BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Istilah “sastra” dipakai untuk menyebut gejala budaya yang dapat dijumpai pada semua masyarakat meskipun secara sosial, ekonomi, dan keagamaan keberadaannya
tidak merupakan keharusan, Soeratno dalam Pradopo 2001 : 9. Ini berarti sastra dapat masuk dalam bidang kehidupan manusia atau sastra itu merupakan gejala yang
universal. Sejalan dengan pernyataan tersebut, Boulton dalam Aminuddin 2000 : 37 mengungkapkan, bahwa cipta sastra, selain menyajikan nilai-nilai keindahan dan
paparan peristiwa yang mampu memberikan kepuasan batin pembacanya, juga mengandung pandangan yang berhubungan dengan renungan atau kontemplasi batin,
baik berhubungan dengan masalah keagamaan, filsafat, politik, maupun berbagai macam problema yang berhubungan dengan kompleksitas hidup ini.
Sastra memiliki beberapa jenis genre dan ragam. Jenis-jenis genre sastra meliputi puisi, prosa, dan drama. Sastra prosa mempunyai ragam yaitu, cerpen, novel
dan roman. Novel menurut Abrams dalam Nurgiyantoro 1998 : 9 berasal dari bahasa Itali novella, secara harafiah novella berarti ‘sebuah barang baru yang kecil’, dan
kemudian diartikan sebagai ‘cerita pendek dalam bentuk prosa’. Menurut Nurgiyantoro 1998 : 4 novel sebagai sebuah karya fiksi menawarkan sebuah dunia, dunia yang
berisi model kehidupan yang diidealkan, dunia imajinatif, yang dibangun melalui berbagai unsur intrinsiknya seperti peristiwa, plot, tokoh, dan penokohan, latar, sudut
pandang, dan lain-lain, yang kesemuanya tentu saja bersifat imajinatif.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan pengertian di atas novel itu merupakan cerita rekaan atau cerita khayalan, disebabkan novel itu tidak berdasarkan pada kebenaran sejarah. Dalam novel,
menceritakan tentang berbagai masalah kehidupan manusia, yaitu bagaimana interaksi dengan lingkungan dan sesama, interaksinya dengan diri sendiri, serta interaksinya
dengan Tuhan. Bila bicara tentang kehidupan dan pengalaman manusia, sebuah novel tidak terlalu asing dengan kehidupan sebagaimana yang kita kenal atau kita alami.
Namun dalam ceritanya, sebuah karya fiksi seperti novel tidak sama betul dengan kehidupan, apa yang diceritakan dalam fiksi mungkin tidak pernah terjadi dan tidak
akan pernah terjadi Semi, 1993 : 31. Sastra terdiri dari unsur-unsur yang membangun suatu karya sastra, yaitu unsur
intrinsik dan ekstrinsik. Demikian halnya juga dalam sebuah novel, terdapat unsur intrinsik dan ekstrinsik. Unsur intrinsik sebuah novel adalah unsur-unsur yang turut
serta membangun cerita pada peristiwa, plot, penokohan, tema, latar, sudut pandang penceritaan, bahasa, gaya bahasa, dan sebagainya.
Unsur ekstrinsik yaitu unsur-unsur yang berada di luar karya sastra itu, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bangunan atau sistem organisme karya sastra
Burhan, 1998 : 23. Unsur-unsur ekstrinsik menurut Wellek dan Warren dalam Nurgiyantoro 1998 : 24 antara lain, keadaan subjektivitas individu pengarang yang
memiliki sikap, keyakinn, dan pandangan hidup yang kesemuanya itu akan mempengaruhi karya sastra yang ditulisnya. Pendek kata, meliputi unsur biografi
pengarang, psikologi, keadaan lingkungan pengarang seperti ekonomi, politik, dan sosial, pandangan hidup suatu bangsa, berbagai karya seni, dan sebagainya.
Universitas Sumatera Utara
Di Jepang sendiri, sebagai salah satu negara yang memiliki karya-karya sastra yang terkenal di dunia, juga mengenal novel sebagai salah satu genre sastranya. Dalam
bahasa Jepang novel disebut dengan shosetsu. Pengertian shosetsu menurut Kawabara Takeo
dalam Muhammad Pujiono 2002 : 3 adalah novel yang menggambarkan kehidupan sehari-hari di dalam masyarakat yang lebih menitikberatkan kepada tokoh
manusia peran di dalam karangannya daripada kejadiannya. Salah satu hasil karya sastra yang berupa novel adalah novel yang berjudul “The
Harsh Cry of the Heron” yang ditulis oleh Lian Hearn. Novel ini menceritakan tentang perebutan kekuasaan antar klan suku atau kelompok samurai, yaitu klan otori, kaum
samurai yang berasal dari kaum atau klan otori yang memperjuangkan tanah
kekuasaannya di tengah-tengah perebutan kekuasaan yang sedang terjadi antar klan pada awal abad 17 sampai akhir abad 18.
