Etika menuntut ilmu : studi buku kitȃb al-‘ilmi karya syaikh Muhammad Bin Shȃlih Al-‘Utsaimȋn

(1)

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) untuk

Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar

Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I)

Oleh :

MUFLIHATUL MAGHFIRAH

NIM: 109011000069

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1435 H/2014 M


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

v

MOTTO



























….



“ Allah akan meninggikan orang

-orang yang beriman di antaramu

dan orang-

orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat….”


(7)

vi

ABSTRAK

Muflihatul Maghfirah (NIM: 109011000069). Etika Menuntut Ilmu (Studi Buku Kitȃb Al-‘Ilmi Karya Syaikh Muhammad bin Shȃlih

Al-‘Utsaimȋn ).

Etika merupakan hal terpenting yang harus diperhatikan oleh para penuntut ilmu, karena dengan dijalankannya etika dalam kegiatan belajar mengajar akan terbentuk suasana belajar mengajar yang kondusif dan akhirnya akan berdampak positif bagi keberhasilan dalam tercapainya tujuan pendidikan. Namun, persoalan etika dalam dunia pendidikan akhir-akhir ini seolah mulai dikesampingkan oleh para pelajar maupun pendidik itu sendiri.

Apabila kita menyaksikan potret umum pendidikan di Negeri ini, baik formal maupun non-formal, seringkali kita harus mengelus dada melihat perilaku para penuntut ilmu yang menyimpang dari etika-etika sebagai penuntut ilmu. Oleh sebab itu, kesadaran akan pentingnya penanaman etika bagi penuntut ilmu ini menjadi sesuatu yang sangat dibutuhkan.

Berangkat dari latar belakang semacam inilah, sehingga para ulama terdorong untuk memformulasikan pemikiran-pemikirannya mengenai etika yang harus dimiliki oleh penuntut ilmu. Salah satunya adalah Syaikh Muhammad bin Shȃlih Al-‘Utsaimȋn dengan karyanya yang berjudul Kitȃbul

‘Ilmi , sehingga membawa penulis untuk melakukan studi analisis isi,atau dokumen (content or document analysis), yaitu teknik yang ditujukan untuk menghimpun dan menganalisis dokumen-dokumen resmi, dokumen yang validitas dan buku-buku teks, baik yang bersifat teoritis maupun empiris ke dalam skripsi ini.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengenal dan mengetahui bagaimana etika yang harus dimiliki oleh seorang penuntut ilmu menurut

pandangan Syaikh Muhammad bin Shȃlih Al-‘Utsaimȋn yang terdapat dalam

bukunya yang berjudul Kitȃbul ‘Ilmi.

Hasil penlitian ini dapat ditarik pesan bagi para penutut ilmu, yaitu hendaknya penuntut ilmu menyadari bahwa dengan ilmu manusia dapat terbimbing agar menjadi hamba yang ta’at kepada syari’at Allah dan Rasul-Nya. Setiap proses menuntut ilmu itu merupakan ibadah hamba kepada Tuhannya. Selain itu, hendaklah penuntut ilmu senantiasa memperhatikan etika dalam pergaulannya sehari-hari.


(8)

vii

KATA PENGANTAR









Alhamdulillah segala puji hanya bagi Allah subhȃnahu wa ta’ȃlȃ. Tuhan semesta alam yang menggenggam setiap kejadian, penyempurna setiap kebahagiaan, tempatku bersandar dan bersyukur atas seluruh nikmat-Nya yang tanpa batas. Shalawat dan salam senantiasa mengalir kepada kekasih-Nya, Nabi Muhammad shallallȃhu ‘alaihi wa sallam beserta keluarga, sahabat, dan pengikut sampai akhir zaman.

Selama penulisan skripsi yang berjudul Etika Menuntut Ilmu (Studi Buku

Kitȃbul ‘Ilmi Karya Syaikh Muhammad bin Shȃlih Al-‘Utsaimȋn), penulis

menyadari sepenuhnya bahwa tidak sedikit kesulitan dan hambatan yang dialami. Namun berkat kerja keras, do’a dan kesungguhan hati serta dukungan dari berbagai pihak untuk menyelesaikan skripsi ini, semua kesulitan dapat teratasi. Oleh sebab itu, penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Prof. Dr. Komarudin Hidayat, Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Nurlena Rifa’i, MA, Ph.D., Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Dr. H. Abdul Majid Khon, MA., Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam. Fakultas Ilmu Tarbiyah dan keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Marhamah Saleh, Lc., MA., Sekretaris Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

5. Dra. Sofiah, MA., Pembimbing Akademik yang selalu meluangkan waktu untuk memberikan nasihat serta saran kepada penulis dari semester awal sampai akhir.

6. Dr. Dimyati, MA., Pembimbing skripsi yang penuh keikhlasan dalam

membagi waktu, tenaga, dan pikiran beliau dalam upaya memberikan bimbingan, petunjuk, serta mengarahkan penulis dalam proses penyelesaian skrpsi ini dengan sebaik-baiknya.


(9)

viii

7. Kedua orang tuaku, Syamsuddin Ahmad, MM. dan Nur Hasanah, yang selalu

penulis banggakan karena telah memberikan dukungan secara moril dan materil. Semoga Allah subhȃnahu wa ta’ȃlȃ membalas kebaikan dan kasih sayang yang selalu diberikan beliau kepada penulis.

8. Suamiku Gus Putra Ismaulana, yang tanpa lelah memberi dukungan serta mendampingi penulis hingga terselesaikannya skripsi ini.

9. Kakak-kakak dan adik-adik tercinta , M. Fathul Yaqin, M.Hum, Zahratul Mahmudah, S.Kom.I, Abdurrahman Asy-Syakir dan M. Fuad Abdillah. Terima kasih atas do’a dan dukungannya selama ini, serta telah memberi keceriaan yang mampu menghilangkan penatku.

10.Pimpinan dan Staf Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Tarbiyah

dan Keguruan yang telah memberikan fasilitas berupa kemudahan dalam peminjaman buku.

11.Sahabat-sahabatku, Ririn, Cintia, Nysa, Sinta, Mimin, Oval, Aviana, Aufa, Faizah, Adnan, Dhowi, Rachmat. Terimakasih atas do’a, dukungan, bantuan dan kebersamaan selama ini yang kalian berikan.

12.Sahabat-sahabat seperjuangan jurusan Pendidikan Agama Islam angkatan 2009, kelas PAI-B 2009 dan Fiqih-B. Terimakasih atas kebersamaannya, dukungan, bantuan dan motivasi. Tiada hal yang terindah kecuali mengenang masa kita berjuang bersama di kampus tercinta.

13.Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan bantuan yang sangat bermanfaat bagi penulis demi terselesaikannya skripsi ini.

Tiada ucapan yang dapat penulis haturkan kecuali Jazȃkumullȃh Khairan Katsȋran semoga kebaikannya diterima oleh Allah subhȃnahu wa

ta’ȃlȃ.Penulis pun masih mengharapkan masukan berupa saran dan kritik yang konstruktif dari pembaca demi memperbaiki karya tulis ini, semoga dapat memberikan manfaat bagi para pengkaji/pembaca dan bagi penulis sendiri. Amȋn Yȃ Rabbal ‘ lamȋn.

Jakarta, 08 Mei 2014


(10)

ix

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ……….. i

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN MUNAQASAH……. ii

LEMBAR PENGSAHAN ………. iii

LEMBAR PERNYATAAN KARYA SENDIRI……….. iv

MOTTO ... v

ABSTRAK ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... ix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 5

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 6

D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 6

BAB II KAJIAN TEORI ... 8

A. Kajian Teoritik ... 8

1. Pengertian Etika ... 8

2. Objek Etika ... 10

3. Tujuan Mempelajari Etika ... 12

4. Peranan Etika ... 13

5. Pengertian Ilmu ... 14

6. Objek Ilmu ... 15

7. Keutamaan Menuntut Ilmu ... 17

8. Hukum Menuntut Ilmu ... 18

9. Pengertian Etika Menuntut Ilmu... 19

B. Hasil Penelitian yang Relevan ... 19

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 21

A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 21

B. Metode Penelitian ... 22


(11)

x

2. Sumber Data ... 23

C. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 23

D. Pemeriksaan atau Pengecekan Keabsahan Data ... 24

E. Analisis Data ... 25

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 27

A. Deskripsi Data ... 27

1. Riwayat Hidup Al-‘Utsaimȋn ... 27

2. Latar Belakang Pendidikan ... 27

3. Murid-murid Al-‘Utsaimȋn ... 28

4. Akhlaq Al-‘Utsaimȋn ... 29

5. Mazhab Keilmuan ... 29

6. Metode Pengajaran ... 29

7. Karya-karya Al-‘Utsaimȋn ... 30

B. Pembahasan ... 30

1. Niat ... 31

2. Menghilangkan Kebodohan ... 34

3. Membela Syari’at ... 36

4. Berlapang Dada dalam Masalah ... 38

5. Mengamalkan Ilmu ... 39

6. Berdakwah (mengajak) kepada Allah ... 41

7. Hikmah (Bijaksana) ... 43

8. Sabar ... 44

9. Menghormati dan Memuliakan Ulama/Guru ... 46

10. Berpegang Teguh kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah ... 48

11. Tatsabbut dan Tsabat ... 49

12.Bersungguh-sungguh ... 50

BAB V PENUTUP ... 53

A. Kesimpulan ... 53

B. Implikasi ... 54

C. Saran ... 54


(12)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang Masalah

Sejak manusia menghendaki kemajuan dalam kehidupan, maka sejak itu timbul gagasan untuk melakukan pengalihan, pelestarian dan pengembangan kebudayaan melalui pendidikan.1 Pola kehidupan pun semakin bergeser pada pola yang semakin universal, sehingga dapat menimbulkan permasalahan.2

Orientasi pendidikan di Indonesia pun tidak hanya membentuk manusia yang cerdas, namun harus memiliki akhlak yang baik pula. Ini dapat terlihat dari Undang-undang No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, bahwa:

Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdasakan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.3

1

M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam: Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis berdasrkan

Pendekatan Interdisipliner, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), h.1.

2

TB. Aat Syafaat, dkk., Peranan Pendidikan Agama Islam dalam Mencegah Kenakalan

Remaja, (Jakarta: Rajawali Pers, 2008), h.1.

