai citra pantulan. Jika objek menghasilkan radiasi sendiri, maka citra yang tertangkap oleh sensor disebut sebagai citra emisi. Sedangkan jika objek bersifat transparan, sehingga citra yang dihasilkannya merupakan representasi dari radiasi yang berhasil diserap oleh partikel-partikel dari objek tersebut, maka citra tersebut adalah citra absorpsi Bovik 2000. Basis data citra Praproses Ekstraksi Fitur Pengembangan Indeks Basis data Fitur Praproses Ekstraksi Fitur Pengembangan Indeks Basis data Fitur Pengindeksan offline Penemuan Kembali online Citra Kueri Analisis terhadap sebuah citra dapat dilakukan dengan menggunakan bantuan komputer melalui sebuah sistem visual buatan yang biasa disebut dengan computer vision. Secara umum, tujuan dari sistem visual adalah untuk membuat model nyata dari sebuah citra. Untuk itu citra yang ditangkap oleh sensor yang masih dalam bentuk fungsi kontinu analog harus diubah terlebih dahulu menjadi fungsi diskret digital yang dapat dibaca oleh komputer. Proses ini disebut sebagai digitasi, terdiri dari dua sub proses yaitu pencuplikan sampling dan kuantifikasi. Pencuplikan sampling merupakan proses untuk mengubah sebuah sinyal dalam ruang kontinu menjadi sinyal dalam ruang diskret, hasil dari proses ini adalah citra yang terdiri dari piksel-piksel yang tersusun dalam kolom dan baris. Setiap piksel merupakan hasil penggabungan dari beberapa sinyal yang saling berdekatan. Sekali sebuah citra mengalami proses sampling, tidak dimungkinkan untuk mengembalikannya kedalam bentuk kontinu. Setiap piksel biasanya akan memuat nilai intensitas yang pada awalnya mempunyai range kontinu, artinya sangat banyak kemungkinan nilai yang dapat dimuat oleh setiap piksel. Sehubungan dengan keterbatasan kemampuan komputer untuk memproses pengkodean nilai-nilai tersebut, dibutuhkan sebuah metode untuk membatasinya. Kuantifikasi merupakan proses untuk mengubah range nilai intensitas yang semula kontinu menjadi range nilai yang diskret sedemikian sehingga dapat diakomodasi oleh sistem pengkodean biner pada komputer. Suatu citra yang telah melalui proses digitasi disebut sebagai citra digital.

2.2.1 Representasi Citra Digital

Citra digital biasa direpresentasikan sebagai sebuah fungsi dua dimensi fx,y, x dan y adalah koordinat spasial yang menunjukkan lokasi dari sebuah piksel didalam sebuah citra dan amplitudo dari f pada setiap pasangan koordinat

x,y adalah intensitas dari citra pada piksel tersebut Gonzalez 2004. Untuk

kebutuhan pengolahan dan analisis, representasi tersebut ditampilkan dalam bentuk matriks seperti pada Gambar 2.4.                          1 N 1, fM ... 1,1 fM 1,0 fM . . . . . . 1 N f1, ... f1,1 f1,0 1 N f0, ... f0,1 f0,0 y fx, a b Gambar 2.4 Representasi citra digital. a Piksel-piksel dalam konvensi koordinat, b Piksel-piksel dalam sel-sel matriks

2.2.2 Picture element piksel

Piksel dapat diartikan sebagai salah satu dari komponen gambar yang menentukan resolusi dari gambar tersebut, misalnya sebuah gambar dikatakan memiliki resolusi sebesar 240 x 120, dapat diartikan bahwa banyaknya piksel horizontal adalah 240 dan piksel vertikal adalah 120, sehingga dapat dikatakan bahwa dalam gambar tersebut terdiri dari 28800 piksel. Dalam masalah pengolahan citra, hubungan antara piksel adalah hubungan yang sangat penting. Sebuah piksel p pada koordinat x,y mempunyai 4 tetangga horizontal dan vertikal yang formatnya sebagai berikut : x+1, y, x-1, y, x, y+1, x, y-1. Kumpulan dari piksel-piksel tersebut disebut 4-neighbours of p dapat dinyatakan sebagai N4p, kecuali px,y posisinya terletak pada garis batas gambar. Sehingga jumlah piksel tetangga terdiri dari 4 tetangga selain 4 tetangga di atas juga 4 tetangga di bawah yaitu : x+1, y+1, x-1, y-1, x-1, y+1, x-1 , y1. Piksel-piksel itu dinyatakan sebagai NDp. Gabungan dari N4p dan NDp didefinisikan sebagai 8 tetangga p dan dinyatakan sebagai NSp.

