Pembatasan kekuasaan limitation of Power.

280 Guna terselenggaranya Pemilu yang demokratis yang dilakukan secara jujur dan adil sehingga menghasilkan pemilu yang berkualitas maka diperlukan suatu penyelenggara yang mampu untuk mewujudkan hal tersebut. secara konstitusional penyelenggara pemilu tersebut adalah Komisi Pemilihan Umum. Pasal 22E ayat 5 menyebutkan bahwa: Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri.

5. Pembatasan kekuasaan limitation of Power.

Dari hasil penelitian yang telah penulis lakukan menunjukkan dalam hal pembatasan kekuasaan negara berdasarkan UUD 1945 pra dan pasca amandemen terjadi perbedaan yang mendasar. Yang mana dalam UUD 1945 pra amandemen menganut teori pembagian kekuasaan distribution of power. Sedangkan dalam UUD 1945 amandemen menganut teori pemisahan kekuasaan separation of power dengan check and balances. 185 Langsung artinya rakyat sebagai pemilih mempunyai hak yang sama untuk memberikan suaranya secara langsung sesuai dengan kehendak hati nuraninya tanpa perantara. 186 Umum artinya bahwa semua warga negara yang telah memenuhi persyaratan sesuai dengan peraturan perundang-undangan mempunyai hak untuk ikut dalam pelaksanaan pemilu. 187 Bebas artinya setiap warga negara yang telah mempunyai hak untuk memilih dalam pemilu, bebas untuk menggunakan dan menentukan pilihannya tanpa adanya tekanan, paksaan maupun intervensi dari pihak manapun juga. 188 Rahasia artinya setiap pemilih dalam hal memberikan suaranya dalam pemilu dijamin pilihannya tidak akan diketahui oleh siapapun dan dengan cara apapun. 189 Jujur artinya dalam setiap penyelenggaan pemilu, para penyelenggara pemilu, para calon atau peserta pemilu, pengawas pemilu, aparat pemerintah, maupun para pihak yang terkait dengan pemilu harus bersikap jujur dalam pelaksanaan pemilu sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 190 Adil artinya bahwa dalam penyelenggaraan pemilu, setiap peserta pemilu dan para pemilih mendapatkan hak dan perlakuan yang sama. 281 UUD 1945 pra amandemen menganut teori pembagian kekuasaan dikarenakan para pembuat UUD 1945 founding father tidak menghendaki sistem pemerintahan Indonesia berdasarkan ajaran trias politica Montesquieu karena menurut mereka ajaran tersebut merupakan paham dari demokrasi liberal yang bertentangan dengan Pancasila yang didasarkan asas gotong royong dan kekeluargaan. Terhadap hal ini Muhammad Yamin menjelaskan bahwa: Susunan ketatanegaraan RI, seperti dirumuskan dalam pasal-pasal konstitusi proklamasi 1945 tidaklah pula terbagi atas tiga cabang kekuasaan, seperti dengan tegas dilaksanakan dalam konstitusi amerika serikat 1787, tetapi mengenal pembagian kekuasaan pemusatan atas cabang kekuasaan, yang jumlahnya lebih dari tiga buah. Oleh sebab itu maka tidak dapatlah dikatakan ketatanegaraan RI itu berdasarkan adjaran triaspolitica, melainkan benarlah jika dikatakan hanya mengenal pembagian kekuasaan. Oleh karena itu pembagian kekuasaan pemerintahan pemusatan RI sebaiknya disalin dengan kata Inggris division of power, dan tidak dengan trias politica, karena jumlah bagian kekuasaan itu lebih dari pada tiga buah; dan juga kurang tepat atau sempurna jika disalin dengan separation of power, karena dengan memisahkan kekuasaan tidaklah lenyap perhubungan antara badan- badan ketatanegaraan di bagian pusat pemerintahan. 191 Dengan demikian maka UUD 1945 tidaklah mengenal ajaran-ajaran trias politica yang membagi tugas pekerjaan pemerintahan atau perlengkapan negara menjadi tiga buah perlengkapan organ atau tiga buah jawatan fungsi tetapi UUD 1945 dengan tegas melaksanakan pembagian pekerjaan pemerintahan atau perlengkapan negara atas pelaksanaan dasar beberapa pembagian atau pemisahan kekuasaan division atau separation of power dengan tujuan untuk kelancaran pekerjaan dan untuk perlindungan warga negara Republik Indonesia sebagai negara hukum. Pembagian kekuasaan ini adalah sesuai dengan kebudayaan pribadi bangsa Indonesia di bidang penyusunan ketatanegaraan nasional, seperti ternyata dalam negara-negara Indonesia yang merdeka berdaulat di sepanjang masa, penyusunan ketatanegaraan yang bersumber kepada proklamasi kemerdekaan Indonesia 1945 itu adalah pelaksanaan kemerdekaan dalam tatanan hukum konstitusional dengan menurutkan tuntutan-tuntutan modern di tanah Indonesia dari tanah asing sejak revolusi-revolusi dunia dari tahun 1776-1945. 