Awal penceritaan kisah klan otori ini dimulai saat seorang pemuda yang tinggal di antara kaum Heiden yang bernama Tomasu menemukan kehidupannya yang tiba-tiba
berubah pada suatu hari. Ketika ia pergi ke hutan yang berada di sekeliling desanya, saat itu sedang terjadi pembantaian yang dilakukan oleh Iida Sadamu. Maklum saja,
pada awal abad 17 sampai akhir abad 18 ini sedang terjadi pelebaran daerah kekuasaan oleh kaum-kaum yang berkuasa walaupun dengan menempuh cara memusnahkan
kaum-kaum yang ada. Hal ini dilakukan agar nantinya tidak ada sisa-sisa kaum yang dibantai yang mempunyai kesempatan untuk membalas dendam terhadap kaum yang
membantai. Pemuda yang beruntung lepas dari pembantaian kaumnya itu bernama Tomasu
. Saat bersembunyi dari kejauhan untuk melihat kondisi desanya, ia ditolong oleh Lord Otori Shigeru, yang di kemudian hari ia ketahui sebagai pamannya.
Universitas Sumatera Utara
Tomasu merupakan anak yang memiliki darah dari 3 klan yang berbeda. Ayahnya
berasal dari kaum Kikuta, ibunya dari kaum Heiden, sedangkan neneknya berasal dari klan otori
. Di kemudian hari melalui pencerahan yang diberikan guru dan pamannya Lord Otori Shigeru dia akan menemukan banyak kelebihan yang diwariskan oleh
masing-masing darah yang mengalir dalam dirinya, dan bakat-bakat atau kelebihan ini akan sangat membantunya dalam usaha menguasai Jepang. Wujud fisik Tomasu amat
mirip dengan adik Lord Otori Shigeru yang bernama Lord Otori Takeshi yang sudah meninggal, oleh karena itu maka Lord Otori Shigeru mengangkat Tomasu menjadi anak
angkatnya dan diberi nama Lord Otori Takeo. Meskipun tokoh-tokoh dalam kisah yang ada dalam novel ini adalah fiktif dan
merupakan cerita rekaan pengarang, namun fakta-fakta historis tentang kehidupan dan perebutan kekuasaan antar penguasa yang terdapat di dalamnya adalah benar.
Uniknya novel ini bercerita tentang samurai dalam kehidupan dan kebudayaan Jepang, tetapi ditulis oleh seorang penulis wanita berkebangsaan Inggris yang tinggal di
Australia yang bernama Lian Hearn atau Gillian Rubinstein. Ajaran Zen merupakan dasar dari tindakan dan cara berpikir para samurai
prajurit. Dalam novel The Harsh Cry of the Heron banyak bercerita tentang kehidupaan samurai dan pertikaian-pertikaian yang sering terjadi di antara mereka
untuk mempertahankan kehormatan diri mereka. Para samurai dalam mengambil tindakan dan berfikir selalu menggunakan pola fikir menurut ajaran zen, sehingga
ajaran Zen sudah pasti banyak diungkapkan dan dijelaskan dalam novel tersebut. Zen yang merupakan salah satu sekte Budha yang terkenal, masuk ke Jepang dari
Cina abad ke-12. Namun ajaran Zen dapat dikenal luas di Jepang setelah dua orang
Universitas Sumatera Utara
pendeta Zen yang terkenal, yaitu Eisei 1141-1215 dan Dogen 1200-1253 menyebarkannya ke Jepang. Mereka berdua adalah pelopor berkembangnya Zen di
Jepang. Ajaran Zen dikatakan sangat diminati oleh kalangan militer atau bushi samurai, terutama pada periode Kamakura dan Muromachi. Hal ini disebabkan pada
masa itu sering terjadi peperangan untuk memperebutkan kekuasaan di antara para penguasa militer, sehingga para prajurit atau samurai sangat membutuhkan suatu agama
yang kuat, yang meneguhkan mental dan memuaskan aspirasi spiritual mereka di masa- masa penuh pergolakan. Agama yang sesuai dengan keinginan mereka samurai
tersebut adalah agama Budha aliran Zen. Ajaran Zen tersebut mengajarkan suatu doktrin pembersihan jiwa yang keras dan disiplin diri yang tegas, namun doktrin ini
cocok dengan hati para samurai. Keberadaan Zen tetap bertahan dan diminati oleh semua kalangan masyarakat Jepang pada saat itu hingga masuk zaman Edo.
Ajaran atau konsep Zen yang digambarkan melalui tokoh-tokohnya dalam novel tersebut, menarik bagi saya untuk diteliti lebih lanjut. Bagaimana ajaran atau konsep
Zen dalam novel The Harsh Cry of the Heron, dan saya akan mencoba membahasnya lebih luas lagi dalam skripsi dengan judul “ANALISIS KONSEP ZEN DALAM
NOVEL THE HARSH CRY OF THE HERON”. Konsep Zen disini mengenai kesetiaan dan pengabdian diri yaitu dari bawahan ke atasan, anak ke orang tua,
istri ke suami, dan seorang suami ke istri, suami ke keluarganya dalam novel “The Harsh Cry of The Heron”.
Universitas Sumatera Utara
1.2 Perumusan Masalah