Pengaruh Pengetahuan dan Mekanisme Koping terhadap Sikap Keluarga untuk Menerima Pasien Gangguan Jiwa (Skizofrenia) yang Telah Tenang di Badan Layanan Umum Daerah Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara Tahun 2011

(1)

PENGARUH PENGETAHUAN DAN MEKANISME KOPING TERHADAP SIKAP KELUARGA UNTUK MENERIMA PASIEN GANGGUAN JIWA

(SKIZOFRENIA) YANG TELAH TENANG DI BADAN LAYANAN UMUM DAERAH RUMAH SAKIT JIWA PROVINSI

SUMATERA UTARA

TESIS

Oleh

NONI NUR ISLAMIE 097032062/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

THE INFLUENCE OF KNOWLEDGE AND COPING MECHANISM ON THE FAMILY’S ATTITUDE IN ACCEPT MENTAL DISORDER

(SCHIZOPHRENIA) PATIENT WHO ARE IN THE RECOVERY CONDITION AT THE REGIONAL

GENERAL SERVICE BOARD OF MENTAL HOSPITAL SUMATERA UTARA

PROVINCE

THESIS

By

NONI NUR ISLAMIE 097032062/IKM

MAGISTER OF PUBLIC HEALTH SCIENCE PROGRAM STUDY FACULTY OF PUBLIC HEALTH

UNIVERSITY OF SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

PENGARUH PENGETAHUAN DAN MEKANISME KOPING TERHADAP SIKAP KELUARGA UNTUK MENERIMA PASIEN GANGGUAN JIWA

(SKIZOFRENIA) YANG TELAH TENANG DI BADAN LAYANAN UMUM DAERAH RUMAH SAKIT JIWA

PROVINSI SUMATERA UTARA

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi Administrasi Rumah Sakit pada Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara

Oleh

NONI NUR ISLAMIE 097032062/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(4)

Judul Tesis : PENGARUH PENGETAHUAN DAN MEKANISME KOPING TERHADAP SIKAP KELUARGA UNTUK MENERIMA PASIEN GANGGUAN JIWA (SKIZOFRENIA) YANG TELAH TENANG DI BADAN LAYANAN UMUM DAERAH RUMAH SAKIT JIWA PROVINSI SUMATERA UTARA

Nama Mahasiswa : Noni Nur Islamie Nomor Induk Mahasiswa : 097032062

Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi : Administrasi Rumah Sakit

Menyetujui Komisi Pembimbing :

(Prof. dr. M. Joesoef Simbolon, Sp.KJ(K)) (

Ketua Anggota

Drs. Tukiman, M.K.M)

Ketua Program Studi Dekan

(Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si) (Dr. Drs. Surya Utama, M.S)


(5)

Telah diuji

Pada tanggal : 14 November 2011

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. dr. M. Joesoef Simbolon, Sp.KJ(K) Anggota : 1. Drs. Tukiman, M.K.M

2. Dr. Namora Lumongga Lubis, M.Sc 3. dr. Dapot Parulian, Sp.KJ, M.Kes


(6)

PERNYATAAN

PENGARUH PENGETAHUAN DAN MEKANISME KOPING TERHADAP SIKAP KELUARGA UNTUK MENERIMA PASIEN GANGGUAN JIWA

(SKIZOFRENIA) YANG TELAH TENANG DI BADAN LAYANAN UMUM DAERAH RUMAH SAKIT JIWA

PROVINSI SUMATERA UTARA

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam makalah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, November 2011

(Noni Nur Islamie) 097032062


(7)

ABSTRAK

Gangguan jiwa merupakan keadaan yang tidak normal baik fisik maupun mental yang dapat menjadi sumber stres bagi anggota keluarga. WHO menyatakan ada sekitar 450 juta orang di dunia mengalami gangguan jiwa. Data American Psychiatric Association (1995) menunjukkan 1% populasi penduduk dunia menderita Skizofrenia dan Riset Kesehatan Dasar (2007) memperkirakan 14,1% penduduk Indonesia mengalami gangguan jiwa. Badan Layanan Umum Daerah Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara menyatakan ada sekitar 10% pasien gangguan jiwa yang telah dinyatakan tenang namun tidak diterima oleh keluarganya.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh pengetahuan dan mekanisme koping terhadap sikap keluarga untuk menerima pasien gangguan jiwa (Skizofrenia) yang telah tenang di Badan Layanan Umum Daerah Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara. Jenis penelitian yang dilakukan adalah cross sectional. Sampel pada penelitian ini berjumlah 67 orang. Data dikumpulkan dengan cara interview dengan menggunakan kuesioner. Analisa data menggunakan uji regresi ganda dengan taraf kepercayaan 95%.

