Design based on the model of sustainable management of reservoir fisheries floating cage (reservoir case Cirata West Java)

(1)

RANCANG BANGUN

MODEL PENGELOLAAN WADUK BERKELANJUTAN

BERBASIS PERIKANAN BUDIDAYA

KARAMBA JARING APUNG

(KASUS WADUK CIRATA JAWA BARAT)

ANI WIDIYATI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(2)

(3)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Rancang Bangun Model Pengelolaan Waduk Berkelanjutan Berbasis Perikanan Budidaya Karamba Jaring Apung (Kasus Waduk Cirata Jawa Barat) adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, April 2011

Ani Widiyati NRP P062050241


(4)

(5)

ABSTRACT

ANI WIDIYATI. Design Based on The Model of Sustainable Management of Reservoir Fisheries Floating Cage (Reservoir Case Cirata West Java). Under direction of D. DJOKOSETIYANTO, DIETRIECH G BENGEN, M. KHOLIL AND ZAINAL ABIDIN.

The research of the sustainable management model’s design of Reservoir Fisheries floating cage (Reservoir Case Cirata, West Java) aims to calculate the carrying capacity, make its institutional model, build dynamic system model and assess the sustainability of the reservoir management of floating cage based aquaculture in Cirata Reservoir. The calculation of the pollution load and capacity of assimilation is used to calculate its carrying capacity and Interpretative Structural Modeling (ISM) is used to create institutional. Furthermore, Powersim software is used to create dynamic models and Rapfish used to assess the status of sustainability in the management of Cirata Reservoir. This study shows the status of water quality in Cirata reservoir has been low into high polluted (based on water quality classification class B PP 82-year-2001), the carrying capacity of the reservoir parameters in Cirata based on TSS, BOD, COD, PO4, NO3, NO2, Fe,

Cd, Zn, and Mn parameter have passed the threshold of the standard quality of water in the river. The ideal reservoir management involves the central government (Ministry of Forestry), Cirata Reservoir Management Agency, Department of Fisheries and Marine West Java Province and the Ministry of Fisheries and Marine. The population growth is the factor of problem in the utilization of Cirata Reservoir. The problem follows the basic pattern of boundary dynamic model for success, tragedy of the common and shifting of the burden, with the dominant building block is reinforcing. The increased activity of the population (KJA, industry, agriculture, livestock, forest encroachment) increased sedimentation and pollution balance the functions of ecological, economic and socio-cultural. Ecology aspect is the weakest aspect in the sustainable management of Cirata Reservoir. Socio-cultural aspect is the dominant aspect as a major capital in the intervention of four other aspects. (economic, legal-institutional, technology / infrastructure and ecology).


(6)

(7)

RINGKASAN

ANI WIDIYATI. Rancang Bangun Model Pengelolaan Waduk Berkelanjutan Berbasis Perikanan Budidaya Karamba Jaring Apung (Kasus Waduk Cirata Jawa Barat). Dibimbing oleh D.DJOKOSETIYANTO, DIETRIECH G BENGEN, M. KHOLIL dan ZAINAL ABIDIN.

Waduk Cirata seperti halnya waduk serbaguna lainnya, dimanfaatkan untuk melakukan kegiatan ekonomi yaitu untuk budidaya ikan dalam KJA. Terjadinya alih fungsi utama sebagai PLTA menjadi fungsi untuk kegiatan ekonomi masyarakat mengakibatkan terjadinya konflik sosial antara Badan Pengelola Waduk Cirata (BPWC) dengan masyarakat sebagai pelaku kegiatan usaha perikanan di Waduk Cirata. Oleh karenanya kondisi Waduk Cirata pada saat ini telah mengalami degradasi yang sangat serius karena masyarakat dalam melakukan kegiatan perikanan budidaya tidak memperhatikan fungsi lingkungan waduk tersebut. Luasan waduk yang makin lama semakin sempit dengan kedalaman air yang makin berkurang serta tingginya sedimentasi dan pencemaran perairan diduga mengakibatkan fungsi utama waduk sebagai PLTA terabaikan.

Pengelolaan waduk merupakan suatu kegiatan yang penting, kompleks dan dinamis. Penting karena waduk memiliki fungsi ekologi, ekonomi, sosial dan budaya menjadi kompleks karena melibatkan multi stakeholder dengan karakteristik yang berbeda, dan dinamis karena tingkat pencemaran dan sedimentasi selalu berubah seiring dengan perubahan waktu. Hal ini menunjukkan bahwa penanganan masalah–masalah yang berkaitan dengan pengelolaan waduk harus dilakukan secara integratif–holistik dengan pendekatan kesisteman. Pendekatan ini diduga akan memudahkan bagi pengambil kebijakan (decision maker) dalam pengelolaan waduk untuk secara dini menyiapkan langkah–langkah strategis, dalam pengelolaannya dan dalam menghadapi setiap perubahan yang akan terjadi ke depan. Pendekatan sistem dapat mengidentifikasi faktor pengungkit dalam pengelolaan waduk, sehingga kebijakan strategis yang akan diambil menjadi lebih efektif. Pendekatan sistem dinamik merupakan bagian dari pendekatan kesisteman dapat menjadi salah satu alternatif pendekatan dalam pengelolaan waduk karena pendekatan sistem dinamik ini dapat menyederhanakan struktur sistem yang kompleks dan rumit.

Penelitian tentang rancang bangun model pengelolaan waduk berkelanjutan berbasis perikanan budidaya karamba jaring apung (kasus Waduk Cirata-Jawa Barat) telah dilakukan dengan tujuan menghitung beban pencemaran dan kapasitas asimilasi di perairan, membuat model kelembagaan untuk pengelolaan waduk serta membuat rancang bangun model sistem dinamik pengelolaan Waduk Cirata (Jawa Barat). Data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder, untuk data biofisik perairan Waduk Cirata merupakan data time series 5 tahun. Metode penelitian untuk menghitung daya dukung perairan waduk dengan penghitungan beban pencemaran dan kapasitas asimilasi perairan. Interpretative Structural Modelling (ISM) digunakan untuk menganalisis kelembagaan dan software Powersim digunakan untuk membuat model dinamik.

Hasil penelitian memperlihatkan status mutu perairan Waduk Cirata pada kondisi sudah tercemar sedang sampai berat (pada klasifikasi baku mutu air


(8)

Hasil analisis model kelembagaan memperlihatkan untuk pengelolaan waduk berbasis perikanan budidaya KJA berkelanjutan diperlukan 4 elemen penting yang dapat menjadi faktor pengungkit dalam pengelolaan waduk tersebut yaitu tujuan utama yang ingin dicapai memiliki daya penggerak yang sangat kuat terhadap keberhasilannya adalah (1) Rasionalisasi/penurunan jumlah KJA, (2) Penyesuaian tata letak KJA dengan zonasi peruntukan, (3) Kelestarian sumberdaya perairan waduk, (4) Terjaganya keseimbangan ekosistim perairan, (5) Kelestarian sumber daya perikanan, (6) Penegakan regulasi pemerintah, (7) Terjalinnya koordinasi antar institusi, dan (8) Monitoring dan evaluasi pengelolaan.

Kebutuhan utama program yang diperlukan dalam keberhasilan pengelolaan waduk berbasis perikanan budidaya KJA berkelanjutan di Waduk Cirata yang memiliki daya penggerak yang kuat adalah (1) Penetapan zonasi budidaya KJA dan areal penangkapan suaka perikanan, (2) Penentuan kepemilikan sumberdaya waduk, (3) Pemilihan unit pengelola yang tepat, (4) Permodalan dan fasilitas pinjaman, (5) Pemasaran yang baik.

Kendala utama yang akan dihadapi yang berpengaruh sebagai penggerak yang kuat dalam pengelolaan Waduk Cirata berkelanjutan adalah masih terdapat perbedaan persepsi dalam pengelolaan waduk. Lembaga yang berperan untuk keberhasilan pengelolaan waduk berkelanjutan di Waduk Cirata yang mempunyai penggerak yang kuat adalah (1) Badan Pengelola Waduk Cirata, (2) Pemerintah Pusat (Kementerian Kehutanan), (3) Dinas Perikanan Pemerintah Propinsi Jawa Barat, (4) Dinas Perikanan Kotamadya/Kabupaten/Kecamatan/Desa.

Analisis kebijakan alternatif dalam pengelolaan Waduk Cirata yang sesuai dengan perkembangan dan tuntutan masyarakat melalui beberapa cara, yaitu: (a) Penduduk secara umum: sosialisasi program KB (revitalisasi program KB nasional, angka kenaikan bisa ditekan menjadi 1,1% per tahun), penyuluhan kepada masyarakat tentang keluarga sederhana bahagia. Penduduk sekitar wilayah waduk: dibuat kebijakan untuk pembatasan penduduk di luar wilayah waduk yang akan melakukakan usaha perikanan budidaya di perairan Waduk Cirata, untuk penduduk yang berdomisili di wilayah waduk diberi porsi usaha yang lebih besar, selain diberi ijin usaha juga diberikan modal usaha dalam bentuk pinjaman lunak atau bantuan benih ikan unggul. Penebaran ikan pemakan plankton (nilem, bandeng, mola, grasscarp) ke perairan waduk sebagai sumber penghasilan nelayan tangkap, manfaat lainnya adalah sebagai pengendali eutrofikasi karena memanfaatkan plankton sebagai pakannya. Penyuluhan tentang pentingnya pengelolaan waduk berkelanjutan kepada penduduk yang berada di wilayah perairan waduk. (b) Limbah sampah penduduk, tinja manusia, dan feses ternak: Pengolahan dengan pendekatan sumber. Pergeseran pendekatan dari pendekatan ujung-pipa (end- pipe of solution) ke pendekatan sumber. Pengembangan program pengelolaan sampah/limbah dengan pendekatan Reduce, Reuse, Recycle, Recovery dan Participation (4R + P) yang meliputi, antara lain: waste to energy dan kompos. (c) Limbah Budidaya KJA: penegakan regulasi pembatasan luas KJA sebesar 1% dari luas waduk (6200 ha) yaitu 62 ha, upaya menurunkan jumlah RTP (Rumah Tangga Perikanan) di Waduk Cirata dengan memberikan pelatihan


(9)

dan keterampilan usaha baru, pemerintah perlu membuka lapangan kerja baru dan menggali teknologi baru untuk pemanfaatan limbah budidaya KJA, misalnya untuk bahan filler pupuk organik, dan sumber energy. (d) Limbah pupuk pertanian: teknis kebijakan yang dapat dilakukan adalah pelatihan pemanfaatan limbah untuk dijadikan kompos, sehingga petani beralih menggunakan pupuk kompos/organik daripada pupuk pabrik. Begitu pula agar lahan pertanian tidak cepat gersang maka perlu pelatihan dan sosialisai teknik konservasi tanah dan air seperti penanaman searah kontur, dan teras. (e) Penanganan RPH dan Industri: penerapan penegakan hukum pelarangan pembangunan RPH dan industri pada wilayah sempadan sungai 50-100 meter dan waduk 50-100 meter dari titik pasang tertinggi (Keppres No. 32 Tahun 1990 pasal 16-18), pembangunan industri dan RPH di kawasan yang layak lingkungan atau sesuai RT/RW dan perlu pemberian penghargaan bagi pengusaha yang membangun mengikuti persyaratan ekologis (pasal 7 UU No. 4 Tahun 1992), penegakan regulasi dengan sangsi yang berat bagi pengusaha yang akan membuka usaha tanpa membuat amdal dan ipal bagi RPH atau industri lainnya.

Pertumbuhan penduduk menjadi faktor pengungkit bagi sumber konflik pemanfaatan Waduk Cirata, permasalahan mengikuti archetype model dinamik limit to succes, tragedy of the common dan shifting of the burden, dengan building block yang dominan adalah reinforcing. Peningkatan aktifitas penduduk (KJA, industri, pertanian, peternakan, perambahan hutan) meningkatkan sedimentasi dan pencemaran menjadi balancing terhadap fungsi ekologi, ekonomi dan sosial budaya.

Aspek ekologi merupakan aspek yang sangat lemah sehingga perlu ditingkatkan dalam pengelolaannya. Kondisi aspek lainnya juga masih perlu ditingkatkan. Keberlanjutan aspek sosial budaya merupakan aspek terbesar yang merupakan modal utama dalam melakukan intervensi pada keempat aspek lainnya, yaitu aspek kelembagaan-kebijakan, teknologi/infrastruktur, aspek sosial dan ekologi.


