di dunia, termasuk di dalamnya Indonesia. Dalam menghadapi situasi ini maka diperlukan etika, agar manusia tidak kehilangan orientasi dan dapat membedakan
mana moralitas hakiki yang tidak boleh berubah dengan pemahaman-pemahaman yang boleh berubah.
Ketiga, perubahan sosial, budaya dan moral yang terjadi saat ini, sering digunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk memancing di
air yang keruh. Pihak-pihak itu berdalih dengan menawarkan ideologi-ideologi yang dibawa sebagai obat penyelamat, sehingga muncul aliran-aliran yang aneh
dan menyimpang dari akal sehat. Untuk itu etika diperlukan untuk menghadapi ideologi-ideologi ini melalui tinjauan kritis dan objektif dalam membentuk
penilaian, agar tidak terlalu mudah terpancing atau terpengaruh ajaran yang dibawanya.
Keempat, etika juga diperlukan kaum agamawan untuk membantu menemukan dasar kemantapan dalam iman kepercayaannya, sekalaigus
berpartisipasi dan tidak menutup diri terlibat dalam semua dimensi kehidupan masyarakat yang sedang berubah.
13
5. Pengertian Ilmu
Secara bahasa, al- „ilmu adalah lawan dari al-jahl kebodohan, yaitu
mengetahui sesuatu sesuai dengan keadaan yang sebenarnya dengan pengetahuan pasti. Secara istilah dijelaskan oleh sebagian ulama bahwa ilmu adala
ma‟rifah pengetahuan sebagai lawan dari al-jahl ketidaktahuan. Menurut ulama lainnya
, ilmu itu lebih jelas dari apa yang diketahui.
14
Ilmu science adalah pengetahuan yang logis dan empiris. Sekalipun demikian, hendaklah diketahui juga bahwa berlandakan kesepakatan umum
pemakai istilah di Indonesia, ilmu berarti juga pengetahuan knowledge. Di
13
Ibid., h. 64-67
14
Muh ammad bin Shȃlih Al-‘Utsaimȋn, Panduan Lengkap Menuntut Ilmu, Jakarta:
Pustaka Ibnu Katsir, 2006, h. 7.
Indonesia Istilah ilmu sering diganti dengan ilmu pengetahuan. Ini memang sering membingungkan.
15
Ilmu dibagi menjadi dua, yaitu ilmu dhorȗrȋ dan ilmu nazhorȋ. Ilmu
dhorȗrȋ adalah yang onyek pengetahuan di dalamnya bersifat semi pasti, tidak perlu pemikiran dan pembuktian. Misalnya pengetahuan bahwa api itu panas.
Sedangkan ilmu nazhorȋ adalah yang membutuhkan pemikiran dan pembuktian.
Misalnya pengetahuan mengenai kewajiban berniat dalam berwudhu.
16
Ilmu yang dianjurkan oleh Islam untuk dipelajari dan ditunjukkan oleh al- Qur’an untuk digali adalah setiap ilmu pengetahuan yang didasari oleh dalil-dalil,
karena itu para ulama kaum muslimin tidak menganggap taqlid ikut-ikutan sebagai ilmu, sebab taqlid
tidak lebih dari “mengekor pada pendapat orang lain” tanpa mengetahui alasannya. Nabi Muhammad
shallallȃhu „alaihi wa sallam bersabda:
ُي ْنَم ِقَفُ ي , اًرْ يَخ ِهِب ُها ِدِر
ِدلا ِي ُهْه ِنْي
“Barang siapa yang dikehendaki kebaikan oleh Allah, maka Dia akan menjadikannya faham tentang agamanya”. HR.Bukhari, Muslim
17
6. Objek Ilmu
Objek dari ilmu pengetahuan adalah apa saja, mulai dari manusia hingga seluruh alam nyata yang dalam hal ini objeknya harus bersifat empiris dan
terukur. Secara ontologis ilmu membatasi diri pada pengkajian obyek yang berada dalam lingkup pengalaman manusia dan inilah yang membedakan dengan agama
yang jangkauannya sampai pada obyek yang bersifat transendetal yang berada diluar kemampuan manusia.
Nilai kebenaran dari ilmu pengetahuan adalah positif sepanjang positifnya peralatan yang digunakan dalam penyelidikannya yaitu indra, pengalaman dan
15
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Pespektif Islam, Bandung:PT Remaja Rosdakarya, 1994, h. 18.
16
Muha mmad bin Shȃlih Al-‘Utsaimȋn, Syarah Tsalȃtsatul Ushȗl: Mengenal Allah, Rasul
dan Sinul Islam, Solo: Al-Qowam, 2005, h.11.
17
Yusuf al-Qardhawi, Konsepsi Ilmu dalam Persepsi Rasulullah saw: Tentang Rasulullah dan Ilmu Eksperimen, Jakarta: CV Firdaus, 1994, h. 11.
percobaan. Karena akal manusia terbatas, yang tak mampu menjelajah wilayah yang metafisik, maka kebenaran ilmu pengetahuan dianggap relatif. Maka ilmu
pengetahuan selalu siap diuji kebenarannya dan akan tetap diakui sebagai benar sampai ada pembuktian dengan bukti yang lebih kuat.
Menurut pandangan Al-Gazali, ilmu dapat dilihat dari dua segi, yaitu ilmu sebagai proses dan ilmu sebagai obyek. Melalui segi proses, Al-Ghazali membagi
ilmu menjadi ilmu hissiyah, ilmu aqliyah dan ilmu ladunni. Ilmu hissiyah diperoleh manusia melalui penginderaan alat indra, sedangkan ilmu aqliyah
diperoleh melalui kegiatan berfikir akal. Sedangkan ilmu ladunni diperoleh langsung dari Allah, tanpa melalui proses penginderaan atau pemikiran nalar,
melainkan melalui hati, dalam bentuk ilham.
18
Ilmu juga dapat dikatakan sebagai obyek menurut pandangan Al-Ghazali dapat dibagi menjadi tiga kelompok:
a. Ilmu pengetahuan yang tercela secara mutlak, baik sedikit maupun banyak,
seperti sihir, azimat, nujum dan ilmu tentang ramalan nasib. Ilmu ini tercela karena tidak memiliki nilai manfaat, baik di dunia maupun di akhirat.
b. Ilmu pengetahuan yang terpuji, baik sedikit maupun banyak, namun kalau
banyak lebih terpuji, seperti ilmu agama dan ilmu tentang beribadat. Ilmu pengetahuan seperti itu terpuji secara mutlak karena dapat melepaskan manusia
yang mempelajarinya dari perbuatan tercela, mensucikan diri, membantu manusia mengetahui kebaikan dan mengerjakannya, memberitahu manusia ke
jalan dan usaha mendekatkan diri kepada Allah dalam mencari ridha-Nya guna mempersiapkan dunia untuk kehidupan akhirat yang kekal.
c. Ilmu pengetahuan yang dalam kadar tertentu terpuji, tetapi jika
memperdalaminya tercela, seperti ilmu keTuhanan, cabang ilmu filsafat dan
18
Jalaluddin, Usman Said. Filsafat Pendidikan Islam Konsep dan Perkembangan Pemikirannya, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994 h. 140.