Hasil penelitian menunjukkan ada pengaruh yang bermakna antara pengetahuan, emotion focused coping dan problem focused coping terhadap sikap keluarga untuk menerima pasien gangguan jiwa yang telah tenang di Badan Layanan Umum Daerah Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara. Variabel yang paling berkontribusi terhadap sikap keluarga adalah variabel problem focused coping.

Disarankan kepada Badan Layanan Umum Daerah Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara agar dapat memberikan arahan kepada petugas kesehatan untuk mengoptimalkan perannya selaku pendidik untuk meningkatkan pengetahuan dan mekanisme koping bagi keluarga pasien.


(8)

ABSTRACT

Mental disorder constitutes abnormal condition both physically or mentally so that it can bring about the source of stress for the family members. WHO explained there is 450 million people in the world with mental disorder. The data of American Psychiatric Association (1995) showed that 1% population in the world had Schizophrenia and Basic Health Research (2007) estimating 14,1% Indonesian people had mental disorder. Regional General Service Board of Mental Hospital Sumatera Utara Province explained there were 10% mental disorder patients who were in the recovery condition but do not accepted by their family.

The aim of this research was to analyze the influence of knowledge and coping mechanism on the family’s attitude in accept mental disorder (Schizophrenia) patients who were in the recovery condition at the Regional General Service Board of Mental Hospital Sumatera Utara Province. The type of the research was cross sectional. The sample in this research were 67 persons. The data were gathered by using interviews and questionnaires and analyzed by using multiple regression test with the level of reliability 95%.

The results of the research showed that there were significant influence of knowledge, emotion focused coping and problem focused coping on the family’s attitude in accepting mental disorder patients who were in the recovery condition at the Regional General Service Board of Mental Hospital Sumatera Utara Province. The most contributing factor on the family’s attitude was the variable of problem focused coping.

It is recommended that the Regional General Service Board of Mental Hospital Sumatera Utara Province should give guideline to the health officers, in order to optimize their role as educators in increasing the knowledge and coping mechanism of the patients families.


(9)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Pengaruh Pengetahuan dan Mekanisme Koping terhadap Sikap Keluarga untuk Menerima Pasien Gangguan Jiwa (Skizofrenia) yang Telah Tenang di Badan Layanan Umum Daerah Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara Tahun 2011”. Penulisan tesis ini merupakan salah satu persyaratan akademik untuk menyelesaikan pendidikan pada Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi Rumah Sakit Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

Selama proses penulisan tesis ini penulis banyak mendapatkan dukungan dari berbagai pihak. Untuk itu penghargaan setinggi-tingginya serta terimakasih yang sebesar-besarnya penulis ucapkan kepada :

1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H., M.Sc (CTM), Sp.A (K), selaku Rektor Universitas Sumatera.

2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S, selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

3. Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si., selaku Ketua Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara dan Dr. Ir. Evawany Aritonang, M.Si, selaku Sekretaris Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.


(10)

4. Prof. dr. M. Joesoef Simbolon, Sp.KJ(K) dan Drs. Tukiman, M.K.M, selaku dosen pembimbing yang telah menyediakan waktu, arahan, dan masukan dalam penyelesaian tesis ini.

5. dr. Dapot Parulian, Sp.KJ, M.Kes selaku Direktur Badan Layanan Umum Daerah Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara yang telah memberikan izin penelitian sekaligus juga penguji tesis yang telah banyak memberikan arahan dan masukan demi kesempurnaan tesis ini,

6. Dr. Namora Lumongga Lubis, M.Sc selaku penguji tesis yang juga telah banyak memberikan arahan dan masukan demi kesempurnaan tesis ini.

7. Kedua orang tuaku yang sangat kusayangi, Ayahanda Usman Madjid dan Ibunda Masyithah Yusuf, atas segala dukungan moral serta materil serta do’a yang tidak henti-hentinya sehingga tesis ini dapat diselesaikan.