191 Muhammad Yamin, Loc Cit, Jilid Ketiga, hlm. 40-41. 282 Pembagian kekuasaan pemerintah berlangsung dalam kesatuan pemerintah yang bulat dan semata-mata untuk memperteguh persatuan dengan menjamin kelancaran administrasi dan kebebasan rakyat Indonesia. Jadi pembagian kekuasaan adalah untuk memberantas perpecahan dalam masyarakat dan untuk menjamin kesatuan tindakan I‟unite d‟action dalam negara RI, yang tidak mengenal pemusatan kekuasaan dalam satu tangan manusia la concentration du pouvoir, melainkan mewujudkan kesatuan dan persatuan nasional dalam Republik Indonesia yang “une et Indevisible” esa dan tanpa terbagi- bagi dalam jiwa dan tujuan tindakan dalam membela kemerdekaan, sehingga demokrasi terpimpin dan ekonomi terpimpin terjamin pelaksanaannya. 192 Guna memperkuat pernyataan bahwa UUD 1945 pra amandemen menganut prinsip pembagian kekuasaan distribution of power dapat dianalisis dari dua aspek berikut ini, yaitu: Pertama, dalam UUD 1945 pra amandemen, kekuasaan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. Dengan rumusan tersebut maka MPR merupakan lembaga tertinggi negara karena merupakan perwujudan dari rakyat. MPR sebagai lembaga tertinggi negara membagi-bagikan fungsi, tugas dan kewenangannya ke lembaga-lembaga tinggi negara yang ada dibawahnya, yaitu Presiden, DPR, MA, DPA, dan BPK. Meskipun dalam pembagian kekuasaan tersebut setiap lembaga negara menjalankan fungsi dan kewenangannnya masing-masing namun tidak menutup kemungkinan dilakukan kerjasama antara lembaga negara. Salah satu contoh bentuk kerjasama lembaga negara menurut penulis adalah kerjasama dalam hal pembentukan UU yang dilakukan oleh Presiden dengan DPR. Kedua, dengan mendasarkan pada pendapat Wade dan Philips yang menyatakan bahwa prinsip pembagian kekuasaan distribution of power berlaku jika fungsi eksekutif melaksanakan fungsi legislatif. 192 Op Cit, hlm. 43. 283 Maka prinsip pembagian kekuasaan distribution of power juga berlaku dalam UUD 1945 pra amandemen karena fungsi legislasi atau kekuasaan untuk membentuk undang-undang tidak dilakukan oleh badan legislatif parlemen melainkan dilakukan oleh kekuasaan eksekutif Presiden. Sebagaimana dinyatakan dalam pasal 5 ayat 1 jo Pasal 20 ayat 1 UUD 1945 pra amandemen. Pasal 5 ayat 1 Presiden memegang kekuasaan untuk membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Pasal 20 ayat 1 Tiap-tiap undang-undang menghendaki persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Dengan alasan-alasan tersebut maka dapat dikatakan bahwa pada umumnya pemisahan kekuasaan dalam arti materiil separation of power tidak terdapat dan tidak pernah dilaksanakan dalam UUD 1945 pra amandemen, yang ada dan dilaksanakan ialah pemisahan kekuasaan dalam arti formal distribution of power. Atau dengan perkataan lain berdasarkan UUD 1945 pra amandemen terdapat pembagian kekuasaan dengan tidak menekankan kepada pemisahannya, bukan pemisahan kekuasaan. 193 Adapun dalam UUD 1945 amademen menerapkan teori pemisahan kekuasaan separation of power dengan mekanisme check and balances. Hal ini dilakukan untuk membatasi kekuasaan dan mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan, serta sesuai dengan kesepakatan dasar mempertegas sistem presidensiil, organisasi negara ditata ulang berdasarkan prinsip pemisahan kekuasaan separation of 193 Bandingkan dengan Ismail Sunny, Pembagian Kekuasaan Negara, Loc Cit, hlm. 43. 