Kondisi Kualitas Perairan Waduk Saguling .1 Parameter Fisika Perairan

4.2 Kondisi Kualitas Perairan Waduk Saguling 4.2.1 Parameter Fisika Perairan

4.2.1.1 Suhu

Hasil olah data berupa rataan dan standar deviasi Tabel 4 memperlihatkan bahwa kisaran nilai suhu di Waduk Saguling pada stasiun 1 memiliki rentang nilai yang tinggi dibandingkan stasiun yang lain, nilai maksimal dapat mencapai 30,9 C pada lapisan permukaan sampai kedalaman 3 meter. Tingginya rentang nilai suhu pada stasiun 1 disebabkan oleh waktu pengukuran dan kekeruhan yang rendah sehingga intensitas cahaya matahari dapat masuk sampai pada kedalaman 3 meter. Sedangkan nilai maksimal terendah ada pada stasiun 4 yaitu 27,9 C pada lapisan permukaan dan terus mengalami penurunan nilai suhu pada kedalaman di bawahnya. Tabel 4. Kisaran nilai suhu C berdasarkan rataan dan standar deviasi χ ± sd stasiun 1 Stasiun 2 stasiun 3 stasiun 4 0 m 28,53 ± 2,37 27,9 ± 1 28,26 ± 0,46 27,66 ± 0,25 1 m 28,53 ± 2,37 27,6 ± 1,25 27,6 ± 1,03 27,16 ± 0,49 2 m 28,4 ± 2,26 27,46 ± 1,20 27,33 ± 1,18 27,06 ± 0,51 3 m 28,3 ± 2.26 27,43 ± 1,15 27,16 ± 1,32 26,63 ± 0,11 4 m 27,46 ± 1,44 27,1 ± 1,30 27,1 ± 1,3 26,5 ± 0,17 5 m 26,86 ± 0,92 26,53 ± 0,49 27,1 ± 1,3 26,36 ± 0,05 Ket: Data dasar pada lampiran 1 Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa perbedaan kedalaman dan perbedaan stasiun berpengaruh terhadap suhu. Berdasarkan analisis RAK, karakteristik nilai suhu pada stasiun 3 dan 2 memilki persamaan karakteristik nilai suhu dan berbeda signifikan dengan stasiun 1 dan 4. Berdasarkan kedalaman, pada kedalaman 0 meter – 3 meter fluktuasi suhu tidak berbeda secara signfikan akan tetapi pada kedalaman 4 dan 5 meter suhu memperlihatkan perbedaan yang signifikan, dapat diartikan bahwa penurunan suhu secara signifikan terjadi dibawah kedalaman 3 meter hasil analisis statistik dapat dilihat pada Lampiran 2. Gambar 8 memperlihatkan bahwa semakin menurun kedalaman maka nilai suhu akan semaikin menurun dengan rata-rata suhu tertinggi di setiap stasiun berada pada permukaan perairan. Pada grafik Gambar 8 juga memperlihatkan bahwa suhu rata-rata terendah ada pada stasiun 4. Gambar 8. Fluktuasi suhu rata-rata pada kedalaman berbeda Pengukuran suhu yang dilakukan pada penelitian ini di bulan juli dan Agustus berada pada kisaran 26,2 – 30,7 C Lampiran 1.

4.2.1.2 Kekeruhan dan Kecerahan

Hasil olah data berupa rataan dan standar deviasi Tabel 5 memperlihatkan bahwa kisaran nilai kekeruhan tertinggi di Waduk Saguling ada pada stasiun 4 yang memiliki rentang maksimal sebesar 6,1 NTU dan rentang minimum sebesar 4,63 NTU. Tingginya nilai kekeruhan pada stasiun 4 disebabkan oleh tingginya intensitas masukan pencemar dari sungai Citarum yang diduga berasal dari aktivitas industri yang berada di sekitar aliran sungai Citarum dan akibat limpasan tanah yang berasal dari daerah pertanian terutama pada bulan Agustus dimana secara fisik air pada stasiun 4 terlihat sangat hitam. Tabel 5. kisaran nilai kekeruhan NTU berdasarkan rataan dan standar deviasi χ ± sd stasiun 1 stasiun 2 stasiun 3 Stasiun 4 0 m 3,20 ± 0,26 2,40 ± 0,17 2,30 ± 0,17 4,26 ± 1,55 1 m 3,23 ± 0,55 2,80 ± 0,34 2,20 ± 0,36 4,16 ± 1,60 2 m 3,40 ± 0,55 2,40 ± 0,2 2,26 ± 0,40 4,40 ± 1,70 3 m 3,06 ± 0,50 3,13 ± 1 2,23 ± 0,25 4,86 ± 0,90 4 m 3,16 ± 0,49 2,43 ± 0,35 2,20 ± 0,43 5,03 ± 0,40 5 m 3,25 ± 0,39 2,63 ± 0,55 2,66 ± 1,02 4,70 ± 0,7 Ket: Data dasar pada lampiran 1 25 26 27 28 29 0 m 1 m 2 m 3 m 4 m 5 m suhu °C Hasil analisis stastistik RAK menunjukkan bahwa perbedaan kedalaman perairan tidak memberikan perbedaan yang signifikan pada nilai kekeruhan. Akan tetapi perbedaan stasiun memberikan perbedaan yang signifikan terhadap nilai kekeruhan. Hasil uji lanjut Duncan memperlihatkan bahwa ada 3 kelompok stasiun yang memiliki perbedaan karakteristik nilai kekeruhan yaitu stasiun 1 yang merupakan dam waduk Saguling, kelompok kedua adalah stasiun 2 dan 3 memiliki kesamaan karakteristik kekeruhan yang disebabkan lokasi stasiun 2 dan 3 merupakan lokasi padat KJA dan kelompok ketiga adalah stasiun 4 merupakan inlet Waduk Saguling dan memiliki nilai kekeruhan yang sangat tinggi dibandingkan stasiun yang lain hasil analisis statistik dapat dilihat pada Lampiran 4. Gambar 9 memperlihatkan bahwa nilai kekeruhan pada setiap stasiun sangat berbeda dengan nilai rata-rata terendah pada stasiun 3 dan tertinggi pada stasiun 4 yang nilainya melebihi 4 NTU. Tingginya nilai kekeruhan pada stasiun 4 berbanding lurus dengan tingginya nilai TSS yang disebabkan karena lokasi stasiun 4 yang berada pada inlet waduk yaitu masukan air dari Sungai Citarum. Kekeruhan pada lokasi penelitian yang diukur pada bulan Juli dan Agustus 2009 memperlihatkan kenaikan yang sangat signifikan pada bulan Agustus di stasiun 4 yaitu berkisar antara 5,5 – 6,2 NTU, sedangkan pada stasiun 1, 2, 3, dan 4 di bulan Juli yaitu 3 – 3,9 NTU, 2 – 4,2 NTU, 2 – 3,8 NTU dan 2,8 – 4,8 NTU. Kekeruhan pada bulan Agustus di stasiun 1, 2, 3, dan 4 yaitu 2.6 – 3 NTU, 2,5 – 3 NTU, 2,2 – 2,5 NTU, dan 5,5 – 6,2 NTU lampiran 2. Tingginya nilai kekeruhan di stasiun 4 pada bulan Agustus diduga karena tingginya intensitas masukan pencemaran dari industri disekitar kabupaten Bandung sehinga menyebabkan nelayan karamba jaring apung yang berada dekat stasiun 4 lebih memilih untuk memanen ikan lebih cepat. Sedangkan pada bulan Juli, kekeruhan di stasiun 4 juga lebih tinggi dibandingkan stasiun lainnya, hal ini dikarenakan adanya lokasi pertanian dan pertambangan pasir pada daerah ini sehingga terjadi erosi yang akan memasuki perairan ini. Gambar 9. Fluktuasi kekeruhan rata-rata pada kedalaman berbeda Kecerahan perairan Waduk Saguling rata-rata pada stasiun 1 mencapai 1,56 meter, stasiun 2 memiliki nilai kecerahan sebesar 0,86 meter, stasiun 3 memiliki nilai kecerahan sebesar 1,28 meter, dan stasiun 4 memiliki nilai kecerahan sebesar 0,34 meter. Nilai kecerahan terendah adalah pada stasiun 4, hal ini dikarenakan adanya masukan pencemar dari pabrik-pabrik di sekitar Kabupaten Bandung pada bulan Agustus dan adanya erosi sedimen dari wilayah pertanian dan pertambangan pasir disekitar wilayah tersebut. Kecerahan dan kekeruhan menunjukkan nilai yang berbanding terbalik, nilai kekeruhan tinggi akan menyebabkan nilai kecerahan rendah pada Waduk Saguling.