8. Teristimewa buat suami terkasih Muhammad Hendry Junianto yang penuh pengertian, perhatian, kesabaran, do’a, motivasi dan dukungan moril agar dapat menyelesaikan pendidikan ini.

9. Seluruh Dosen dan staf di lingkungan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi Rumah Sakit Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

10.Rekan-rekan mahasiswa angkatan 2009, khususnya Minat Studi Administrasi Rumah Sakit Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara dan semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah membantu dalam proses penyelesaian tesis ini.


(11)

Akhirnya penulis menyadari atas segala keterbatasan, untuk itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan tesis ini dengan harapan semoga tesis ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan penelitian lanjutan.

Medan, November 2011

Noni Nur Islamie


(12)

RIWAYAT HIDUP

Noni Nur Islamie, dilahirkan di Medan, 29 Juni 1981 dari pasangan Usman Madjid dan Masyithah Yusuf. Noni Nur Islamie beragama Islam dan bertempat tinggal di Jalan Marelan V-Pasar II Barat, Lingkungan 02, Medan. Pada tahun 1987, Noni Nur Islamie menempuh pendidikan Sekolah Dasar di SD Negeri 060829 Medan dan menamatkannya pada tahun 1992. Pada tahun 1993 melanjutkan pendidikan di SMP Negeri 7 Medan dan tamat tahun 1996. Dilanjutkan pada tahun 1996 di SMU Kesatria Medan dan tamat tahun 1999.

Pada tahun 1999, Noni Nur Islamie melanjutkan pendidikan di Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Menyelesaikan studi S1 Keperawatan pada tahun 2003, melanjutkan profesi Ners dan menamatkannya pada tahun 2004.

Pada tahun 2004, Noni Nur Islamie mengajar di Akademi Perawat Abdurrab Pekanbaru. Pada tahun 2006 menjadi staf pengajar tetap di Akademi Perawat Columbia Asia Medan hingga saat ini. Selanjutnya pada tahun 2009 melanjutkan pendidikan Strata 2 di Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat pada minat studi Administrasi Rumah Sakit. Noni Nur Islamie menikah dengan Muhammad Hendry Junianto tahun 2010.


(13)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BAB 1. PENDAHULUAN ... 1

1.1.Latar Belakang ... 1

1.2.Permasalahan ... 8

1.3.Tujuan Penelitian ... 8

1.4.Hipotesis ... 9

1.5.Manfaat Penelitian ... 9

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 10

2.1. Pengetahuan ... 10

2.2. Mekanisme Koping ... 12

2.3. Keperawatan Jiwa ... 22

2.4. Sikap ... 28

2.5. Konsep Keluarga ... 29

2.6. Gangguan Jiwa ... 35

2.7. Landasan Teori ... 47

2.8. Kerangka Konsep ... 52

BAB 3. METODE PENELITIAN ... 53

3.1. Jenis Penelitian ... 53

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 53

3.3. Populasi dan Sampel ... 54

3.4. Metode Pengumpulan Data ... 55

3.5. Variabel dan Definisi Operasional ... 58

3.6. Metode Pengukuran ... 59

3.7. Metode Analisis Data ... 62

BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 63

4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 63


(14)

4.3. Karakteristik Responden ... 65

4.4. Analisis Univariat ... 68

4.5. Analisis Bivariat ... 70

4.6. Analisis Multivariat ... 73

BAB 5. PEMBAHASAN ... 76

5.1. Pengaruh Pengetahuan terhadap Sikap Keluarga untuk Menerima Pasien Gangguan Jiwa yang Telah Tenang ... 78

5.2. Pengaruh Mekanisme Koping terhadap Sikap Keluarga untuk Menerima Pasien Gangguan Jiwa yang Telah Tenang . 80

5.3. Keterbatasan Penelitian ... 82

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 83

6.1. ... Kesimpulan ... 83

6.2. Saran ... 83

DAFTAR PUSTAKA ... 86


(15)

DAFTAR TABEL

No. Judul Halaman

3.5. Aspek Pengukuran Variabel Independen dan Variabel Dependen ... 61 4.1. Tenaga Staf di Badan Layanan Umum Daerah Rumah Sakit Jiwa

Provinsi Sumatera Utara ... 64 4.2. Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden ... 66 4.3. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pengetahuan tentang