2.2.3 Tipe-Tipe Citra Digital

Tiga tipe citra digital yang sering digunakan adalah citra intensitas, citra biner, dan citra RGB. Citra intensitas dan citra biner merupakan citra monokrom lebih dikenal dengan citra hitam putih sedangkan citra RGB merupakan citra berwarna. a. Citra Intensitas, merupakan sebuah matriks dua dimensi berukuran mxn yang setiap selnya berisi nilai intensitas antara 0 sampai dengan 255. Intensitas 0 nilai intensitas tiap piksel        T fn jika 1, T fn jika , gn ditangkap sebagai warna hitam pekat, sedangkan intensitas 255 ditangkap sebagai warna putih terang oleh mata manusia. Nilai intensitas yang ada diantaranya merupakan gradasi dari warna hitam ke putih, atau lebih sering disebut warna keabuan grayscale. b. Citra biner, merupakan sebuah matriks dua dimensi berukuran mxn yang setiap selnya berisi kode 0 atau 1 yang merupakan representasi dari nilai logical ”benar” atau ”salah”, disebut juga tipe data boolean. Nilai 0 sering diasosiasikan dengan warna putih terang setara dengan nilai 255 pada citra intensitas sedangkan nilai 1 sering diasosiasikan dengan warna hitam setara dengan nilai 0 pada citra intensitas. Akan tetapi, asosiasi tersebut bisa berubah-ubah tergantung dari asumsi yang digunakan oleh pengguna. Tidak ada ketetapan yang mengatur hubungan nilai 0 dan 1 terhadap warna hitam dan putih. Umumnya, citra biner terbentuk dari citra intensitas yang mengalami proses tresholding. Proses ini sangat sederhana, pertama-tama tetapkan sebuah nilai T yang terletak diantara range nilai intensitas. Ubah nilai intensitas dari setiap piksel dengan mengikuti aturan berikut : c. Citra RGB red, green, blue, merupakan kumpulan dari 3 buah matriks 2 dimensi yang masing-masing memuat nilai intensitas 0 s.d. 255 untuk warna merah, hijau dan biru. Sebuah piksel merupakan komposisi dari ketiga nilai intensitas tersebut triplet. Jika digunakan sebagai input pada sistem monitor berwarna, triplet tersebut akan menghasilkan warna-warna yang unik. Susunan komponen RGB untuk sebuah piksel sehingga menghasilkan citra berwarna dapat diilustrasikan sebagai berikut : Gambar 2.5 Skema susunan komponen RGB untuk sebuah piksel pada citra berwarna           B G R z z z Komponen blue Komponen Komponen red Komposisi ketiga komponen warna untuk sebuah piksel

