Ekosistem Perairan Waduk Saguling

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ekosistem Perairan Waduk Saguling

Waduk adalah perairan yang terbentuk karena adanya pembendungan aliran sungai, yang ditujukan untuk berbagai keperluan seperti Pembangkit Listrik Tenaga Air PLTA, irigasi, pengendali banjir, sumberbaku air minum, perikanan dan pariwisata. Waduk Saguling adalah waduk yang terletak di Kabupaten Bandung Barat pada ketinggian 643 m di atas permukaan laut Gambar 2. Gambar 2. Waduk Saguling Sumber : Google Earth Waduk Saguling adalah waduk yang terletak pada bagian hulu dari tiga Waduk yang membendung aliran Sungai Citarum yang merupakan sungai terbesar di Jawa Barat. Setelah aliran Sungai Citarum masuk ke dalam Waduk Saguling, selanjutnya aliran Sungai Citarum masuk ke waduk Cirata dan Jatiluhur yang terletak di atas Waduk Saguling. Waduk Saguling dikelilingi oleh topografi daerah yang berbukit-bukit, dimana Sungai Citarum memiliki banyak aliran sungai sehingga Waduk Saguling memiliki karakteristik bentuk sebagai waduk dendritik. Waduk memiliki beberapa karakteristik bentuk, seperti bentuk longitudinal dan dendritik. Karakteristik waduk dengan bentuk dendritik disebabkan karena pada wilayah waduk tersebut berbukit-bukit dan sungai yang dibendung memiliki banyak aliran sungai sehingga menyebabkan waduk berbentuk dendrtik. Menurut Cooke et al. 2005, waduk secara umum memiliki 3 karakteristik zona, yaitu: 1. Riverine Zone Riverine zone adalah daerah inlet Waduk sehingga umumnya berbentuk lekukan dan berukuran lebih sempit dari zona lainnya. Kecepatan arus pada zona ini tinggi dan penetrasi cahaya yang kecil karena kekeruhan perairan yang tinggi. Kekeruhan yang tinggi pada zona ini disebabkan tingginya kandungan padatan tersuspensi. Kekeruhan tersebut juga mempengaruhi kemampuan fitoplankton dan algamakro untuk melakukan fotosintesis. Zona Riverine biasanya memiliki kandungan nutrien yang tinggi sehingga keadaan zona ini umumnya eutrofik. 2. Transitional Zone Transitional zone adalah zona yang terletak diantara zona riverine dan zona lacustrine yang dicirikan dengan bentuk lebih luas dari zona riverine, umumnya memiliki kedalaman paling dalam dibandingkan zona yang lain, dan kecepatan arus yang lebih lambat dibandingkan dengan zona riverine. Kecerahan pada perairan ini lebih tinggi dibandingkan zona riverine, sehingga aktivitas fotosintesis oleh fitoplankton lebih besar pada zona ini dibandingkan zona lainnya. Transitional zone mendapat suplay nutrien yang cukup dari zona riverine sehingga dapat menyokong kehidupan fitoplankton dengan baik. 3. Lacustrine Zone Lacutrine zone adalah zona yang berada setelah zona transisi yang dicirikan dengan kedalaman yang lebih rendah dibandingkan dengan transitional zone tetapi lebih dalam dari riverine zone, memiliki daerah yang paling luas, kecepatan arus sangat rendah dibandingkan dengan zona lainnya. Kecerahan perairan pada zona ini sangat tinggi yang disebabkan karena kandungan nutrien dan padatan tersuspensi sangat rendah. Rendahnya kandungan nutrien ini berpengaruh pada kelimpahan fitoplankton yang umumnya rendah pada zona ini sehingga zona ini umunya memiliki keadaan oligotrofik. Pada awalnya, kegiatan karamba jaring apung yang telah dimulai sejak tahun 1985 memiliki tujuan untuk pemerdayaan penduduk yang terkena proyek pembangunan Waduk Saguling resettlement. Pada saat