3

Direktorat Jendral Pendidikan Islam, Undang-undang dan Peraturan Pemerintah RI


(13)

Pendidikan adalah suatu proses untuk mendewasakan manusia, atau dengan kata lain pendidikan merupakan suatu upaya untuk “memanusiakan manusia”. Melalui pendidikan manusia dapat tumbuh dan berkembang secara

wajar dan “sempurna” sehingga ia dapat melaksanakan tugas sebagai manusia.4

Teori etika adalah gambaran sumber rasio mengenai hakikat dasar-dasar perbuatan dan keputusan yang benar serta prinsip-prinsip yang menentukan bahwa perbuatan dan keputusan tersebut secara moral terpuji dan tercela (baik dan buruk).5

Menuntut ilmu adalah kewajiban setiap Muslim. Selain itu, menuntut ilmu juga merupakan pekerjaa mulia yang pahalanya sangat besar di sisi Allah

subhȃnahu wa ta’ȃlȃ. Terlebih lagi ilmu syar’i yang dengannya seorang Muslim

dapat menggapai kebahagiaan dunia dan akhirat.

Sebagaimana dinyatakan oleh Rasulullah dalam sabdanya:

َس ْنَم

ْيِف ُسِمَتْلَ ي اًقْ يِرَط َكَل

ِةَنَْْا ََِإ اًقْ يِرَط ِهِب ُهَل ُهاا َلَهَس اًمْلِع ِه

“Barang siapa menempuh jalan untuk menuntut ilmu, maka Allah akan

memudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR..Muslim)

Salah satu cara mendapatkan ilmu, manusia diperintahakan untuk belajar sejak masih buaian hingga liang lahat. Untuk memperoleh ilmu, baik itu ilmu agama maupun ilmu umum, sudah seharusnyalah kita memperhatikan etika dalam menuntut ilmu agar ilmu yang kita pelajari tersebut dapat bermanfaat bagi diri kita dan orang lain.

Kaitannya dengan perkembangan manusia, belajar merupakan faktor penentu proses perkembangan, manusia memperoleh hasil perkembangan berupa

4

Heri Jauhari Muchtar, Fikih Pendidikan, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset, 2005), h.1.

5


(14)

pengetahuan, sikap, keterampilan, nilai, reaksi, keyakinan, dan lain-lain tingkah laku yang dimiliki manusia adalah melalui belajar.6

Pendidikan Islam adalah pendidikan yang seluruh komponen atau aspeknya didasarkan pada ajaran Islam. Visi, misi, tujuan, proses belajar mengajar, pendidik, peserta didik, hubungan pendidik dan peserta didik, kurikulum bahan ajar, sarana prasarana, pengelolaan lingkungan, dan aspek atau komponen pendidikan lainnya didasarkan pada ajaran Islam. Itulah yang disebut dengan pendidikan Islam, atau pendidikan yang Islami.7

Tujuan utama dari pendidikan Islam adalah pembentukan etika dan budi pekerti yang sanggup menghasilkan orang-orang yang bermoral, laki-laki maupun wanita, jiwa yang bersih, kemauan keras, cita-cita yang benar dan etika yang tinggi, tahu arti kewajiban dan tahu bagaimana melaksanakannya, menghormati hak-hak manusia, serta dapat membedakan mana yang baik dan yang buruk, sehingga terwujudlah kesejahteraan manusia sebagai hamba Allah secara lahir batin, di dunia dan akhirat.8

Syari’at Islam sangat besar memberikan perhatiannya terhadap ilmu pengetahuan, sebesar perhatian dalam pembentukan sikap ilmiah. Banyak ayat-ayat dan hadits-hadits yang memerintah kaum muslimin untuk menuntut ilmu. Diantaranya seperti firman Allah subhȃnahu wa ta’ȃlȃ dalam surah az-Zumar : 9









































“Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang-orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.”9

6

Alisuf Sabri, Psikologi Pendidikan Berdasarkan Kurikulum Nasional, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2007), h.54.

7

Abudin Nata, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Prenada Media Group, 2010), h.36.

8

M.‘Athiyah Al-Abrasyi, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,

1970), h.108.

9

Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur'an dan Terjemahannya, (Jakarta: Syȃmil Cipta Media, 2005)


(15)

Hadits dan ayat tersebut menunjukkan setiap muslim memiliki kewajiban yang sama untuk menuntut ilmu sesuai dengan tuntunan yang Rasulullah

shallallȃhu ‘alaihi wa sallam ajarkan, sebagai bentuk ketaatan kita terhadap Rasulullah shallallȃhu ‘alaihi wa sallam yang menjadi tauladan umat muslimin. Bahkan, orang yang berilmu derajanya ditinggikan oleh Allah subhȃnahu wa

ta’ȃlȃbeberapa derajat. Sebagaimana Allah ta’ȃlȃberfirman:





















….



“ Allah akan meninggikan orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat….” (QS. Al-Mujaadilah: 11)10

Penilaian di mata manusia pun orang yang berilmu jauh lebih dihormati dan dimuliakan dibandingkan dengan orang yang tidak berilmu. Semua orang pasti bangga dengan ilmu yang dimilikinya. Mereka rela berkorban dengan apapun untuk mendapatkannya. Namun, tidak semua ilmu bisa mendatangkan kebahagiaan dan kemuliaan. Bahkan, sebaliknya tidak jarang ilmu yang kita miliki malah menimbulkan bahaya dan bencana, lebih-lebih bila ilmu tersebut didapatkan dengan cara dan niat yang tidak benar.

Akhir-akhir ini kita sering mendengar berita miring tentang dunia pendidikan. Pada lingkungan pelajar dan mahasiswa misalnya, sering kita dengar tawuran antarpelajar, siswa-siswi yang tidak berakhlak, pergaulan bebas, prestasi belajar yang rendah dan lain-lain. Pada lingkungan alumninya, yang belum mendapatkan pekerjaan yang mereka inginkan, mereka lebih suka menganggur daripada bekerja apasaja yang halal. Bagi yang sudah bekerja, baik itu sebagai pejabat pemerintah, guru, karyawan, dokter, arsitek, pedagang dan lain-lain, mereka tidak amanah dalam melaksanakan tugas. Oleh karenanya, banyak sekali tugas-tugas dan amanah yang disalahgunakan. Korupsi, manipulasi, suap-menyuap, menindas rakyat kecil, perselingkuhan rumah tangga, gaya hidup

10

Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur'an dan Terjemahannya, (Jakarta: Syȃmil Cipta Media, 2005)


(16)

mewah, dan hal-hal negatif lain pun dilakukan tanpa ada rasa malu dan takut kepada Allah subhȃnahu wa ta’ȃlȃ.11

Ini semua adalah cermin dari sistem pendidikan yang diterapkan saat ini yang cenderung sekular, materialistis, miskin nilai, kering rohani, dan jauh dari adab-adab yang luhur. Itulah produk-produk yang telah dihasilkannya. Syaikh Muhammad bin Shȃlih Al-‘Utsaimȋn merupakan Ulama yang hidup pada era kemajuan Islam, dimana tanda-tanda kemerosotan moral dan etika semakin tampak di lingkungan pendidikan. Sehingga beliau merasa perlu untuk memberikan solusi dari permasalahan yang terjadi terhadap para penuntut ilmu.

Banyaknya peserta didik yang belum mengetahui etika dalam menuntut ilmu, sehingga banyak penuntut ilmu yang masih bersikap tercela baik kepada orang tua, guru, maupun lingkungan sekitarnya. Hal tersebut membuktikan bahwa adanya keharusan beretika yang baik bagi seluruh manusia apalagi mereka yang sedang menuntut ilmu.

Sehingga atas dasar tersebut membuat penulis merasa perlu untuk

membahas beberapa pandangan Syaikh Muhammad bin Shȃlih Al-‘Utsaimȋn

tentang adab-adab penuntut ilmu dalam pembahasan yang tertulis di skripsi ini dengan judul “Etika Menuntut Ilmu (Studi Buku Kitȃb Al-„Ilmi Karya Syaikh Muhammad bin Shȃlih Al-„Utsaimȋn).

B.

Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis

mengidentifikasikan masalah sebagai berikut:

1. Pola kehidupan masyarakat yang semakin universal dapat menimbulkan penurunan tatakrama kehidupan sosial dan moral etika para penuntut ilmu.

11

Muhammad bin Shȃlih Al-‘Utsaimȋn, Syarah Adab dan Manfaat Menuntut Ilmu, (Jakarta:


(17)

2. Kurangnya dukungan dari lingkungan sekitar baik orang tua maupun masyarakat mengenai perlunya pembentukan etika yang baik, sehingga penuntut ilmu sulit merealisasikannya.

3. Sistem pendidikan yang sekuler dan matrealistis mengakibatan miskinnya etika seseorang, bahkan cenderung menjauh dari adab-adab yang luhur. 4. Masih banyaknya penuntut ilmu yang tidak atau kurang beretika dan masih

bersikap tercela baik kepada orang tua, sesama murid, guru, maupun lingkungan sekitarnya.

5. Perlunya keteladanan seorang guru untuk mencontohkan akhlaqul karȋmah

kepada peserta didiknya.

C.

Pembatasan dan Perumusan Masalah

Sesuai identifikasi masalah di atas, agar memperjelas dan memperkuat fokus penelitian ini, maka penulis batasi penelitian ini pada satu masalah pokok, yakni masih banyaknya penuntut ilmu yang kurang beretika dan masih bersikap tercela, baik kepada orang tua, guru, sesama murid maupun lingkungan sekitar.

Cukup banyak skripsi yang membahas tentang permasalahan ini, maka penelitian ini difokuskan pada buku Kitȃb Al-„Ilmikarya Syaikh Muhammad bin

Shȃlih Al-‘Utsaimȋn.

Adapun perumusan masalah dalam penelitian ini menggunakan bentuk pertanyaan sebagai berikut: Bagaimana etika yang harus dimiliki oleh para penuntut ilmu dalam Kitȃb Al-„Ilmi?

D.

Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengenal dan mengetahui bagaimana etika yang harus dimiliki oleh seorang penuntut ilmu menurut pandangan Syaikh Muhammad bin Shȃlih Al-‘Utsaimȋn yang terdapat dalam bukunya yang berjudul

Kitȃb Al-„Ilmi.

Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Hasil penelitian ini sedikit banyaknya dapat menambah kontribusi dalam bidang ilmu pengetahuan khususnya pendidikan.


(18)

2. Menanamkan kesadaran akan pentingnya etika dalam kehidupan sehari-hari khususnya bagi para penuntut ilmu.

3. Acuan bagi para penuntut ilmu agar senantiasa bersikap sesuai dengan etika dan nilai yang berlaku dalam agama dan masyarakat .

4. Memberikan sumbangsih karya ilmiah yang bermanfaat untuk

dipersembahkan kepada para pembaca umumnya dan khususnya bagi penulis sendiri.


(19)

8

BAB II

KAJIAN TEORI

A.

Kajian Teori

1.

Pengertian Etika

Manusia pada dasarnya mengerti akan apa yang baik dan apa yang buruk, ia dapat membedakan antara kedua hal tersebut. Pengetahuan manusia akan baik dan buruk merupakan pembawaan yang telah ada pada setiap diri manusia. Hal ini dijelaskan dalam Al-Qur’an surah al-Ma’idah ayat 100:









































“Katakanlah: "tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu, Maka bertakwalah kepada Allah Hai orang-orang berakal, agar kamu mendapat keberuntungan."1

Ayat al-Qur’an tersebut secara implisit ditunjukkan bahwa manusia telah mempunyai tanggapan baik dan buruk sebelum ia menghadapi kenyataan hidup didunia. Sehingga bisa dikatakan bahwa setiap manusia telah memiliki pengetahuan tentang etika atau persoalan mengenai baik dan buruk, yang mana hal tersebut menyangkut persoalan akan makna kehidupan. Karena itu sampai di mana tertib-teraturnya kehidupan yang ia bina, tergantung pada sedalam apa

1

Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur'an dan Terjemahannya, (Jakarta: Syȃmil Cipta Media, 2005).


(20)

manusia mampu memahaminya. Sebab itulah dapat dimengerti mengapa terdapat berbagai corak kehidupan manusia yang beranekaragam.

Secara etimologi kata etika berasal dari bahasa Yunani kuno “ethikos” dan “ethos” dalam bentuk tunggal mempunyai banyak arti: tempat tinggal yang biasa;

padang rumput; kandang; habitat; kebiasaan; adat; akhlak; watak; perasaan; sikap; dan cara berpikir. Etika mempunyai tiga pengertian: pertama, ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk, tentang hak dan kewajiban moral (akhlak); kedua, kumpulan asas atau nilai yang berkaitan dengan akhlak; ketiga, nilai mengenai benar dan salah yang dianut oleh suatu golongan masyarakat.2

Ahmad Amin berpendapat bahwa etika adalah suatu ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh sebagian manusia kepada yang lainnya, menyatakan tujuan yang dituju oleh manusia di dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang harus diperbuat3, sedangkan menurut ahli filsafat seperti yang dijelaskan

oleh Hamzah Ya’qub bahwa etika adalah ilmu yang menyelidiki mana yang baik

dan mana yang buruk dengan memperhatikan amal perbuatan manusia sejauh yang dapat diketahui oleh akal pikiran manusia.4

Lebih lanjut menurut Bapak Pendidikan Nasional Ki Hajar dewantara seperti yang dikutip oleh Abudin Nata, etika adalah ilmu yang mempelajari soal kebaikan (dan keburukan) di dalam hidup manusia semuanya, teristimewa yang mengenai gerak-gerik pikiran dan rasa yang dapat merupakan perimbangan dan perasaan sampai mengenai tujuannya yang dapat merupakan perbuatan.5

Etika bagi seseorang terwujud alam kesadaran moral (moral conciousness)

yang memuat keyakinan ‘benar dan tidak’ sesuatu. Perasaan yang muncul bahwa

ia akan salah bila melakukan sesuatu yang diyakininya tidak benar berangkat dari norma-norma moral dan perasaan self-respect (menghargai diri) bila ia meninggalkannya. Tindakan yang diambil olehnya harus ia pertanggungjawabkan

2

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa , Kamus Besar

Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), Cet. Ke-1, h. 237.

3

Ahmad Amin, Etika (Ilmu Akhlak), (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), Cet. Ke-8, h.3

4 Hamzah Ya’qub,

Etika Islam Pembinaan Akhlaqul Karimah (Suatu Pengantar),

(Bandung: Diponegoro, 1988), Cet. Ke-4, h.13.

5


(21)

pada diri sendiri. Begitu juga dengan sikapnya terhadap orang lain bila pekerjaan tersebut mengganggu atau sebalikya mendapatkan pujian.

Secara terminologis arti kata etika sangat dekat pengertiannya dengan istilah al-Qur’an yaitu al-khuluq. Untuk mendeskripsikan konsep kebajikan,

al-Qur’an menggunakan sejumlah terminologi sebagai berikut: khair, bir, qist, „adl, haqq, ma‟ruf, dan taqwȃ .6

Berdasarkan beberapa definisi etika di atas dapat disimpilkan bahwa, etika berhubungan dengan empat hal sebagai berikut. Pertama dilihat dari segi objek pembahasannya, etika berupaya membahas perbuatan yang dilakukan oleh manusia. Kedua dilihat dari segi sumbernya, etika bersumber dari akal pikiran atau filsafat. Ketiga dilihat dari fungsinya, etika berfungsi sebagai penilai, penentu dan penetapan terhadap suatu perbuatan yang dilakukan oleh manusia, yaitu apakah perbuatan tersebut akan dinilai baik, buruk, mulia, terhormat, hina dan sebagainya. Ia merupakan konsep atau pikiran mengenai nilai-nilai untuk digunakan dalam menentukan posisi perbuatan yang dilakukan manusia. Etika lebih mengacu kepada pengkajian sistem nilai-nilai yang ada. Keempat dilihat dari segi sifatnya, etika bersifat relatif, yakni dapat berubah-ubah sesuai dengan tuntutan zaman.7

2.

Objek Etika

Nilai etis dan begitu juga untuk setiap nilai adalah hasil kerja rohani, yakni akal dan perasaan. Sesuatu dikatakan sudah bernilai adalah jika sudah diwujudkan dalam bentuk perbuatan. Perbuatanlah yang merupakan bahan tinjauan tempat nilai etis diterapkan. Perbuatan adalah objek, dimana etika mencobakan teori-teori nilainya.8

Walaupun sudah dinyatakan bahwa perbuatan merupakan objek etika, namun yang masih perlu diperhatikan selanjutnya ialah jenis perbuatan manakah yang bisa dan boleh dihubungkan dengan nilai ethis?.

6

Faisal Badroen, dkk, Etika Bisnis dalam Islam, (Jakarta:UIN Jakarta Press, 2005), hlm.4-6

7

Abudin Nata. op. cit., h.89-90.

8


(22)

Perbuatan ditinjau dari sudut suasana batin subyeknya ada dua macam, yaitu:

a. Perbuatan oleh diri sendiri

Merupakan tindakan yang dilakukan oleh diri sendiri dalam situasi bebas. Perbuatan ini dibagi menjadi dua, perbuatan sadar dan perbuatan tak sadar.

1) Perbuatan sadar dimaksudkan sebagai tindakan yang benar-benar

dikehendaki oleh pelakunya, yaitu tindakan yang telah dipilihnya berdasar pada kemauan sendiri, kemauan bebasnya. Jadi suatu tindakan yang dilakukan tanpa tekanan atau ancaman.

2) Perbuatan tak sadar ialah tindakan yang terjadi begitu saja diluar kontrol jiwanya. Namun bukan pula terjadi karena tekanan atau paksaan. Perbuatan tak sadar ini bisa terjadi pada waktu:

Subjek dalam keadaan sadar, maka perbuatan tersebut dinamakan gerak refleks.

Subjek dalam keadaan tak sadar, misalnya dalam mimpi, sakit dan sebagainya.

b. Perbuatan oleh orang luar

Merupakan tindakan yang dilakukan karena pengaruh orang lain. Adapun perbuatan yang terjadi akibat pengaruh orang luar pun mempunyai corak yang berlainan. Pengaruh ini dilancarkan berhubung adanya berbagai alasan yang dianggap perlu oleh pihak yang mempengaruhinya. Kuat lemahnya alasan menentukan bentuk pengaruh yang dilancarkan. Pengaruh ini lalu bisa berupa saran, anjuran, nasehat, tekanan, paksaan, peringatan dan ancaman.9

Menghadapi berbagai macam perbuatan sebagaimana tersebut di atas, kami condong kepada pendapat Dr. Achmad Amin yang mengemukakan bahwa perbuatan yang dimaksud sebagai objek etika ialah perbuatan sadar baik oleh diri sendiri atau oleh pengaruh lain yang dilandasi oleh kehendak bebas. Singkatnya: objek etika ialah perbuatan sadar. Jadi, perbuatan itu disertai niat dalam batin. Hal ini sesuai dengan hadits Nabi shallallȃhu „alaihi wa sallam:

9


(23)

ىَوَ ناَم ٍئِرْم ِلُكِل اَمَِإَو ٍتاَيِ نلاِب ُلاَمْعَأااَمَِإ

"Sesungguhnya segala perbuatan itu disertai niat. Dan seseorang diganjar sesuai dengan niatnya". (HR Bukhari dan Muslim)

Hal itu sejalan dengan firman Allah subhȃnahu wa ta‟ȃlȃ:



























…

"Tidak ada paksaan dalam agama, sesungguhnya sudah nyata petunjuk daripada kesesatan". (QS. Al-Baqarah : 256) 10

Pada ayat tersebut dijelaskan bahwa manusia diberi kebebasan, diberi hak pilih untuk berbuat dan tidak berbuat. Akan tetapi, kebebasan di sini bukanlah dalam artian tidak terbatas, melainkan kebebasan yang terikat oleh norma yang berujung pada dua akibat, yaitu membahagiakan dan menyesatkan.

Singkatnya, bahwa pokok persoalan atau objek etika ialah segala perbuatan yang timbul dari orang yang melakukan dengan ikhtiar dan sengaja, dan ia mengetahui waktu melakukannya apa yang ia perbuat.11 Inilah yang dapat kita beri hukum "baik" dan "buruk", demikian juga segala perbuatan yang timbul tiada dengan kehendak, tetapi dapat diikhtiarkan penjagaan sewaktu sadar.