4.2.1.3 Total Suspended Solids

Hasil olah data berupa rataan dan standar deviasi Tabel 6 memperlihatkan bahwa kisaran nilai TSS tertinggi di Waduk Saguling ada pada stasiun 4 yang memiliki rentang maksimal sebesar 111,24 mgl. Tingginya nilai TSS pada stasiun 4 berbanding lurus dengan tingginya nilai kekeruhan yang disebabkan oleh adanya masukan pencemar dari Sungai Citarum yang diduga berasal dari aktivitas industri yang berada di sekitar aliran Sungai Citarum terutama pada bulan Agustus dimana secara fisik air pada stasiun 4 terlihat sangat hitam. Rentang nilai TSS terendah adalah pada stasiun 1 yang terletak di daerah dam Waduk Saguling yaitu 1,03 mgl, hal ini disebabkan oleh sedikitnya kegiatan 2 4 6 0 m 1 m 2 m 3 m 4 m 5 m Kekeruhan NTU karamba jaring apung dan debit air masuk yang lebih kecil dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 24.90 m 3 det. Tingginya nilai TSS yang berbanding lurus dengan nilai kekeruhan menyebabkan terhalangnya masukan cahaya kedalam perairan yang akan mengakibatkan terganggunya beberapa spesies fitoplankton sebagai produsen primer di dalam perairan. Lebih lanjut dikatakan oleh Welch dan Jacoby, 2004 bahwa nilai TSS lebih besar dari 80 mgl mengindikasikan adanya pencemaran didalam suatu perairan. Tabel 6. kisaran nilai TSS mgl berdasarkan rataan dan standar deviasi χ ± sd stasiun 1 stasiun 2 stasiun 3 stasiun 4 0 m 11.,7 ± 6,72 16,16 ± 1,70 16,96 ± 5,12 33,66 ± 27,35 1 m 9,13 ± 8,10 15,23 ± 3,62 16 ± 4,13 43,3 ± 34,97 2 m 12,7 ± 6,74 11,83 ± 5,35 16,9 ± 3,92 31,5 ± 27,44 3 m 8,63 ± 5,53 13,76 ± 1,66 16,83 ± 5,01 41,66 ± 37,81 4 m 10,86 ± 4,39 16,76 ± 1,76 18,43 ± 3,59 46,56 ± 51,95 5 m 9,733 ± 6,60 12,63 ± 3,49 16,8 ± 3,04 55,66 ± 55,58 Ket: Data dasar pada lampiran 1 Hasil analisis stastistik RAK menunjukkan bahwa perbedaan kedalaman perairan tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap nilai TSS. Akan tetapi, perbedaan stasiun memberikan pengaruh yang signifikan terhadap nilai TSS. Stasiun 2 dan 3 memiliki karakteristik nilai TSS yang sama yang disebabkan berada pada lokasi yang sama dalam penggunaannya yaitu lokasi KJA dan berbeda signifikan pada stasiun 1 dan 4 dimana stasiun 4 berada pada inlet waduk dan memiliki nilai TSS sangat tinggi dibandingkan stasiun lainnya hasil analisis statistik dapat dilihat pada Lampiran 5. Nilai TSS pada lokasi penelitian yang diukur pada bulan Juli dan Agustus 2009 memperlihatkan kenaikan yang signifikan pada bulan Agustus di stasiun 4 yaitu berkisar antara 62,7 – 119,8 mgl, sedangkan pada stasiun 1, 2, 3, dan 4 di bulan juli yaitu 2,8 – 13,7 mgl, 9,5 – 17,2 mgl, 11,1 – 20,8 mgl, 10,4 – 26,5 mgl. Kekeruhan pada bulan Agustus di stasiun 1, 2, 3, dan 4 yaitu 13,1 – 20 mgl, 6,5 – 18,8 mgl, 14,4 – 21,8 mgl, 62,7 – 119,8 mgl lampiran 2. Secara umum, nilai TSS yang diukur pada saat penelitian dalam status aman bagi kegiatan perikanan, yaitu dibawah 80 mgl kecuali di stasiun 4. Nilai fluktuasi TSS rata-rata diperlihatkan grafik pada Gambar 10. Grafik tersebut memperlihatkan bahwa nilai TSS rata-rata pada stasiun 1, 2, dan 3 tidak lebih dari 20 mgl, akan tetapi pada stasiun 4 nilai TSS rata-rata menunjukkan nilai yang jauh lebih tinggi yaitu dapat mencapai lebih dari 40 mgl, pada kedalaman 5 meter nilai TSS rata- rata mendekati 60 mgl. Dampak akibat tingginya TSS adalah meningkatnya kekeruhan perairan yang akan menyebabkan terhambatnya proses fotosintesis sehingga produktivtas primer akan menurun. Hasil analisis regresi antara TSS dan kekeruhan memperlihatkan bahwa semakin tinggi nilai TSS maka nilai kekeruhan akan semakin tinggi dengan R square sebesar 0,63. Adapun pola korelasi antara TSS dan kekeruhan hasil analisis regresi yaitu “y = 0,0544x + 2,0407” dengan kekeruhan sebagai variable y dan TSS sebagai variable x. 4.2.2 Parameter Kimia Perairan 4.2.2.1 Oksigen Terlarut dan Oksigen Saturasi Hasil olah data berupa rataan dan standar deviasi Tabel 7 memperlihatkan bahwa kisaran nilai DO di Waduk Saguling dalam keadaan yang tidak mendukung pertumbuhan organisme perairan secara baik. Hasil standar deviasi menunjukkan oksigen terlarut mengalami defisit yaitu dibawah 3 mgl. Secara umum, pada stasiun 1, 2 , dan 3 kadar oksigen terlarut dapat mencapai lebih dari 4 mgl akan tetapi pada stasiun 4 di waktu tertentu dapat mencapai dibawah 1 mgl. Kondisi ini jelas membahayakan bagi organisme perairan. Pada awalnya petani karamba di stasiun 3 