Gangguan Jiwa ... 68 4.4. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Mekanisme Koping

(Emotion Focused Coping) ... 69 4.5. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Mekanisme Koping

(Problem Focused Coping) ... 69 4.6. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Sikap ... 70 4.7. Tabulasi Silang Variabel Pengetahuan dengan Sikap Keluarga

untuk Menerima Pasien Gangguan Jiwa (Skizofrenia) yang Telah

Tenang ... 71 4.8. Tabulasi Silang Variabel Emotion Focused Coping dengan

Sikap Keluarga untuk Menerima Pasien Gangguan

Jiwa (Skizofrenia) yang Telah Tenang ... 72 4.9. Tabulasi Silang Variabel Problem Focused Coping dengan

Sikap Keluarga untuk Menerima Pasien Gangguan

Jiwa (Skizofrenia) yang Telah Tenang ... 72 4.10. Analisis Regresi Linear Ganda Pengaruh Pengetahuan dan Mekanisme Koping dengan Sikap Keluarga untuk Menerima Pasien Gangguan


(16)

4.11. Hasil Pengujian Secara Serentak Pengaruh Pengetahuan dan Mekanisme Koping dengan Sikap Keluarga untuk Menerima Pasien Gangguan

Jiwa (Skizofrenia) yang Telah Tenang ... 74 4.12. Hasil Analisis korelasi Ganda dan Analisis Determinasi Pengaruh

Pengetahuan dan Mekanisme Koping dengan Sikap Keluarga untuk Menerima Pasien Gangguan Jiwa (Skizofrenia) yang


(17)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Judul Halaman

1. Kuesioner Identitas Responden ... 88

2. Kuesioner Pengetahuan Keluarga tentang Gangguan Jiwa ... 90

3. Kuesioner Mekanisme Koping Keluarga ... 92

4. Kuesioner Sikap Keluarga untuk Menerima Pasien Gangguan Jiwa yang Telah Tenang ... 95

5. Struktur Organisasi BLUD Rumah Sakit Jiwa Provsu ... 98

6. Hasil Uji Statistik ... 99

7. Surat Permohonan Izin Penelitian ... 123


(18)

ABSTRAK

Gangguan jiwa merupakan keadaan yang tidak normal baik fisik maupun mental yang dapat menjadi sumber stres bagi anggota keluarga. WHO menyatakan ada sekitar 450 juta orang di dunia mengalami gangguan jiwa. Data American Psychiatric Association (1995) menunjukkan 1% populasi penduduk dunia menderita Skizofrenia dan Riset Kesehatan Dasar (2007) memperkirakan 14,1% penduduk Indonesia mengalami gangguan jiwa. Badan Layanan Umum Daerah Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara menyatakan ada sekitar 10% pasien gangguan jiwa yang telah dinyatakan tenang namun tidak diterima oleh keluarganya.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh pengetahuan dan mekanisme koping terhadap sikap keluarga untuk menerima pasien gangguan jiwa (Skizofrenia) yang telah tenang di Badan Layanan Umum Daerah Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara. Jenis penelitian yang dilakukan adalah cross sectional. Sampel pada penelitian ini berjumlah 67 orang. Data dikumpulkan dengan cara interview dengan menggunakan kuesioner. Analisa data menggunakan uji regresi ganda dengan taraf kepercayaan 95%.

Hasil penelitian menunjukkan ada pengaruh yang bermakna antara pengetahuan, emotion focused coping dan problem focused coping terhadap sikap keluarga untuk menerima pasien gangguan jiwa yang telah tenang di Badan Layanan Umum Daerah Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara. Variabel yang paling berkontribusi terhadap sikap keluarga adalah variabel problem focused coping.

Disarankan kepada Badan Layanan Umum Daerah Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara agar dapat memberikan arahan kepada petugas kesehatan untuk mengoptimalkan perannya selaku pendidik untuk meningkatkan pengetahuan dan mekanisme koping bagi keluarga pasien.


(19)

ABSTRACT

Mental disorder constitutes abnormal condition both physically or mentally so that it can bring about the source of stress for the family members. WHO explained there is 450 million people in the world with mental disorder. The data of American Psychiatric Association (1995) showed that 1% population in the world had Schizophrenia and Basic Health Research (2007) estimating 14,1% Indonesian people had mental disorder. Regional General Service Board of Mental Hospital Sumatera Utara Province explained there were 10% mental disorder patients who were in the recovery condition but do not accepted by their family.