(10)

(11)

© Hak cipta milik IPB, Tahun 2011

Hak cipta dilindungi Undang – Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.


(12)

(13)

RANCANG BANGUN

MODEL PENGELOLAAN WADUK BERKELANJUTAN

BERBASIS PERIKANAN BUDIDAYA

KARAMBA JARING APUNG

(KASUS WADUK CIRATA JAWA BARAT)

ANI WIDIYATI

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(14)

Penguji pada Ujian Tertutup : 1. Dr. Ir. Kukuh Nirmala, M.Sc

(Staf Pengajar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB) 2. Dr. Ir. Yanuar D. Purwanto, MS

(Staf Pengajar Fakultas Teknologi Pertanian, IPB) Penguji pada Ujian Terbuka :

1. Dr. Ir. Triheru Prihadi, M.Sc

(Kepala Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut, KKP) 2. Dr. Ir. Tatag Budiardi, M.Si


(15)

Judul Disertasi : Rancang Bangun Model Pengelolaan Waduk Berkelanjutan Berbasis Perikanan Budidaya Karamba Jaring Apung (Kasus Waduk Cirata Jawa Barat)

Nama : Ani Widiyati NRP : P062050241

Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Disetujui

Komisi Pembimbing

Ketua

Prof. Dr. Ir. D. Djokosetiyanto, DEA

Prof. Dr. Ir. Dietrich G Bengen Dr. Ir. Kholil, M. Kom Dr. Drs. Zainal Abidin, M.Geothml

Anggota Anggota Anggota

Mengetahui

Ketua Program Studi

Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Si


(16)

PRAKATA

Assalamualaikum Warohmatullaahi Wabarakatuh,

Alhamdulillah, penulisan disertasi dengan judul “Rancang Bangun Model Pengelolaan Waduk Berkelanjutan Berbasis Perikanan Budidaya Karamba Jaring Apung (Kasus Waduk Cirata-Jawa Barat)” dapat diselesaikan dengan baik. Disertasi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Komisi Pembimbing yaitu Prof. Dr. Ir. Djokosetiyanto, DEA (Ketua), Dr. Ir. M. Kholil, M. Kom (Anggota), Prof. Dr. Ir. Dietriech G Bengen DEA (Anggota), Dr. Drs. Zainal Abidin M. Geothermal (Anggota) yang telah banyak memberikan bimbingan, pengarahan, dorongan dan nasehat kepada penulis dalam menyelesaikan disertasi ini. Bapak Dr. drh. Hasim, DEA sebagai Ketua Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana IPB yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melakukan penelitian serta arahannya dalam menyelesaikan studi. Badan Sumberdaya Daya Manusia, Departemen Kelautan dan Perikanan yang telah memberikan beasiswa. Kepala Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar yang telah memberikan rekomendasi dan bantuan dana kepada penulis untuk melanjutkan studi S3 di IPB Bogor. Kepala Badan Pengelola Waduk Cirata yang telah memberikan ijin untuk mengambil data primer dan sekunder dari Waduk Cirata. Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Jawa Barat, Kepala dinas Kabupaten Purwakarta, Bandung dan Cianjur atas bantuan dalam penyediaan data sekunder. Dr. Auldry F Walukow dan Dr. Rakhman Kurniawan yang telah memberikan dukungan moril dan membantu dalam pengolahan data. Bapak Dr. Triheru Prihadi, Dr. Estu Nugroho, Dr. Anang Hari Kristanto, Dra. Kusdiarti, Ir. Winarlin, Ati Puspitasari atas dukungan moril dan bantuannya selama penulis menyelesaikan disertasi. Penghargaan yang tak terhingga penulis sampaikan kepada suami tercinta Ir. Andjar Koentjoro M.Sc, dan anak–anak tersayang Iswidiarman Angga Krislianto, SE dan Iswiditya Andi Hapsara atas do’anya dengan segala kasih sayang dan telah banyak berkorban dengan penuh kesabaran serta pengertiannya sehingga penulis tetap semangat menyelesaikan studi ini. Ir. Yaya Hudaya (Staf Data-Badan Pengelola Waduk Cirata), Bapak Jahidin (Staf Data-Pembangkitan Jawa Bali-Cirata), Ir. Lusi (Kasubdit Pengelolaan Lingkungan-BPLHD Jabar) atas bantuannya dalam penyediaan data sekunder. Adik-adikku tercinta Anto, Doyo, Endro, Fajar, Galuh dan Herman atas kasih sayang dan dorongan semangat serta do’anya. Dr. Mazfia Umar MM, Dr. Ridwan, Ir. Partomo atas bantuan dan dorongan semangat, serta rekan–rekan PSL 2005 IPB. M. Nurdin S.Pi dan Rizki Maulana atas bantuannya dalam pengeditan disertasi, dan semua pihak yang telah membantu secara langsung maupun tidak langsung yang tidak mungkin disebutkan satu per satu, semoga Allah SWT membalas semua amalnya, Aamiin.

Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat.

Bogor, April 2011


(17)

(18)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 28 Juli 1960 di Kabupaten Pekalongan Jawa Tengah, sebagai anak pertama dari tujuh bersaudara dari ayah Soejadi (Almarhum) dan Sri Suliharti (Almarhum).

Pendidikan SD Kebondalem I, SMP Negeri I dan SMA Negeri diselesaikan di Kabupaten Pemalang. Setamat dari SMA tahun 1979 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur PMDK. Penulis memilih Fakultas Perikanan Jurusan Akuakultur dan menyelesaikan studi pada tahun 1983. Pada tahun 1984 penulis diterima bekerja di Lembaga Penelitian Perikanan Darat Bogor. Pada tahun 1985 penulis diangkat sebagai PNS, sebagai peneliti pada Kelompok Penelitian Pembenihan. Pada tahun 1988 penulis diangkat sebagai Kepala Instalasi Kolam Percobaan Cibalagung Bogor sampai tahun 1999. Pada tahun 1999 penulis melanjutkan kuliah di Pasca Sarjana Juruan Ilmu Perairan Institut Pertanian Bogor, lulus tahun 2002. Tahun 2002 sampai 2004 penulis diangkat menjadi Kepala Kolam Percobaan Plasma Nutfah Cijeruk Bogor. Tahun 2004-2005 sebagai Kepala Subsie Program di Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar Bogor. Pada tahun 2005 penulis menempuh studi S3 di Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Penulis menikah dengan Ir. Andjar Koentjoro, M.Sc pada tanggal 23 Agustus 1985, dan telah dikaruniai dua orang anak yaitu Iswidiarman Angga Krislianto, SE (25 tahun) dan Iswiditya Andi Hapsara (20 tahun).

Publikasi ilmiah yang merupakan bagian dari penelitian dalam disertasi ini antara lain: (1) Diterbitkan pada Jurnal Riset Akuakultur Volume 4 (2): 277-290 peringkat akreditasi A dengan judul makalah Analisis Faktor Penting dalam Pengelolaan Perikanan Budidaya di Keramba Jaring Apung Berkelanjutan dengan Metode Interpretative Structural Modeling (ISM) di Waduk Cirata (Jawa Barat). (2) Diterbitkan pada Prosiding Forum Teknologi Akuakultur dari Pusat Riset Perikanan Budidaya Departemen Kelautan dan Perikanan dengan judul Analisis Beban Pencemaran dan Kapasitas Asimilasi BOD dan COD di Lingkungan Perairan Karamba Jaring Apung Waduk Cirata (sedang diproses sejak Juli 2009). (3) Diterbitkan pada Prosiding Forum Teknologi Akuakultur dari Pusat Riset Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan (2010) dengan judul Model Dinamik Pengelolaan Keramba Jaring Apung di Waduk Cirata (Jawa Barat).


(19)

(20)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xvii

DAFTAR GAMBAR ... xviii

DAFTAR LAMPIRAN ... xxii

1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Kerangka Pemikiran ... 5

1.3 Tujuan Penelitian ... 8

1.4 Manfaat Penelitian ... 8

1.5 Kebaruan (Novelty) ... 8

2 TINJAUAN PUSTAKA ... 9

2.1 Perairan Waduk ... 9

2.2 Sedimentasi di Waduk... 10

2.3 Pencemaran di Waduk... 12

2.4 Budidaya Ikan di Karamba Jaring Apung ... 14

2.5 Pembangunan Berkelanjutan ... 17

2.6 Sistem dan Model Dinamik ... 19

2.6.1 Sistem ... 19

2.6.2 Pemodelan ... 21

2.6.3 Sistem Dinamik ... 24

2.6.4 Pola-Pola Dasar Sistem Dinamik ... 27

2.7 Interpretation Structural Modelling (ISM) ... 33

3 METODOLOGI PENELITIAN ... 37

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ... 37

3.2 Bahan dan Alat ... 38

3.3 Rancangan Penelitian ... 40

3.3.1 Mengukur Daya Dukung Perairan ... 40

3.3.2 Model Kelembagaan Pengelolaan Waduk Cirata ... 41

3.3.3 Analisis Keberlanjutan ... 42

3.3.4 Tahapan Penelitian Analisis Sistem ... 43

3.3.5 Pengembangan Model ... 48

3.3.6 Uji Validasi dan Sensitivitas Model ... 54

3.3.7 Simulasi Model ... 55

3.3.8 Analisis Kebijakan ... 55

3.3.9 Keterkaitan Model Biofisik dengan Dinamik ... 56

4 GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN ... 57

4.1 Morfometri Waduk Cirata ... 57

4.2 Kedalaman Perairan Waduk Cirata ... 59


(21)

5 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 61

5.1 Daya Dukung Perairan Waduk Cirata ... 61

5.1.1 Status Kualitas Perairan Muara Sungai Citarum ... 61

5.1.2 Karakteristik Fisika–Kimia Perairan Waduk Cirata ... 64

5.1.3 Status Mutu Perairan Waduk Cirata ... 70

5.1.4 Analisis Beban Pencemaran dan Kapasitas Asimilasi Perairan Waduk Cirata... 72

5.2 Analisis Kelembagaan untuk Pengelolaan Waduk Berbasis Perikanan Budidaya KJA Berkelanjutan (Kasus Waduk Cirata) ... 84

5.2.1 Tujuan yang Ingin dicapai ... 87

5.2.2 Kebutuhan Program yang diperlukan dalam Pengelolaan Waduk Berkelanjutan Waduk Cirata ... 90

5.2.3 Lembaga yang Berperan dalam Pengelolaan Waduk Berkelanjutan di Waduk Cirata ... 92

5.2.4 Elemen Kendala dalam Pengelolaan Waduk Berkelanjutan (Kasus Waduk Cirata) ... 95

5.3 Model Dinamik... 98

5.3.1 Sub Model Sumber Pencemar ... ... 99

5.3.2 Model Beban Pencemaran ... ... 107

5.3.3 Model Kualitas Air Waduk... ... 110

5.4 Analisis Kecenderungan Sistem ... 112

5.5 Uji Validitas ... 114

5.5.1 Uji Validitas Struktur ... 114

5.5.2 Validitas Kinerja (output model) ... 115

5.5.3 Verifikasi Model ... 117

5.5.4 Analisis Kebijakan ... 146

6 MODEL KONSEPTUAL KEBIJAKAN ... 157

6.1 Kebijakan Status Waduk Cirata ... 161

6.2 Kebijakan Konservasi DAS Citarum ... 162

6.3 Kebijakan Peningkatan Kesejahteraan Sosial ... 163

6.4 Kebijakan Peningkatan Nilai Ekonomi ... 163

6.5 Verifikasi Model Kebijakan ... 164

6.6 Implikasi Kebijakan ... 164

6.7 Status Keberlanjutan... 165

6.7.1 Aspek Ekologi ... 165

6.7.2 Aspek Ekonomi ... 167

6.7.3 Aspek Hukum Kelembagaan ... 168

6.7.4 Aspek Infrastruktur dan Teknologi... 170

6.7.5 Aspek Sosial Budaya ... 171

6.7.6 Status Keberlanjutan Pengelolaan Waduk ... 172

7 SIMPULAN DAN SARAN ... 175

7.1 Simpulan ... 175


(22)

DAFTAR PUSTAKA ... 177 LAMPIRAN ... 187


(23)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Sedimentasi di Waduk Cirata dari tahun 1987-2001 ... ... 11 2 Titik koordinat sampling di Waduk Cirata ... ... 37 3 Parameter fisika, kimia, dan biologi perairan waduk yang

diukur serta alat dan metode analisis ... ... 39 4 Analisis kebutuhan aktor/stakeholder yang terlibat dalam

pengelolaan Waduk Cirata secara berkelanjutan berbasis perikanan

budidaya KJA ... … ... .. 44 5 Konversi rumus statistik ke persamaan powersim ... ... 54 6 Karakteristik Waduk Cirata ... ... 57 7 Data morfometri dan hidrologi Waduk Cirata, Jawa Barat ... ... 59 8 Kisaran kedalaman, rasio kedalaman, dan area pemanfaatan