3.

Tujuan Mempelajari Etika

Etika tidak dapat menjadikan manusia baik, tetapi dapat membuka matanya untuk melihat baik dan buruk, maka etika tidak berguna bagi kita, kalau kita tidak mempunyai kehendak untuk menjalankan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Orang yang tidak mempelajari etika, dapat juga memberi hukum baik dan buruk kepada sesuatu, dan dapat pula ia menjadi baik perangainya. Tiap-tiap ilmu memberi pandangan kepada yang mempelajarinya dalam dilingkungan yang diselidiki oleh ilmu itu. Maka yang mempelajari etika

10

Ahmad Amin, Al-Akhlaq: Etika (Ilmu Akhlak), Terj. Farid Ma’ruf, (Jakarta : PT Bulan Bintang, 1957), h. 59.

11


(24)

dapat menyelidiki dengan seksama segala perbuatan yang dikemukakan kepadanya, dengan tidak tunduk dalam menentukan hukumnya kepada kebiasaan orang, tetapi segala pendapatnya hanya diambil dari pandangan ilmu pengetahuan, peraturannya dan timbangannya.

Tujuan Etika bukan hanya mengetahui pandangan, bahkan setengah dari tujuan-tujuannya, ialah mempengaruhi dan mendorong kehendak kita, supaya membentuk hidup suci dan menghasilkan kebaikan dan kesempurnaan, dan memberi faedah kepada sesama manusia. Maka Etika itu ialah mendorong kehendak agar berbuat baik, akan tetapi ia tidak selalu berhasil kalau tidak ditaati oleh kesucian manusia.12

4.

Peranan Etika

Menurut Ahmad Amin, setidaknya ada empat alasan mengapa etika diperlukan pada era saat ini;

Pertama, individu hidup dalam masyarakat yang semakin pluralistic. Pluralistic yang dimaksud di sini adalah perbedaan suku, daerah dan agama, termasuk di dalamnya juga bidang moralitas. Individu sering kebingungan untuk mengikuti moral yang benar yang harus diikuti. Untuk mencapai suatu pendirian dalam pergolakan pandangan-pandangan di bidang moral, maka refleksi kritis tentang etika diperlukan.

Kedua, pada saat ini individu berada dalam pusaran transformasi masyarakat yang berlangsung sangat cepat. Modernisasi telah merambah budaya tradisional ke segala penjuru tanah air, hingga masuk ke pelosok-pelosok desa, bahkan ke tempat yang sebelumnya tidak dapat dijamah. Pengaruh modernisasi mengakibatkan berubahnya cara berpikir manusia; berkembangnya rasionalisme, materialisme, sekularisme, individualisme dan pluralism religius. Serta sistem pendidikan modern telah mengubah lingkungan budaya dan rohani secara hakiki

12


(25)

di dunia, termasuk di dalamnya Indonesia. Dalam menghadapi situasi ini maka diperlukan etika, agar manusia tidak kehilangan orientasi dan dapat membedakan mana moralitas hakiki yang tidak boleh berubah dengan pemahaman-pemahaman yang boleh berubah.

Ketiga, perubahan sosial, budaya dan moral yang terjadi saat ini, sering digunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk memancing di air yang keruh. Pihak-pihak itu berdalih dengan menawarkan ideologi-ideologi yang dibawa sebagai obat penyelamat, sehingga muncul aliran-aliran yang aneh dan menyimpang dari akal sehat. Untuk itu etika diperlukan untuk menghadapi ideologi-ideologi ini melalui tinjauan kritis dan objektif dalam membentuk penilaian, agar tidak terlalu mudah terpancing atau terpengaruh ajaran yang dibawanya.

Keempat, etika juga diperlukan kaum agamawan untuk membantu menemukan dasar kemantapan dalam iman kepercayaannya, sekalaigus berpartisipasi dan tidak menutup diri terlibat dalam semua dimensi kehidupan masyarakat yang sedang berubah.13

5.

Pengertian Ilmu

Secara bahasa, al-„ilmu adalah lawan dari al-jahl (kebodohan), yaitu mengetahui sesuatu sesuai dengan keadaan yang sebenarnya dengan pengetahuan pasti. Secara istilah dijelaskan oleh sebagian ulama bahwa ilmu adala ma‟rifah (pengetahuan) sebagai lawan dari al-jahl (ketidaktahuan). Menurut ulama lainnya , ilmu itu lebih jelas dari apa yang diketahui.14

Ilmu (science) adalah pengetahuan yang logis dan empiris. Sekalipun demikian, hendaklah diketahui juga bahwa berlandakan kesepakatan umum pemakai istilah di Indonesia, ilmu berarti juga pengetahuan (knowledge). Di

13

Ibid., h. 64-67

14

Muhammad bin Shȃlih Al-‘Utsaimȋn, Panduan Lengkap Menuntut Ilmu, (Jakarta: Pustaka Ibnu Katsir, 2006), h. 7.


(26)

Indonesia Istilah ilmu sering diganti dengan ilmu pengetahuan. Ini memang sering

membingungkan.15

Ilmu dibagi menjadi dua, yaitu ilmu dhorȗrȋ dan ilmu nazhorȋ. Ilmu

dhorȗrȋ adalah yang onyek pengetahuan di dalamnya bersifat semi pasti, tidak perlu pemikiran dan pembuktian. Misalnya pengetahuan bahwa api itu panas. Sedangkan ilmu nazhorȋ adalah yang membutuhkan pemikiran dan pembuktian.

Misalnya pengetahuan mengenai kewajiban berniat dalam berwudhu.16

Ilmu yang dianjurkan oleh Islam untuk dipelajari dan ditunjukkan oleh

al-Qur’an untuk digali adalah setiap ilmu pengetahuan yang didasari oleh dalil-dalil, karena itu para ulama kaum muslimin tidak menganggap taqlid (ikut-ikutan) sebagai ilmu, sebab taqlid tidak lebih dari “mengekor pada pendapat orang lain” tanpa mengetahui alasannya. Nabi Muhammad shallallȃhu „alaihi wa sallam bersabda:

ُي ْنَم

ِقَفُ ي , اًرْ يَخ ِهِب ُها ِدِر

ِدلا ِي ُهْه

ِنْي

“Barang siapa yang dikehendaki kebaikan oleh Allah, maka Dia akan

menjadikannya faham tentang agamanya”. (HR.Bukhari, Muslim)17

6.

Objek Ilmu

Objek dari ilmu pengetahuan adalah apa saja, mulai dari manusia hingga seluruh alam nyata yang dalam hal ini objeknya harus bersifat empiris dan terukur. Secara ontologis ilmu membatasi diri pada pengkajian obyek yang berada dalam lingkup pengalaman manusia dan inilah yang membedakan dengan agama yang jangkauannya sampai pada obyek yang bersifat transendetal yang berada diluar kemampuan manusia.

Nilai kebenaran dari ilmu pengetahuan adalah positif sepanjang positifnya peralatan yang digunakan dalam penyelidikannya yaitu indra, pengalaman dan

15

Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Pespektif Islam, (Bandung:PT Remaja Rosdakarya, 1994), h. 18.

16

Muhammad bin Shȃlih Al-‘Utsaimȋn, Syarah Tsalȃtsatul Ushȗl: Mengenal Allah, Rasul dan Sinul Islam, (Solo: Al-Qowam, 2005), h.11.

17

Yusuf al-Qardhawi, Konsepsi Ilmu dalam Persepsi Rasulullah saw: Tentang Rasulullah


(27)

percobaan. Karena akal manusia terbatas, yang tak mampu menjelajah wilayah yang metafisik, maka kebenaran ilmu pengetahuan dianggap relatif. Maka ilmu pengetahuan selalu siap diuji kebenarannya dan akan tetap diakui sebagai benar sampai ada pembuktian dengan bukti yang lebih kuat.

Menurut pandangan Al-Gazali, ilmu dapat dilihat dari dua segi, yaitu ilmu sebagai proses dan ilmu sebagai obyek. Melalui segi proses, Al-Ghazali membagi ilmu menjadi ilmu hissiyah, ilmu aqliyah dan ilmu ladunni. Ilmu hissiyah

diperoleh manusia melalui penginderaan (alat indra), sedangkan ilmu aqliyah

diperoleh melalui kegiatan berfikir (akal). Sedangkan ilmu ladunni diperoleh langsung dari Allah, tanpa melalui proses penginderaan atau pemikiran (nalar), melainkan melalui hati, dalam bentuk ilham.18

Ilmu juga dapat dikatakan sebagai obyek menurut pandangan Al-Ghazali dapat dibagi menjadi tiga kelompok:

a. Ilmu pengetahuan yang tercela secara mutlak, baik sedikit maupun banyak, seperti sihir, azimat, nujum dan ilmu tentang ramalan nasib. Ilmu ini tercela karena tidak memiliki nilai manfaat, baik di dunia maupun di akhirat.

b. Ilmu pengetahuan yang terpuji, baik sedikit maupun banyak, namun kalau banyak lebih terpuji, seperti ilmu agama dan ilmu tentang beribadat. Ilmu pengetahuan seperti itu terpuji secara mutlak karena dapat melepaskan manusia (yang mempelajarinya) dari perbuatan tercela, mensucikan diri, membantu manusia mengetahui kebaikan dan mengerjakannya, memberitahu manusia ke jalan dan usaha mendekatkan diri kepada Allah dalam mencari ridha-Nya guna mempersiapkan dunia untuk kehidupan akhirat yang kekal.

c. Ilmu pengetahuan yang dalam kadar tertentu terpuji, tetapi jika

memperdalaminya tercela, seperti ilmu keTuhanan, cabang ilmu filsafat dan

18

Jalaluddin, Usman Said. Filsafat Pendidikan Islam Konsep dan Perkembangan


(28)

sebagian dari filsafat Naturalisme. Menurut Al-Ghazali, ilmu-ilmu tersebut jika diperdalam akan menimbulkan kekacauan pikiran dan keraguan, dan akhirnya cenderung mendorong manusia kepada kufur dan ingkar.19

Menyimak pandangannya, terlihat bahwa Al-Ghazali berpendapat bahwa ilmu sebagai obyek tidak bebas nilai. Setiap ilmu pengetahuan yang dipelajari harus dikaitkan dengan nilai moral dan nilai manfaat. Karena itu selanjutnya ia melihat ilmu dari sudut pandang nilai ini dan membaginya menjadi dua kelompok. Pembagian ini didasarkan atas nilai manfaat bagi yang mempelajarinya dan bagi kepentingan masyarakat.

