24
2.3.1.1 Perkembangan Pemikiran Psychological Well-Being
Penelitian well-being tampak sangat menonjol pada kajian psikologi empiris saat ini Ryan dan Deci, 2001. Penelitian well-being mencerminkan peningkatan
kesadaran well-being sebagai pengaruh positif yang menunjukan tidak adanya penyakit mental dan bukan sebagai pengaruh negatif Cacioppo Berntson dalam
Ryan Deci, 2001. Karya Bradburns yang muncul pada tahun 1969 yang berjudul “The Structure of Psychological Well-Being” dapat membedakan emosi
negatif dan positif. Bradburn berfokus pada kebahagiaan sebagai variabel hasil dan menyatakan bahwa emosi negatif dan positif adalah dua hal yang berbeda,
dan keseimbangan pada keduanya merupakan ciri dari kebahagiaan Ryff, 1989. Ryff 1989 menerangkan bahwa kebahagiaan merupakan ciri dari
keseimbangan antara perasaan positif dan negatif yang pada dasarnya adalah satu empiris. Artinya baik positif dan negatif memiliki fungsi yang sama yakni sebagai
indeks dari kebahagiaan. Psychological well-being memiliki dua konsep yakni hedonic
dan eudaimonic Bowman, Brandenberger, Lapsley, Hill, Quaranto, 2010; Henderson Knight, 2012; Ryan Deci, 2001; Ryff, Singer, Love,
2004; Waterman, 1993 dalam Molix dan Nichols, 2013. Singkatnya, kesejahteraan hedonis mengacu merasa baik, sedangkan kesejahteraan eudaimonic
mengacu pada hidup yang baik misalnya, bermakna, berbudi luhur, atau otentik kehidupan Henderson Knight dalam Molix dan Nichols, 2013.
Terdapat 2 paradigma yang telah diterangkan oleh Molix dan Nichols 2013, saat ini peneliti akan memaparkan penjelasan hedonis dan eudaimonic
satu per satu berdasarkan penjelasan dari para tokoh. Pertama, Filsuf mengadopsi
25
perspektif hedonis umumnya disamakan dengan keadaan emosi positif yang menyertai kepuasan dan juga keinginan, oleh karena itu pengalaman kesenangan,
kepedulian, dan kenikmatan dianggap mencerminkan kesejahteraan Diener dalam Henderson dan Knight, 2012. Filsuf hedonis percaya bahwa manusia pada
dasarnya ingin memaksimalkan pengalaman senang dan meminimalkan rasa sakit. Kesenangan dan rasa sakit dipandang sebagai indikator kuat yang baik dan buruk
dan karenanya
memaksimalkan kesenangan
dipandang sebagai
cara memaksimalkan baik dalam kehidupan seseorang Henderson Knight, 2012.
Menurut Ryan dan Deci 2001 hedonic fokus pada pencapaian kepuasan dan menghindari rasa sakit.
Kedua, eudaimonic berorientasi pada hidup yang memiliki makna dan keinginan seseorang dalam memuaskan dirinya sendiri. Hal ini mendefinisikan
well-being sebagai tingkat tertentu dimana seseorang menjadi pribadi yang sepenuhnya berfungsi Ryan Deci, 2001. Eudaimonic sering kontras dan
dianggap filosofis yang menentang, tradisi hedonis Deci Ryan dalam Henderson Knight, 2012. Konsep eudaimonia pertama kali dijelaskan oleh
Aristoteles, dan juga telah dikaitkan dengan filsuf kuno lainnya seperti Plato dan Zeno dari Citium Grinde dalam Henderson dan Knight, 2012. Aristoteles
menyatakan bahwa hidup kontemplasi dan kebajikan, sesuai dengan satu sifat yang melekat yaitu hidup otentik, atau kebenaran seseorang daimon adalah
jalan menuju kesejahteraan Norton dalam Henderson Knight, 2012. Lebih lanjut lagi konsepsi Aristoteles tentang eudaimonia telah didominasi
dan dianggap sebagai pendekatan obyektif, di mana kehidupan dinilai dari luar,
26
berdasarkan keunggulan dan kebajikan McDowell dalam Henderson Knight, 2012. Pendekatan ini merupakan kekhawatiran bahwa kebahagiaan dan kepuasan
hedonis dapat dihasilkan dari perilaku tercela, dan oleh karena itu laporan subjektif kebahagiaan tidak harus dianggap sebagai indikasi yang baik, apakah
kehidupan dijalani dengan baik. Sebagai kebahagiaan yang subjektif dapat dialami pada banyak konteks misalnya melalui penggunaan obat-obatan terlarang,
laporan subjektif positif tidak selalu mencerminkan kebaikan. Ini akan menunjukkan bahwa filsuf eudaimonic lebih peduli dengan hal apa yang membuat
seseorang bahagia, daripada jika seseorang kebahagiaan Henderson dan Knight, 2012.
2.3.2. Dimensi Psychological Well-being