yang relatif dekat dengan stasiun 4 membudidaya ikan mas, akan tetapi saat ini ikan mas tidak dapat dibudidayakan sehingga pada stasiun 3 para petani tambak lebih memilih membudidaya ikan patin yang 20 40 60 0 m 1 m 2 m 3 m 4 m 5 m TSS mgl Gambar 10. Grafik Fluktuasi TSS rata-rata pada kedalaman relatif tahan dengan kondisi oksigen terlarut dibawah 5 mgl, hal ini disebabkan ikan patin mempunyai alat pernapasan yang disebut aborescen organ yang merupakan membran yang berlipat-lipat penuh dengan kapiler darah sehingga organ ini memungkinkan ikan patin untuk menyimpan darah yang penuh oksigen lebih banyak dari ikan pada umumnya sehingga ikan patin dapat lebih tahan pada kondisi perairan yang mengalami defisit oksigen. Dengan memperhatikan kisaran suhu dan kisaran oksigen terlarut maka direkomendasikan untuk melakukan budidaya ikan patin dibandingkan dengan ikan mas. Tabel 7. Kisaran nilai DO mgl berdasarkan rataan dan standar deviasi χ ± sd stasiun 1 stasiun 2 stasiun 3 stasiun 4 0 m 3,13 ± 0,64 3,47 ± 0,81 3,2 ± 0,8 3,2 ± 2,35 1 m 3,22 ± 0,51 2,74 ± 0,59 3,8 ± 0,87 2,58 ± 2,69 2 m 2,61 ± 0,55 2,75 ± 1,94 3,24 ± 1,20 2,06 ± 2,13 3 m 3,28 ± 0,70 2,68 ± 1,65 2,07 ± 0,65 1,94 ± 2,04 4 m 2,92 ± 0,50 2,76 ± 1,71 1,77 ± 1,35 1,40 ± 1,2 5 m 3,11 ± 1,40 2,60 ± 1,20 1,7 ± 2 1,55 ± 2 Ket: Data dasar pada lampiran 1 Analisis statistik untuk kedalaman memperlihatkan bahwa hampir disemua kedalaman 0 meter dan 1 meter memiliki karakteristik nilai yang sama, berbeda dengan pada kedalaman 2, 3, 4, dan 5 yang nilainya lebih kecil dibandingkan kedalalaman 0 dan 1 meter. Sehingga dapat disimpulkan bahwa penurunan kadar oksigen terlarut secara signifikan ketika berada dibawah kedalaman 1 meter. Analisis statistik untuk stasiun menunjukkan bahwa ada 3 kelompok karakteristik stasiun yang berbeda, kelompok pertama yaitu stasiun 1 yaitu Dam Saguling, kelompok kedua yaitu stasiun 2 dan 3 yang terletak di lokasi padat KJA, kelompok ketiga adalah stasiun 4 yang merupakan inlet Waduk Saguling hasil analisis statistik dapat dilihat pada lampiran 6. Grafik pada Gambar 11 memperlihatkan bahwa setiap stasiun pada permukaan dan kedalaman 1 meter nilai DO diatas 3 mgl kecuali stasiun 2 dan 4 kedalaman 1 meter dibawah 3 mgl dan terus menurun mengikuti menurunnya kedalaman. Pada grafik terlihat stasiun 4 memiliki nilai DO terendah bahkan pada kedalaman 4 meter dan 5 meter nilai DO dibawah 2 mgl. Gambar 11. Grafik fluktuasi DO rata-rata pada kedalaman berbeda Nilai kadar oksigen terlarut berkisar antara 1,8 – 4,6 mgl di stasiun 1, di stasiun 2 berkisar antara 1, 2 – 5 mgl, di stasiun 3 berkisar antara 0,6 – 4,4 mgl, dan di stasiun 4 berkisar antara 0,2 – 5,8 mgl Lampiran 1. Kadar oksigen terlarut pada lokasi penelitian memperlihatkan nilai yang mendekati ambang batas bagi kehidupan ikan 3 mgl, khususnya pada stasiun 4 yang memiliki kadar oksigen terlarut yang sangat rendah di berbagai kedalaman. Hal ini disebabkan adanya masukan pencemar dan masukan bahan organik dari tanah erosi sehingga menyebabkan terjadinya proses dekomposisi bahan organik dan oksidasi bahan anorganik yang membutuhkan oksigen pada prosesnya. Hasil olah data berupa rataan dan standar deviasi Tabel 8 dan Gambar 12 memperlihatkan bahwa DO saturasi di Waduk Saguling berada pada kisaran 17,48 – 48,1 . Kecendrungan DO saturasi pada setiap stasiun memperlihatkan kecendrungan yang hampir sama yaitu kosentrasi DO saturasi pada permukaan 0 meter dan kedalaman 1 meter memiliki nilai konsentrasi yang besar dan terus menurun mengikuti kedalaman gambar 12. Secara umum, DO saturasi pada perairan berada pada kondisi tak jenuh karena nilai DO lebih kecil dari nilai DO secara teoritis. Kondisi tak jenuh ini mengindikasikan bahwa pada perairan terjadi proses difusi oksigen dari udara ke perairan. Tabel 8. kisaran konsentrasi DO saturasi berdasarkan rataan dan standar deviasi χ ± sd 1 2 3 4 0 m 1 m 2 m 3 m 4 m 5 m DO mgl stasiun 1 stasiun 2 stasiun 3 stasiun 4 0 m 40,52 ± 8,70 44,41 ± 10,74 41,04 ± 9,94 40,77 ± 30,23 1 m 41,84 ± 8,09 34,77 ± 8,56 48,10 ± 10,20 32,40 ± 33,85 2 m 33,47 ± 5,92 35,14 ± 25,86 40,95 ± 14,61 25,88 ± 26,84 3 m 42,22 ± 9,75 34,28 ± 22,13 26,16 ± 8,18 24,37 ± 25,70 4 m 36,89 ± 6,38 34,74 ± 22,25 31,32 ± 18,61 17,48 ± 15,08 5 m 38,80 ± 17,71 32,41 ± 15,20 21,13 ± 24,63 19,10 ± 24,68 Ket: Data dasar pada lampiran 1 Gambar 12. Grafik Fluktuasi DO saturasi rata-rata pada kedalaman berbeda