7.

Keutamaan Menuntut Ilmu

Sesungguhnya ilmu memiliki kedudukan yang mulia dan tinggi itu seperti yang diungkapkan dalam QS. Al-Mujaadilah: 11































“…Allah meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberinya ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.20

Allah subhȃnahu wa ta‟ȃlȃ telah memuji ilmu dan pemiliknya serta mendorong hamba-hamba-Nya untuk berilmu dan membekali diri dengannya.

Demikian juga sunnah Nabi Muhammad shallallȃhu „alaihi wa sallam

sebagaimana dalam haditsnya:

ْوُ ثِرْوُ ي ََْ َءاَيِبْن َْأا منِإ

ْنَمَف , َمْلِعْلا اْوُ ثَرَو اَمَِإَو , اًََْرِد َاَو اًراَنْ يِد ا

ٍظَِِ َذَخَأ َُذَخَأ

ٍرِفاَو

.

19

Ibid., h. 141

20

Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur'an dan Terjemahannya, (Jakarta: Syȃmil Cipta Media, 2005).


(29)

“Sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar atau dirham, yang mereka wariskan hayalah ilmu, maka barangsiapa yang telah mengambilnya, maka ia

mengambil bagian yang banyak”. (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)

Tidak sama orang yang berilmu dengan orang yang tidak berilmu sebagaimana tidak sama orang yang hidup dengan orang yang mati, orang yang mendengar dengan orang yang tuli, dan orang yang melihat dengan orang yang buta. Ilmu adalah cahaya yang bisa dijadikan petunjuk oleh manusia sehingga mereka bisa keluar dari kegelapan menuju cahaya terang. Karena ilmu menjadi sebab diangkatnya derajat orang-orang yang dikehendaki Allah subhȃnahu wa

ta‟ȃlȃ.21

8.

Hukum Menuntut Ilmu

Mencari ilmu syar’i adalah fardhu kifayah, apabila ada orang yang sudah mempelajarinya maka hukumnya menjadi sunnah bagi yang lainnya. Tetapi terkadang mencari ilmu ini menjdi fardhu „ain bagi manusia.

Menurut Imam al-Qurtubi menjelaskan bahwa hukum menuntut ilmu terbagi dua, yaitu:

Pertama, hukumnya wajib; seperti menuntut ilmu tentang shalat, zakat, puasa. Inilah yang dimaksudkan dalam riwayat yang menyatakan bahwa menuntut ilmu itu hukumnya wajib.

Kedua, hukumnya fardhu kifayah; seperti menuntut ilmu tentang pembagian hak, tentang pelaksanaan hukum qishas, cambuk, potong tangan dan lain sebagainya.22

Ketahuilah, menuntut ilmu itu adalah suatu kemuliaan yang sangat besar dan menempati kedudukan yang sangat tinggi bahkan seperti berjihad di jalan Allah subhȃnahu wa ta‟ȃlȃ.

21

Muhammad bin Shȃlih Al-‘Utsaimȋn, Panduan Lengkap Menuntut Ilmu,…h.11.

22

Yazid bin Abdul Qadir Jawaz, Adab dan Akhlak Penuntut Ilmu, (Bogor: Pustaka At-Taqwa, 2010), h.3.


(30)

9.

Pengertian Etika Menuntut Ilmu

Setelah dijelaskan seluruh definisi dari etika dan menuntut ilmu di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa etika menuntut ilmu adalah ilmu yang menjelaskan bagaimana seharusnya perasaan, sikap, serta cara berpikir seorang penuntut ilmu dalam kegiatan belajarnya terhadap kesadaran moral yang memuat keyakinan baik-buruk, benar-tidaknya sesuatu perbuatan berdasarkan aturan yang berlaku di lingkungan masyarakat.

B.

Hasil Penelitian yang Relevan

Penulis berusaha mencari penelitian yang relevan dengan cara mencari tema yang sama pada skripsi-skripsi berbentuk penelitian library research yang ada di Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, penulis tidak menemukan judul penelitian yang sama dengan judul yang penulis teliti, hanya saja ada penelitian yang mengkaji suatu persoalan dan metode penelitian yang sama mengenai etika menuntut ilmu, yaitu:

1. Hasil penelitian M.H. Nur Romadlon yang berjudul Konsep Etika Belajar Mengajar dalam Kitab Adab Al-Dunyȃ Wa Al-n karya Imam Al-Mawardi. Pada penelitian tersebut dibahas mengenai sosok Imam al-Mawardi yang memberikan solusi atau jawaban terhadap berbagai persoalan yang terjadi pada kegiatan belajar mengajar serta beberapa syarat yang harus diketahui oleh seorang murid.

2. Hasil penelitian Husnul Khuluq yang berjudul Konsep Belajar Siswa Menurut Al-Ghazali. Pada penelitiannya tersebut Husnul Khuluq membahas tentang 4 konsep etika belajar menurut Al-Ghazali yang dipaparkan sesuai dengan petunjuk al-Qur’an dan al-Hadits.

3. Hasil penelitian Alfian Haikal yang berjudul Akhlak Belajar dalam Kitab


(31)

Syaikh al-Zȃrnuji yang merupakan penulis kitab ta‟lȋm al-muta‟allim serta menyingkap beberapa pemikiran tokoh tersebut mengenai akhlak belajar.

Persamaan judul-judul skripsi di atas dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah sama-sama membahas tentang etika atau akhlak dalam belajar yang bersumber dari kitab para ulama. Adapun perbedaannya, yaitu pertama,

ulama atau tokoh yang diangkat berbeda dengan yang penulis jadikan sumber,

kedua, dari judul sudah terlihat bahwa penelitian ini memiliki rumusan dan identifikasi masalah yang agak berbeda.


(32)

21

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A.

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian yang berjudul “Etika Menuntut Ilmu dalam Buku Kitȃb Al-„Ilmi

Karya Syaikh Muhammad bin Shȃlih Al-‘Utsaimȋn” dilaksanakan mulai tanggal 6 Desember 2012, dengan pengaturan waktu sebagai berikut: 6 Desember 2012 – 10 Agustus 2013 digunakan untuk pengumpulan data dari sumber-sumber tertulis yang diperoleh dari koleksi, buku-buku yang ada di perpustakaan, internet, jurnal, serta sumber lain yang mendukung penelitian, di samping itu penulis juga sedang melaksanakan PPKT (Praktik Profesi Keguruan Terpadu).

Kemudian waktu selebihnya digunakan untuk melakukan kualifikasi data, menganalisis, menyimpulkan hasil penelitian serta menyusun dalam bentuk hasil penelitian atau laporan. Selanjutnya tempat yang digunakan untuk melakukan penelitian ini bertempat di perpustakaan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) serta perpustakaan utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta di Jln.Ir. H. Juanda No.95 Ciputat.

Penelitian ini mengambil objek ide yang merupakan gagasan atau pemikiran tentang bagaimana seharusnya etika yang dimiliki oleh para penuntut ilmu dari seorang Syaikh ‘Utsaimȋn yang tertuang dalam kitabnya yang berjudul Kitȃb Al-„Ilmi dan diterjemahkan oleh Abu Haidar al-Sundawy yang diberi judul


(33)

B.

Metode Penelitian

Metode penelitian merupakan cara ilmiah yang digunakan untuk mendapatkan data yang objektif, valid, dan reliabel sehingga dapat digunakan untuk memahami, memecahkan, dan mengantisipasi masalah dalam bidang tertentu.1

Penelitian skripsi ini dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif, yaitu suatu penelitian yang diupayakan untuk mengamati permasalahan secara sistematis dan akurat mengenai fakta dan sifat objek tertentu, serta metode analisis yaitu dengan mengumpulkan data-data kemudian disusun, dijelaskan, dan dianalisis2dengan uraian metodologi sebagai berikut:

1.

Jenis Penelitian

Penelitian deskriptif dibedakan menjadi beberapa variasi, yaitu studi perkembangan, studi kasus, studi kemasyarakatan, studi perbandingan, studi hubungsn, studi waktu dan gerak, studi lanjut, studi kecenderungan, analisis kegiatan, analisis isi atau dokumen, dan lain-lain.3

Adapun jenis penelitian ini dilakukan dengan studi analisis isi,atau dokumen (content or document analysis), yaitu teknik yang ditujukan untuk menghimpun dan menganalisis dokumen-dokumen resmi, dokumen yang validitas dan keabsahannya terjamin, baik dokumen perundangan dan kebijakan maupun hasil-hasil penelitian. Analisis juga dapat dilakukan terhadap buku-buku teks, baik yang bersifat teoritis maupun empiris.4

Analisis yang dilakukan penulis pada penelitian ini bersifat noninteraktif, yaitu dengan mengadakan pengkajian berdasarkan analisis dokumen5, serta mengidentifikasi isi pesan yang disampaikan oleh seorang tokoh yang bernama Syaikh Muhammad bin Shȃlih Al-‘Utsaimȋn dalam bukunya Kitȃb Al-„Ilmi.

1

Mahmud, Metode Penelitian Pendidikan, (Bandung: Pustaka Setia, 2011), h.97.

2

Ibid., h. 100.

3

Nana Syaodih Sukmadinata, Metode Penelitian Pendidikan, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010), h.77.

4

Ibid., h.81.

5


(34)

2.