284 power dengan check and balances. UUD 1945 amandemen menganut teori pemisahan kekuasaan terlihat dari hal-hal berikut ini: Pertama, wewenang Presiden dibatasi dengan mengembalikan kekuasaan membentuk undang-undang kepada DPR. Hal ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Wade dan Philip bahwa suatu negara dikatakan menerapkan pemisahan kekuasaan jika dalam hal pembuatan undang-undang dilakukan oleh kekuasaan legislatif. Hal ini sebagaimana yang diatur dalam Pasal 20 ayat 1 UUD NRI 1945 yang mengatur bahwa: DPR memegang kekuasaan membentuk UU. Kedua, kekuasaan kehakiman ditegaskan sebagai kekuasaan yang merdeka untuk menegakkan hukum dan keadilan. Sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 24 ayat 1 UUD NRI 1945 yang merumuskan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Ketiga, MPR yang semula berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara diubah menjadi lembaga tinggi negara sederajat dengan lembaga tinggi lainnya dengan tugas dan wewenang sebagaimana ditentukan dalam UUD 1945. Selain itu Dengan adanya pemisahan kekuasaan itu akan tumbuh mekanisme saling mengimbangi dan mengawasi checks and balances antara satu cabang kekuasaan dengan cabang kekuasaan lain sehingga tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan dan berjalan tetap dalam koridor konstitusi. Mekanisme check and balances yang diterapkan di dalam UUD 1945 dapat terlihat dari hal-hal berikut ini: Pertama, adanya kewenangan MK dalam hal judicial review atau hak menguji UU terhadap UUD. Hal ini untuk mengimbangi 285 kekuasaan yang dimiliki oleh DPR maupun Presiden agar tidak terjadi kewenang-wenangan dalam pembuatan UU. Hal ini sebagaimana yang diatur dalam Pasal 24C ayat 1 UUD NRI yang mengatur bahwa MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji UU terhadap UUD. Kedua, adanya mekanisme kontrol yang dilakukan oleh KY terhadap hakim. Hal ini sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 24B ayat 1 yang merumuskan bahwa KY bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran, martabat, serta perilaku hakim. Ketiga pemberian grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi oleh Presiden dengan memperhatikan pertimbangan dari MA dan DPR. Hal ini sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 14 UUD NRI 1945. Pasal 14 1 Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan mempertimbangkan pertimbangan Mahkamah Agung. 2 Presiden memberi amnesti, dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat. Keempat, pengangkatan dan penerimaan duta dengan pertimbangan DPR. Hal ini sebagaimana telah diatur dalam Pasal 13 ayat 2 dan ayat 3 UUD NRI 1945. Pasal 13 2 Dalam hal mengangkat duta, Presiden memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat. 3 Presiden menerima penempatan duta negara lain dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat . Guna memperkuat pendapat penulis maka penulis akan mengutip pendapat dari Jimly Asshidiqie. Menurutnya UUD NRI 1945 telah menganut sistem pemisahan kekuasaan separation of power yang dibuktikan oleh: 286 1. Adanya pergeseran kekuasaan legislatif dari tangan Presiden ke DPR. Bandingkan antara ketentuan pasal 5 ayat 1 UUD 1945 pra amandemen dengan pasal 5 ayat 1 UUD 1945 amandemen. Kekuasaan untuk membentuk undang-undang yang sebelumnya berada ditangan presiden, sekarang beralih ke DPR; 2. Diadopsinya sistem pengujian konstitusional atas undang-undang sebagai produk legislatif oleh Mahkamah Konstitusi. sebelumnya tidak dikenal adanya mekanisme semacam itu, karena pada pokoknya undang-undang tidak dapat diganggu gugat di mana hakim dinaggap hanya dapat menerapkan undang-undang dan tidak boleh menilai undang-undang; 3. Diakuinya bahwa lembaga pelaku kedaulatan rakyat itu tidak hanya terbatas pada MPR, melainkan semua lembaga negara baik secara langsung maupun tidak langsung merupakan penjelmaan kedaultan rakyat. Presiden, anggota DPR, dan DPD sama-sama merupakan pelaksana langsung prinsip kedaulatan rakyat; 4. Dengan demikian, MPR tidak lagi berstatus sebagai lembaga tertinggi negara, melainkan merupakan lembaga tinggi negara yang sama derajatnya dengan lembaga-lembaga tinggi negara lainnya, seperti Presiden, DPR, DPD, MK dan MA; 5. Hubungan-hubungan antar lembaga tinggi negara itu bersifat saling mengendalikan satu sama lain dengan prinsip check and balances. 194

6. Pengakuan dan Perlindungan terhadap Hak-Hak Asasi