4.2.2.2 Total Nitrogen

Hasil olah data berupa rataan dan standar deviasi Tabel 9 memperlihatkan bahwa kisaran nilai total nitrogen di Waduk Saguling telah mencapai 0,5 mgl di setiap stasiun, besarnya nilai total nitrogen ini mengindikasikan bahwa perairan Waduk Saguling dalam kondisi mesotrofik sampai eutrofik. karena menurut Suthers dan Rissik 2009, perairan yang memiliki nilai total nitrogen lebih dari 1 mgl telah mencapai eutrofik dan memacu pertumbuhan fitoplankton. Tingginya nilai total nitrogen di stasiun 2 dan 3 dikarenakan padatnya intensitas karamba jaring apung. Kisaran maksimum tertinggi adalah pada stasiun 4 yaitu mencapai 1,45 mgl, dengan nilai sebesar ini mengindikasikan bahwa perairan Waduk Saguling telah menerima beban pencemar bahan organik baik yang berasal dari dalam waduk itu sendiri maupun yang berasal dari luar waduk. Menurut Bronmark dan Hansson 2005, nilai total nitrogen diatas 1,5 mgl 20 40 60 0 m 1 m 2 m 3 m 4 m 5 m DO Saturasi mengindikasikan perairan tersebut tercemar akibat aktivitas manusia dan buangan feses hewan seperti hewan budidaya. Tabel 9. kisaran nilai total Nitrogen mgl berdasarkan rataan dan standar deviasi χ ± sd stasiun 1 stasiun 2 stasiun 3 stasiun 4 0 m 0,39 ± 0,03 0,54 ± 0,15 0,42 ± 0,03 0,90 ± 0,28 1 m 0,50 ± 0,23 043 ± 0,11 0,57 ± 0,22 0,90 ± 0,30 2 m 0,42 ± 0,15 0,49 ± 0,20 0,52 ± 0,15 1,12 ± 0,33 3 m 0,78 ± 0,09 0,71 ± 0,03 0,52 ± 0,02 1,11 ± 0,25 4 m 0,56 ± 0,20 0,82 ± 0,13 0,35 ± 0,05 1,09 ± 0,31 5 m 0,42 ± 0,14 0,52 ± 0,14 0,52 ± 0,09 0,73 ± 0,04 Hasil analisis stastistik RAK menunjukkan bahwa perbedaan kedalaman perairan tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap konsentrasi total nitrogen. Sedangkan perbedaan stasiun memberikan pengaruh yang signifikan terhadap konsentrasi total nitrogen. Berdasarkan hasil uji Duncan, perbedaan stasiun ada 2 kelompok yaitu kelompok pertama adalah stasiun 4 dimana nilai total nitrogen lebih tinggi dibandingkan stasiun yang lain, dan kelompok kedua yang memiliki kesamaan karakteristik nilai yaitu stasiun 1, 2, dan 3 hasil analisis statisitik dapat dilhat pada lampiran 7 Nilai total nitrogen pada bulan Juli 2009 berkisar antara 0,28 – 1,17 mgl dengan nilai tertinggi berada pada stasiun 4. Nilai total nitrogen pada bulan Agustus 2009 berkisar antara 0,3 – 1,45 mgl lihat Lampiran 1 dengan nilai rata-rata total nitrogen tertinggi berada pada stasiun 4. Nilai total nitrogen pada kedua bulan tersebut memperlihatkan hasil nilai total nitrogen tertinggi berada pada stasiun 4, hal tersebut dikarenakan stasiun 4 adalah lokasi inlet dimana pada lokasi ini mendapat banyak masukan dari aliran Sungai Citarum yang membawa limbah pabrik disekitar wilayah tersebut, limpasan tanah permukaan, dan limbah domestik. Masukan tersebut diperlihatkan dari warna air yang berubah menjadi hitam dan nilai kekeruhan yang tinggi pada stasiun 4. Total nitrogen dapat dijadikan sebagai indikator perairan yang terkena masukan polutan organik, limbah industri, dan run-off, sehingga dapat dijadikan indikator polusi organik UNESCO, 1996. Grafik Gambar 13 memperlihatkan bahwa nilai total nitrogen pada stasiun 4 pada semua kedalaman lebih tinggi dibandingkan dengan stasiun lainya yang dapat mencapai lebih besar dari 1 mgl. Sebagian besar nilai rata-rata total nitrogen lebih besar dari 0,5 mgl kecuali pada permukaan, kedalaman 2 meter dan 5 meter stasiun 1 dan Ket: Data dasar pada lampiran 1 kedalaman 4 meter stasiun 3 menunjukkan bahwa kesuburan perairan waduk Saguling telah mencapai eutrofik.