2.4 Pengenalan Pola

Pengenalan pola dapat didefinisikan sebagai penetapan objek atau kejadian ke dalam satu dari beberapa kategori yang telah ditentukan sebelumnya Duda, Hart dan Stork 2001. Secara garis besar dapat dikatakan bahwa pengenalan pola memetakan suatu fitur, yang merupakan ciri utama suatu objek yang dinyatakan dalam sekumpulan bilangan-bilangan ke suatu kelas yang sesuai. Proses pemetaan ini menyangkut inferensi, baik secara eksplisit dengan statistik misalnya dalam aturan Bayesian maupun tak eksplisit dengan suatu jaringan keputusan misalnya jaringan syaraf tiruan atau logika samar. Secara mendasar, suatu sistem pengenalan pola terdiri dari komponen- komponen berikut: sensoring, mekanisme pre-processing, mekanisme ekstraksi atau penyari fitur manualotomatis, algoritma pemilah classification dan post processing. Diagram blok dari sistem pengenal pola dapat digambarkan sebagai berikut: Input keputusan Gambar 2.6 Komponen sistem pengenal pola Sensoring Preprosessing Ekstraksi Fitur Classification Post processing  Sensoring : menangkap objek dari dunia nyata menjadi sinyal-sinyal listrik dan selanjutnya dikonversi ke dalam bilangan-bilangan setelah melalui proses dijitasi.  Preprocessing : berfungsi untuk menonjolkan informasi dan menghilangkan noise dalam citra.  Ekstraksi fitur: mengambil besaran komponen tertentu dari citra objek yang mewakili sifat utama citra objek, sekaligus mengurangi dimensi citra objek menjadi sekumpulan bilangan yang lebih sedikit tetapi representatif.  Classification : melakukan penetapan fitur ke kelas yang sesuai  Postprocessing : menggunakan output dari hasil klasifikasi untuk memutuskan aksi yang direkomendasikan.

2.4.1 Sensoring

Input untuk sistem pengenalan pola biasanya beberapa jenis transducer, seperti : kamera, scanner atau array mikropon. Kesulitan dari permasalahan yang dihadapi bergantung pada karakteristik dan batasan transducer seperti bandwidth, resolusi, sensitivitas, distorsi, sinyal terhadap rasio noise, latency dan sebagainya. 2.4.2 Preprocessing 2.4.2.1 Edge detection Edge detection adalah operasi yang digunakan untuk mendeteksi garis tepi edges yang membatasi dua wilayah citra homogen yang memiliki tingkat kecerahan yang berbeda Pitas 1993. Beberapa metode pendeteksi garis tepi yang umum digunakan antara lain Sobel, Prewitt, Robert, Laplacian of a gaussian, Zero crossing, dan Canny.

2.4.2.2 Canny Edge Detector

Canny Edge Detector, dikembangkan oleh John F. Canny, adalah algoritma multi-stage yang dapat mendeteksi batasan luar edge image. Deteksi tepi Canny menggunakan gradient magnitude untuk memperbaiki deteksi tepi sedemikian rupa sehingga dapat menghasilkan garis tepi tunggal. Canny juga menemukan teori komputasional deteksi edge, yang mana canny memperkenalkan Non-maximum supperssion dan Hysteresis thresholding pada pendeteksian edge. Pendeteksi pertama yang dihasilkan hanya pada image grayscale dan disesuaikan untuk mengakomodasi image warna. Terdapat tiga tahap dalam deteksi tepi Canny McAndrew 2004, yaitu: 1. Konvolusi. Filter yang digunakan adalah filter Gaussian. Persamaannya dapat dilihat pada persamaan berikut. 2 2 2 2   x e x f         Filter tersebut memperhalus noise dan menemukan piksel kandidat yang mungkin untuk tepi. 2. Non-maximum supperssion. Ide dasarnya adalah tiap piksel p memiliki arah p  edge direction yang berasosiasi dan agar dipertimbangkan sebagai piksel tepi, nilai p harus lebih besar dari piksel tetangga dalam arah p  . 3. Hysteresis thresholding. Menggunakan dua nilai threshold yaitu t L dan t H dengan t L merupakan nilai minimum threshold dan t H merupakan nilai maksimum threshold. Piksel-piksel dengan nilai lebih besar dari t H diasumsikan sebagai piksel tepi. Sementara itu, piksel-piksel dengan nilai p dimana H t p L t   merupakan adjacent dari piksel tepi juga dapat dipertimbangkan sebagai piksel tepi.

