perusahaan karena adanya keharusan atau kewajiban untuk tetap bekerja pada perusahaan.
Berdasarkan definisi-definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa komitmen organisasi dapat muncul dalam komponen komitmen afektif,
komitmen berkelanjutan dan komitmen normatif di mana karyawan dapat merasakan ketiganya dalam tingkatan yang berbeda-beda Meyer Allen,
1991.
2. Aspek Pengukuran Komitmen Organisasi
Menurut Meyer dan Allen 1991 komitmen organisasi adalah suatu kondisi psikologis yang mencakup:
1. Hubungan yang dimiliki karyawan terhadap organisasi, dan
2. Keputusan untuk mempertahankan atau melanjutkan keanggotaan di
dalam organisasi. Pengukuran komitmen organisasi dapat diukur dengan menggunakan
Organizational Commitment Scale berdasarkan teori Meyer dan Allen 1991.
3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Komitmen Organisasi
Faktor-faktor yang memengaruhi komitmen organisasi diklasifikan menjadi tiga, yaitu karakteristik personal, karakteristik organisasi dan
pengalaman selama bekerja. Berikut akan dijelaskan ketiga faktor yang memengaruhi komitmen organisasi.
1. Karakteristik personal, terdiri dari variabel-variabel individual yang
dikelompokkan ke dalam variabel demografis dan variabel disposisi. Variabel demografis meliputi usia Salami, 2008; Marchiori Henkin,
Universitas Sumatera Utara
2004; Meyer, Stanley, Herscovitch, Topolnytsky, 2002; Suliman Iles, 2000; Mathieu Zajac, 1990, masa jabatan Salami, 2008; Meyer dkk.,
2002; Mathieu Zajac, 1990, tingkat pendidikan Salami, 2008 dan status pernikahan Salami, 2008; Mathieu Zajac, 1990. Berdasarkan
penelitian-penelitian tersebut, karyawan yang lebih tua ditemukan lebih berkomitmen dibandingkan dengan karyawan yang lebih muda. Karyawan
yang sudah menikah lebih berkomitmen terhadap organisasi. Karyawan yang sudah lama bekerja juga ditemukan lebih berkomitmen dibandingkan
dengan karyawan yang baru bekerja di perusahaan. Selain variabel demografis, terdapat variabel disposisi yang
meliputi atribut-atribut psikologis seperti afiliasi, otonomi dan work ethic Meyer Allen, 1991, motivasi berprestasi Salami, 2008; Meyer
Allen, 1991, locus of control Suman Srivastava, 2010; Meyer dkk., 2002, trait kepribadian Seniati, 2006; Silva, 2006; Morrison, 1997 dan
kecerdasan emosional Salami, 2008; Nikolaou Tsaousis, 2002. Karyawan yang extraverted, conscientiousness dan yang emosinya stabil
cenderung lebih
berkomitmen terhadap
perusahaan. Penelitian
menunjukkan bahwa semakin tinggi kecerdasan emosional dan motivasi berprestasi yang dimiliki karyawan, maka semakin tinggi pula
komitmennya. 2.
Karakteristik organisasi, yang di dalamnya mencakup pekerjaan dan organisasi itu sendiri, meliputi karakteristik pekerjaan Suman
Srivastava, 2010, struktur organisasi Suman Srivastava, 2010,
Universitas Sumatera Utara
tantangan Dixon, Cunningham, Sagas, Turner, Kent, 2005; Meyer Allen, 1997, ekspektasi peran, ruang lingkup pekerjaan dan hubungan
dengan supervisor Meyer Allen, 1997, perubahan organisasi Lopopolo, 2002, sosialisasi dalam organisasi, nilai prososial di dalam
organisasi dan prestige dalam Nicholson, 2009. 3.
Pengalaman selama bekerja, mencakup persepsi akan kebijakan yang adil Chughtai Zafar, 2006; Meyer Allen, 1997; Konovsky
Cropanzano, 1991, dukungan yang dirasakan dari organisasi Boehman, 2006; Allen, Shore, Griffeth, 2003, keterlibatan kerja, persepsi akan
pemberdayaan dan kesempatan untuk pelatihan dalam Nicholson, 2009 dan kepuasan kerja Salami, 2008; Chughtai Zafar, 2006. Penelitian
menunjukkan bahwa semakin karyawan puas terhadap pekerjaannya, maka semakin tinggi pula komitmennya terhadap perusahaan.
B. ADVERSITY QUOTIENT 1. Definisi Adversity Quotient
Kata adversity berasal dari bahasa Inggris yang berarti kesengsaraan atau kemalangan Echols Shadily, 1976. Adversity juga diartikan sebagai
masalah Oxford, 2003. Beberapa tahun belakangan ini, para ahli psikologi tertarik untuk mempelajari bagaimana orang-orang menghadapi masalah atau
kemalangan, dan menjadikannya sebagai kekuatan untuk menjadi lebih baik. Weihenmayer dalam Weihenmayer Stoltz, 2012 menyatakan bahwa
masalah merupakan kunci untuk mencapai kesuksesan dalam kehidupan,
Universitas Sumatera Utara
bisnis dan masyarakat. Namun, pada kenyataannya, mengatasi permasalahan sehari-hari memiliki tantangannya tersendiri. Untuk dapat menjawab
bagaimana orang-orang mengatasi masalah di dalam kehidupannya, Stoltz mengembangkan teori tentang Adversity Quotient pada tahun 1997.
Adversity quotient terwujud dalam tiga bentuk Stoltz, 2000. Pertama, AQ merupakan kerangka konseptual untuk memahami dan meningkatkan
kesuksesan. Kedua, AQ mengukur bagaimana respon seseorang terhadap masalah. Ketiga, AQ adalah seperangkat alat yang memiliki dasar ilmiah
untuk memperbaiki respon seseorang terhadap kesulitan. Dalam lingkup pekerjaan, adversity quotient menentukan kesuksesan karyawan dalam
perusahaan. Karyawan yang memiliki AQ yang lebih tinggi menunjukkan kinerja, produktivitas, kreativitas, kesehatan, ketekunan, dan daya tahan yang
lebih baik dibandingkan dengan karyawan lain dengan AQ yang lebih rendah Stoltz, 2000.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa adversity quotient merupakan kecerdasan seseorang untuk bertahan dalam menghadapi
masalah, mengubah sikap terhadap masalah dan menemukan solusi sehingga masalah dapat dipecahkan.
2. Dimensi-dimensi Adversity Quotient