Demokrasi. UNSUR-UNSUR NEGARA HUKUM PANCASILA YANG

148 1 Sebelum memangku jabatannya, Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama, atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan Majelis Permusyawaratan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat sebagai berikut: Sumpah Presiden Wakil Presiden: “Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia Wakil Presiden Republik Indonesia dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang- Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa”. Janji Presiden Wakil Presiden: “Saya berjanji dengan sungguh-sungguh akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia Wakil Presiden Republik Indonesia dengan sebaik-baiknya dan seadilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa”.

4. Demokrasi.

Negara hukum pada dasarnya tidak bisa dilepaskan dengan asas demokrasi. Adanya asas demokrasi dalam negara hukum maka disebut sebagai negara hukum demokratis democratische rechtsstaat. Dengan kata lain bahwa dalam setiap negara hukum harus di jamin adanya demokrasi, sebagaimana dalam setiap negara demokrasi harus dijamin penyelenggaraannya berdasarkan atas hukum. Baik UUD 1945 pra maupun pasca amandemen secara eksplisit tidak ada yang mengatur bahwa Indonesia adalah negara demokrasi. Namun demikian bukan berarti bahwa Indonesia tidak sebagai negara demokrasi. Secara implisit Indonesia adalah sebagai negara demokrasi, hal ini sebagaimana di rumuskan dalam Pembukaan UUD 1945 jo Pasal 1 ayat 2 UUD 1945 jo Pasal 1 ayat 2 UUD NRI 1945. Pembukaan UUD 1945 menyebutkan bahwa: ................................ susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan mendasarkan kepada Ketuhanan Yang 149 Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pasal 1 ayat 2 UUD 1945. Kedaulatan berada ditangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR. Pasal 1 ayat 2 UUD NRI 1945. Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD. Dengan demokrasi maka setiap warga negara dapat menggunakan hak politiknya dalam menentukan jalannya negara. Demokrasi juga berfungsi untuk mengontrol negara hukum. sebagaimana diketahui bahwa demokrasi diartikan dengan pemerintahan oleh rakyat, dari rakyat dan untuk rakyat. Dengan demikian maka dalam suatu negara demokrasi diharuskan adanya keikutsertaan rakyat dalam pembuatan dan pengambilan keputusan. Salah satu bentuk keikutsertaan rakyat tersebut adalah dalam hal pelaksanaan pemilu. Terkait dengan masalah pemilu, baik di dalam pembukaan, batang tubuh maupun dalam Penjelasan UUD 1945 pra amandemen tidak ada pengaturan mengenai pemilu. Tidak adanya pengaturan mengenai Pemilu dalam UUD 1945 dikarenakan Pemilu dianggap tidak terlalu istimewa untuk diatur di dalam UUD 1945. Sebagaimana yang dikatakan oleh Soepomo pada waktu Rapat PPKI pada tanggal 15 Juli 1945. Dalam hal ini Soepomo mengatakan bahwa: Kedua tentang pemilihan. Hal-hal yang tidak begitu istimewa tidak perlu masuk UUD. 28 Namun demikian tidak berarti bahwa UUD 1945 tidak menghendaki adanya Pemilu di Indonesia. Secara implisit bahwa UUD 28 Muhammad Yamin, Loc Cit, hlm. 312. 150 1945 juga menghendaki adanya pemilu terlihat dari Pasal 2 ayat 1 jo Pasal 6 ayat 2 UUD 1945. Pasal 2 ayat 1 Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri dari anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat, di tambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan menurut aturan yang ditetapkan. Pasal 6 ayat 2 Presiden dan wakil presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan rakyat dengan suara yang terbanyak. Sementara itu ketentuan mengenai Pemilu dalam perubahan UUD 1945 telah mendapatkan landasan konstitusional yang tegas. Landasan konstitusional terhadap pemilu ini dimaksudkan untuk lebih memberikan kepastian hukum dan landasan hukum bagi Pemilu sebagai salah satu pelaksanaan kedaulatan rakyat atau demokrasi. Hal ini sebagaimana yang diamanatkan oleh Pasal 1 Ayat 2 UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD. Pentingnya Pemilu di letakkan dalam bab khusus dalam UUD 1945 menyangkut alasan bahwa Pemilu dianggap sebagai simbol kedaulatan rakyat yang menjadi prinsip penyelenggaraan negara . Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Hamdan Zoelva dari F-PBB dalam Rapat PAH I BP MPR ke-3 pada 6 Desember 1999. Menurutnya, di era reformasi, tuntutan untuk lebih menegaskan implementasi kedaulatan rakyat itu harus di jawab dengan pengaturan Pemilu sebagai mekanisme perwujudan kedaulatan rakyat tersebut secara lebih jelas dalam UUD 1945. Hamdan menuturkan sebagai berikut. “2. ...Kami berkeyakinan bahwa tidak ada perdebatan mengenai kedaulatan itu ada di tangan rakyat karena inilah satu esensi dari sebuah negara demokrasi. Yang menjadi persoalan adalah bagaimana bentuk dan pengejewantahan kedaulatan rakyat itu dalam praktik kenegaraan serta bagaimana proses pelaksanaannya sehingga meminimalisir tuntutan-tuntutan jalanan yang mengatasnamakan rakyat seperti yang 151 terjadi selama masa reformasi ini. Karena itu kita selayaknya membicarakan kembali kedaulatan rakyat yang dijalankan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Ayat 2 Undang- Undang Dasar 1945. Dalam kaitan inilah kiranya perlu diatur di dalam Undang-Undang Dasar ini mengenai pemilihan umum sebagai bentuk pengungkapan dan pengejewantahan kedaulatan rakyat itu ”. 29 Perihal pendapat Hamdan Zoelva tentang pemilu juga mendapat dukungan dari F-KKI. Di sampaikan oleh Anthonius Rahail, F-KKI pada rapat PAH I BP MPR ke-4, tanggal 7 Desember 1999, yang mengagendakan pengantar musyawarah fraksi-fraksi MPR, beliau menyatakan. “3. Sebagai salah satu ciri utama suatu negara demokrasi haruslah ada Pemilihan Umum. Karenanya, rumusan mengenai pemilu ini harus dimasukkan secara eksplisit dalam Pasal-pasal UUD ”. 30 Fraksi berikutnya yang menyampaikan pandangannya mengenai pentingnya pemilu di atur dalam UUD 1945 adalah F-PDIP dengan juru bicara Hobbes Sinaga. Hobbes Sinaga menegaskan pandangan fraksinya bahwa, mengingat pentingnya makna Pemilu bagi negara demokrasi, harus dibuatkan bab baru mengenai pemilu dalam UUD 1945. “Memang sangat unik. Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara demokrasi yang berkedaulatan rakyat dan mempunyai lembaga perwakilan rakyat, tapi tidak mengatur tentang pemilihan umum ”. 31 Lebih lanjut menurut Hobbes Sinaga, tidak diaturnya pemilu dalam konstitusi di masa lalu memiliki dampak yang sangat serius. Beliau mengingatkan dengan tidak diaturnya pemilihan umum di dalam 29 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Latar Belakang, Proses dan Hasil Pembahasan 1999-2002, Buku V: Pemilihan Umum, Edisi Revisi, Sekretaris Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2010, hlm. 509- 510. 30 Op Cit, hlm. 510. 31 Op Cit, hlm. 516. 152 UUD maka pelaksanaan pemilu di Indonesia yang selama ini di atur dalam UU yang lebih banyak menguntungkan penguasa. Sebagai sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat, pemilihan umum haruslah dilakukan secara jujur dan adil. 32 Setelah F-PDIP selanjutnya giliran F-PG menyampaikan pandangannya. Juru bicara F-PG Andi Mattalatta melihat pemilu adalah hal penting sebagai instrumen transformasi kedaulatan rakyat yang perlu disinggung dalam Konstitusi. Andi Mattalata menyatakan berikut ini. “Kami dari Fraksi Partai Golkar memandang urusan pemilu ini adalah urusan yang penting dan itu kami pun sepakat kalau hal ini disinggung di dalam Konstitusi kita. Hanya Fraksi Partai Golkar memandang pemilu ini sebagai sebuah instrumen transformasi kedaulatan rakyat, dari rakyat terhadap lembaga-lembaga yang dia pilih untuk mewakili dia. Dari rakyat terhadap lembaga-lembaga yang dia tugasi untuk mengurus dia. Dan dari rakyat terhadap hal-hal yang harus dia pilih tentang sesuatu hal ”. 33 Oleh karenanya, menurut F-PG, pemilu hendaknya diatur sebagai aksesoris terhadap kegiatan pengejawantahan kedaulatan rakyat. “Jadi, kami memandang bahwa pemilu ini adalah instrumen untuk menyatakan sikap baik memilih orang untuk mewakili dia, memilih orang untuk ditugaskan kalau nanti kita sepakat Presiden dipilih langsung, maupun untuk memilih sikap karena adanya pilihan-pilihan tertentu seperti referendum, misalnya. Berdasarkan itu, dengan menitikberatkan bahwa pemilu ini adalah sebuah instrumen maka Fraksi Golkar memandang hendaknya pemilu diatur sebagai aksesoris terhadap kegiatan-kegiatan itu. Kalau dia merupakan instrumen untuk memilih wakilnya, kita tempatkan dia dalam proses pemilihan wakil rakyat. Kalau kita pandang dia sebagai instrumen untuk mewakili lembaga yang akan ditugasi untuk mengurus dia, misalnya memilih Presiden, memilih gubernur diatur di situ. Kalau kita pandang pemilu 32 Op Cit, hlm. 516-517. 