KJA di Waduk Cirata Sumber: (Prihadi 2005) ... ... 60 9 Status kualitas perairan Sungai Citarum ... ... 63 10 Kualitas Perairan Waduk Cirata ... ... 69 11 Hasil perhitungan status mutu air Waduk Cirata Triwulan I

tahun 2008 ... ... 71 12 Hasil perhitungan status mutu air Waduk Cirata Triwulan II

tahun 2008 ... ... 71 13 Hasil perhitungan status mutu air Waduk Cirata Triwulan III

tahun 2008 ... ... 71 14 Hasil perhitungan status mutu air Waduk Cirata Triwulan IV

tahun 2008 ... ... 72 15 Beban pencemaran dan kapasitas asimilasi di perairan Waduk Cirata

(Jawa Barat) tahun 2008 ... ... 74 16 Jumlah KJA di perairan Waduk Cirata hasil sensus tahun 2007 ... ... 87 17 Tujuan yang ingin dicapai dalam strategi pengelolaan waduk

berkelanjutan ... ... 88 18 Kebutuhan program yang diperlukan dalam pengelolaan Waduk

Cirata Berkelanjutan ... ... 90 19 Lembaga yang berperan dalam pengelolaan Waduk Cirata dijabarkan

menjadi 12 sub elemen ... ... 93 20 Sub elemen kendala dalam dalam pengelolaan waduk berkelanjutan... 96 21 Populasi penduduk dan jumlah sumber pencemar 2005 – 2045 .... ... 114


(24)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Kepadatan dan zonasi keramba jaring apung di Waduk Cirata

Sumber: Prihadi (2005)... ... 6 2 Kerangka pemikiran rencana penelitian ... ... 7 3 Garis besar pengembangan model dinamik ... ... 26 4 Struktur dasar model perbaikan yang gagal... ... 28 5 Struktur dasar pemindahan beban ... ... 28 6 Diagram simpal kausal model batas keberhasilan ... ... 29 7 Struktur dasar sasaran yang berubah ... ... 30 8 Diagram simpal kausal struktur model pertumbuhan dan

kekurangan modal ... ... 31 9 Struktur dasar sukses bagi yang berhasil ... ... 32 10 Diagram simpal kausal model eskalasi ... ... 32 11 Struktur dasar kesulitan bersama ... ... 33 12 Lokasi pengambilan parameter fisika dan kimia perairan ... ... 37 13 Grafik hubungan antara beban pencemaran dan konsentrasi

polutan ... ... 41 14 Diagram input output sistem pengelolaan waduk berkelanjutan ... ... 47 15 Matriks DP-D untuk elemen tujuan ... ... 49 16 Diagram alir analisis kelembagaan dengan metode ISM ... ... 50 17 Hubungan interaksi antar sub model dalam pengelolaan

Waduk Cirata ... ... 52 18 Diagram sebab akibat (causal loop) model pengelolaan waduk

berkelanjutan berbasis perikanan budidaya KJA ... ... 53 19 Ringkasan keterkaitan model biofisik dengan dinamik ... ... 56 20 Waduk Cirata berlokasi di wilayah 3 kabupaten yaitu Bandung

Barat, Purwakarta, dan Cianjur (BPWC 2010). ... ... 58 21 Tampilan Waduk Cirata dengan Landsat 7 kombinasi band 543

(RGB): (a) April 2002 (musim kemarau) dan (b) September

2002 (musim penghujan) (Prihadi, 2005) ... ... ... 59 22 Kapasitas asimilasi TDS di Waduk Cirata ... ... 75 23 Kapasitas asimilasi TSS di Waduk Cirata ... ... 76 24 Kapasitas asimilasi BOD di Waduk Cirata ... ... 77 25 Kapasitas asimilasi COD di Waduk Cirata ... ... 77 26 Kapasitas asimilasi PO4

27 Kapasitas asimilasi NO

di Waduk Cirata ... ... 78

3

28 Kapasitas asimilasi NO

di Waduk Cirata ... ... 79

2

29 Kapasitas asimilasi Fe di Waduk Cirata ... ... 81 di Waduk Cirata tahun 2007 ... ... 80 30 Kapasitas asimilasi Cd di Waduk Cirata ... ... 81 31 Kapasitas asimilasi Cu di Waduk Cirata ... ... 82 32 Kapasitas asimilasi Zn di Waduk Cirata ... ... 82 33 Kapasitas asimilasi Mn di Waduk Cirata tahun 2008 ... ... 83 34 Kapasitas asimilasi Pb di Waduk Cirata ... ... 83 35 Hubungan keterkaitan parameter pengelolaan waduk berbasis


(25)

36 Diagram hierarki dari tujuan yang ingin dicapai dalam strategi

pengelolaan waduk berkelanjutan (Kasus di Waduk Cirata) ... ... 89 37 Matriks Driver Power (DP) dan Dependence (D) tujuan yang

ingin dicapai dalam strategi pengelolaan waduk berkelanjutan

(kasus di Waduk Cirata) ... ... 90 38 Diagram hierarki kebutuhan program dalam pengelolaan waduk

berkelanjutan (Kasus Waduk Cirata) ... ... 91 39 Matriks Driver Power (DP) dan Dependence (D) untuk

kebutuhan program dalam pengelolaan waduk berkelanjutan

(Kasus di Waduk Cirata) ... ... 92 40 Diagram hierarki lembaga yang berperan dalam pengelolaan

waduk berkelanjutan (Kasus di Waduk Cirata) ... ... 94 41 Matrik Driver Power (DP) dan Dependence (D) lembaga yang

berperan dalam pengelolaan waduk berkelanjutan (Kasus di

Waduk Cirata) ... ... 95 42 Diagram hierarki kendala utama dalam pengelolaan Waduk

Cirata berkelanjutan ... ... 96 43 Diagram hierarki dari sub elemen kendala utama dalam

pengelolaan Waduk Cirata berkelanjutan ... ... 97 44 Model terpadu pengelolaan Waduk Cirata berkelanjutan ... ... 98 45 Sub model dinamik sederhana total sumber pencemar ... ... 100 46 Sub model dinamik KJA tunggal dan luas KJA ... ... 101 47 Sub model dinamik limbah ternak dan industri ... ... 102 48 Sub model dinamik limbah pertanian, limbah padat, dan tinja ... ... 103 49 Sub model dinamik luas hutan, pemukiman, dan pertanian... ... 104 50 Sub model dinamik KJA ganda, serta model limbah KJA

tunggal versus KJA ganda ... ... 105 51 Sub model dinamik sumber pencemar Waduk Cirata ... ... 106 52 Sub model dinamik beban pencemaran Waduk Cirata ... ... 109 53 Sub model kualitas air Waduk Cirata ... ... 111 54 Kecenderungan populasi penduduk total (jiwa) ... ... 112 55 Kecenderungan jumlah masing–masing sumber pencemar yang

masuk ke Waduk Cirata ... ... 113 56 Grafik perbandingan perkembangan jumlah penduduk hasil

simulasi dengan data empirik ... ... 116 57 Grafik perbandingan jumlah RTP hasil simulasi dan aktual ... ... 116 58 Pertumbuhan jumlah penduduk berdasarkan perbedaan fraksi

penduduk ... ... 118 59 Pertumbuhan jumlah sampah ... ... 118 60 Pertumbuhan jumlah limbah feses penduduk total ... ... 119 61 Pertumbuhan jumlah limbah KJA tunggal ... ... 120 62 Perbandingan jumlah limbah N dan P KJA tunggal ... ... 120 63 Perbandingan jumlah limbah KJA ganda (Mas Nila-MN) dan

KJA tunggal (Mas M) ... ... 121 64 Perkembangan luas KJA dan lahan bebas usaha... ... 122 65 Perkembangan limbah tinja RTP ... ... 123 66 Perkembangan limbah padat RTP ... ... 123 67 Perkembangan limbah industri ... ... 124


(26)

68 Perkembangan limbah ternak ... ... 124 69 Perkembangan limbah ternak ayam, itik, domba dan sapi ... ... 125 70 Perkembangan limbah pupuk pertanian limbah pupuk pertanian

merupakan akumulasi dari limbah pupuk N dan P ... ... 126 71 Perkembangan limbah pupuk N dan P... ... 126 72 Perkembangan luas pemukiman, luas pertanian, dan luas hutan

di DAS Cirata ... ... 127 73 Nilai kapasitas asimilasi TDS dan perkembangan beban

pencemaran TDS ... ... 128 74 Nilai kapasitas asimilasi TSS dan perkembangan beban

pencemaran TSS ... ... 128 75 Nilai kapasitas asimilasi BOD dan perkembangan beban

pencemaran BOD... ... 129 76 Nilai kapasitas asimilasi COD dan perkembangan beban

pencemaran COD... ... 130 77 Nilai kapasitas asimilasi dan perkembangan beban pencemaran

3

NO ... 131 78 Nilai kapasitas asimilasi 3−

4

PO dan perkembangan beban pencemaran 3−

4

PO ... 132 79 Nilai kapasitas asimilasi F dan perkembangan beban

pencemaran F ... ... 132 80 Nilai kapasitas asimilasi As dan perkembangan beban

pencemaran As... ... 133 81 Nilai kapasitas asimilasi Cd dan perkembangan beban

pencemaran Cd ... ... 134 82 Nilai kapasitas asimilasi Fe dan perkembangan beban

pencemaran Fe ... ... 135 83 Nilai kapasitas asimilasi Pb dan perkembangan beban

pencemaran Pb ... ... 135 84 Nilai kapasitas asimilasi Mn dan perkembangan beban

pencemaran Mn ... ... 136 85 Nilai kapasitas asimilasi Zn dan perkembangan beban

pencemaran Zn... ... 137 86 Perkembangan total beban pencemaran air dan daya dukung

lingkungan ... ... 138 87 Nilai baku mutu TDS dan perkembangan konsentrasi TDS

2005-2045 ... ... 138 88 Nilai baku mutu COD dan perkembangan konsentrasi COD

2005-2045 ... ... 139 89 Nilai baku mutu BOD dan perkembangan konsentrasi BOD

2005-2045 ... ... 140 90 Nilai baku mutu −

3

NO dan perkembangan konsentrasi −

3

NO ... 140 91 Nilai baku mutu 3−

4

PO dan perkembangan konsentrasi 3− 4

PO

2005-2045 ... 140 92 Nilai baku mutu Fe dan perkembangan konsentrasi Fe

2005-2045 ... ... 141 93 Nilai baku mutu TSS dan perkembangan konsentrasi TSS


(27)

2005-2045 ... ... 141 94 Nilai baku mutu F dan perkembangan konsentrasi F 2005-2045 . ... 142 95 Nilai baku mutu Zn dan perkembangan konsentrasi Zn ... ... 142 96 Nilai baku mutu As dan perkembangan konsentrasi As

2005-2045 ... ... 143 97 Nilai baku mutu Cd dan perkembangan konsentrasi Cd

2005-2045 ... ... 144 98 Nilai baku mutu Pb dan perkembangan konsentrasi Pb

2005-2045 ... ... 144 99 Nilai baku mutu Mn dan perkembangan konsentrasi Mn

2005-2045 ... ... 145 100 Hubungan populasi penduduk dengan daya dukung lingkungan

2005-2045 ... ... 146 101 Penurunan jumlah limbah ternak berdasarkan intervensi fraksi

peternakan. ... ... 148 102 Penurunan total limbah ternak berdasarkan intervensi fraksi

peternakan ... ... 148 103 Penurunan jumlah limbah KJA tunggal berdasarkan intervensi

fraksi KJA dan RTP ... ... 149 104 Penurunan jumlah limbah KJA ganda berdasarkan intervensi

fraksi KJA dan RTP ... ... 150 105 Penurunan limbah industri, limbah tinja, limbah padat dan

limbah pupuk pada skenario optimis... ... 151 106 Perbandingan total beban limbah pada kondisi existing, skenario

pesimis, moderat dan optimis ... ... 152 107 Model konseptual pengelolaan Waduk Cirata (Jawa Barat)

berkelanjutan ... ... 160 108 Peta overlay keberadaan KJA tahun 2004 dengan KJA tahun