4.2.2.3 Total fosfor

Hasil olah data berupa rataan dan standar deviasi Tabel 10 memperlihatkan bahwa kisaran nilai total fosfor tertinggi ada pada stasiun 4 yang terletak di inlet waduk Saguling, tingginya total fosfor pada stasiun 4 disebabkan karena adanya masukan pencemar baik dari KJA maupun dari eksternal waduk seperti aliran Sungai Citarum, dan hasil buangan industri di sekitar Sungai Citarum. Kisaran total fosfor menunjukkan bahwa kondisi Waduk Saguling telah mencapai kondisi eutrofik bahkan telah mencapai hypereutrofik pada stasiun 4. Hasil analisis stastistik menunjukkan bahwa perbedaan kedalaman perairan tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap konsentrasi total fosfat. Perbedaan stasiun memberikan pengaruh yang signifikan terhadap konsentrasi total fosfat. Berdasarkan hasil uji Duncan, perbedaan stasiun ada 2 kelompok yaitu kelompok pertama adalah stasiun 4 dengan nilai total fosfat lebih tinggi dibandingkan stasiun yang lain, dan kelompok kedua yang memiliki kesamaan karakteristik nilai yaitu stasiun 1, 2, dan 3 hasil analisis statisitik dapat dilhat pada Lampiran 8 0.5 1 1.5 0 m 1 m 2 m 3 m 4 m 5 m Total Nitrogen mgl Gambar 13. Grafik fluktuasi total nitrogen rata-rata pada kedalaman berbeda Tabel 10. Kisaran nilai total fosfat mgl berdasarkan rataan dan standar deviasi χ ± sd stasiun 1 stasiun 2 stasiun 3 stasiun 4 0 m 0,03 ± 0,04 0,04 ± 0,03 0,04 ± 0,04 0,14 ± 0,09 1 m 0,04 ± 0,03 0,05 ± 0,03 0,06 ± 0,07 0,14 ± 0,07 2 m 0,05 ± 0,02 0,03 ± 0,02 0,06 ± 0,04 0,11 ± 0,10 3 m 0,05 ± 0,08 0,04 ± 0,03 0,04 ± 0,03 0,15 ± 0,07 4 m 0,05 ± 0,06 0,04 ± 0,08 0,13 ± 0,08 0,17 ± 0,06 5 m 0,03 ± 0,02 0,08 ± 0,05 0,07 ± 0,05 0,17 ± 0,07 Ket: Data dasar pada lampiran 1 Grafik Gambar 14 memperlihatkan bahwa nilai total fosfat pada stasiun 4 pada semua kedalaman lebih tinggi dibandingkan dengan stasiun lainya yang dapat mencapai lebih besar dari 0,1 mgl. Stasiun 1, 2, dan 3 memiliki kisaran nilai total fosfat yang tidak jauh berbeda. Gambar 14. Grafik Fluktuasi Total Fosfat rata-rata pada kedalaman berbeda Nilai total fosfor pada bulan Juli 2009 berkisar antara 0,003 – 0,224 mgl dengan nilai tertinggi berada pada stasiun 3. Nilai total fosfor pada bulan Agustus 2009 berkisar antara 0,005 – 0,263 mgl dengan nilai total fosfor tertinggi berada pada stasiun 4 . Nilai total nitrogen pada kedua bulan tersebut memperlihatkan hasil yang nilai tertinggi pada stasiun 3 dan 4, hal tersebut dikarenakan pada stasiun 4 merupakan inlet Waduk Saguling dan stasiun 3 relatif dekat dengan stasiun 4 mendapat masukan dari aliran Sungai Citarum yang membawa limbah pabrik disekitar wilayah tersebut, limpasan tanah 0.05 0.1 0.15 0.2 0 m 1 m 2 m 3 m 4 m 5 m Total Fosfat mgl daratan, dan limbah domestik. Masukan limbah tersebut diperlihatkan dari warna air yang berubah menjadi hitam dan nilai kekeruhan yang tinggi. Hal ini juga disebabkan karena realisasi debit air masuk sangat rendah yaitu 23,14 m 3 detik dan juga rendahnya realisasi debit air keluar yaitu sebesar 53,25 m 3 detik sehingga menyebabkan tingginya total fosfat di stasiun 4 yang merupakan inlet waduk tidak mempengaruhi stasiun-stasiun lainnya. Total fosfor selain dapat dijadikan sebagai indikator tingkat trofik perairan juga dapat memberikan gambaran besarnya bahan organik yang berada di perairan tersebut, karena menurut Bronmark dan Hansson 2005, fosfor didalam perarairan sebagian besar lebih dari 80 berbentuk fosfor organik. Dengan menganalisis total fosfor akan dapat memberikan gambaran besarnya fosfor dalam bentuk organik di perairan.