Sumber Data

Adapun yang dimaksud dengan sumber data dalam penelitian adalah subjek dari mana data dapat diperoleh.6 Pada penelitian ini sumber data yang digunakan adalah:

a. Data primer

Data primer adalah buku-buku yang membahas secara langsung objek permasalahan pada penelitian ini, yaitu buku karya Syaikh Muhammad bin

Shȃlih Al-‘Utsaimȋn yang berjudul Kitȃb Al-„Ilmi.

b. Data sekunder

Data sekunder sebagai data pendukung yaitu berupa data-data tertulis, baik itu buku-buku karya Syaikh ‘Utsaimȋn sendiri, maupun buku-buku yang berbicara mengenai etika menuntut ilmu, majalah, jurnal atau artikel ilmiah serta sumber lain yang memiliki relevansi dengan masalah yang dibahas, akses internet juga dibutuhkan sebagai pendukung dalam mencari data dan referensi tambahan. Berikut beberapa buku yang penulis jadikan data sekunder:

1) Terjemah Kitȃb Al-„Ilmi, diterjemahkan oleh Abu Haidar

al-Sundawy yang berjudul Panduan Lengkap Menuntut Ilmu.

2) Buku karya Syaikh Muhammad bin Shȃlih Al-‘Utsaimȋn yang berjudul Syarah Adab dan Manfaat Menuntut Ilmu, di mana

judul asli buku ini adalah “Syarh Hilyah Thȃlibil „Ilmi” kemudian

diterjemahkan oleh Ahmad Sabiq, Lc.

3) Buku karya Yazid bin Abdul Qadir Jawas yang berjudul Adab dan

Akhlak Penuntut Ilmu.

4) Terjemah kitab Ta’lȋm Al-Muta’allim, diterjemahkan oleh H. Aliy

As’ad yang berjudul Bimbingan Bagi Penuntut Ilmu Pengetahuan.

6

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian:Suatu Pendekatan Praktik, (Jakarta: Rineka Cipta, 2006), Cet.ke-13, h.129.


(35)

C.

Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

Prosedur yang dilakukan penulis dalam skripsi ini menggunakan beberapa prosedur sebagai berikut:

1. Tahap Persiapan atau Perencanaan

Pada tahap ini, penulis mulai membuat perumusan dan pembatasan masalah, merumusakan pertanyaan-pertanyaan penelitian yang di arahkan pada kegiatan pengumpulan data, kemudian mengajukan proposal penelitian. Selain itu penulis juga mencari bahan-bahan atau dokumen yang akan digunakan ke perpustakaan.

2. Tahap Pelaksanaan

Tahap penelitian ini, penulis melakukan pengumpulan dokumen yang lebih intensif dari beberapa sumber. Sementara pengumpulan data terus berjalan, analisis data mulai dilakukan kemudian mengolah data dengan cara mengidentifikasi dan menyusunnya.

3. Tahap Penyelesaian

Pada tahap ini, penulis mengakhiri pengumpulan data setelah mendapatkan semua informasi yang dibutuhkan atau tidak ditemukan data baru lagi, kemudian menyimpulkan data yang telah dianalisis dan kemudian menafsirkan data dalam bentuk hasil penelitian (laporan).

Sebelum data diolah, penulis terlebih dahulu memahami secara cermat isi dari buku dari Syaikh Muhammad bin Shȃlih Al-‘Utsaimȋn yaitu buku yang berjudul Kitȃb Al-„Ilmi. Setelah data terkumpul, kemudian diolah dengan cara

membuat ringkasan untuk menentukan batasan yang lebih khusus tentang objek kajian dari buku-buku yang berhubungan dengan tema pokok yang dibahas.


(36)

D.

Pemeriksaan atau Pengecekan Keabsahan Data

Data-data yang digunakan penulis merupakan buku-buku yang telah dipastikan benar adanya. Beberapa buku yang menjadi sumber utama penulis dapatkan dengan cara membelinya di toko-toko buku, sedangkan data-data pendukung lainnya penulis dapatkan melalui peminjaman ke perpustakaan yang telah disediakan oleh pihak Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) dan Perpustakaan Utama (Perputama) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

E.

Analisis Data

Analisa data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, hasil observasi, catatan lapangan dan dokumentasi, dengan cara mengorganisasikan data ke dalam kategori, menjabarkan ke dalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun ke dalam pola, memilih nama yang penting dan yang akan dipelajari, dan membuat kesimpulan sehingga mudah di fahamioleh diri sendiri dan orang lain.7

Adapun tahapan-tahapan yang digunakan dalam analisis data adalah sebagai berikut:

1. Memproses data (unityzing) yaitu mencari dengan cara mengumpulkan data yang berkaitan dengan masalah yang sedang dibahas dari berbagai sumber dan dipelajari secara teliti seluruh data yang sudah terkumpul kemudian satuan-satuannya diidentifikasi.8 Sehubungan dengan penelitian ini penulis mencari buku-buku yang membahas tentang akhlaq, adab, maupun etika menuntut ilmu, kemudian penulis mengidentifikasi masing-masing pemikiran tokoh dalam buku tersebut.

2. Kategorisasi, yaitu data-data yang sudah terkumpul dapat dikelompokkan atas pikiran, pendapat, dan kriteria tertentu yang selanjutnya dikategorisasikan ke dalam isi pembahasan penelitian yang berkaitan.9 Seperti dalam penelitian ini penulis mengkategorisasikan mana pemikiran

7

Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan, (Bandung: Alfabeta, 2010), Cet.ke-11, h.330

8

Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2002), h.190.

9


(37)

tokoh yang sejalan pendapatnya dengan Syaikh ‘Utsaimȋn dan mana yang justru bertolak belakang dengan beliau.

3. Penafsiran data, yaitu setelah tersedia data-data dengan lengkap dan kategorisasi telah dilakukan, maka dilakukan analisis atau penafsiran terhadap data yang tersedia dengan menggunakan analisis, yang akhirnya dilakukan penafsiran kesimpulan dari apa yang telah dibahas.10 Pada tahap ini penulis mengkategorikan mana saja poin yang dapat dikomparasikan terhadap pemikiran tokoh lainnya, kemudian penulis memberikan kesimpulan serta beberapa kritik terhadap pemikiran tokoh tersebut.

10


(38)

27

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A.

Deskripsi Data

1.

Riwayat Hidup Syaikh Muh

ammad bin Shȃli

h Al-

‘Utsaimȋn

Syaikh Al-‘Utsaimȋn lahir pada tanggal 27 Ramadhan 1347 H (8 Maret 1929 M) di kota Unaizah, salah satu kota yang berada di wilayah Qashim, Arab Saudi. Beliau tumbuh dalam keluarga yang sangat mengenal agama dan sikap

istiqamah. Beliau menikah dengan seorang perempuan dan memiliki delapan orang anak, lima laki-laki dan tiga perempun. Beliau wafat pada pukul 6 sore, hari rabu tanggal 15 Syawal 1421 H (10 Januari 2001), di rumah sakit Raja Faisal di Jeddah, Allah subhȃnahu wa ta‟ȃlȃ. mengambil kembali titipan-Nya dan ruh Syaikh ‘Utsaimȋn pun menemui Tuhannya setelah menjalani hidup selama 74 tahun 18 hari.1

2.

Latar Belakang Pendidikan

Syaikh Al-‘Utsaimȋn berjalan di atas jala yang ditempuh salafush shalih

dalam menuntut ilmu. Beliau memulai dengan mengafal al-qur’an saat masih kanak-kanak. Beliau belajar membaca al-qur’an dar kakeknya yang berasal dari

pihak ibunya, yakni Syaikh Abdurrahman bin Sulaiman ‘Ali Damagh.

Kemudian beliau mempeajari Tauhid, Tafsir, Hadits dan Fiqh selama hamper sebelas (11) tahun di Syaikh„Allȃmah Mufassir Abdurrahman Bihman bin

1

Muhammad bin Shȃlih Al-‘Utsaimȋn, Shahih Fiqih Wanita, (Jakarta: Akbar Media Eka


(39)

Nashir As-Sa’di yang merupakan Syaikh pertamanya. Beliau adalah muridnya yang paling menonjol.

Saat Syaikh Al-‘Utsaimȋn meneruskan pendidikan formalnya di Riyadh,

beliau mempresentasikan Shahih Al-Bukhari di hadapan Syaikh Abdul Aziz bin

Baz dan beberapa risalah Ibnu Taimiyah, serta beberapa kitab fiqih.

Ketika Syaikh Abdurrahman bin As-Sa’di meningggal dunia, Syaikh

Al-‘Utsaimȋn dipercaya menggantikannya menjadi imam tetap masjid agung di Unaizah, di samping kegiatan mengajarnya di Ma’had Ilmi. Kemudian beliau pindahuntuk mengajar di dua fakultas, yakni Syari’ah dan Ushul ad-Dȋn, yang

merupakan cabang Universtas Islam Imam Muhammad bin Su’ud di Qashim, dan

juga sebagai anggta dewan ulama besar di Kerajaan Saudi sampai akhir hayatnya. Syaikh-syaikh beliau diantaranya adalah Syaikh Muhammad Al-Amin bin Mukhtar Al-Jakni Asy-Syinqithi, Syaikh ‘Ali bin Muhammad Ash-Shalihi, dan

Syaikh Muhammad bin ‘Abdul ‘Aziz al-Muththawwi’.

3.

Murid-muridnya

Syaikh Al-‘Utsaimȋn sangat memperhatikan (keadaan) murid-muridnya. Murid-murid yang datang kepadanya berasal dari berbagai penjuru dunia karena kepercayaan mereka kepada kekuatan ilmunya, keterampilannya dalam mengajar serta kesih sayangnya terhadap para muridnya, seakan-akan mereka adalah anak-anaknya sendiri.

Perhatiannya terhadap murid-muridnya di antaranya, beliau menyediakan tempat tinggal bagi mereka yang dilengkapi dengan ruang makan, perpustakaan yang kaya dengan buku-buku dan beberapa manuskrip perpustakaan nasional. Beliau juga memantau perkembangan nilai pendidikan mereka, menasehati

mereka untuk ta’at kepada wali amr (penguasa) dalam keta’atan kepada Allah subhȃnahu wa ta‟ȃlȃ. Beliau sendiri sangat tegas terhadap syari‟at Allah, menegakkan syiar-syiar Allah, memerintahkan yang ma‟ruf dan melarang yang munkar.2

2


(40)

4.