2008/2009 di Waduk Cirata ... ... 162 109 Atribut aspek ekologi pada pengelolaan waduk berbasis

perikanan budidaya berkelanjutan di Waduk Cirata ... ... 167 110 Atribut aspek ekonomi pada pengelolaan waduk berbasis

perikanan budidaya berkelanjutan di Waduk Cirata ... ... 168 111 Atribut aspek hukum dan kelembagaan pada pengelolaan waduk

berbasis perikanan budidaya berkelanjutan di Waduk Cirata ... ... 170 112 Atribut aspek infrastruktur dan teknologi pada pengelolaan

waduk berbasis perikanan budidaya berkelanjutan di Waduk

Cirata ... ... 171 113 Atribut aspek sosial budaya pada pengelolaan waduk berbasis

perikanan budidaya berkelanjutan di Waduk Cirata ... ... 172 114 Status keberlanjutan pengelolaan waduk berbasis perikanan

budidaya karamba jaring apung ... ... 174 xxi


(28)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Persamaan model dinamik ... ... 189 2 Perangkat lunak model pengelolaan Waduk Cirata (MoPeCi) ... ... 229 3 Ordinat radfish Monte Carlo ... ... 231


(29)

1

1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Laju pertambahan penduduk yang tinggi banyak terjadi di negara berkembang seperti Indonesia, telah menghabiskan surplus sumberdaya alam yang diperuntukkan bagi pembangunan ekonomi dan sosial. Semakin besar intensitas kegiatan pembangunan maka semakin besar pula peningkatan eksploitasi sumberdaya alam yang bersifat berlebihan antara lain kegiatan pertanian, perikanan, pariwisata, industri, dan pertambangan, sehingga terjadi konflik kepentingan yang memicu kerusakan lingkungan. Tumbuhnya kemiskinan akibat pertambahan penduduk telah menghancurkan lingkungan demi kelangsungan hidupnya (WCED 1987). Salah satu contoh akibat dari terjadinya kerusakan lingkungan adalah rusaknya daerah tangkapan air (hutan, situ, danau, waduk dll.)

Waduk adalah danau buatan manusia sebagai tempat menampung dan tangkapan air yang umumnya dibentuk dari sungai atau rawa dengan tujuan tertentu. Waduk dibangun dengan tujuan multi fungsi yaitu sebagai pembangkit listrik tenaga air (PLTA), sumber air minum, kegiatan pertanian, pengendali banjir, sarana olahraga air, budidaya perikanan, dan untuk pariwisata. Indonesia mempunyai sekitar 800 danau serta 162 waduk buatan besar dan kecil untuk kepentingan irigasi pertanian, bahan baku air bersih, dan PLTA. Sekitar 500 danau dan waduk di Indonesia mulai terancam punah akibat pengelolaan yang tidak optimal, dimulai dari hulu hingga hilir (http://www.pusair-pu.go.id/artikel/kesatu.pdf). Waduk Cirata merupakan salah satu waduk besar di Jawa Barat yang selesai dibangun pada tahun 1988. Waduk tersebut dibangun dengan fungsi utama sebagai PLTA untuk menghasilkan daya listrik terpasang sebesar 1008 MW atau energi per tahun 1.426 GW jam sebagai pemasok tenaga listrik Jawa dan Bali (BPWC 2003). Volume air pada waktu normal sekitar 2.160.000.000 m3, dengan luas permukaan sekitar 6.200 ha, kedalaman rata-rata sekitar 34,9 m, kedalaman maksimum mencapai 106 m. Status kesuburan Waduk Cirata adalah mesotropic hingga eutropic (BPWC 2003). Waduk Cirata merupakan waduk yang mendapat sumber air terbesar dari daerah aliran Sungai Citarum. Pada awal dibangun luas Waduk Cirata mencapai 6.200 ha, adapun


(30)

daerah yang tergenang dan menjadi Waduk Cirata ini, berasal dari 28 desa yang berada dalam delapan kecamatan yang termasuk ke dalam daerah administrasi Kabupaten Cianjur, Purwakarta, dan Bandung Barat.

Salah satu permasalahan yang dihadapi waduk di Indonesia saat ini adalah tingginya sedimentasi yang telah menjadi faktor utama penyebab penurunan daya dukung ekosistem waduk. Waduk Cirata telah mengalami permasalahan seperti halnya waduk lainnya di Indonesia yaitu pendangkalan dan penurunan luasan perairan akibat tingginya sedimentasi. Peningkatan beban sedimentasi ini diduga disebabkan oleh peningkatan laju erosi akibat aktivitas-aktivitas di daratan, buangan limbah industri dan rumah tangga di DAS, serta aktivitas manusia di perairan seperti budidaya ikan dengan menggunakan keramba jaring apung (KJA) di waduk dengan pemberian pakan buatan yang berlebihan. Jumlah sedimen yang masuk ke waduk yang melebihi daya dukung akan mengurangi kapasitas volume daya tampung air waduk, dan merusak kualitas perairan pada akhirnya dapat memperpendek usia fungsional waduk tersebut. Turunnya volume air waduk menyebabkan waduk tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya, baik untuk keperluan irigasi maupun pembangkit tenaga listrik. Sebagai contoh Waduk Djuanda, Saguling, dan Cirata di DAS Citarum volumenya tinggal 57,6% dari volume pada saat rencana pembangunan.

Salah satu penyebab dari sedimentasi di Waduk Cirata adalah akibat aktivitas budidaya perikanan yang meningkat dari tahun ke tahun. Teknik budidaya intensif di KJA, telah mendorong petani memberikan pakan buatan secara berlebihan (sistem pompa), sehingga sisa pakan yang diberikan ikan dan feses banyak terbuang ke perairan. Menurut BPWC (2008), pada awal pembangunan waduk jumlah petakan KJA yang dianjurkan 12.000 petak dengan jumlah pemilik 2.472 orang, tetapi pada kenyataannya sampai tahun 2007 tercatat 51.000 petak dari jumlah pemilik 3.899 orang. Perkembangan KJA di perairan Waduk Cirata sudah tidak terkendali, mulai tahun 1988-1994 meningkat 140% per tahun (Krismono 1999). Akibat dari pertambahan KJA yang tidak terkendali tersebut menyebabkan terjadinya degradasi lingkungan perairan serta sedimentasi yang meningkat dari tahun ke tahun. Menurut Goldburg et al. (2001), dampak negatif dari aktivitas budidaya ikan pada KJA di waduk adalah adanya buangan


(31)

3

limbah budidaya selama operasional, limbah tersebut adalah sisa pakan yang tidak termakan oleh ikan serta feses yang larut ke dalam perairan. Menurut Mc Donald

et al. (1996), dalam budidaya perikanan secara komersial 30% dari total pakan

yang diberikan tidak dikonsumsi oleh ikan sekitar 25-30% dari pakan yang dikonsumsi akan diekskresikan. Kartamiharja (1998) mengemukakan bahwa pada budidaya KJA yang dilakukan petani ikan di Jawa Barat menunjukkan jumlah pakan yang terbuang ke perairan berkisar antara 30-40%. Menurut Mc Ghie et al. (2000), bahan organik yang dihasilkan dari aktivitas budidaya ikan akan terakumulasi di bawah KJA akibat dari pakan ikan yang tidak dikonsumsi dan kotoran ikan.

BPWC (2003)menyatakan , selain permasalahan teknis yang dihadapi oleh Waduk Cirata, terdapat permasalahan non teknis yaitu sejak diberlakukannya otonomi daerah maka pengelolaan waduk sebagai sumberdaya alam menjadi kabur, belum jelas dalam wewenang dan tanggung jawab pengelolaannya. Selanjutnya dikatakan bahwa tata ruang waduk yang ada belum tepat dan belum ditaati dalam pelaksanaannya.

Dalam pengelolaan waduk agar tetap lestari sebaiknya melibatkan multi

stakeholder, yaitu: (1) pelaku usaha, baik yang bergerak di dalam kawasan

maupun di luar kawasan waduk; (2) pemerintah, yakni Dinas Pekerjaan Umum dan Dinas Perikanan; (3) perguruan tinggi; (4) lembaga swadaya masyarakat dan masyarakat umum (masyarakat nelayan dan non nelayan). Faktor lain yang sangat menentukan keberhasilan dalam pengelolaan waduk, seperti kualitas sumberdaya manusia, organisasi, kelembagaan, regulasi, dan infrastruktur.

Pengelolaan waduk merupakan suatu kegiatan yang penting, kompleks dan dinamis. Penting karena waduk memiliki fungsi ekologi, ekonomi, sosial. dan budaya, menjadi kompleks karena melibatkan multi stakeholder dengan karakteristik yang berbeda, dan dinamis karena tingkat pencemaran dan sedimentasi selalu berubah seiring dengan perubahan waktu. Hal ini menunjukkan bahwa penanganan masalah-masalah yang berkaitan dengan pengelolaan waduk harus dilakukan secara integratif–holistik dengan pendekatan kesisteman, bukan secara parsial–sektoral. Pendekatan kesisteman ini didasarkan pada sybernetic,


(32)

Salah satu pendekatan kesisteman yang memungkinkan teridentifikasinya seluruh variabel terkait, dan memudahkan untuk mengetahui pola perkembangan ke depan seiring dengan perubahan waktu adalah dengan sistem model dinamik. Pendekatan ini akan memudahkan bagi pengambil kebijakan dalam pengelolaan waduk untuk menyiapkan langkah–langkah strategis dalam menghadapi setiap perubahan yang akan terjadi ke depan. Selanjutnya pendekatan ini juga dapat mengidentifikasi faktor pengungkit dalam pengelolaan waduk, sehingga kebijakan strategis yang akan diambil menjadi lebih efektif. Pendekatan sistem dinamik merupakan bagian dari pendekatan kesisteman yang dapat menjadi salah satu alternatif pendekatan dalam pengelolaan waduk karena pendekatan sistem dinamik ini dapat menyederhanakan struktur sistem yang kompleks dan rumit (Muhammadi et al. 2001).

Secara garis besar pengembangan sistem model dinamik meliputi 3 tahap, yaitu: (a) cognitive map, (b) construction model, (c) simulation and policy

analysis. Cognitif map merupakan langkah pengenalan masalah secara mendasar,

dilakukan melalui studi literatur, wawancara pakar, dan diskusi dengan

stakeholder melalui diskusi kelompok terfokus (focus group discussion: FGD).

FGD merupakan forum diskusi stakeholder untuk mengidentifikasi seluruh variabel, masalah, kendala, dan kebutuhannya dalam pengelolaan waduk. Hasil dari FGD kemudian dibuat kedalam system conceptualization dalam bentuk diagram sebab akibat (causal loop diagram) yang menggambarkan hubungan sebab akibat dan feed back-nya satu variabel terhadap lainnya, sehingga memudahkan pengendalian sesuai dengan yang diinginkan. Construction model

merupakan tahap pengembangan model yang didasarkan pada causal loop

diagram. Pengembangan model menggunakan software tool Powersim. Sebagai langkah akhir dari pengembangan model dinamis adalah simulasi dan analisis kebijakan. Analisis kebijakan ini dilakukan terhadap hasil simulasi model berdasarkan skenario yang dikembangkan. Selanjutnya hasil analisis kebijakan akan menjadi bahan rekomendasi kebijakan dalam pengelolaan waduk secara berkelanjutan.


(33)

5

1.2 Kerangka Pemikiran

Waduk Cirata adalah waduk terluas kedua di Jawa Barat yang terletak di tiga kabupaten, yaitu Kabupaten Purwakarta, Bandung Barat dan Cianjur, dibangun oleh pemerintah Indonesia dengan tujuan utamanya sebagai pembangkit listrik tenaga air. Pada kenyataannya berfungsi sebagai waduk serbaguna yang diambil manfaatnya untuk kegiatan ekonomi, ekologi, dan sosial budaya.

Waduk Cirata seperti halnya waduk serbaguna lainnya, dimanfaatkan untuk melakukan kegiatan ekonomi yaitu untuk budidaya ikan dalam KJA. Terjadinya alih fungsi utama sebagai PLTA menjadi fungsi untuk kegiatan ekonomi masyarakat mengakibatkan terjadinya konflik sosial antara Badan Pengelola Waduk Cirata (BPWC) dengan masyarakat sebagai pelaku kegiatan usaha perikanan di Waduk Cirata. Oleh karenanya kondisi Waduk Cirata pada saat ini telah mengalami degradasi yang sangat serius karena masyarakat dalam melakukan kegiatan perikanan budidaya tidak memperhatikan fungsi lingkungan waduk tersebut. Luasan waduk yang makin lama semakin sempit dengan kedalaman air yang makin berkurang serta tingginya sedimentasi dan pencemaran perairan diduga mengakibatkan fungsi utama waduk sebagai PLTA terabaikan (Garno 2001).

