PEMBAHASAN 1. Hubungan antara Adversity Quotient dengan Komitmen Afektif pada

Nilai mean komitmen normatif yang paling tinggi dimiliki oleh partisipan pada rentang perkiraan rata-rata jumlah insentif yang diterima setiap bulan Rp.5.000.000,00 – Rp.10.000.000,00 M = 20,00; SD = 3,397, dilanjutkan partisipan dengan perkiraan rata-rata jumlah insentif yang diterima setiap bulan Rp.5.000.000,00 M = 19,81; SD = 3,703. Nilai mean adversity quotient yang paling tinggi dimiliki oleh partisipan pada rentang perkiraan rata-rata jumlah insentif yang diterima setiap bulan Rp.5.000.000,00 – Rp.10.000.000,00 M = 95,52; SD = 13,494, dilanjutkan partisipan dengan perkiraan rata-rata jumlah insentif yang diterima setiap bulan Rp.5.000.000,00 M = 94,72; SD = 10,628.

B. PEMBAHASAN 1. Hubungan antara Adversity Quotient dengan Komitmen Afektif pada

Medical Representative di Kota Medan Hasil pengujian hipotesis menunjukkan terdapat hubungan antara adversity quotient dengan komitmen afektif pada medical representative. Korelasi antara adversity quotient dengan komitmen afektif bersifat positif dengan nilai korelasi r sebesar 0.296 p 0.05. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi adversity quotient yang dimiliki oleh medical representative, maka semakin tinggi pula komitmen afektif yang dimilikinya terhadap perusahaan. Sebaliknya, semakin rendah adversity quotient yang dimiliki oleh medical representative, maka semakin rendah pula komitmen afektif yang Universitas Sumatera Utara dimilikinya terhadap perusahaan. Namun, korelasi antara adversity quotient dengan komitmen afektif bersifat lemah. Ada beberapa kemungkinan yang dapat menjelaskan hubungan positif antara adversity quotient dengan komitmen afektif pada medical representative. Pertama, adversity quotient adalah kecerdasan untuk menghadapi dan mengatasi permasalahan dalam kehidupan. Stoltz 2000 menyatakan bahwa adversity quotient dapat memprediksi orang-orang yang akan menyerah dan yang tetap bertahan. Pada karyawan yang berprofesi sebagai medical representative, adversity quotient penting untuk dimiliki agar karyawan mampu bertahan dan menghadapi kesulitan dalam pekerjaannya Lumintang Kembaren, 2010. Ketika medical representative memiliki adversity quotient yang tinggi, maka karyawan mampu terlibat aktif untuk mengatasi masalah organisasi dan berkontribusi bagi organisasi. Kedua, karyawan dengan AQ yang tinggi akan berjuang untuk mendapatkan yang terbaik dalam kehidupannya Stoltz, 2000. Pada medical representative, karyawan dengan adversity quotient yang tinggi akan berjuang untuk meningkatkan penjualannya sehingga dapat memperoleh imbalan berupa insentif. Ketika karyawan mencapai target penjualan, maka tujuan perusahaan tercapai. Hal ini mewujudkan keselarasan antara tujuan perusahaan dengan tujuan pribadi. Keselarasan ini dapat membentuk kelekatan karyawan terhadap perusahaannya. Karyawan yang memiliki kelekatan terhadap perusahaan berarti memiliki komitmen afektif Meyer Allen, 1997. Universitas Sumatera Utara Foosiri 2002 mendukung pernyataan di atas dimana ditemukan semakin tinggi pendapatan, semakin tinggi pula komitmen afektifnya. Sejalan dengan hal ini, Paramanandam dan Shwetha 2013 menemukan karyawan dengan pendapatan yang lebih tinggi memiliki tingkat adversity quotient yang tinggi. Pada penelitian ini, ditemukan nilai rata-rata komitmen afektif dan adversity quotient lebih tinggi pada subjek penelitian yang mendapat insentif yang lebih pula Rp.5.000.000,00 – Rp.10.000.000,00. Hal ini menunjukkan bahwa insentif mendorong medical representative untuk mencapai target dan mewujudkan keselarasan antara tujuan pribadi dengan tujuan perusahaan. Ketiga, Meyer dan Allen 1997 menyebutkan bahwa