4.2.2.4 Chemical Oxygen Demand COD

Hasil olah data berupa rataan dan standar deviasi Tabel 11 memperlihatkan bahwa kisaran nilai COD pada setiap stasiun dan pada setiap kedalaman menunjukkan nilai yang melebihi 20 mgl, bahkan beberapa kedalaman menunjukkan nilai yang melebihi 200 mgl. Hasil tersebut menunjukkan bahwa tingginya pemakaian oksigen di perairan Waduk Saguling dalam proses oksidasi bahan organik, hal ini sejalan dengan hasil pengukuran oksigen terlarut yang sangat rendah Tabel 7. Kisaran maksimum tertinggi ada pada stasiun 4 yaitu sebesar 207.4 ± 23.93 dapat diartikan bahwa pada stasiun 4 mendapat masukan beban pencemara organik terbesar dibandingkan dengan stasiun yang lain, hal ini disebabkan karena adanya masukan buangan industri dan aktivitas manusia lainnya yang berada di sekitar aliran Sungai Citarum. Tabel 11. Kisaran nilai COD mgl berdasarkan rataan dan standar deviasi χ ± sd stasiun 1 stasiun 2 stasiun 3 stasiun 4 0 m 156,02 ± 118,39 127,73 ± 31,71 141,67 ± 54,11 207,4 ± 23,93 1 m 167,08 ± 26,83 156,42 ± 79,77 122,21 ± 50,07 127,34 ± 32,93 2 m 161,74 ± 45 131,66 ± 58,22 151,32 ± 116,15 167,08 ± 26,85 3 m 128,15 ± 48,02 121,81 ± 57,79 77,57 ± 24,90 182,62 ± 54,45 4 m 196,56 ± 87,96 123,03 ± 28,98 76,97 ± 58,71 182,63 ± 54,46 5 m 161,94 ± 42,99 102,15 ± 80,65 83,48 ± 50,50 187,34 ± 36,89 Ket: Data dasar pada lampiran 1 Hasil analisis stastistik menunjukkan bahwa perbedaan kedalaman perairan tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap konsentrasi COD. Perbedaan stasiun memberikan pengaruh yang signifikan terhadap konsentrasi COD. Hasil uji Duncan memperlihatkan bahwa terdapat 3 kelompok stasiun yang mempunyai karakteristik nilai COD yang sama. Kelompok pertama adalah stasiun 2 dan 3 yang terletak pada lokasi padat KJA, kelompok kedua yaitu stasiun 1 yang terletak pada dam Waduk Saguling, kelompok ketiga yaitu stasiun 4 yang terletak pada inlet Waduk Saguling hasil analisis statistik dapat dilihat pada Lampiran 9. Grafik nilai rata-rata COD pada Gambar 15 memperlihatkan bahwa nilai COD tertinggi pada kedalaman 0 meter di stasiun 4 dan terendah pada kedalaman 3 meter di stasiun 3. Grafik Gambar 15 menunjukkan bahwa sebagian besar nilai COD antara ke 4 stasiun pengamatan tidak jauh berbeda. Gambar 15. Grafik Fluktuasi COD rata-rata pada kedalaman berbeda Nilai COD pada bulan Juli 2009 adalah 47,27 – 298 mgl dengan nilai tertinggi berada pada stasiun 1. Nilai COD pada bulan Agustus 2009 adalah 18,37 – 217,93 mgl dengan nilai COD tertinggi berada pada stasiun 4 Lampiran 1. Nilai rata-rata COD pada kedua bulan tersebut memperlihatkan bahwa perairan Waduk Saguling telah mendapat masukan bahan organik, bahkan dalam status tercemar, karena perairan yang tercemar biasanya memiliki nilai COD lebih dari 200 mgl dan pada perairan yang menerima masukan limbah industri biasanya memiliki nilai COD 60.000 mgl UNESCO, 1996. 100 200 300 0 m 1 m 2 m 3 m 4 m 5 m COD mgl 4.2.3 Parameter biologi Perairan 4.2.3.1 Klorofil a Hasil olah data berupa rataan dan standar deviasi Tabel 12 memperlihatkan bahwa kisaran nilai klorofil-a pada beberapa kedalaman pada setiap stasiun lebih besar dari 0,5 µgl Hasil tersebut menunjukkan bahwa perairan Waduk Saguling dalam kondisi oligotrofik-mesotrofik jika ditinjau dari nilai klorofil-a. Nilai kisaran standar deviasi klorofil-a tertinggi adalah pada stasiun 4 yaitu sebesar 0,643 µgl, hal ini disebabkan karena adanya masukan pencemar organik yang tinggi sehingga menyebabkan tersedianya unsur-unsur nutrien pertumbuhan fitoplankton dalam jumlah yang besar, hal ini diperlihatkan dari besarnya konsentrasi total fosfat Tabel 10 dan total nitrogen Tabel 9 pada stasiun ini. Kisaran nilai klorofil a mengindikasikan bahwa perairan Waduk Saguling berada pada kondisi oligotrofik – mesotrofik. Menurut Yang et al. 2008, konsentrasi klorofil-a berkolerasi negatif terhadap jarak dari keberadaan KJA. Sehingga pada daerah yang dekat dengan KJA akan memiliki konsentrasi klorofil a yang rendah. Tabel 12. Kisaran nilai klorofil-a µgl berdasarkan rataan dan standar deviasi χ ± sd stasiun 1 stasiun 2 stasiun 3 stasiun 4 0 m 0,28 ± 0,17 0,28 ± 0,04 0,21 ± 0,03 0,42 ± 0,22 1 m 0,31 ± 0,02 0,53 ± 0,28 0,23 ± 0,06 0,42 ± 0,06 2 m 0,36 ± 0,06 0,33 ± 0,09 0,25 ± 0,04 0,36 ± 0,02 3 m 0,37 ± 0,06 0,27 ± 0,07 0,22 ± 0,02 0,29 ± 0,07 4 m 0,30 ± 0,14 0,31 ± 0,05 0,16 ± 0,04 0,33 ± 0,02 5 m 0,36 ± 0,06 0,26 ± 0,05 0,16 ± 0,04 0,24 ± 0,03 Ket: Data dasar pada lampiran 1 Nilai klorofil-a di lokasi penelitian pada bulan Juli dan Oktober tidak memperlihatkan perbedaan yang signifikan diantara rentang waktu tersebut. Nilai klorofil a pada bulan Juli 2009 adalah 0,109 – 0,849 µgl dengan nilai tertinggi berada pada stasiun 2 Lampiran 1. Nilai klorofil a pada bulan Agustus 2009 adalah 0,218 – 0,455 µgl dengan nilai klorofil a tertinggi berada pada stasiun 4. Gambar 16 memperlihatkan nilai klorofil-a rata-rata pada stasiun 1, 2, dan 4 berada pada kisaran yang sama akan tetapi pada stasiun 3 nilai klorofil-a rata-rata pada ke-6 kedalaman memiliki nilai yang rendah dibandingkan stasiun lainnya dengan nilai klorofil-a terendah di bawah 0,2 µgl. Gambar 16. Grafik fluktuasi klorofil-a rata-rata pada kedalaman berbeda