ini, pemanfaatan Waduk Saguling antara lain sebagai bendungan multiguna, termasuk untuk kegunaan pengembangan lain seperti perikanan, dan pariwisata. Kondisi saat ini, Waduk Saguling juga digunakan untuk kebutuhan lokal domestik masyarakat setempat. Menurut International Lake Committe, tata guna lahan pada daerah tangkapan air dan sekitar Waduk Saguling banyak terdapat industri primer dan sekunder, industri primer ini diantara lain adalah berupa pertanian padi, kentang, singkong, kacang tanah dan kacang kedelai yang produksinya mencapai 194.695 gross produksi pertahun. Selain industri primer berupa pertanian, tercatat beberapa industri sekunder seperti 25 unit industri pengolahan kapur, 14 unit industri pengolahan bubuk batu kapur, 19 unit pengolahan minyak citrun citronella oil, 24 unit industri pengolahan tanah liat, dan 65 unit industri pengolahan makanan, kerajinan tangan, tekstil, dan industri yang lainnya ILEC, 2008. Hal ini membuat Waduk Saguling kondisinya lebih mengkhawatirkan ketimbang Waduk Cirata dan Waduk Jatiluhur. Hal tersebut terjadi karena Waduk Saguling sebagai pintu pertama Sungai Citarum, di Waduk Saguling inilah semua kotoran disaring untuk pertama kali sebelum kemudian masuk ke perairan Waduk Cirata dan terakhir oleh Waduk Jatiluhur. Penelitian yang dilakukan oleh Sukimin 2008 pada tahun 2005 menginformasikan bahwa produksi ikan budidaya KJA di Waduk Saguling sebesar 4846 ton per tahun. Dengan menggunakan model Beveridge untuk penentuan daya dukung lingkungan bagi aktivitas KJA, Sukimin 2008 mengestimasi bahwa produksi maksimal yang dianggap aman bagi lingkungan adalah sebesar 34279 ton per tahun pada tahun 2005. Hasil tersebut menunjukkan bahwa produksi ikan pada tahun 2005 masih lebih kecil dibandingkan dengan daya dukung perairan waduk dengan catatan bahwa kadar oksigen terlarut mengalami defisit sehingga disarankan budidaya KJA untuk jenis-jenis ikan tertentu saja. Hasil penelitian pada tahun 2005 perlu ditindaklanjuti pada saat ini, khususnya masukan bahan organik yang diduga menjadi penyebab utama masalah defisit oksigen dan dengan adanya perubahan jumlah KJA yang aktif di tahun 2009. Daya dukung perairan waduk sangat ditentukan oleh tingkat kesuburan perairan waduk itu sendiri. Tingkat kesuburan perairan tergenang termasuk perairan waduk dapat dilihat dari beberapa parameter kualitas air, fitoplankton, jenis ikan, dan produktivitas primer. Menurut Scholten et al. 2005, Berdasarkan tingkat kesuburannya, maka perairan tergenang diklasifikasikan menjadi 4 kelas sebagai berikut : 1. Oligotrofik miskin unsur hara dan produktivitas rendah: perairan dengan produktivitas primer dan biomassa rendah. Perairan ini memilki kadar unsur hara nitrogen dan fosfor rendah, namun cendrung jenuh dengan oksigen. 2. Mesotrofik Unsur hara dan Produktivitas sedang : Perairan dengan produktivitas primer dan biomassa sedang. Perairan ini merupakan peralihan antara oligotrofik dan eutrofik. 3. Eutrofik kaya unsur hara dan Produktivitas tinggi : Perairan dengan kadar unsur hara dan tingkat produktivitas primer tinggi. Perairan ini memilki tingkat kecerahan yang rendah dan kadar oksigen pada lapisan hipolimnion dapat lebih kecil dari 1 mgliter. 4. Hiper-eutrofik : perairan dengan kadar unsur hara dan produktivitas primer sangat tinggi. Pada perairan ini, kondisi anoksik terdapat pada lapisan hipolimnion.

2.2 Eutrofikasi