164
Pasal 20 1
Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang.
2 Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan
Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama. 3
Jika rancangan undang-undang itu tidak mendapat persetujuan bersama, rancangan undang-undang itu tidak boleh diajukan lagi
dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu. 4
Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi undang-undang.
5 Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama
tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangan
undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.
Dengan ketentuan sebagaimana telah disebutkan diatas, maka setelah amandemen UUD 1945 telah terjadi perubahan yang mendasar
dalam bidang kekuasaan legislatif di Indonesia. Yang mana sebelum adanya amandemen kekuasaan legislatif berada ditangan presiden,
namun setelah amandemen kekuasaan legislatif tersebut berpindah ke tangan DPR.
a.2.2. Dewan Perwakilan Daerah.
Dewan Perwakilan Daerah merupakan lembaga legislatif yang lahir setelah adanya amandemen UUD 1945. Keberadaan DPD adalah
untuk mengakomodir kepentingan yang ada di daerah dalam proses politik di lembaga legislatif maupun dalam perumusan kebijakan dan
pembangunan daerah yang dilakukan oleh pemerintah. Dalam rapat Pleno PAH I BP MPR, ada usulan agar kekuasaan
legislatif di Indonesia dilakukan oleh dua kamar bicameral system. Hal ini agar tidak terjadi monopoli oleh satu badan saja dan untuk lebih
meningkatkan kualitas dari undang-undang. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh Affan Gaffar.
Mengenai sistem bikameral, ada kehendak yang sangat kuat dalam masyarakat sepanjang yang diamati melalui wacana di media massa dan
165
seminar-seminar agar negara Indonesia mengadopsi sistem bikameral. Alasan-alasan normatif, apakah yang dapat digunakan atau yang
umumnya digunakan untuk mengadopsi sitem ini. Menurut hemat saya, paling tidak ada dua alasan yang sangat fundamental. Pertama, dalam
rangka penciptaan mekanisme check and balances. Mekanisme ini dianut bagi sebuah demokrasi dalam rangka menghindarkan diri dari
kesewenang-wenangan dari salah satu lembaga atau badan, ataupun disalahgunakannya lembaga tertentu oleh orang perorangan. Disamping
itu juga dalam rangka menghilangkan sistem monopoli dalam perundang-undangan, sehingga UU dihasilkan oleh badan legislatif
menjadi lebih baik dan lebih sempurna. Kedua, mekanisme ini diciptakan dalam rangka meningkatkan derajat keterwakilan degree of
representatif mass dari masyarakat, apalagi dengan sistem distribusi penduduk yang tidak merata dalam wilayah negara. Dengan sistem
bikameral ini, maka terbentuk mekanisme check and balances di antara kedua lembaga legislatif, tidak hanya antara presiden dengan DPR dan
MA.
48
Usulan pembentukan DPD dilandasi oleh semangat check and balances di dalam lembaga legislatif, agar kualitas produk perundang-
undangan lebih aspiratif dikemukakan oleh Marwan Batubara anggota DPD DKI. Marwan Batubara mengatakan bahwa:
Tujuannya, supaya lembaga itu ada yang mengimbangi dan mengawasi yaitu checks and balances. Kalau sekarang ini, sendirian atau
sebelumnya sendirian. Misalnya ada beberapa produk UU DPR yang diajukan judicial review oleh masyarakat ke MK, yang hasilnya adalah
MK menolak apa yang telah dibuat oleh DPR itu, seperti UU Ketenagalistrikan yang semuanya ditolak, dan energi yang sebagian
ditolak produk UU-nya. Karena produknya tidak aspiratif, tidak sesuai dengan rakyat, dan dihasilkan karena sistemnya atau DPR-nya
sendirian. Dalam hal ini istilahnya check and balances agar efektif. Sistem dua kamar diterapkan dalam lembaga parlemen, agar produk
yang dihasilkan lebih baik. Bila sendirian kurang baik atau tidak efektif.
49
Adapun Theo L. Sambuaga dari F-PG menguraikan mengenai mekanisme pembuatan UU antara DPR dengan DPD.