4.2.3.2 Fitoplankton

Plankton adalah mikroorganisme yang hidup di perairan baik di sungai, danau, waduk maupun di laut. Mikroorganisme ini baik dari segi jumlah maupun jenisnya sangat banyak. Fitoplankton merupakan komponen utama dalam sistem mata rantai makanan atau food chain. Fitoplankton berperan sebagai produsen primer dalam sistem mata rantai makanan di perairan sehingga keberadaanya sangat mempengaruhi keberadaan organisme lainnya di perairan. Komposisi Fitoplankton Hasil Penelitian menunjukkan bahwa pada setiap stasiun di kedalaman 0 meter, 1 meter, 2 meter, 3 meter, 4 meter, dan 5 meter ditemukan 4 kelas fitoplankton Gambar 17, yaitu Cyanophyceae sebesar 32, Chlorophyceae sebesar 23 , Bacillariophyceae sebesar 36 , dan Dinophyceae sebesar 9 . Tingginya jumlah genus pada kelas Bacillariophyceae sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Cabencinha et al 2009 yang mengatakan, waduk yang mengandung konsentrasi nutrien tinggi akan memiliki keberagaman genus yang tinggi dari Kelas Bacilariophyceae. Dari tiap kelas fitoplankton yang ditemukan terdapat beberapa genera fitoplankton, yaitu Kelas Cyanophyceae ditemukan 7 genera yaitu Anabaena, Microcystis, Merismopedia, Oscilatoria, Phormidium, Agmenelum, dan Spirulina. Kelas Chlorophyceae ditemukan 5 genera yaitu Cosmarium, Closterium, Scenedesmus, Pediastrum, dan Spirogyra. Kelas 0.2 0.4 0.6 0 m 1 m 2 m 3 m 4 m 5 m klorofil-a mgl Bacillariophyceae ditemukan 8 genera yaitu Fragillaria, Navicula, Surirella, Synedra, Nitzschia, Cymbella, Denticula, dan Gyrosigma. Kelas Dinophyceae ditemukan 2 genera yaitu Ceratium, dan Peridinium. Gambar 17. Komposisi genera fitoplankton pada tiap kelas Genera Microcystis, Oscilatoria, dan Merismopedia dari Kelas Cyanophyceae merupakan penyusun utama komunitas fitoplankton di seluruh stasiun penelitian dan menyebar hampir pada seluruh lapisan kedalaman perairan. Penyusun komunitas selanjutnya dari Kelas Bacillariophyceae yaitu genera Nitzschia dan Fragillaria. Sedangkan dari Kelas Chlorophyceae adalah genera Cosmarium dan Scenedesmus. Penyusun komunitas dari Kelas Dinophyceae adalah genera Ceratium dan Peridinium. Dari sebaran jenis antar waktu pengamatan menunjukkan fitoplankton tersebut yang sering muncul di perairan Lampiran 11 dan 12. Tabel 13 memperlihatkan perbedaan komposisi genera fitoplankton antar stasiun dan kedalaman. Rata-rata jumlah genera tertinggi ada pada stasiun 4 yang merupakan inlet waduk yang pertama menerima masukan air dari luar waduk yaitu air dari sungai Citarum yang diduga membawa jenis fitoplankton tertentu sehingga memungkinkan di stasiun ini komposisi spesiesnya relatif tinggi. Hal ini sejalan dengan pendapat Soballe dan Kimmel 1987, bahwa jumlah jenis fitoplankton terbanyak ditemukan dibagian hulu, karena di bagian ini terjadi beban muatan hara dari luar dan dari dalam perairan, selain itu dimungkinkan membawa jenis-jenis fitoplankton dari luar. Komposisi genera fitoplankton pada stasiun 2 dan 3 lebih tinggi dibandingkan stasiun 1. Hal ini disebabkan 32 23 36 9 Cyanophyceae Chlorophyceae Bacillariophyceae Dinophyceae keberadaan stasiun 2 dan 3 yang berada pada lokasi padat KJA menyebabkan tingginya ketersediaan nutrien-nutrien pendukung pertumbuhan fitoplankton. Komposisi genera fitoplankton terendah berada pada stasiun 1, hal ini disebabkan keberadaan stasiun 1 yang berada di dam Waduk Saguling. Lokasi dam merupakan lokasi yang KJA sangat rendah sehingga ketersediaan nutrien bagi pertumbuhan fitoplankton lebih rendah dibandingkan dengan stasiun yang lain. Tabel 13. Komposisi genera fitoplankton Kedalaman Kelas Juli Agustus m st.1 st.2 st.3 st.4 st.1 st.2 st.3 st.4 Cyanophyceae 6 6 7 7 5 5 7 6 0 m Chlorophyceae 5 4 4 3 5 3 4 3 Bacillariophyceae 7 8 7 7 7 6 6 8 Dinophyceae 2 2 1 2 2 2 2 2 Jumlah 20 20 19 19 19 16 19 19 1 m Cyanophyceae 6 7 7 7 5 7 7 6 Chlorophyceae 4 5 5 4 4 4 4 4 Bacillariophyceae 6 8 8 8 7 8 8 8 Dinophyceae 1 2 1 2 1 2 2 2 Jumlah 17 22 21 21 17 21 21 20 2 m Cyanophyceae 7 7 7 7 5 6 7 6 Chlorophyceae 4 4 4 5 3 5 4 3 Bacillariophyceae 7 8 8 8 8 8 7 8 Dinophyceae 2 2 2 2 2 2 2 Jumlah 18 21 21 22 18 21 20 19 3 m Cyanophyceae 7 7 7 7 6 7 6 6 Chlorophyceae 4 4 4 4 4 4 4 5 Bacillariophyceae 7 7 8 8 8 8 8 8 Dinophyceae 1 2 1 2 2 2 2 2 Jumlah 19 20 20 21 20 21 20 21 4 m Cyanophyceae 7 7 7 7 7 7 5 5 Chlorophyceae 4 3 4 3 2 4 3 3 Bacillariophyceae 6 6 6 7 7 7 8 8 Dinophyceae 1 1 1 1 2 2 2 2 Jumlah 18 17 18 18 18 20 18 18 5 m Cyanophyceae 7 6 7 7 5 5 6 6 Chlorophyceae 2 4 3 3 2 3 3 2 Bacillariophyceae 7 7 7 7 6 7 6 6 Dinophyceae 1 1 2 1 1 2 2 2 Jumlah 17 18 19 18 14 17 17 16 Tingginya komposisi genera fitoplankton dari Kelas Cyanophyceae 32 dan Bacillariophyceae 23 mengindikasikan bahwa perairan Waduk Saguling dalam kondisi eutrofik. Menurut Ptanick et al. 2008, fitoplankton dari Kelas Cyanophyceae dan Bacillariophyceae merupakan indikator terjadinya