penelitian- penelitian sebelumnya menunjukkan pengaruh usia terhadap komitmen afektif, dimana karyawan yang lebih tua dianggap mengalami pengalaman kerja yang lebih positif dibandingkan karyawan yang lebih muda. Hasil penelitian tambahan menunjukkan bahwa subjek penelitian yang berusia dewasa madya ditemukan memiliki nilai rata-rata komitmen afektif yang tergolong tinggi dibandingkan subjek penelitian yang lebih muda. Sejalan dengan hal ini, subjek penelitian yang berusia lebih tua dewasa awal dan dewasa madya ditemukan memiliki nilai rata-rata adversity quotient yang lebih tinggi dibandingkan subjek penelitian yang berusia lebih muda remaja akhir. Shen 2014 mendukung hasil penelitian tambahan dimana adversity quotient dapat meningkat seiring bertambahnya usia karena adanya proses pembelajaran. Universitas Sumatera Utara Keempat, semakin tinggi AQ karyawan maka semakin rendah tingkat stres kerja yang dialaminya Shen, 2014. Karyawan dengan adversity quotient yang tinggi mampu mengatasi kesulitan yang dihadapi, termasuk kesulitan selama bekerja. Kecerdasan dalam mengatasi permasalahan kerja menyebabkan rendahnya tingkat stres selama bekerja. Ketika stres dapat diminimalisir, maka perasaan kepemilikan dan kelekatan terhadap perusahaan meningkat Orly, Court, Petal, 2009. Kelekatan terhadap organisasi membentuk komitmen afektif karyawan. 2. Hubungan antara Adversity Quotient dengan Komitmen Berkelanjutan pada Medical Representative di Kota Medan Penelitian ini menemukan bahwa tidak ada hubungan antara adversity quotient dengan komitmen berkelanjutan pada medical representative r = - .013; p 0.05. Ada beberapa kemungkinan yang dapat menjelaskan tidak ditemukannya hubungan antara adversity quotient dengan komitmen berkelanjutan pada medical representative. Pertama, koefisien determinan R² yang diperoleh dari hubungan adversity quotient dengan komitmen berkelanjutan adalah 0,00017 R² = 0,00017. Hal ini menunjukkan bahwa peranan adversity quotient terhadap komitmen berkelanjutan sangat kecil yaitu sebesar 0,017, sedangkan sisanya dipengaruhi oleh faktor lain. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi komitmen berkelanjutan mencakup faktor investasi yang dirasakan dengan tetap bekerja pada perusahaan dan faktor alternatif pekerjaan yang tersedia Meyer Allen, 1997. Universitas Sumatera Utara Kedua, Meyer dan Allen 1991 menyatakan bahwa komitmen berkelanjutan mengacu kepada kesadaran atas pertimbangan untung rugi apabila meninggalkan perusahaan, sehingga karyawan tetap berkomitmen karena mereka membutuhkan pekerjaan di perusahaan tersebut. Hal ini berarti karyawan dengan komitmen berkelanjutan memiliki pertimbangan untuk pindah ke perusahaan lain, namun karena keuntungan yang diterima di perusahaan tempat bekerja saat ini dirasakan lebih banyak, maka karyawan mempertahankan keanggotaannya di perusahaan tersebut. Meyer dan Allen 1997 menyatakan bahwa karyawan dengan komitmen berkelanjutan yang tinggi tidak memiliki keinginan kuat untuk berkontribusi bagi perusahaan. Hal ini bertolak belakang dengan adversity quotient dimana karyawan yang memiliki adversity quotient yang tinggi akan termotivasi untuk berkontribusi bagi perusahaan Stoltz, 2000. Ketiga, Taing, Granger, Groff, Jackson, dan Johnson 2011 meneliti karyawan dengan komitmen berkelanjutan yang didasarkan pada pertukaran ekonomi yang menguntungkan, dan komitmen berkelanjutan yang didasarkan pada rendahnya alternatif pekerjaan yang tersedia. Hasil penelitian tersebut menemukan bahwa komitmen berkelanjutan karena pertukaran ekonomi berkorelasi dengan komitmen afektif dan komitmen normatif sehingga karyawan turut merasakan kelekatan emosional dan kewajiban moral pada perusahaan, sementara komitmen berkelanjutan