The aim of this research was to analyze the influence of knowledge and coping mechanism on the family’s attitude in accept mental disorder (Schizophrenia) patients who were in the recovery condition at the Regional General Service Board of Mental Hospital Sumatera Utara Province. The type of the research was cross sectional. The sample in this research were 67 persons. The data were gathered by using interviews and questionnaires and analyzed by using multiple regression test with the level of reliability 95%.

The results of the research showed that there were significant influence of knowledge, emotion focused coping and problem focused coping on the family’s attitude in accepting mental disorder patients who were in the recovery condition at the Regional General Service Board of Mental Hospital Sumatera Utara Province. The most contributing factor on the family’s attitude was the variable of problem focused coping.

It is recommended that the Regional General Service Board of Mental Hospital Sumatera Utara Province should give guideline to the health officers, in order to optimize their role as educators in increasing the knowledge and coping mechanism of the patients families.


(20)

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

Kesehatan jiwa adalah bagian dari kesehatan secara menyeluruh, bukan sekedar terbebas dari gangguan jiwa, tetapi pemenuhan kebutuhan perasaan bahagia, sehat, serta mampu menangani tantangan hidup. Secara medis, kesehatan jiwa diterjemahkan sebagai suatu kondisi yang memungkinkan perkembangan fisik, intelektual, dan emosional yang optimal dari seseorang. Perkembangan tersebut berjalan selaras dengan keadaan orang lain (Febriani, 2008). Himpitan hidup yang semakin berat di alami hampir oleh semua kalangan masyarakat sehingga dapat mengakibatkan gangguan kesehatan jiwa (Intan, 2010).

Menurut Hawari (2001) yang mengutip pendapat Mardjono (1992) dan Setyonogoro (1980) bahwa gangguan jiwa (mental disorder) merupakan salah satu dari empat masalah kesehatan utama di negara-negara maju, modern dan industri. Keempat masalah kesehatan utama tersebut adalah penyakit degeneratif, kanker, gangguan jiwa dan kecelakaan. Meskipun gangguan jiwa tersebut tidak dianggap sebagai gangguan yang menyebabkan kematian secara langsung, namun beratnya gangguan tersebut dalam arti ketidakmampuan serta invaliditas baik secara individu maupun kelompok akan menghambat pembangunan karena mereka tidak produktif dan tidak efisien.

Penyebab utama disabilitas pada kelompok usia paling produktif, yakni antara 15-44 tahun adalah gangguan jiwa. Dampak sosialnya sangat serius berupa


(21)

penolakan, pengucilan dan diskriminasi. Begitu pula dampak ekonomi berupa hilangnya hari produktif untuk mencari nafkah bagi penderita maupun keluarga yang harus merawat, serta tingginya biaya perawatan yang harus ditanggung keluarga maupun masyarakat (Siswono, 2001).

Seseorang dikatakan terkena gangguan jiwa apabila tidak mampu lagi berfungsi secara wajar dalam kehidupannya sehari-hari, di rumah, di sekolah/kampus, di tempat kerja dan di lingkungan sosialnya. Seseorang yang menderita gangguan jiwa akan mengalami ketidakmampuan berfungsi secara optimal dalam kehidupannya sehari-hari (Hawari, 2001). Permasalahan gangguan jiwa tidak hanya berpengaruh terhadap produktivitas manusia, juga berkaitan dengan kasus bunuh diri. Temuan WHO menunjukkan, diperkirakan 873.000 orang bunuh diri setiap tahun. Lebih dari 90% kasus bunuh diri berhubungan dengan gangguan jiwa seperti Depresi, Skizofrenia, dan ketergantungan terhadap alkohol (Febriani, 2008).

Menurut WHO, masalah gangguan jiwa di seluruh dunia sudah menjadi masalah yang sangat serius. WHO menyatakan paling tidak ada 1 dari 4 orang di dunia mengalami masalah mental, diperkirakan ada sekitar 450 juta orang di dunia yang mengalami gangguan kesehatan jiwa (Prasetyo, 2006, dalam Yulian, 2008).