2.4.2.3 Thresholding

Menurut Young et al 1998, thresholding merupakan salah satu teknik segmentasi yang memiliki konsep yang sederhana. Suatu parameter  yang disebut brightness threshold dipilih dan diaplikasikan pada suatu gambar fx,y dengan menggunakan aturan: If fx,y  Then fx,y = object = 1 Else fx,y = background = 0 Aturan di atas dipakai dengan asumsi objek yang terang dengan background yang gelap, sedangkan untuk objek yang gelap dengan background yang terang maka rumus yang dipakai aturan: If fx,y  Then fx,y = object = 1 Else fx,y = background = 0

2.5 Ekstraksi fitur

Ekstraksi ciri bentuk merupakan salah satu bagian dari CBIR untuk informasi bentuk pada citra. Proses ini dapat dilakukan dengan pendekatan Elliptical Fourier Descriptor. Ekstraksi ciri adalah proses mengambil ciri-ciri yang terdapat pada citra. Tujuan utama dari proses ekstraksi fitur adalah untuk mengkarakterisasi objek yang ingin dikenali dari sebuah citra dengan menggunakan ukuran-ukuran yang memiliki nilai sangat mirip untuk objek pada kategori yang sama dan sangat berbeda untuk objek pada kategori yang tidak sama. Artinya, dilakukan pencarian terhadap ciri-ciri dari objek yang membedakannya dengan objek yang lain dan ciri-ciri tersebut tidak akan berubah invariant meskipun ada pengaruh transformasi yang tidak relevan terhadap citra Duda, Hart dan Stork 2001. Elliptical Fourier Descriptor merupakan suatu cara untuk menormalisasi koefisien Fourier dengan menggunakan sebuah harmonik deskripsi eliptik dari suatu kontur. Hasil ekstraksi elliptic Fourier Descriptor adalah invarian dengan rotasi, dilatasi, dan translasi kontur, dan juga starting point pada kontur, tetapi tidak menghilangkan informasi tentang bentuk kontur.

2.6 Chain Code Pengkodean Tepi

Pengkodean tepi edge dimulai dari hasil pendeteksian edge. Pengkodean ini berdasarkan pada pengkodean Freeman pada kontur tertutup. Menurut deskripsi Freeman Khul Giadina 1982, sebuah kontur tertutup dapat dikodekan dengan 8 garis standar pada matriks 3x3 dimana elemen pusatnya adalah kaki garis dan ujungnya diberikan oleh satu elemen pada matriks lihat Gambar 2.7. Gambar 2.7 : Representasi vector dari pengkodean Freeman Dengan menggunakan pengkodean Freeman, sebuah kontur tertutup dapat digambarkan sebagai rantai : C = u 1 u 2 u 3 u 4 ....u K , dimana u  {0, 1, ...7} adalah vector berarah dengan arah π4u. Panjang masing-masing u akan sama dengan 1 jika genap atau √2 jika ganjil. Sebagai contoh pengkodean Freeman dari edge ditunjukkan pada Gambar 2.8 yang diberikan dengan rantai sebagai berikut : 0007766766544334444321111 Catatan bahwa : titik permulaan kontur diberikan oleh piksel pada sudut kiri atas. Gambar 2.8 Contoh dari binary kontur image Misalkan u adalah elemen dari rantai Freeman, maka panjang t  dari rantai tersebut adalah : 2 1 1 1 1 2 i u i i u t                Sehingga jika p adalah banyaknya elemen pada rantai dari keseluruhan kontur, maka panjang rantai akan menjadi : 1 p p i i t t     Selanjutnya T akan mengidentifikasi panjang dan t p menyatakan panjang p elemen dari rantai. Misalkan i x  dan i y  adalah proyeksi dari u j pada sumbu X dan Y, dengan nilai-nilainya adalah sebagai berikut : 6 2 i i i x sign u sign u     4 i i i y sign u sign u    dimana 1 0, 1 jika sign jika jika              Elemen generik p dari rantai Freeman yang memproyeksikan semua elemen 1..p pada sumbu X dan Y dapat ditulis sebagai : 1 p p i i x x     1 p p i i y y     Pada citra image baru akan dilakukan evaluasi koefisien eliptikal dari analisis Fourier. Gambar 2.9 Diagram skema kontur daun. Lingkaran pada kontur menunjukkan titik chain code pada kontur dari citra digital.

2.7 Elliptical Fourier Descriptors