Secara garis besar ada dua aspek utama yang terkait dalam pengelolaan waduk. Pertama adalah aspek teknis yang berlangsung yaitu sistem pertanian di daerah aliran sungai, industri di daerah hulu, erosi, pendangkalan waduk, usaha karamba jaring apung, dan pemukiman penduduk. Kedua adalah aspek non teknis seperti kelembagaan, regulasi, teknologi, perilaku sosial, dan kesadaran masyarakat. Untuk menjamin keberlanjutan waduk maka dalam pengelolaannya, tidak hanya menekankan pada aspek teknis atau non teknis saja, tetapi keduanya harus dilaksanakan, dan secara menyeluruh (holistik) dengan menggunakan pendekatan kesisteman, bukan berdasarkan pendekatan yang terpisah yang hanya menekankan pada satu variabel saja. Menurut BPWC (2003), selain permasalahan teknis yang dihadapi oleh Waduk Cirata, terdapat permasalahan non teknis yaitu sejak diberlakukannya otonomi daerah maka pengelolaan waduk sebagai sumberdaya alam menjadi kabur, belum jelas dalam wewenang dan tanggung jawab pengelolaannya. Selanjutnya dikatakan bahwa zonasi waduk yang ada


(34)

sudah tidak tepat lagi, dan belum ditaati dalam pelaksanaannya, sehingga diperlukan zonasi baru yang sudah disesuaikan dengan kondisi Waduk Cirata sekarang. Kepadatan dan zonasi keramba jaring apung di Waduk Cirata yang sudah tidak sesuai dengan zonasi ditampilkan pada Gambar 1.

Gambar 1 Kepadatan dan zonasi keramba jaring apung di Waduk Cirata. Sumber: Prihadi (2005)

Dampak positif maupun negatif yang ditimbulkan adalah sesuai dengan fungsi waduk tersebut, sedangkan dampak negatif dan permasalahan yang paling menonjol adalah pemukiman kembali penduduk asal kawasan yang digenangi, pengadaan lapangan kerja, hilangnya daratan, hutan, perkebunan, dan sumberdaya lainnya termasuk flora, fauna, serta dampak ekologi yang merugikan lainnya baru akan terasa dalam jangka panjang. Oleh sebab itu, maka pembangunan waduk perlu dinilai dan dikaji dengan memperhitungkan arti dan peran pentingnya bagi pembangunan ekonomi dan kemudian memantapkan cara dan teknik pengelolaan sumberdaya perairan waduk agar diperoleh hasil optimal dengan meminimalkan efek atau dampak negatif yang tidak diinginkan. Berdasarkan hal tersebut, maka


(35)

7

WADUK CIRATA

Fungsi Ekologi Fungsi Sosial Budaya Fungsi Ekonomi

PLTA KJA

Tenaga Kerja Pariwisata Konservasi

Penyerapan pengangguran Kelestarian plasma nutfah

dan tata guna air

Pendapatan

Fungsi Turbin Daya dukung perairan

Strategi Pengelolaan Waduk Berkelanjutan Pengelolaan Perikanan Budidaya Karamba Jaring Apung

Konfik Kepentingan

Kelembagaan/ Regulasi

diperlukan adanya suatu kajian untuk membahas masalah mengenai pengelolaan sumberdaya perairan waduk secara optimal dan terpadu, untuk mendukung suatu program pengelolaan yang efektif guna menjamin keberlanjutan fungsí utama dari waduk tersebut.

Dahuri (2003) menyatakan bahwa pendekatan yang penting untuk diterapkan dalam pengembangan pemanfaatan sumberdaya perairan, khususnya perairan waduk adalah dengan pendekatan berkelanjutan. Secara garis besar konsep pembangunan berkelanjutan memiliki 4 dimensi yaitu: (1) ekologis, (2) sosial ekonomi-budaya, (3) sosial politik, serta (4) hukum dan kelembagaan. Dengan dasar pembangunan berkelanjutan maka strategi pengelolaan waduk sebaiknya mengikuti keempat dimensi tersebut. Gambar 2 memperlihatkan diagram alir kerangka pemikiran rencana penelitian.


(36)

1.3 Tujuan Penelitian

1) Menghitung daya dukung lingkungan perairan Waduk Cirata (Jawa Barat). 2) Membuat model kelembagaan untuk pengelolaan Waduk Cirata (Jawa

Barat) berkelanjutan berbasis perikanan budidaya KJA.

3) Merancang bangun model sistem dinamik pengelolaan Waduk Cirata (Jawa Barat) berkelanjutan berbasis perikanan budidaya KJA.

4) Menilai keberlanjutan pengelolaan Waduk Cirata berbasis perikanan budidaya karamba jaring apung.

1.4 Manfaat Penelitian

1) Manfaat praktis:

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai suatu masukan bagi para pengambil kebijakan dalam pengelolaan Waduk Cirata berkelanjutan berbasis perikanan budidaya karamba jarring apung, sehingga kebijakan yang dibuat menjadi cepat, tepat, dan akurat.

2) Manfaat teoritis akademis:

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai salah satu bahan rujukan bagi para peneliti lain yang akan melakukan pengkajian pengelolaan waduk dengan pendekatan kesisteman.

1.5 Kebaruan (Novelty)

Kebaruan dari penelitian ini adalah model pengelolaan waduk berkelanjutan berbasis perikanan budidaya dengan menggabungkan aspek ekologi, ekonomi, kelembagaan dan sosekbud. Penelitian terdahulu hanya melakukan kajian bersifat pemantauan terhadap kualitas perairan saja. Metoda yang digunakan pada penelitian ini dengan menggabungkan hard system methodology (daya dukung perairan) dengan soft system methodology (ekonomi, sosial budaya, kelembagaan) dengan sistem dinamik.


(37)

9

2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perairan Waduk

Kebutuhan manusia akan pasokan sumber air sebagai sumber energi yang meningkat dari waktu ke waktu telah mendorong manusia untuk membendung sungai untuk menciptakan waduk. Keberadaan waduk di suatu wilayah diperlukan mengingat waduk mempunyai banyak fungsi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Yuningsih dan Soewarno (1995) menyatakan bahwa waduk sebagai tempat menampung air dengan cara membendung alur sungai. Menurut Ryding dan Rast (1989) waduk umumnya dibentuk oleh pembuatan suatu dam melintang sungai atau suatu aliran yang menghasilkan suatu perairan yang terkurung oleh adanya bangunan dam tersebut. UNEP-IETC/ILEC (2000) mendefinisikan waduk sebagai badan air buatan yang dibangun oleh manusia dengan membendung sungai atau mengalihkan air dari sungai dan mengurungnya ke lembah buatan.

Waduk dibuat manusia untuk dapat berfungsi sebagai sumber daya alam untuk kegunaan irigasi pertanian, pengendalian banjir, transportasi air, wisata air, penggelontoran limbah domestik, pembangkit listrik tenaga air, air baku untuk keperluan domestik dan industri serta sebagai sumber daya untuk perikanan penangkapan atau perikanan budidaya. Keberadaan waduk ternyata memberikan dampak positif dan dampak negatif terhadap lingkungannya. Dampak positif utama yang dapat diberikan oleh adanya waduk adalah tersedianya energi listrik dari pembangkit listrik tenaga air. Banjir yang biasanya datang pada musim penghujan dapat dikendalikan dan ditampung ke dalam waduk. Waduk sebagai penampung air dapat dimanfaatkan untuk pengairan dari aktivitas pertanian, sebagai bahan baku air minum masyarakat perkotaan di sekitar wilayah waduk. Selanjutnya keberadaan waduk dapat dimanfaatkan untuk kegiatan budidaya perikanan, olahraga air, dan pariwisata. Selain dampak positif, timbul dampak negatif baik secara ekologis, teknis, kebijakan dan sosial.

Saat ini di Indonesia tercatat ada 232 bendungan atau waduk dengan ketinggian lebih besar dari 10 m. Jumlah waduk tersebut masih belum mencukupi kebutuhan air, terutama untuk daerah-daerah rawan air seperti di kawasan


(38)

Indonesia Timur. Sejumlah besar dari waduk tersebut sudah mengalami kondisi kelayakan di bawah normal yaitu: Waduk Djuanda, Waduk Cirata, Waduk Saguling, Waduk Darma, Waduk Kedung Ombo, Waduk Wonogiri, Waduk Wadas Lintang, Waduk PB Soedirman, Waduk Sermo, Waduk Selorejo, Waduk Sutami, Waduk Wonorejo, dan Waduk Bening. Beberapa waduk menghentikan operasi PLTA yaitu Waduk Djuanda, Waduk Saguling, Waduk Kedung Ombo, Waduk Sempor, dan Waduk Wadaslintang (Syarief 2003).

Menurut Solichin (2005), permasalahan yang dihadapi dalam pendayagunaan sumber daya air seperti waduk adalah mencari cara pengelolaan yang tepat sehingga didapat hasil yang optimum dari sumber daya yang ada. Oleh sebab itu untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, maka telah digunakan program dinamik stokastik untuk mengkaji operasi suatu sistem waduk pembangkit listrik, telah diperoleh hasil optimasi yang berupa tabel pola operasi pembangkit listrik yang memberikan kemungkinan pemakaian pola operasi tersebut untuk operasi nyata. Setiawan (2004), telah membuat suatu model pengelolaan waduk dengan memperkirakan debit air untuk mengantisipasi operasi pembangkit listrik pada debit minimum.

2.2 Sedimentasi di Waduk

Salah satu permasalahan waduk di Indonesia adalah tingginya sedimentasi, dimana sedimentasi telah menjadi faktor utama penyebab penurunan daya dukung ekosistem waduk. Menurut Manan (1979) sedimentasi adalah agregat-agregat partikel yang berkumpul di beberapa tempat yang telah dipindahkan pada jarak tertentu baik lateral maupun vertikal. Selanjutnya dikatakan sedimentasi adalah proses pengendapan dari bahan organik dan anorganik yang tersuspensi di dalam air dan diangkut oleh air. Peningkatan beban sedimentasi ini terutama disebabkan oleh peningkatan laju erosi yang disebabkan oleh aktivitas-aktivitas di daratan, buangan limbah industri dan rumah tangga di DAS, serta aktivitas manusia di perairan seperti budidaya ikan di waduk dengan pemberian pakan buatan yang berlebihan (sistem pompa). Menurut BPWC (2003), sedimentasi di Waduk Cirata sejak tahun 1987 sampai tahun 2001 seperti pada Tabel 1.


(39)

11

Tabel 1 Sedimentasi di Waduk Cirata dari tahun 1987-2001

Tahun Pengukuran 1987 1991 1993 1997 2000 2001

Volume Sedimen (106) m3 0 10,11 11,27 25,52 15,33 5,87

Kumulatif Sedimen (106) m3 0 10,67 21,98 47,45 62,78 68,69 Total Kapasitas (106) m3 1.973,00 1.962,29 1.951,02 1.925,50 1.910,17 1.904,31 Kap. Efektifitas Waduk (106) m3 796,00 790,10 789,20 782,89 781,00 778,69

Sumber: BPWC (2003)

Secara fisik sedimentasi waduk akan menyebabkan penurunan elevasi air yang berakibat mengurangi manfaat waduk dan mengancam kelestarian waduk termasuk mengurangi luas lahan untuk KJA. Pendangkalan di waduk dapat menyebabkan penurunan kuantitas dan kualitas perairan serta merusak habitat organisme yang ada di dalamnya (Syarief 2003). Menurut UNEP-IETC/ILEC (2000) salah satu masalah lingkungan yang terjadi di danau dan waduk di seluruh dunia yaitu penurunan elevasi air. Selanjutnya dikemukakan bahwa penurunan elevasi air dapat disebabkan oleh penggunaan air yang berlebihan di danau atau waduk atau adanya sedimentasi. Sedimentasi yang terjadi bersumber terutama dari aktivitas di daerah aliran sungainya, yang disebabkan adanya penggundulan hutan atau pengolahan tanah yang mengabaikan aspek konservasi air dan tanah sehingga menyebabkan erosi tanah. Erosi tanah dalam jumlah besar yang masuk ke waduk atau badan air penerimanya, akan mengakibatkan terjadinya pendangkalan.