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 menyatakan 14,1% penduduk Indonesia mengalami gangguan jiwa dari yang ringan hingga berat. Data jumlah pasien gangguan jiwa di Indonesia terus bertambah. Dari 33 Rumah Sakit Jiwa diseluruh Indonesia diperoleh data bahwa hingga kini jumlah penderita gangguan jiwa berat mencapai 2,5 juta orang. Kenaikan jumlah penderita gangguan jiwa terjadi


(22)

di sejumlah kota besar. Di Rumah Sakit Jiwa Pusat Jakarta, tercatat 10.074 kunjungan pasien jiwa pada 2006, meningkat menjadi 17.124 pasien pada 2007. Sedangkan di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara, jumlah pasien meningkat hingga 100% dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Pada tahun 2006-2007, Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara hanya menerima 25-30 penderita perhari, dan pada awal 2008 mengalami peningkatan , 50 penderita perhari untuk menjalani rawat inap dan sekitar 70-80 penderita untuk rawat jalan (Garcia, 2009).

Skizofrenia adalah gangguan yang paling banyak terjadi dibandingkan dengan gangguan jiwa lainnya. Data American Psychiatric Association (APA) tahun 1995 menyebutkan 1% populasi penduduk dunia menderita Skizofrenia. Sebagian besar (75%) penderita Skizofrenia mulai mengidapnya pada usia 16-25 tahun. Usia remaja dan dewasa muda memang beresiko tinggi karena tahap kehidupan ini penuh stressor (Febriani, 2008).

Hingga sekarang penanganan penderita Skizofrenia belum memuaskan, disebabkan ketidaktahuan (ignorancy) keluarga maupun masyarakat terhadap jenis gangguan jiwa. Diantaranya adalah masih terdapatnya pandangan yang negatif (stigma) dan bahwa Skizofrenia bukanlah suatu penyakit yang dapat diobati dan disembuhkan. Stigma lainnya adalah sikap keluarga dan masyarakat yang menganggap bahwa bila salah seorang anggota keluarganya menderita Skizofrenia, hal ini merupakan aib bagi keluarga. Oleh karena itu, seringkali penderita Skizofrenia disembunyikan bahkan dikucilkan karena rasa malu (Hawari, 2001).


(23)

Banyak sekali orang yang percaya bahwa gangguan jiwa tidak mungkin bisa disembuhkan dan orang yang menderitanya tidak mungkin bisa berfungsi secara normal di masyarakat. Persepsi yang muncul kemudian dalam taraf yang lebih jauh akan menyebabkan orang tidak mau untuk mengetahui permasalahan kesehatan jiwa baik dalam dirinya sendiri maupun orang lain. Di Indonesia, pengetahuan seseorang tentang gangguan jiwa dipengaruhi erat oleh kultur budaya. Seseorang dengan gangguan jiwa sering dianggap terkena guna-guna, menderita suatu dosa ataupun terkena pengaruh setan atau makhluk halus lainnya (Irma, 2010).

Sebuah keluarga dengan penderita gangguan jiwa perlu mengetahui dan menyadari keadaan diri penderita, mengambil keputusan untuk menentukan bagaimana sikap yang sebaiknya di ambil agar terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan. Banyak keluarga yang mempunyai pendapat bahwa pasien boleh berhenti minum obat atau berobat apabila gejala-gejala sudah menghilang atau berkurang, juga banyak keluarga yang berpendapat bahwa penderita gangguan jiwa hanya perlu medikasi untuk dapat sembuh saat proses pemulihan di rumah. Hal ini jelas keliru, terapi bagi penderita gangguan jiwa bukan hanya pemberian obat dan rehabilitasi medik, namun diperlukan peran keluarga guna resosialisasi dan pencegahan kekambuhan (Irma, 2010).

Tantangan terbesar untuk penanganan masalah gangguan jiwa terletak pada keluarga dan masyarakat. Masyarakat tidak hanya bertugas membawa anggotanya ke Rumah Sakit Jiwa jika ada yang menderita gangguan jiwa, tetapi juga aktif untuk menerima penderita setelah pulang dari Rumah Sakit Jiwa, melibatkannya dalam


(24)

kegiatan masyarakat, dan yang paling penting memantau perilaku pasien selama di Rumah Sakit Jiwa (Moersalin, 2009).

