Suatu sebab yang halal atau tidak terlarang dalam perjanjian telah ditentukan dalam Pasal 1335 sampai dengan Pasal 1337 KUH Perdata. Meskipun
KUH Perdata tidak memberikan definisi tentang suatu sebab, namun dari rumusan Pasal 1335 KUH Perdata menyatakan bahwa yang disebut dengan sebab yang
halal, adalah: 1 bukan tanpa sebab; 2 bukan sebab yang palsu; ataupun 3 bukan sebab yang terlarang. Oleh karena itu selanjutnya dalam Pasal 1336 KUH
Perdata dinyatakan lebih lanjut bahwa: “Jika tidak dinyatakan suatu sebab, tetapi ada sebab yang tidak terlarang, atau jika ada sebab lain selain daripada yang
dinyatakan itu adalah sah”.
33
Rumusan mengenai sebab yang halal menjadi hanya sebab yang tidak terlarang, Pasal 1337 KUH Perdata dinyatakan bahwa: “Suatu sebab terlarang,
apabila dilarang oleh undang-undang atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum”. Dalam rumusan yang demikianpun sesungguhnya
undang-undang tidak memberikan batasan mengenai makna sebab yang tidak terlarang. Dengan demikian berarti apa yang disebut dengan sebab yang halal
dalam Pasal 1320 j.o Pasal 1337 KUH Perdata tidak lain adalah prestasi dalam perjanjian yang melahirkan perikatan, yang wajib dilakukan atau dipenuhi oleh
para pihak, yang tanpa adanya prestasi yang ditentukan tersebut, maka perjanjian tersebut tidak mungkin dan tidak akan pernah ada diantara pihak.
34
D. Akibat Hukum Perjanjian
33
H. Mohammad Amari dan Asep Mulyana., Op.Cit. Hal 99.
34
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op.Cit. Hal 164.
Universitas Sumatera Utara
Perjanjian merupakan perbuatan dengan mana satu pihak mengingatkan dirinya terhadap pihak lainnya dan perjanjian itu berlaku sebagai undang-undang
bagi para pihak yang membuatnya.
35
“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Artinya para pihak harus mentaati perjanjian tersebut sama dengan mentaati suatu undang-undang. Pasal 1338 KUH Perdata
dinyatakan bahwa:
Perjanjian-perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang
dinyatakan cukup untuk itu. Perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.”
Dalam ayat 2 atau alinea 2 pasal ini menetukan bahwa perjanjian tidak boleh dibatalkan secara sepihak tanpa persetujuan pihak lain. Hal ini sangat
wajar, agar kepentingan pihak lain terlindungi karena ketika perjanjian dibuat adalah atas kesepakatan kedua belah pihak maka pembatalannya juga harus
kesepakatan kedua belah pihak. Selain itu, pembatalan secara sepihak hanya dimungkinkan dengan alasan-alasan yang cukup menurut undang-undang. Pada
ayat 3 ditegaskan bahwa setiap perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.
36
Menurut Abdulkadir Muhammad, itikad baik yang dimaksud dalam Pasal 1338 ayat 3 KUH Perdata artinya bahwa pelaksanaan kontrak itu harus berjalan
dengan mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan. Selain itu pelaksanaan perjanjian dengan itikad baik, perlu diperhatikan juga “kebiasaan”.
Hal ini ditentukan dalam Pasal 1339 KUH Perdata yang menyatakan :
35
H. Mohammad Amari dan Asep Mulyana.,Op.Cit. Hal 99
36
Ahmadi Miru Sakka Pati, Hukum Perikatan Jakarta:RajaGravindo Persada,2008. Hal 79.
Universitas Sumatera Utara
“Perjanjian-perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat
perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan, atau undang-undang”. Atas dasar Pasal ini, kebiasaan juga dtunjuk sebagai sumber hukum disamping
undang-undang, sehingga kebiasaan itu ikut menentukan hak dan kewajiban pihak-pihak dalam perjanjian.
37
Persoalan essensial lainnya sebagai akibat dari adanya perjanjian, yaitu menimbulkan hak dan keawajiban bagi para pihak yang membuatnya.
Pemenuhan hak terhadap suatu pihak merupakan kewajiban presatsi terhadap pihak lainnya, demikian juga sebaliknya. Adapun bentuk hak dan kewajiban dari
para pihak tergantung dari perjanjian yang disepakatinya, baik untuk berbuat sesuatu, memberikan sesuatu dan bahkan untuk tidak berbuat sesuatu Pasal 1234
KUH Perdata.
Menurut Mariam Darus Badrulzaman, akibat yang terpenting dari tidak
dipenuhinya perjanjian ialah bahwa kreditur dapat meminta ganti rugi atas ongkos, rugi dan bunga yang dideritanya. Untuk adanya kewajiban ganti rugi
bagi debitur, maka debitur terlebih dahulu dinyatakan berada dalam keadaan lalai. Lembaga “pernyataan lalai” ini merupakan upaya hukum untuk sampai
kepada suatu fase, di mana debitur dinyatakan ingkar janji wanprestasi. Hal ini berdasarkan Pasal 1234 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa: “Penggantian
biaya, rugi dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan barulah mulai diwajibkan apabila debitur setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap
37
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan Bandung: Citra Aditya Bakti, 1990. Hal 101.
Universitas Sumatera Utara
melalaikannya, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya dalam tenggang waktu tertentu telah dilampauinya”.
38
E. Berakhirnya Perjanjian