Berbagai kegiatan yang menyebabkan erosi tanah seperti penebangan hutan, pembukaan lahan pertanian, pembukaan jalan baru, menyebabkan kandungan sedimen pada aliran permukaan meningkat yang akhirnya akan bermuara di waduk. Sedimen yang tersuspensi dalam bentuk partikel halus dan kasar akan menimbulkan dampak negatif terhadap biota dalam ekosistem waduk. Biota akan sulit bernafas dan akhirnya akan mati lemas. Selanjutnya sedimen akan meningkatkan kekeruhan air yang akan menghalangi penetrasi cahaya dan mengganggu organisme dalam fotosintesa. Sedimen yang berasal dari lahan pertanian dapat menimbulkan eutrofikasi. Menurut Dahuri (2003), eutrofikasi dapat mengakibatkan perairan pada kondisi annoxia (kekurangan oksigen) di dalam kolom air yang disebabkan kelebihan organisme pemakai oksigen yang sering dikombinasikan dengan stratifikasi oksigen. Sebagian komunitas fitoplankton akan musnah dan digantikan oleh jenis yang tidak diinginkan dengan


(40)

jumlah individu yang sangat banyak sehingga dapat menyebabkan kematian pada ikan.

2.3 Pencemaran Waduk

Dari sekian banyak penyebab kerusakan lingkungan, pencemaran merupakan faktor yang paling dominan. Hal ini disebabkan karena pencemaran tidak saja dapat merusak atau mematikan komponen biotik perairan tetapi dapat pula membahayakan kesehatan atau bahkan mematikan manusia yang memanfaatkan biota atau perairan yang tercemar. Pencemaran ekosistem perairan didefinisikan sebagai perubahan fungsi normal dari suatu ekosistem perairan akibat masuk atau dimasukannya benda-benda lain. Pada ekosistem perairan seperti sungai, danau, waduk, pesisir, serta tambak, pencemaran dapat terjadi karena masuknya limbah dari berbagai kegiatan manusia seperti: rumah tangga, industri, pemukiman, peternakan, pertanian, dan perikanan. Limbah yang masuk ke ekosistem perairan dikategorikan dalam 2 jenis; yakni limbah anorganik yang sulit atau tidak-dapat terurai oleh mikroorganisme dan limbah organik yang mudah terurai oleh mikroorganisme (Garno 2002)

Waduk sebagai penampung air, adanya pencemaran di DAS nya akan menumpuk ke dalam perairan, sehingga kualitas lingkungan perairan waduk tersebut menjadi terdegradasi. Secara langsung maupun tidak langsung pencemaran perairan akan mempengaruhi komunitas di waduk karena akan mengurangi produktivitas perairan, menimbulkan perusakan habitat, dan menurunkan kualitas lingkungan perairan sebagai media hidup organisme perairan. Bahan pencemar seperti pestisida dari aktivitas pertanian dan logam berat limbah dari industri dapat terakumulasi dan melalui proses pemangsaan akan mengalami magnifikasi biologis. Melalui sistem rantai makanan, semakin tinggi tingkatan tropiksi pemangsa maka semakin besar pula tingkat akumulasi bahan pencemar dalam tubuh organisme (Dahuri 2003).

Terjadinya peningkatan logam berat di lingkungan perairan telah menyebabkan efek toksik pada biota-biota yang berada di perairan tersebut. Logam berat bersifat akumulatif, maka logam berat cenderung untuk terpartisi pada lemak/lipid pada biota air atau karbon organik yang menyelubungi partikel


(41)

13

sedimen. Butiran polen dan spora yang mengendap dalam sedimen dapat menggambarkan kondisi vegetasi pada suatu masa. Hal tersebut disebabkan oleh lapisan sporopolenin pada dinding sel polen dan spora yang memiliki laju dekomposisi yang sangat lambat. Oleh karena itu dapat digunakan untuk melihat proses sedimentasi yang terjadi pada suatu diwilayah tertentu. Kandungan logam berat yang tinggi di perairan waduk dapat mempercepat korositas dari turbin PLTA, sehingga jika tidak dikendalikan akan merusak peralatan mesin turbin yang harganya mahal.

Eutrofikasi adalah pengayaan suatu perairan akibat masuknya nutrien (N

dan P) sehingga terjadi peningkatan produktivitas primer. Adanya N dan P yang berlebihan dan didukung oleh kondisi perairan lentik menyebabkan terjadinya

eutrofikasi. Menurut Siska (2002), masalah eutrofikasi merupakan salah satu

permasalahan yang kompleks dalam pengelolaan suatu waduk yang sudah bersifat

hipertrofik seperti Waduk Jatiluhur, sehingga dalam memecahkan permasalahan

tersebut sebaiknya digunakan kesisteman.

Eutrofikasi mengakibatkan blooming algae, penetrasi matahari ke dalam

perairan menjadi terhambat sehingga proses fotosintesa dalam perairan terganggu, terjadinya persaingan penggunaan oksigen perairan antara algae dengan organisme lainnya sehingga mengakibatkan penurunan kandungan oksigen terlarut pada malam hari, organisme yang tidak tahan terhadap kekurangan oksigen akan mati. Masuknya N dan P yang berlebih di perairan berasal dari erosi lahan pertanian dan akumulasi hasil limbah budidaya ikan, dapat mengakibatkan alga hijau tumbuh dengan subur, selanjutnya jika menutupi perairan dapat memusnahkan organisme akuatik aerob.

Midlen and Redding (2000) menyatakan bahwa dari pakan ikan yang diberikan maka hanya 25% P dan 25% N yang dimanfaatkan oleh ikan, sisanya masuk ke lingkungan perairan. Selanjutnya dikatakan bahwa pakan ikan yang masuk ke lingkungan perairan 10% P dan 65% N berada dalam bentuk terlarut, sedangkan 65% P dan 10% N berada dalam bentuk partikel. Pakan ikan dalam bentuk partikel akan masuk ke sedimen tergantung kondisi perairan dan dinamika dari dasar perairan. Di perairan air tawar, pada keadaan di dasar perairan tidak ada


(42)

oksigen, sejumlah P dilepaskan ke perairan sehingga mempercepat terjadinya

eutrofikasi.

Pada kegiatan budidaya ikan dengan pemberian pakan buatan seperti kegiatan budidaya ikan di karamba jaring apung di waduk, maka buangan pakan ikan yang tidak termakan oleh ikan serta feces yang terbuang ke perairan merupakan limbah bahan organik yang pada jumlah berlebih dapat mencemari dan mengganggu ekosistem lingkungan perairan tersebut. Kehadiran bahan beracun seperti amonia, nitrit dan H2S ini yang berada di dasar perairan

mengganggu pernapasan organisme perairan, karena hemoglobin yang berfungsi untuk mengangkut oksigen pada akhirnya akan mengangkut gas-gas beracun. Hal ini diduga disebabkan hemoglobin mempunyai affinitas yang jauh lebih tinggi terhadap gas beracun dibandingkan terhadap oksigen, akibatnya biota air mengalami hipoksia (Dahuri 2003).

2.4 Budidaya Ikan di Karamba Jaring Apung

Kegiatan perikanan di waduk merupakan salah satu alternatif pemanfaatan sumberdaya perairan tersebut. Oleh karena itu, sejak tahun 1974 di Waduk Jatiluhur mulai dilakukan penelitian dan uji coba pemeliharaan ikan di karamba. Dasar hasil penelitian tersebut maka dimulai budidaya ikan di Waduk Saguling, selanjutnya berkembang ke Danau Toba, Waduk Cirata, Waduk Wonogiri, dan Waduk Kedung Ombo. Budidaya ikan dalam karamba di Waduk secara intensif mulai dilakukan pada tahun 1986 (Hardjamulia et al. 1991) dan perkembangan yang paling pesat baru mulai pada tahun1988 (Kartamiharja 1995).

Perkembangan yang pesat budidaya ikan dalam KJA karena terdapatnya potensi produksi ikan yang dihasilkan, luas perairan yang tersedia, kelestarian sumberdaya, kemudahan melaksanakannya, sudah tersedianya paket teknologi budidaya serta adanya informasi bahwa budidaya ikan dalam KJA memberikan hasil secara ekonomis menguntungkan (Hardjamulia et al. 1991).

Budidaya ikan dalam keramba jaring apung di Waduk Cirata telah memberikan keuntungan yang cukup besar, terbukti dari jumlah KJA di Waduk Cirata dari waktu ke waktu makin meningkat. Kegiatan budidaya ikan di Waduk Cirata termasuk ke dalam kegiatan budidaya intensif karena pakan ikan yang


(43)

15

diberikan 100% adalah pakan buatan (pelet). Frekuensi pemberian pakan rata-rata tiga kali sehari bahkan lebih dan penggunaan pakan komersial (pelet) mengandung protein tinggi (lebih dari 20%) dengan kandungan nutrisi lainnya cukup lengkap. Melimpahnya limbah organik yang berasal dari sisa pakan ini mengakibatkan Waduk Cirata menghadapi masalah yang cukup serius antara lain proses sedimentasi yang tinggi dan penurunan kualitas perairan. Pertambahan jumlah KJA budidaya ikan di Waduk Cirata yang dimulai tahun 1987, sampai tahun 2002 semakin meningkat. Peningkatan jumlah KJA sampai tahun 1997 dapat meningkatkan produksi total ikan tetapi mulai tahun 1998 peningkatan jumlah KJA tidak sejalan dengan peningkatan produksinya. Hal ini diduga karena kualitas air di Waduk Cirata yang mulai menurun setelah tahun 1997 sampai tahun 2002, serta akibat sering terjadinya kematian massal ikan budidaya akibat pencemaran dan terserang virus herpes (Prihadi et al. 2005).

Ryding dan Rast (1989) mengemukakan bahwa budidaya ikan dalam karamba jaring apung merupakan budidaya di wilayah perairan yang disekat, biasanya mengapung dan dibatasi oleh jaring. Wilayah tersebut melindungi karamba yang digunakan untuk produksi ikan. Di awal masa pertumbuhan, karamba ditebari ikan kecil, selanjutnya ikan diberi pakan pelet yang kaya hara dan diberikan pada interval waktu tertentu. Di dalam wilayah perlindungan karamba tersebut, ikan tumbuh cepat dan biasanya dipanen pada akhir masa pertumbuhan.

Menurut Sukadi et al. (1989) KJA merupakan tempat pemeliharaan ikan yang terbuat dari bahan jaring yang dapat menyebabkan keluar masuknya air dengan leluasa sehingga terjadi pertukaran air dari karamba ke perairan sekitarnya, serta pembuangan sisa pakan dengan mudah. Hardjamulia et al. (1991) mengemukakan prinsip dasar pada KJA yaitu sebagai wadah yang semua sisi samping dan dasarnya dibatasi jaring yang dapat menampung ikan di dalamnya, terjadi pertukaran air dari dalam dan luar keramba serta kotoran dan sisa-sisa pakan ke luar dari karamba ke lingkungan perairan sekitarnya.

Kartamiharja (1998) mengemukakan bahwa sejak tahun 1988 budidaya KJA berkembang pesat di beberapa perairan waduk dan danau. Fenomena ini digambarkan dengan keadaan di Jawa Barat yaitu di Waduk Saguling, Cirata dan


(44)

Jatiluhur. Jumlah karamba meningkat dari 1.367 unit pada tahun 1988 menjadi 14.215 unit pada tahun 1995. Produksi ikan juga meningkat dari 2.651 ton pada tahun 1988 menjadi 19.000 ton pada tahun 1995 atau rata-rata meningkat 75% per tahun. Selanjutnya dikatakan bahwa pada budidaya ikan di KJA yang dilakukan petani ikan di Jawa Barat menunjukkan jumlah pakan yang terbuang ke perairan berkisar antara 30-40%. Salah satu teknologi yang telah dikembangkan untuk menanggulangi jumlah pakan yang terbuang sekaligus menanggulangi pencemaran perairan adalah dengan karamba jaring apung ganda. Dalam pelaksanaan teknologi ini, pakan diberikan hanya untuk ikan utama (pada umumnya ikan mas). Ikan utama dipelihara pada jaring lapisan atas sedangkan dalam jaring lapisan bawah dipelihara ikan yang dapat memanfaatkan pakan yang terbuang dari jaring lapisan atas (contoh: ikan nila). Hasil uji coba di Waduk Jatiluhur dengan jaring lapisan atas ukuran 6m x 6m x 2m untuk ikan mas dan jaring lapisan bawah 7m x 7m x 3m untuk ikan nila, dengan lama pemeliharaan 90 hari, diperoleh produksi rata-rata ikan mas saat panen adalah 15 kali dari bobot awal, sedangkan ikan nila diperoleh produksi 10 kali. Konversi pakan ikan mas didapatkan 1,6 dan ikan nila 1,0.