eutrofikasi dalam suatu perairan. Perbedaan komposisi fitoplankton diakibatkan oleh adanya perbedaan karakteristik dan kemampuan tiap-tiap kelas fitoplankton di perairan. Kelas Cyanophyceae yang memiliki komposisi terbesar di perairan Waduk Saguling keberadaanya terdapat dalam bentuk unicellular maupun berkoloni serta beberapa genera dari Kelas Cyanophyceae mampu mengikat nitrogen dari udara seperti anabaena sp dan Nostoc sp, sehingga dapat ditemukan walaupun dalam keadaan nitrogen yang rendah. Kelimpahan Fitoplankton Kelimpahan Fitoplankton pada kedua bulan pengamatan menunjukkan kelimpahan yang berbeda baik pada setiap stasiun maupun pada berbagai kedalaman. Kelimpahan fitoplankton berdasarkan stasiun dan kedalaman dapat dilihat pada Lampiran 11 dan 12. Jumlah individu dari masing-masing fitoplankton yang ditemukan jumlahnya berbeda baik berdasarkan kedalaman maupun pada bulan pengamatan. Pada bulan Juli, kelimpahan fitoplankton tertinggi berada pada kedalaman permukaan di stasiun 3 yaitu sebesar 44670 selliter, kemudian diikuti pada kedalaman 1 meter di seluruh stasiun yaitu berkisar antara 12420 – 43710 selliter. Kelimpahan terendah pada bulan Juli adalah pada stasiun 1 pada kedalaman 5 meter Lampiran 11. Nilai kelimpahan fitoplankton pada bulan Agustus memiliki nilai yang lebih rendah dibandingkan pada bulan Juli. Kelimpahan fitoplankton bulan Agustus tertinggi berada pada stasiun 2 pada kedalaman 1 meter yaitu sebesar 36570 selliter, diikuti pada kedalaman 0 meter dengan kisaran nilai kelimpahan fitoplankton sebesar 10530 - 35700 selliter. Sedangkan Kelimpahan fitoplankton terendah bulan Agustus berada di stasiun 1 pada kedalaman 5 meter yaitu sebesar 4860 selliter Lampiran 12. Tingginya nilai kelimpahan fitoplankton di stasiun 2 dan 3 disebabkan ketersediaan nutrien yang melimpah pada lokasi tersebut, tingginya ketersediaan nutrien disebabkan pada lokasi ini adalah lokasi padat KJA dimana nutrien berupa fosfor dan nitrogen bersumber dari sisa pakan dan sisa metabolisme ikan budidaya KJA, hal ini ditunjukkan dengan tingginya nilai total nitrogen dan total fosfor pada kedua stasiun ini yaitu berkisar antara 0.706 – 0.820 mgl untuk total nitrogen dan 0.0537 – 0.1051 mgl untuk total fosfor. Pada stasiun 4, tingginya nilai kelimpahan fitoplankton disebabkan masukan air Sungai Citarum yang membawa berbagai nutrien. Nilai kelimpahan fitoplankton cenderung berfluktuasi berdasarkan kedalaman. Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan penetrasi cahaya yang masuk pada berbagai kedalaman serta ketersediaan nutrien yang berada di perairan. Cahaya matahari yang masuk ke dalam badan perairan semakin berkurang di lapisan yang lebih dalam. Faktor kekeruhan juga berpengaruh terhadap penetrasi cahaya di perairan karena akan menghalangi cahaya yang masuk ke dalam perairan yang selanjutnya akan berpengaruh terhadap aktivitas fotosintesis fitoplankton. Hal ini dibuktikan pada penelitian ini, dimana kelimpahan fitoplankton terendah pada bulan Juli dan Agustus berada pada kedalaman 5 meter di sebagian besar stasiun pengamatan. Penetrasi cahaya yang masuk pada lapisan permukaan mendukung proses fotosintesis secara optimal bagi fitoplankton yang berada di bagian badan perairan teratas. Berdasarkan kelas, kelimpahan fitoplankton pada bulan Juli tertinggi adalah pada Kelas Cyanophyceae di stasiun 4 dengan kelimpahan sebesar 173250 selliter, dan terendah pada Kelas Dinophyceae di stasiun 1 dengan kelimpahan sebesar 450 selliter Lampiran 11. Kelimpahan kelas fitoplankton pada bulan Agustus tertinggi pada Kelas Cyanophyceae di stasiun 2 dengan kelimpahan sebesar 137880 selliter dan terendah pada Kelas Dinophyceae di stasiun 1 dengan kelimpahan sebesar 540 celliter Lampiran 12. Grafik pada Gambar 18 memperlihatkan bahwa sebagian besar stasiun memiliki pola yang sama yaitu menurunya kedalaman diikuti dengan menurunnya kelimpahan fitoplankton, menurunya fitoplankton terlihat ketika dibawah kedalaman 1 meter hal ini disebabkan berkurangnya cahaya matahari pada kedalaman dibawah 1 meter, hal ini sejalan dengan rendahnya nilai kecerahan yaitu sekitar 0,5 – 1,56 meter. Kelimpahan fitoplankton terendah pada stasiun 1, hal ini disebabkan karena terbatasnya nutrien yang dibutuhkan fitolankton pada stasiun ini. Genera Microcystis merupakan genera yang ditemukan hampir pada setiap kedalaman dan stasiun serta memiliki kelimpahan tertinggi dibandingkan dengan genera lainnya. Menurut Xiangcan et al. 2006, Microcystis sp dari Kelas Cyanophyceae merupakan indikator bagi perairan yang mengalami eutrofikasi. Kelimpahan Microcystis sp pada Waduk Saguling termasuk tinggi jika dibandingan dengan kelimpahan genera- genera fitoplankton yang lainnya yaitu sebesar 24390 – 64920 selliter. Gambar 18. Grafik kelimpahan rata-rata fitoplankton selliter

4.3 Status Trofik Perairan Waduk Saguling Berdasarkan Indeks TRIX