karena rendahnya alternatif pekerjaan merasa terjebak dalam perusahaan. Selain itu, karyawan yang memiliki komitmen berkelanjutan karena pertukaran ekonomi menunjukkan Universitas Sumatera Utara kinerja yang lebih baik dan lebih berusaha untuk meningkatkan pendapatan dibandingkan karyawan yang memiliki komitmen berkelanjutan karena rendahnya alternatif pekerjaan yang tersedia. Pada penelitian ini, 70,3 subjek penelitian memiliki insentif Rp.5.000.000,00 per bulan, dan 29,7 subjek penelitian memiliki insentif Rp.5.000.000,00 – Rp.10.000.000,00 per bulan. Selain itu, hasil tambahan menunjukkan nilai mean komitmen berkelanjutan lebih tinggi pada subjek penelitian dengan insentif Rp.5.000.000,00 per bulan. Meskipun penelitian ini tidak menganalisa faktor komitmen berkelanjutan yaitu pertukaran ekonomi dan rendahnya alternatif pekerjaan yang tersedia, namun berdasarkan deskripsi subjek penelitian dan nilai mean komitmen berkelanjutan dapat diasumsikan bahwa subjek penelitian tidak memiliki komitmen berkelanjutan karena pertukaran ekonomi, melainkan rendahnya alternatif pekerjaan yang tersedia, sebab mayoritas subjek penelitian memiliki insentif yang lebih rendah dan perolehan nilai mean komitmen berkelanjutan lebih tinggi pada subjek penelitian dengan insentif yang lebih rendah. Berdasarkan penelitian Taing, dkk., 2011, subjek penelitian ini kurang berusaha untuk meningkatan pendapatan. Hal ini berbeda dengan konsep adversity quotient, dimana karyawan yang memiliki adversity quotient yang lebih tinggi akan lebih termotivasi dan berusaha Stoltz, 2000. Pada medical representative, karyawan dengan adversity quotient yang lebih tinggi akan terus berusaha mengatasi kesulitan bekerja untuk mencapai target perusahaan dan meningkatkan penjualan. Hal ini menyebabkan tidak Universitas Sumatera Utara ditemukannya hubungan antara adversity quotient dan komitmen berkelanjutan pada medical representative. Keempat, Meyer dan Allen 1997 menyatakan bahwa pada beberapa karyawan, usia membuat karyawan semakin berpengalaman sehingga dapat menurunkan komitmen berkelanjutannya. Pernyataan tersebut mendukung hasil penelitian tambahan bahwa nilai rata-rata komitmen berkelanjutan lebih tinggi pada subjek yang berusia remaja akhir M = 26,50; SD = 2,00. Hal ini berarti semakin muda usia karyawan, semakin karyawan merasa tidak berpengalaman dalam pekerjaannya sehingga tidak mempertimbangkan untuk bersaing dan berkarir di perusahaan lain. Berbeda dengan adversity quotient, Shen 2014 menemukan bahwa adversity quotient meningkat seiring bertambahnya usia karena adanya proses pembelajaran. Hasil penelitian tambahan mendukung pernyataan tersebut dimana subjek penelitian yang berusia lebih tua dewasa awal dan dewasa madya ditemukan memiliki nilai rata-rata adversity quotient yang lebih tinggi dibandingkan subjek yang berusia lebih muda remaja akhir. Hal ini menyebabkan tidak ditemukannya hubungan antara adversity quotient dengan komitmen berkelanjutan pada medical representative. 3. Hubungan antara Adversity Quotient dengan Komitmen Normatif pada Medical Representative di Kota Medan Penelitian ini menemukan bahwa tidak ada hubungan antara adversity quotient dengan komitmen normatif pada medical representative r = -.115; p Universitas Sumatera Utara 0.05. Ada beberapa kemungkinan yang dapat menjelaskan tidak ditemukannya hubungan antara adversity quotient dengan komitmen normatif pada medical representative. Pertama, koefisien determinan R² yang diperoleh dari hubungan adversity quotient dengan komitmen normatif adalah 0,013 R² = 0,013. Hal ini menunjukkan bahwa peranan adversity quotient sebagai faktor personal terhadap komitmen normatif sangat kecil yaitu sebesar 1,3, sedangkan sisanya