Karamba jaring apung secara umum merupakan kegiatan ekonomi yang menguntungkan jika dikelola dengan baik, sehingga telah menarik investor baik di investor dari masyarakat sekitar waduk itu sendiri maupun investor dari luar masyarakat sekitar Waduk Cirata. Perkembangan KJA di Waduk Cirata sangat cepat. Menurut Garno (2000), pada tahun 1999 tedapat 27.786 KJA dengan produksi ikan 25.114 ton. KJA di Waduk Cirata telah menutupi 136 ha atau 2,2% permukaan waduk dan sisa-sisa pakan yang tertampung di dalam waduk ada sekitar 198,376 ton (8,667 ton N dan 1,239 ton P) sedangkan pada tahun 2003, tercatat sebanyak 38.276 unit KJA sehingga sisa pakan yang berada di dasar waduk adalah sebesar 279.121 ton (Prihadi 2005).

Menurut Schimittou (1991) dalam Adnyana (2001), KJA kondisinya sangat tidak teratur dan telah melampaui batas lestari (1%) dari total area yang tersedia. Sisa pakan dan kotoran ikan yang berlebihan telah menimbulkan endapan sekitar 10% dari total pakan yang diberikan. Dari akumulasi endapan di dasar waduk


(45)

17

kondisi perairan menjadi eutrofikasi yang menjadi bahaya laten budidaya ikan perairan waduk yang dapat mengakibatkan kematian masal pada ikan.

Limbah dari aktivitas KJA di Waduk Cirata yang menumpuk di dasar perairan waduk telah menimbulkan dampak negatif baik terhadap lingkungan perairan maupun terhadap kelangsungan umur waduk dan kegiatan usaha perikanan. Sebagai contoh, adanya hujan terus menerus selama minimal dua hari mendung dan atau gerimis apalagi diikuti dengan angin yang cukup kencang, akan berakibat munculnya peristiwa pembalikan massa air di dasar perairan ke perairan bagian atas, sehingga zat beracun yang sudah lama terakumulasi di dasar perairan terangkat ke atas. Peristiwa ini disebut dengan kejadian umbalan yang mengakibatkan kematian massal pada ikan dalam KJA.

2.5 Pembangunan Berkelanjutan

Pembangunan berkelanjutan merupakan kebijakan global yang dicetuskan sebagai akibat akumulasi keprihatinan terhadap ketidakseimbangan antara pertumbuhan penduduk dengan kemampuan pemenuhan kebutuhan pangan, ketidakmeratan kesejahteraan umat manusia, dan kecenderungan timbulnya dampak lingkungan.

WCED menyelesaikan agenda pembangunan global dengan mengeluarkan dokumen Our Common Future pada tahun 1987, dalam dokumen dikemukakan bahwa tata ekonomi dunia menjadi pemicu kerusakan lingkungan dan mengusulkan pembangunan berkelanjutan. “Pembangunan Berkelanjutan” menjadi jalan tengah untuk mewadahi pembangunan berorientasi ekonomi dan kelestarian lingkungan. Pembangunan berkelanjutan mengintegrasikan nilai lingkungan, ekonomi, dan sosial dalam perencanaan sehingga tercipta pemerataan distribusi manfaat antar strata sosial ekonomi dan jender, dan tersedia peluang pembangunan bagi generasi mendatang. Berdasarkan definisi di atas maka pembangunan berkelanjutan ditopang oleh tiga pilar, yaitu 1) pembangunan lingkungan hidup, 2) pembangunan ekonomi dan 3) pembangunan sosial. Ketiga pilar saling terkait dan memperkuat satu sama lain (Eppel 1999; Harris 2000), bersifat dinamis dengan mendorong penggunaan sumberdaya yang didukung oleh


(46)

pengembangan teknologi dan kelembagaan yang dapat mengawal pemenuhan kebutuhan generasi saat ini dan akan datang (WCED 1987).

Sumberdaya perlu digunakan secara efisien untuk mencapai produksi optimal secara berkelanjutan dengan memelihara kestabilan dan menghindari eksploitasi sumberdaya yang berlebihan. Untuk menghindari eksploitasi yang berlebihan perlu dicapai suatu keseimbangan antara konsumsi dan ketersediaan sumberdaya. Pada sumberdaya tak terbarukan efisiensi ditempuh melalui konversi atau investasi kembali menjadi sumberdaya terbarukan. Kestabilan sumberdaya dilakukan melalui pemeliharaan keanekaragaman hayati, stabilitas atmosfer, dan fungsi ekosistem lainnya. Keberlanjutan sumberdaya juga ditandai oleh kemampuan pulih lingkungan terhadap gangguan dan kerusakan lingkungan.

Pembangunan ekonomi berkelanjutan harus mampu memproduksi barang dan jasa secara berkelanjutan dan berkeadilan antara sektor terkait untuk meningkatkan kesejahteraan manusia. Peningkatan kesejahteraan dapat dicapai dengan dipenuhinya kebutuhan pangan, pakaian, perumahan, transportasi, kesehatan, dan pendidikan melalui penggunaan sumberdaya yang efisien. Pembangunan sosial berkelanjutan dicapai dengan tercapainya keadilan, pemerataan pemenuhan kebutuhan dasar seperti kesehatan, pendidikan, persamaan jender, peranan politik dan partisipasi (Harris 2000). Pembangunan berkelanjutan menempatkan manusia sebagai pelaku pembangunan yang bersinergi satu sama lain dalam menggunakan sumberdaya secara efisien bagi peningkatan kesejahteraannya (people oriented) dan minim dampak lingkungan.

Penilaian keberlanjutan memiliki beberapa tujuan yaitu dalam upaya untuk (1) mencapai efisiensi penggunaan sumberdaya, (2) mendorong pencapaian tujuan berkelanjutan, dan (3) mengembangkan landasan ilmiah mempunyai dasar ilmiah dalam menilai keberlanjutan suatu aktifitas pembangunan. Efesiensi penggunaan sumberdaya dimaksudkan untuk menjamin ketersediaan sumberdaya dalam jangka panjang dan lintas generasi (Campbell et al. 2001), menekan terjadinya konflik (Hassanshahi et al. 2008), mengoptimalkan jasa lingkungan dan pencapaian tujuan keberlanjutan pembangunan (Rammel et al. 2007). Adanya penilaian keberlanjutan memudahkan proses evaluasi. Landasan ilmiah penilaian


(47)

19

keberlanjutan perlu dikembangkan karena memerlukan pemahaman ilmu lintas disiplin yaitu ilmu sosial, ekonomi, dan lingkungan (Hassanshahi et al. 2008).

Penilaian keberlanjutan juga dapat dilakukan oleh pengambil kebijakan seperti pemerintah daerah, maupun pemerintah pusat, atau lembaga penelitian. Penilaian keberlanjutan juga sebaiknya dilaksanakan secara terus menerus, sehingga diperoleh informasi ilmiah terkait perkembangan pemanfaatan sumberdaya dan pola penggunaannya.

2.6 Sistem dan Model Dinamik

2.6.1 Sistem

Banyak definisi sistem yang telah dikemukakan olek penulis, diantaranya Ford (1999) menyebutkan bahwa sistem adalah suatu kombinasi dari dua atau lebih elemen yang saling terkait. Grant et al. (1997) juga menyatakan bahwa sistem adalah suatu kumpulan dari bahan-bahan dan proses-proses yang saling berhubungan dan secara bersama melakukan sejumlah peranan. Analisis sistem merupakan suatu penerapan dari metode ilmiah tentang masalah-masalah dalam suatu sistem yang kompleks. Analisis sistem merupakan suatu teori dan teknik untuk mempelajari, menggambarkan dan membuat prediksi tentang sistem yang kompleks, umumnya menggunakan penghitungan matematik, statistik dan komputer. Inti dari analisis sistem lebih mengarah kepada strategi pemecahan masalah yang lebih luas, bukan sekedar sekumpulan teknik-teknik kuantitatif.

Pengertian tentang sistem dikemukakan oleh Muhammadi et al. (2001) yaitu sebagai keseluruhan interaksi antar komponen dari sebuah obyek dalam batas lingkungan tertentu yang bekerja mencapai tujuan. Pengertian interaksi adalah pengikat atau penghubung antar komponen yang memberi bentuk atau struktur kepada obyek, sehingga membedakan dengan obyek lain dan mempengaruhi kelakuan dari obyek. Pengertian komponen adalah benda, baik konkrit atau abstrak yang menyusun obyek sistem. Pengertian obyek adalah sistem yang menjadi perhatian dalam suatu batas tertentu, sehingga dapat dibedakan antara sistem dengan lingkungan sistem. Pengertian batas antara sistem dengan lingkungan tersebut memberikan dua jenis sistem, yaitu sistem tertutup dan sistem terbuka. Sistem tertutup adalah sebuah sistem dengan batas yang dianggap kedap


(48)

(tidak tembus) terhadap pengaruh lingkungan. Sistem tertutup ini hanya ada pada anggapan (untuk analisis) karena pada kenyataan sistem selalu terinteraksi dengan lingkungan atau sebagai sebuah sistem terbuka. Pengertian tujuan adalah unjuk kerja sistem yang teramati atau diinginkan. Pekerjaan yang teramati merupakan hasil yang dicapai oleh kerja sistem yaitu keseluruhan interaksi antar unsur dalam batas lingkungan tertentu. Di lain pihak, unjuk kerja yang diinginkan merupakan hasil yang akan diwujudkan oleh sistem melalui keseluruhan interaksi antar komponen dalam batas lingkungan tertentu.

Perilaku sistem diartikan sebagai status sistem dalam suatu periode waktu tertentu, dimana perubahan status sistem tersebut diamati melalui dinamika outputnya. Status sistem dapat berkeadaan transien yaitu adanya perubahan output di setiap satuan waktu atau berkeadaan berkeseimbangan (steady state) yaitu adanya keseimbangan aliran masuk dan keluar. Status sistem juga berkaitan dengan apakah tertutup (closed system) dimana interaksi dengan lingkungan sangat kecil sehingga bisa diabaikan, dan atau terbuka (open system) dimana paling sedikit satu elemennya berinteraksi dengan lingkungannya. Dalam kenyataan sistem tertutup tidak pernah ada, hanya ada dalam anggapan dan kajian analisis (Muhammadi et al. 2001). Berdasarkan sifatnya sistem dapat dibagi menjadi dua yaitu sistem dinamik dan sistem statis (Djojomartono dan Pramudya 1983, dalam Kholil 2005). Sistem dinamik memiliki sifat yang berubah menurut waktu, jadi merupakan fungsi dari waktu. Sistem dinamik ditandai dengan adanya ”time delay” yang menggambarkan ketergantungan output terhadap variabel input pada periode waktu tertentu. Sedangkan sistem statis adalah sistem yang nilai outputnya tidak tergantung pada nilai inputnya. Secara lengkap karakteristik pendekatan sistem adalah: 1) kompleks, dimana interaksi antar elemen cukup rumit; 2) dinamis, dalam arti faktor yang ada berubah menurut waktu dan ada pendugaan ke masa depan; dan 3) probabilistik, yaitu diperlukannya fungsi peluang dalam inferensi kesimpulan maupun rekomendasi (Eriyatno 1999; Kholil 2005).

Penyelesaian persoalan melalui pendekatan sistem menekankan pada tiga filosofi dikenal dengan SHE, yaitu sibernetik (goal oriented), holistikdanefektifitas.

Sibernetik artinya dalam penyelesaian permasalahan tidak berorientasi pada


(49)

21

masalah tersebut. Efektifitas maksudnya sebuah sistem yang telah dikembangkan haruslah dapat dioperasikan. Oleh karena itu sistem haruslah merepresentasikan kondisi nyata yang sebenarnya terjadi, dan holistik mengharuskan merepresentasikan penyelesaian permasalahan secara utuh, menyeluruh dan terpadu.