Akhlaqnya

Syaikh ‘Utsaimin merupakan gambaran hidup seorang „ lim, ahli ibadah dan peneladan akhlak Rasulullah shallallȃhu „alaihi wa sallam, akhlak beliau adalah (apa yang terkandung dalam) al-Qur’an. Syaikh ‘Utsaimin juga dikenal sangat toleran, santun dan tenang. Orang-orang selalu berkumpul dimana saja dia berada. Mereka mengajukan berbagai pertanyaan dan juga permohonan bantuan, sementara beliau mendengarkan setiap orang dengan penuh perhatian, seakan-akan beliaulah yang khusus mengurus dan membantu mereka. Beliau selalu berusaha membiasakan diri untuk bersabar dan menahan amarah demi mengikuti jejak teladan Nabi Muhammad shallallȃhu „alaihi wa sallam.3

5.

Mazhab Keilmuan

Syaikh Utsaimȋn selalu mengikuti dalil (dalam setiap pembahasannya). Hal ini nampak terlihat dalam syarahnya “Asy-Syarh Ul-mumti‟ „Ala Zȃdil

Mustaqni”. Sekalipun banyak dari masalah yang dikuatkannya sesuai dengan apa yang dipegang oleh “Syaikh Al-Islȃm” dan muridnya. Akan tetapi, terkadang dia menyalahi mereka, berdasarkan dalil. Ada sebuah perkataannya yang lebih berharga dari pada emas, yaitu “temukan dalil sebelum kamu berkeyakinan dan jangan berkeyakinan sebelum kamu menemukan dalil. Jika tidak maka kau pasti

akan celaka”.4

6.

Metode pengajaran

Syaikh Utsaimȋn lebih memfokuskan (metode pengajarannya) pada

penghafalan matan dan meminta para murid untuk menghafalkannya dan

meneruskannya dengan penjelasan dan dengan disertai penelitian masalah di setiap pelajaran, kemudian menjelaskan mana yang terkuat dari perkataan para ulama tanpa ada kecenderungan mengikuti hawa nafsu. Dan juga senang dengan

3

Ibid,. h.xv.

4


(41)

tambahan yang berasal dari murid atau pertanyaan dari mereka, atau bahkan kritikan.

Pada saat menjelaskan suatu (masalah) beliau lebih cenderung kepada dialog dan tanya jawab, setelah mendengar jawaban dari para murid dan dialog mereka.

7.

Karya-karyanya

Beliau mempunyai banyak karya tulis yang bermanfaat, diantaranya adalah:

a. Kitab At-Tauhid

b. Kitab Kasyfu „sy-Syubuhat

c. Kitab Al-Khabȃir

d. Kitab Tsalȃtsatu „i-Ushul

e. Kitab Mukhtashorul Inshof wa „sy-Syarhul Kabir

f. Kitab Mukhtashor Zadul Ma‟ad

g. Beliau mempunyai fatwa-fatwa dan makalah-makalah yang dihimpun

dan diberi judul Majmu‟atu Mu‟allafatil Imam Muhammad bin Abdul

Wahab yang disusun di bawah koordinasi Universitas Muhammad bin

Su’ud.5

B.

Pembahasan

Ciri khusus ummat Islam adalah beradab yang santun, berakhlak mulia, serta bersikap yang shalih. Syaikh Muhammad bin Shȃlih Al-‘Utsaimȋn merupakan salah satu ulama yang menaruh perhatian besar terhadap kondisi ummat muslimin, khususnya permasalahan pendidikan. Oleh karena itu, beliau merasa perlu untuk memberikan solusi dari permasalahan yang terjadi, salah satunya adalah etika-etika dalam menuntut ilmu yang harus dimiliki oleh para penuntut ilmu, yaitu sebagai berikut:

5

Muhammad bin Shȃlih Al-‘Utsaimȋn, Syarah Tsalȃsatul Ushȗl: Mengenal Allah, Rasul,


(42)

1.

Niat

Niat secara bahasa artinya tujuan atas suatu perbuatan, maksud yang tersimpan dalam hati; kehendak yang belum dilahirkan; janji untuk melakukan sesuatu; nadzar.6 Menurut Syaikh Utsaimȋn, seorang penuntut ilmu harus memaksudkan mencari ilmu untuk mendapatkan wajah Allah dan negeri akhirat, karena Allah mendorong dan menekankan hal itu kepada manusia. Jadi, apabila seseorang berniat mencari ilmu hanya untuk memperoleh ijazah, agar dengan ijazah itu dia mendapatkan kedudukan atau penghasilan, maka dia tidak akan mencium aroma surga. Rasulullah shallallȃhu „alaihi wa sallambersabda,

ِها َهْجَو ِهِب ْيِغَتْبَ ي اًمْلِع َمملَعَ ت ْنَم

اًضَرَع ِهِب َبْيِصُيِل ماِإ ُهُمملَعَ تَ ي َا

ْدََِ ََْ اَيْ ندلا َنِم

. ِةَم اَيِقْلا َمْوَ ي ِةمنَْْا َفْرَع

“Barangsiapa mencari ilmu yang seharusnya ditujukan untuk mengharap wajah Allah subhȃnahu wa ta‟ȃlȃ, lalu tidaklah dia mempelajarinya melainkan untuk mencari keuntungan dunia, maka dia tidak akan mencium aroma surga”

(HR.Imam Ahmad)7

Pendapat Syaikh Utsaimȋn tersebut sejalan dengan pendapat Al-Zȃrnuji dalam kitabnya ta‟lȋm muta‟allim yang mengatakan bahwa seyogyanya bagi para pencari ilmu harus berniat waktu belajar, supaya ilmu yang mereka cari tidaklah sia-sia. Sebab niat itu menjadi pokok dari segala hal.8 Begitu juga Muhammad

Athiyah Al-Abrasyi dalam bukunya beberapa pemikiran pendidikan Islam

mengatakan bahwa sebelum belajar seorang penuntut ilmu hendaknya memulai dengan mensucikan hatinya dari sifat-sifat kehinaan, sebab proses menuntut ilmu termasuk ibadah dan keabsahan ibadah harus disertai dengan kesucian hati, serta

6

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002),Edisi ke-3, h.782.

7

Muhammad bin Shȃlih Al-‘Utsaimȋn, Panduan Lengkap Menuntut Ilmu (Terjemah

Kitȃbul „Ilmi), Penerjemah: Abu Haidar Al-Sundawy, (Jakarta: Pustaka Ibnu Katsir, 2006), h.25.

8 Aliy As’ad

, Bimbingan Belajar bagi Penuntut Ilmu (Terjemah Ta‟lim Muta‟allim),


(43)

mengorientasikan belajarnya dalam rangka memperbaiki dan menghiasi jiwanya dengan sifat-sifat mulia.9

Namun lanjut Syaikh Utsaimȋn, jika seorang penuntut ilmu mengatakan,

“Saya ingin memperolah ijazah bukan untuk kepentingan dunia, akan tetapi

karena sistem yang berlaku menjadikan orang alim diukur dengan ijazahnya”,

maka kita katakan bahwa apabila niat seseorang memperolah ijazah agar bisa memberi manfaat kepada orang lain dengan cara mengajar, administrasi atau semisalnya maka ini adalah niat yang selamat dan tidak mengandung mudharat sedikit pun karena ini dalah niat yang benar.10

Berdasarkan pendapat beliau di atas tidak sepantasnya bagi para penuntut ilmu bila hanya bertujuan keduniawiaan belaka serta menyampingkan tujuan akhirat, karena pada hakikatnya dunia hanyalah tempat singgah bagi kita untuk mempersiapkan diri menuju kehidupan akhirat. Jangan sampai ada sifat-sifat tercela dalam hati penuntut ilmu seperti:

a. Hasad (dengki), yaitu sifat yang tidak senang orang lain mendapatkan nikmat dan mengharapkan agar nikmat itu hilang dari orang lain. Orang yang memiliki sifat hasad akan terjerumus ke dalam beberapa bahaya, dintaranya; dia sudah membenci dan menentang apa yang telah ditetapkan oleh Allah subhȃnahu wa ta‟ȃlȃ, sifat hasad tersebut akan memakan kebaikan-kebaikan sebagaimana api akan memakan kayu bakar, hatinya akan selalu sedih karena dengki setiap kali melihat kenikmatan yang Allah berikan kepada orang lain, sifat hasad

menyerupai sifat orang Yahudi, hasad dapat mengakibatkan

berpalingnya seseorang dari memohon kepada Allah, meremehkan nikmat yang Allah telah berikan kepada dirinya.

9

Muhammad Athiyah Al-Abrasyi, Beberapa Pemikiran Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1996), h.73.

10


(44)

b. Kibr (sombong), adalah menolak kebenaran dan meremehkan (merendahkan) manusia. Merasa dirinya memiliki ilmu yang lebih tinggi dari orang lain dan merasa dirinya „alim padahal belum layak.

c. Fanatik madzhab, penuntut ilmu wajib menghindari sikap berkelompok

dan bergolongan.

d. Su‟udzhan (buruk sangka), baik itu kepada sesama teman ataupun guru apalagi tanpa alasan yang jelas.11

Al-Ghazali pun mengatakan dalam bukunya ihya‟ „ulumiddin bahwa usaha dalam memperoleh ilmu dan pengetahuan lainnya adalah melalui amalan jiwa, yaitu mengutamakan kesucian jiwa dari akhlak yang tercela.12 Dapat terlihat dari pemikiran para ulama tersebut sangat mengutamakan niat yang baik dalam setiap perbuatan manusia apalagi dalam hal menuntut ilmu.

Sudah seharusnya dalam menuntut ilmu seseorang mengutamakan keikhlasan semata-mata karena Allah ta‟ȃlȃ, dan seseorang tidak akan mendapatkan ilmu yang bermanfaat jika ia tidak ikhlas karena Allah. Banyak sekali ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi shallallȃhu „alaihi wa sallam yang memerintakhan kita untuk ikhlas, diantaranya yaitu firman Allah subhȃnahu

wa ta‟ȃlȃberikut:

                                 

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian

Itulah agama yang lurus”. (QS. Al-Bayyinah:5)13

11

Ibid,. h.81-97

12

Al-Ghazali, Ihyȃ „Ulumiddin: Ilmu dan Keyakinan, (Jakarta: Republika Penerbit, 2011), h.109.