33 Op Cit, hlm. 518. 153 sebagai instrumen untuk menyatakan sikap-sikap tertentu, kita atur pada hal-hal itu ”. 34 Pendapat selanjutnya di kemukakan oleh Ali Hardi Demak dari F-PPP, menurutnya Pemilu merupakan pengejawantahan dari kedaulatan rakyat yang dilakukan sekurang-kurangannya lima tahun sekali yang bertujuan untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, anggota DPR, anggota DPD dan anggota DPRD. “...pertama pemilu itu merupakan pengejawantahan dari kedaulatan rakyat. Yang kedua, bahwa pemilu itu dilaksanakan sekurang-kurangnya lima tahun sekali dan oleh ada pengecualian sesuai dengan kebutuhan yang terjadi dalam perkembangan kehidupan bernegara ataupun yang terjadi dalam kehidupan demokrasi di daerah. Yang ketiga, bahwa pemilu itu dapat dilakukan untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden dalam satu paket. Untuk memilih anggota DPR, untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah dan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ”. 35 Sementara itu, materi yang diusulkan F-KB mengenai Pemilu adalah sebagai berikut. “Yang berikutnya, dalam kaitan wilayah ini. Akan ada pemilu yang dilaksanakan untuk pemilihan gubernur, bupati, dan atau walikota. Yang itu tentu waktunya tidak bisa ditetapkan karena menyangkut masa bakti dari masing-masingnya. Yang ketiga, menyangkut tentang prinsip pelaksanaan pemilu secara serentak yang bersifat nasional maupun yang bersifat lokal, dilaksanakan dengan prinsip jujur, adil, langsung, umum, bebas, rahasia. Yang berikutnya, yang berkaitan dengan lembaga atau badan yang melaksanakan. Saya kira kita sudah mengambil keputusan kemarin dalam undang-undang, dalam revisi itu bahwa kita sepakat semua fraksi menetapkan adanya KPU yang mandiri yang profesional, yang non partisan, dengan penjelasan yang sudah disepakati juga, makna dari non partisan itu. Kaitan dengan itu berarti pemilu dilaksanakan yang bersifat nasional oleh lembaga itu,... ” 36 34 Op Cit, hlm. 519. 35 Op Cit, hlm. 520-521. 36 Op Cit, hlm. 521-522. 154 Dengan usulan dan pendapat yang bermunculan dalam sidang PAH BP MPR tersebut maka pengaturan mengenai Pemilu disetujui untuk di atur dalam UUD 1945. Sehingga UUD 1945 amandemen, pengaturan mengenai Pemilu mendapat landasan konstitusional yang di atur secara khusus dalam Bab VII B Tentang Pemilu yaitu dalam Pasal 22E. Pasal 22E mengatur bahwa: Pasal 22E 1 Pemilihan Umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil dalam setiap lima tahun sekali. 2 Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. 3 Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah Partai Politik. 4 Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah adalah perseorangan. 5 Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri. 6 Lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan undang- undang. Selain diatur secara khusus dalam Pasal 22 E, Pemilu juga diatur secara tersebar dalam beberapa Pasal dalam UUD 1945. Pasal- pasal tersebut yaitu Pasal 6A tentang pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden, yang mengatur bahwa: Pasal 6A 1 Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat. 2 pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebaelum pelaksanaan pemilihan umum. 3 Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapat suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjai Presiden dan Wakil Presiden. 4 Dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat 155 secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai presiden dan wakil presiden. 5 Tata cara pelaksanaan pemilihan presiden dan wakil presiden lebih lanjut diatur dalam undang-undang. Pasal 18 ayat 4 mengenai Pemilu Kepala Daerah, yang mengatur bahwa: Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala daerah provinsi, kabupaten dan kota, dipilih secara demokratis. Pasal 19 ayat 1 mengenai Pemilu anggota DPR, yang mengatur bahwa: Anggota perwakilan rakyat dipilih melalui pemilihan umum. Sedangkan Pasal 22C ayat 1 mengenai Pemilu anggota DPD. yang mengatur bahwa: Anggota Dewan perwakilan Daerah dipilih dari setiap provinsi melalui pemilu.

5. Pembatasan Kekuasaan Negara.