Menurut Eriyatno dan Sofyar (2007) metodologi sistem dapat dibagi dua yaitu hard system methodology (HSM) dan soft sistem methodology (SSM). Pendekatan HSM memiliki asumsi bahwa: (1) masalah yang dimiliki system terdefinisi dengan baik, (2) memiliki solusi optimum tunggal, (3) pendekatan sains untuk pemecahan masalah akan bekerja dengan baik, (4) didominasi faktor teknis. Dalam pendekatan hard system teknik dan prosedur kaku untuk menghasilkan data dan pengolahan masalah yang terdefinisi dengan baik, difokuskan pada implementasi komputer. HSM dapat dikarakterisasi sebagai sesuatu yang memiliki tujuan atau akhir yang akan dicapai dan systemnya dapat direkayasa untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

Sementara SSM merupakan sebuah pendekatan untuk pemodelan proses pengorganisasian dan hal itu dapat digunakan baik untuk pemecahan masalah umum maupun dalam manajemen perubahan. SSM dapat dikarakterisasikan sebagai sesuatu yang memiliki akhir yang diinginkan, tetapi cara mencapai hasil dan hasil aktualnya tidak mudah untuk dikuantifikasikan. SSM lebih mengarah pada model konseptual (normatif) yang bisa menghasilkan perencanaan dan strategi.

2.6.2 Pemodelan

Menurut Winardi (1999) model adalah suatu gambaran abstrak dari sistem dunia nyata dalam hal-hal tertentu. Suatu model yang baik akan menggambarkan dengan baik segi tertentu yang penting dari perilaku dunia nyata. Pernyataan yang senada juga dikemukakan oleh Eriyatno (1999) bahwa model didefinisikan sebagai suatu perwakilan atau abstraksi dari sebuah obyek atau situasi aktual. Model memperlihatkan hubungan-hubungan langsung maupun tidak langsung serta kaitan timbal balik dalam istilah sebab akibat. Model adalah suatu abstraksi dari realitas oleh karena pada wujudnya kurang kompleks daripada realitas itu sendiri. Model dapat dikatakan lengkap apabila dapat mewakili berbagai aspek


(50)

dari realitas yang sedang dikaji. Model adalah penyederhanaan sistem di alam yang dapat digunakan untuk memudahkan pengambilan keputusan (Suratmo 2002). Model dalam arti luas merupakan penggambaran sebagian dari kenyataan,yaitu antara model dan kenyataan harus ada persamaan agar model yang bersangkutan dapat digunakan secara berarti (Winardi 1999). Hal tersebut tidak berbeda dengan pendapat Ford (1999) yang mengartikan model sebagai pengganti sistem yang sebenarnya untuk memudahkan kerja. Untuk melakukan simulasi model dapat dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak yang dinamakan Powersim. Arne et al. (1996) menjelaskan bahwa Powersim adalah suatu perangkat lunak yang dibuat atas dasar model sistem dinamik dengan kemampuan yang tinggi dalam melakukan simulasi. Powersim digunakan sebagai laboratorium mini untuk melakukan percobaan beberapa kebijakan sebelum dicobakan ke dunia nyata.

Model tidak memerlukan fungsi-fungsi matematis secara eksplisit, untuk merealisasikan variabel sistem, namun model simulasi dapat digunakan untuk memecahkan sistem kompleks yang tidak dapat diselesaikan secara matematis. Simulasi model yaitu model yang meniru tingkah laku sistem dengan mempelajari interaksi komponen-komponennya. Menurut Djojomartono (1993), dalam proses membangun model simulasi komputer, terdapat enam tahap yang saling berhubungan yang harus diperhatikan, yaitu 1) identifikasi sistem, 2) konseptualisasi sistem, 3) formulasi model, 4) simulasi model, 5) evaluasi model, dan 6) penggunaan model dan analisis kebijakan.

Identifikasi dan definisi sistem. Tahap ini mencakup pemikiran dan definisi masalah yang dihadapi yang memerlukan pemecahan. Pernyataan yang jelas tentang mengapa perlu dilakukan pendekatan sistem terhadap masalah tersebut merupakan langkah pertama yang penting. Karakteristik pokok yang menyatakan sifat dinamik atau stokastik dari permasalahan harus dicakup. Batasan dari permasalahannya juga harus dibuat untuk menentukan ruang lingkup sistem.

Konseptualisasi sistem. Tahap ini mencakup pandangan yang lebih dalam lagi terhadap struktur sistem dan mengetahui dangan jelas pengaruh-pengaruh penting yang akan beroperasi di dalam sistem. Dalam tahap ini sistem dapat dinyatakan di atas kertas dengan beberapa cara: diagram lingkar sebab akibat dan


(51)

23

diagram kotak, menghubungkan secara grafis antara peubah dengan waktu dan bagan alir komputernya. Struktur dan kuantitatif dari model digabungkan bersama, sehingga akhirnya kedua-duanya akan mempengaruhi efektifitas model.

Formulasi model. Berdasarkan asumsi bahwa simulasi model merupakan keputusan, maka proses selanjutnya dalam pendekatan sistem akan diteruskan dengan menggunakan model. Tahap ini biasanya model dibuat dalam bentuk kode-kode yang dapat dimasukan ke dalam komputer. Penentuan akan bahasa komputer yang tepat merupakan bagian pokok pada tahap formulasi model.

Simulasi model. Tahap simulasi ini, model simulasi komputer digunakan untuk menyatakan serta menentukan bagaimana semua peubah dalam sistem berperilaku terhadap waktu. Ditetapkan periode waktu simulasi.

Evaluasi model. Berbagai uji harus dilakukan terhadap model yang telah dibangun untuk mengevaluasi keabsahan dan mutunya. Uji ini berkisar dari memeriksa konsistensi logis sampai membandingkan keluaran model dengan data pengamatan atau lebih jauh menguji secara statistik parameter-parameter yang digunakan dalam simulasi. Analisis sensitifitas dapat dilakukan setelah model selesai divalidasi.

Penggunaan model dan analisis kebijakan. Tahap ini mencakup penggunaan model dalam menguji dan mengevaluasi alternatif yang memungkinkan dapat dilaksanakan. Sushil (1993) menekankan bahwa fokus utama dari metodologi sistem dinamik adalah pemahaman atas sistem, sehingga langkah-langkah pemecahan masalah memberikan umpan pada pemahaman sistem. Pemahaman atas sistem melahirkan identifikasi dan definisi atas permasalahan yang terjadi dalam sistem tersebut. Konseptual sistem kemudian dilakukan atas dasar permasalahan yang didefinisikan. Hal ini akan menimbulkan pemahaman yang lebih mendalam atas sistem yang selanjutnya akan mendefinisikan masalah sampai konseptualisasi sistem dinyatakan dapat diterima. Didasarkan konseptualisasi sistem ini, selanjutnya model diformulasikan secara detail dalam persamaan matematis yang juga akan menimbulkan tambahan pemahaman atas sistem. Formulasi terus berlangsung dengan tujuan mendapatkan model logis yang dapat mempresentasikan sistem nyata. Model selanjutnya disimulasikan dan dilakukan validasi yang juga akan menimbulkan umpan balik tentang pemahaman


(52)

atas sistem. Hasil validasi kemudian akan menimbulkan proses perbaikan dan reformulasi masalah. Tahap selanjutnya dilakukan analisis kebijakan pada model yang telah valid dan ini akan menambah pemahaman akan sistem. Kebijakan yang menimbulkan perbaikan selanjutnya diimplementasikan dan umpan balik yang diperoleh dari sistem nyata, pada akhirnya juga akan menimbulkan tambahan pemahaman akan sistem.

2.6.3 Sistem Dinamik

Sistem dinamik merupakan sebuah pendekatan yang menyeluruh dan terpadu, yang mampu menyederhanakan masalah yang rumit tanpa kehilangan esensi atau unsur utama dari obyek yang menjadi perhatian (Muhammadi et al. 2001). Metodologi sistem dinamik dibangun atas dasar tiga latar belakang disiplin yaitu manajemen tradisional, teori umpan balik atau cybernetic, dan simulasi komputer. Prinsip dan konsep dari ketiga disiplin ini dipadukan dalam sebuah metodologi untuk memecahkan permasalahan manajerial secara holistik, menghilangkan kelemahan dari masing–masing disiplin, dan menggunakan kekuatan setiap disiplin untuk membentuk sinergi. Menurut Eriyatno dan Sofyar (2007), sistem dinamik merupakan salah satu teknik HSM yang dapat digunakan dalam rancang bangun sistem. Selanjutnya menurut Forrester (1961) dalam Eriyatno dan Sofyar (2007), sistem dinamik dititik beratkan pada analisis karakteristik struktur sistem yang selanjutnya dipetakan secara nyata. Sistem dinamik dapat digunakan untuk menganalisis aspek fisik suatu industri atau proses produksi serta hal-hal yang berkaitan dengan perumusan dimasa datang. Rancang bangun sistem dinamik mengutamakan pada non-linier feed-back loop yang mempengaruhi proses kedinamisan yang bersifat nyata dalam struktur sistem.

Menurut Coyle (1996) dalam Eriyatno dan Sofyar (2007), manfaat utama dari sistem dinamik adalah mendapatkan kualitas yang dapat diperbandingkan dari rancangan maupun kinerja dan sistem yang dapat dikelola. Sistem dinamik yang dikembangkan pertama kali oleh Bellman (1957) dalam Wangsadipura dan Lubis (2006), merupakan suatu metode pendekatan untuk penyelesaian masalah yang rumit dan kompleks. Sistem dinamik mengoptimasikan suatu proses pengambilan keputusan berangkai dengan memberikan suatu ketetapan rangkaian keputusan


(1)

const KAs_Zn_3 = 42.85714286 const KAs_Zn_4 = 42.85714286 const KAs_Zn_5 = 42.85714286 const L_Bahaya = 95

const L_Bahaya_1 = 95 const L_Bahaya_2 = 95 const L_Bahaya_3 = 95 const L_Bahaya_4 = 95 const L_Bahaya_5 = 95 const L_Lindung = 146 const L_Lindung_1 = 146 const L_Lindung_2 = 146 const L_Lindung_3 = 146 const L_Lindung_4 = 146 const L_Lindung_5 = 146 const L_Waduk_ = 4664 const L_Waduk_1 = 4664 const L_Waduk_2 = 4664 const L_Waduk_3 = 4664 const L_Waduk_4 = 4664 const L_Waduk_5 = 4664 const LDAS = 6080 const LDAS_1 = 6080 const LDAS_2 = 6080 const LDAS_3 = 6080 const LDAS_4 = 6080 const LDAS_5 = 6080 const LL_wisata = 214 const LL_wisata_1 = 214 const LL_wisata_2 = 214 const LL_wisata_3 = 214 const LL_wisata_4 = 214 const LL_wisata_5 = 214 const Luas_Usaha = 2500 const Luas_Usaha_1 = 2500 const Luas_Usaha_2 = 2500 const Luas_Usaha_3 = 2500 const Luas_Usaha_4 = 2500 const Luas_Usaha_5 = 2500 const pengali_LT = 20% const pengali_LT_1 = 20% const pengali_LT_2 = 20% const pengali_LT_3 = 20% const pengali_LT_4 = 20% const pengali_LT_5 = 20%


(2)

LAMPIRAN 2 Perangkat lunak model pengelolaan Waduk Cirata (MoPeCi) A. Konfigurasi Program

Program terdiri dari lima subsistem, yaitu subsistem menu utama, subsistem sumber pencemar, subsistem beban pencemar, subsistem kualitas air dan subsistem causal loop.

B. Instalasi Program

Perangkat lunak yang digunakan adalah Powersim 2005. Powersim 2005 membutuhkan spesifikasi komputer yaitu Windows NT/XP/Vista, memori RAM 256 MB, hardisk 40 MB, dan VGA 64 MB.

C. Langkah – Langkah Menjalankan Program 1) Klik program MoPeCi di direktori D

2) Klik Folder MoPeCi

3) Klik COVER dan klik ’MASUK’

Tampilan awal program MoPeCi.

4) Klik MENU UTAMA dan silahkan disimulasikan model yang diperlukan seperti sumber pencemar, beban pencemar, kualitas air dan causal loop.


(3)

(4)

LAMPIRAN 3 Ordinat Radfish Monte Carlo

A. Aspek ekologi pada pengelolaan waduk berbasis perikanan budidaya berkelanjutan di Waduk Cirata.

B. Aspek ekonomi pada pengelolaan waduk berbasis perikanan budidaya berkelanjutan di Waduk Cirata


(5)

C. Aspek hukum dan kelembagaan pada pengelolaan waduk berbasis perikanan budidaya berkelanjutan di Waduk Cirata

D. Aspek infrastruktur dan teknologi pada pengelolaan waduk berbasis perikanan budidaya berkelanjutan di Waduk Cirata


(6)

E. Aspek sosial budaya pada pengelolaan waduk berkelanjutan berbasis perikanan budidaya di Waduk Cirata