13

Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur'an dan Terjemahannya, (Jakarta: Syȃmil Cipta Media, 2005)


(45)

Jika dilihat dari kondisi saat ini, sepertinya masih jauh dari yang diharapkan oleh para ahli pendidikan Islam tersebut. Sebab masih banyak para penuntut ilmu yang lebih mengutamakan kepentingan pribadi yang bersifat duniawi. Hal ini sulit untuk dipungkiri, karena kebanyakan dari mereka sudah terkontaminasi oleh gemerlap kehidupan dunia. Namun, pandangan tersebut bukan berarti menafikan orang-orang yang secara ikhlas mencari ilmu.

2.

Menghilangkan Kebodohan

Syaikh Utsaimȋn berpendapat bahwa seeorang penuntut ilmu harus meniatkan dalam menuntut ilmu untuk menghilangkan kebodohan dari dirinya dan dari orang lain karena pada asalnya manusia adalah bodoh.14 Dalil tentang hal ini adalah firman Allah ta‟ala:

                             

Dan Allah telah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur”. (QS. An-Nahl: 78)15

Menurut Syaikh Utsaimȋn, apabila engkau belajar dan engkau menjadi ulama maka hilanglah kebodohan itu dari dirimu, demikian pula engkau harus berniat menghilangkan kebodohan dari umat dengan cara mengajari mereka dengan berbagai cara agar manusia bisa mengambil manfaat dari ilmumu.16

Jadi, tidak aneh jika Allah subhȃnahu wa ta‟ȃlȃ menurunkan wahyu-Nya pertama kali tentang perintah untuk menuntut ilmu. Sebab kondisi Rasulullah

14

Muhammad bin Shȃlih Al-‘Utsaimȋn, Op. cit., h.27.

15

Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur'an dan Terjemahannya,….

16


(46)

pada saat itu masih ummi (tidak bisa baca tulis), sedangkan beliau harus berdakwah kepada umatnya untuk menuju pada dȋnul haq.

Apabila engkau mengajarkan ilmu kepada seseorang, lalu orang itu mengajarkan kembali ilmu tersebut kepada orang lain, maka engkau akan memperoleh pahala dua orang. Jika dia mengajarkan kembali ilmu tersebut kepada orang ketiga, maka engkau akan memeperoleh pahala orang ketiga, dan begitu seterusnya17.

Ajaran al-Qur’an dan as-Sunnah diantaranya mendidik masyarakat untuk menumbuhkan kreatifitas berfikir dan pengkajian ilmiah adalah pemasyarakatan pengajaran dan pemberantasan buta huruf yang sempat melanda bangsa Arab waktu itu, sampai-sampai mereka digelari oleh bangsa-bangsa lainnya dengan sebutan “bangsa yang buta huruf”18, bahkan al-Qur’an sendiri mengatakan:

                                    

Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka kitab dan Hikmah (As Sunnah). dan Sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata”.

(QS. Al-Jumu’ah: 2)19

Al-Ghazali pun berpendapat bahwa seorang penuntut ilmu hendaknya mengurangi ketepautannya terhadap hal-hal yang bersifat duniawi dan berusaha mencari tempat yang kondusif untuk bisa fokus dalam menuntut ilmu. Ahli hikmah berkata:

“Seluruh bagian ilmu tidak akan diberikan kepada kalian, sampai kalian

mampu menundukkan seluruh jiwa kalian secara utuh kepadanya (mengabdi untuk ilmu), dengan kata lain bahwa ilmu tidak akan

17

Ibid., h.28

18

Yusuf al-Qardhawi, Konsepsi Ilmu dalam Persepsi Rasulullah saw: Tentang Rasulullah

dan Ilmu Eksperimen, (Jakarta: CV Firdaus, 1994), h. 23.

19


(47)

memberimu walau sebagian saja, sampai engkau memberikan dirimu utuh

kepadanya”.20

Dapat ditarik pesan dari perkataan tersebut, bahwa bagaimanapun seseorang yang telah memiliki ilmu, maka ilmu tersebut tidak akan memberikan manfaat kepada dirinya jika tidak diamalkan dengan berusaha mengajarkannya kepada orang lain. Tetapi jika ilmu tersebut diajarakan kepada orang lain, maka bermanfaatlah ilmu tersebut sehingga dapat terwujud pula kepandaian pada dirinya dan pada orang yang diajarkannya.

3.

Membela Syari’at

Makna Islam secara umum adalah beribadah kepada Allah subhȃnahu wa

ta‟ȃlȃ dengan syari’at yang telah ditetapkan-Nya, sejak Allah mengutus para Rasulhingga terjadinya hari kiamat kelak. Sedangkan Islam dalam arti khusus setelah diutusnya Nabi Muhammad shallȃllahu „alaihi wasallam adalah syari’at yang di bawa oleh Nabi shallȃllahu „alaihi wasallam. Sebab syari’at yang di bawa oleh Nabi shallȃllahu „alaihi wasallam telah menghapuskan seluruh syari’at terdahulu.21

Membela syari’at yang dimaksud Syaikh Utsaimȋn, yaitu berniat mencari

ilmu untuk membela syari’at, karena kitab-kitab tidak mungkin bisa membela

syari’at. Tidak ada yang bisa membela syari’at kecuali pembawa syari’at. Syaikh

Utsaimȋn berkata:

“Jika seseorang dari kalangan ahli bid’ah datang ke sebuah perpustakaan

yang dipenuhi oleh kitab-kitab syari’at dengan jumlah yang tak terhitung,

lalu dia berbicara dengan kebid’ahannya dan memperkuat ucapannya,

maka saya yakin bahwa tidak ada satu kitab pun yang akan membantah

ucapannya. Akan tetapi apabila dia berbicara tentang kebid’ahannya di

hadapan seorang ahli ilmu untuk menguatkan kebida’ahannya, maka penuntut ilmu itu akan membantahnya dan mematahkan omongannya dengan al-Qur’an dan as-Sunnah”.22

20

Al-Ghazali, Ihyȃ „Ulumiddin: Ilmu dan Keyakinan,…h.112

21

Muhammad bin Shȃlih Al-‘Utsaimȋn, Syarah Tsalȃtsatul Ushȗl: Mengenal Allah, Rasul

dan Dȋnul Islam, (Solo: Al-Qowam, 2005), h.13.

22


(48)

Wajib bagi kita untuk menghindari ahli bid’ah dan perancang kebid’ahan

yang memolesnya dengan sesuatu yang menarik dan mempesona. Merekalah orang-orang yang mengikuti hawa nafsunya dalam masalah aqidah, namun menanamkannya dengan dalil akal.23

Intinya adalah tidak ada akal sehat yang akan bertentangan dengan dalil yang shahih dari al-Qur’an dan as-Sunnah. Sehingga sudah seharusnya kita mengkaji setiap apa yang kita pelajari, jangan hanya taqlid kemudian

membenarkan apa yang dilarang oleh syari’at. Apabila kita menemukan dalil yang

shahih, maka jangan sekali-kali kita menentangnya dengan alasan itu tidak sejalan dengan akal pikiran kita sebagai manusia.

Salah satu cara agar penuntut ilmu dapat membela syari’at yaitu dengan

menjadikan dirinya seorang hamba yang bertaqwa, karena taqwa merupakan wasiat Allah subhȃnahu wa ta‟ȃlȃ dan Rasul-Nya bagi seluruh manusia, baik generasi awal maupun generasi akhir. Adanya taqwa, dapat membuat seorang hamba membuat penghalang antara dirinya dengan sesuatu yang ditakutinya sehingga bisa menjaganya dari apa yang ditakutinya itu. Taqwa seorang hamba kepada Allah subhȃnahu wa ta‟ȃlȃ artinya dia menjadikan penghalang antara dirinya dengan murka dan kebencian Allah yang amat dia takuti dengan penghalang yang bisa menghalanginya dari kemurkaan-Nya dengan cara

melaksanakan keta’atan kepada-Nya dan menjauhi maksiat kepadanya.24

Ketahuilah, bahwa Allah subhȃnahu wa ta‟ȃlȃ menjadikan manusia di muka bumi ini sebagai makhluk yang berakal, adanya akal tersebut untuk mempelajari kekuasaan-Nya dengan mengkaji ilmu-ilmu pengetahuan serta dapat membedakan mana yang benar dan mana yang keliru.

23

Muhammad bin Shȃlih Al-‘Utsaimȋn, Syarah Adab dan Manfaat Menuntut Ilmu,…h.126.

24


(49)

4.

Berlapang Dada dalam Masalah

Ketahuilah, bahwa akan selalu ada di antara kita sekelompok orang yang berusaha menjerumuskan umat Islam ke dalam pemahaman sesat mereka, dengan mengatasnamakan apa yang mereka anut itu sebagai ajaran yang bersumber dari para sahabat dan generas salaf yang shalih. Mereka gemar meletakkan urusan khilafiyah umat di depan urusan umat lainnya, dengan dalih memusyawarahkan sesuatu yang diperintahkan dalam agama Islam.25

Sering kali perdebatan menimbulkan perselisihan atau perdebatan yang akhirnya akan berujung pada permusuhan dan pertengkaran. Hal semacam inilah yang tidak seharusnya dilakukan oleh orang-orang yang berilmu, karena pada dasarnya permasalahan itu harus dicari solusi kebenarannya bukan untuk mencari-cari kesalahan orang lain.

Menurut Syaikh Utsaimȋn, penuntut ilmu harus berlapang dada dalam (menghadapi) permasalahan yang diperselisihkan yang bersumber dari hasil ijtihad. Karena masalah-masalah yang diperselisihkan di antara para ulama bisa jadi dalam masalah-masalah yang tidak dibolehkan berijtihad di dalamnya dan masalahnya sudah amat jelas, maka dalam masalah ini tidak seorang pun boleh berselisih, atau bisa juga dalam masalah yang dibolehkan berijtihad di dalamnya, maka dalam masalah ini orang-orang boleh berselisih pendapat.26

Perdebatan ada dua macam; pertama,perdebatan untuk membodohi orang

bodoh dan menantang orang pintar agar bisa mengalahkannya, perdebatan ini tercela. Kedua, perdebatan untuk mencari kebenaran meskipun kebenaran tersebut ada pada lawan debatnya. Perdebatan yang ini diperintahkan.

Hal tersebut sejalan dengam firman Allah subhȃnahu wa ta‟ȃlȃ:

                                           25

Al-Ghazali, Ihyȃ „Ulumiddin: Ilmu dan Keyakinan,…h.100.

26


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)