dipengaruhi oleh faktor lain. Adapun faktor lain yang ditemukan berperan membentuk komitmen normatif karyawan adalah proses sosialisasi awal ketika karyawan bekerja di perusahaan Meyer Allen, 1997. Sosialisasi di awal masa kerja karyawan membantu karyawan menginternalisasi nilai-nilai perusahaan dan membentuk perasaan untuk mengabdi bagi perusahaan. Kedua, Srivastava dan Tang 2015 menemukan bahwa perolehan komisi salesman berhubungan dengan komitmen normatif, namun tidak berhubungan dengan strategi dalam mengatasi stres kerja. Karyawan dengan pendapatan yang lebih tinggi akan puas terhadap pendapatannya dan bertahan dalam perusahaan, namun pendapatan tidak berhubungan dengan coping strategy karyawan. Hasil penelitian tersebut dapat menjelaskan tidak ditemukannya hubungan antara adversity quotient dengan komitmen normatif medical representative. Hasil tambahan menunjukkan bahwa nilai mean komitmen normatif lebih tinggi pada subjek penelitian dengan insentif yang lebih besar Rp.5.000.000,00 – Rp.10.000.000,00. Namun, perolehan insentif yang lebih besar tidak berkaitan dengan coping strategy karyawan dalam Universitas Sumatera Utara menghadapi stres kerja. Padahal, coping strategy berperan terhadap adversity quotient dimana adversity quotient ditemukan lebih tinggi pada individu dengan problem-focused coping daripada emotional-focused coping Pranandari, 2008. Ketiga, Lee 2006 menemukan bahwa komitmen normatif tidak berpengaruh terhadap kinerja karyawan. Berbeda dengan adversity quotient, semakin tinggi adversity quotient karyawan, maka karyawan akan terus termotivasi dan lebih berusaha sehingga menghasilkan kinerja yang lebih baik Stoltz, 2000. Hal ini mendukung hasil penelitian yang menemukan bahwa tidak ada hubungan antara adversity quotient terhadap komitmen normatif medical representative. Keempat, dalam penelitian ini ditemukan nilai rata-rata komitmen normatif lebih tinggi pada subjek penelitian yang berusia remaja akhir M = 22,88; SD = 1,356. Hal ini bertolak belakang dengan penelitian Foosiri 2002 yang menemukan bahwa komitmen normatif yang paling tinggi dimiliki oleh subjek penelitian yang lebih tua dibandingkan dengan subjek penelitian yang lebih muda. Sementara, adversity quotient meningkat seiring bertambahnya usia karena adanya proses pembelajaran Shen, 2014. Hal ini menyebabkan belum ditemukannya hubungan antara adversity quotient terhadap komitmen normatif pada medical representative. Universitas Sumatera Utara 71

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini akan menguraikan kesimpulan dan saran-saran berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh. Bab ini diawali dengan mengemukakan kesimpulan hasil penelitian dan diakhiri dengan mengemukakan saran-saran yang mungkin dapat berguna bagi penelitian selanjutnya dengan tema serupa.

A. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil analisa dan interpretasi data dapat ditarik kesimpulan hasil penelitian sebagai berikut: 1. Adversity quotient memiliki hubungan positif terhadap komitmen afektif pada medical representative di Kota Medan. 2. Adversity quotient tidak memiliki hubungan dengan komitmen berkelanjutan pada medical representative di Kota Medan. 3. Adversity quotient tidak memiliki hubungan dengan komitmen normatif pada medical representative di Kota Medan. 4. Subjek penelitian paling banyak berusia dewasa awal, berjenis kelamin laki-laki, tingkat pendidikan Strata 1 S1, memiliki masa kerja 2-10 tahun, sudah menikah, dan memiliki insentif kurang dari Rp.5.000.000,00 setiap bulannya. 5. Subjek penelitian paling banyak berada pada kategori komitmen afektif, komitmen berkelanjutan, komitmen normatif, dan adversity quotient yang sedang. Universitas Sumatera Utara