48
Efriza dan Syafuan Rozi, Parlemen Indonesia Geliat Volkraad Hingga DPD: Menembus Lorong Waktu Doeloe, Kini dan Nanti, Alfabeta, Bandung, 2010, hlm.
245.
49
Op cit, hlm. 250-251.
166
RUU yang menyangkut APBN, otonomi daerah, hubungan kekuasaan dan keuangan pusat dan daerah, pemekaran wilayah dan perubahan
batas wilayah serta pengelolaan sumber daya alam harus mendapat persetujuan DUD sebelum diajukan dan diundangkan oleh Presiden.
RUU yang telah disetujui oleh DPR dan DUD, tetapi ditolak oleh Presiden, dinyatakan menjadi UU apabila disetujui oleh 23 anggota
DPR dan 23 anggota DUD atau tidak lagi dibahas dan diajukan pada DPR dan DUD pada masa sidang tersebut apabila gagal memperoleh
ketentuan persuaraan tersebut.
50
Akhirnya dari usulan dan pendapat yang muncul pada saat rapat PAH BP MPR dan setelah melalui proses lobi antar fraksi-fraksi di
MPR, akhirnya disepakati mengenai pembentukan DPD. Kesepakatan tersebut adalah:
Anggota DPD dipilih dari setiap provinsi melalui pemilu, jumlahnya di setiap provinsi sama dan tidak lebih dari 13 jumlah anggota DPR, dan
DPD dapat mengajukan kepada DPR rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah;
pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya serta perimbangan
keuangan pusat dan daerah.”
51
Dengan adanya kesepakatan tersebut maka susunan, kedudukan dan kewenangan DPD secara konstitusional diatur dalam Bab VII A
tentang DPD yaitu Pasal 22C dan Pasal 22D UUD NRI 1945. Tentang susunan dan kedudukan DPD diatur dalam Pasal 22C jo Pasal 22D ayat
4 UUD NRI 1945. Adapun kewenangan yang dimiliki oleh DPD diatur dalam
Pasal 22D jo Pasal 23F ayat 1 UUD NRI 1945.
Pasal 22 D 1
Dewan Perwakilan Daerah Dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat rancangan undang-undang yang berkaitan
dengan otonomi daerah hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemeikaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber
daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
50
Valina Singka Subekti, Loc Cit, hlm. 216.
51
Ibid.
167
2 Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan undang-
undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabunga daerah;
pengelolaan submer daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan antara pusat dan daerah; serta memberikan
pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara dan
rancangan undang-undangan yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama.
Dengan mendasarkan kepada kedua kewenangan DPD sebagaimana diatur dalam Pasal 22D ayat 1 dan ayat 2 diatas maka
DPD tidak mempunyai fungsi legislasi melainkan hanya berfungsi sebagai co-legislative, yaitu lembaga yang hanya menjadi penunjang
terhadap fungsi legislasi yang dimiliki oleh DPR. Alasan mengapa DPD tidak mempunyai fungsi legislasi karena dalam fungsi legislasi
harus memenuhi proses-proses berikut: 1 Prakarsa pembentukan RUU; 2 Pembahasan RUU; 3 Persetujuan RUU; 4 Pengesahan
RUU; 5 Pengundangan RUU. Proses inilah yang tidak dipenuhi oleh DPD. DPD hanya
memenuhi dua proses saja didalam legislasi yaitu dapat mengajukan RUU dan ikut membahas RUU. Dengan dua proses itulah DPD tidak
mempunyai fungsi legislasi. Bahkan kata “dapat” mengajukan RUU menjadikan DPD tidak mempunyai kekuasaan legislatif yang efektif
untuk menjadi salah satu institusi yang mengajukan RUU. Hal ini berbeda dengan rumusan dalam Pasal 5 ayat 1 yang menyebutkan
Presiden “berhak” mengajukan RUU. Selain hal tersebut kata “ikut membahas” yang dimiliki DPD maka memposisikan DPD tidak
168 sebanding
dengan wewenang Presiden dan DPR yang ikut pembahasan dan persetujuan bersama” dalam fungsi legislasi.
52
b. Kekuasaan Eksekutif.