Fenomena lain yang menarik adalah adanya kecenderungan keluarga/masyarakat untuk menjadikan Rumah Sakit Jiwa sebagai tempat pembuangan bagi orang dengan gangguan jiwa. Setelah diantar, keluarga tidak pernah membesuk lagi, pasien dianggap sudah menjadi tanggungjawab petugas Rumah Sakit Jiwa, sedangkan keluarga tidak mau tahu tentang keadaan pasien Konsekuensinya, sering kita temukan pasien di Rumah Sakit Jiwa yang telah menjadi warga disana lebih dari sepuluh tahun tanpa pernah diketahui dimana alamat dan siapa keluarganya (Moersalin, 2009).

Rumah Sakit Jiwa Atma Husada Mahakam Kalimantan Timur mengalami kelebihan pasien, yang salah satu faktor penyebabnya karena ada sejumlah pasien yang sudah dinyatakan sembuh, namun tidak diterima oleh keluarganya, sehingga untuk sementara waktu pasien yang telah dinyatakan sembuh tersebut sebanyak 40% ditampung di Rumah Sakit tersebut (Yuli, 2009).

Masalah yang hampir sama juga dijumpai di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara. Setelah melakukan observasi dan tanya jawab dengan perawat, ada sejumlah pasien yang sudah dinyatakan sembuh, namun tidak dijemput oleh keluarganya. Hal ini di dukung data yang diperoleh dari Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara tahun 2009 yang menunjukkan angka LOS (Length of Stay) 75 hari dan BOR (Bed Occupancy Rate) 97,7% dengan rata-rata jumlah pasien rawat inap berkisar 400 orang perhari. Angka ini belum sesuai dengan angka


(25)

normal yaitu menurut SK Menkes RI no 129/Menkes/SK/II/2008 tentang standar pelayanan minimal Rumah Sakit LOS normal yaitu ≤ 6 minggu, dan menurut Depkes RI tahun 2005 BOR normal 60-85%.

Kegiatan penyembuhan yang dilakukan pihak Rumah Sakit akan menjadi sia-sia untuk kesembuhan pasien jika tidak mendapat dukungan keluarga dan masyarakat, karena dukungan keluarga sangat berarti bagi kesembuhan pasien (Salsabil, 2008). Menurut Tomb (2003) kekacauan dan dinamika keluarga memegang peranan penting dalam menimbulkan kekambuhan pasien gangguan jiwa.

Berdasarkan hasil penelitian Vaugh (1976) dan Synder (1981) memperlihatkan bahwa keluarga dengan ekspresi emosi yang tinggi (bermusuhan, mengkritik) diperkirakan kambuh, hasilnya 57% kembali dirawat dari keluarga dengan ekspresi emosi yang tinggi dan 17% kembali dirawat dari keluarga dengan ekspresi emosi yang rendah (Yosep, 2007). Menurut ahli teori keluarga, gejala pada setiap anggota keluarga merupakan cerminan dari perilaku dan hubungan disfungsional dan pola komunikasi yang tidak sehat (Copel, 2007) yang akhirnya dapat menyebabkan kekambuhan dan menjalani perawatan di Rumah Sakit Jiwa kembali.

Banyak pasien yang jarang dikunjungi oleh keluarga bahkan ada keluarga yang datang ke Rumah Sakit hanya untuk urusan administrasi, akibatnya, keluarga tidak mempunyai pengetahuan tentang masalah pasien dan cara penanganannya (Keliat, 1996).


(26)

Selama ini ada kesalahan dalam menerapkan pelayanan kesehatan jiwa, dimana pelayanan kesehatan jiwa hanya berbasis di Rumah Sakit, sehingga orang yang datang hanya yang mengalami gangguan jiwa berat, setelah sembuh mereka pulang dan akan datang lagi jika terserang lagi. WHO menyarankan agar penanganan kesehatan jiwa lebih ditekankan atau berbasis pada masyarakat (community based), sehingga masyarakat diharapkan mampu menangani kasus gangguan jiwa yang ringan, dan hanya yang berat yang dilayani oleh Rumah Sakit Jiwa (Moersalin, 2009).

Tidak dapat dipungkiri keluarga juga akan mengalami krisis dan mengalami tekanan saat mendapati bahwa salah satu anggota keluarganya menderita gangguan jiwa. Tekanan ini akan menjadi sumber stres bagi para anggota dalam dalam keluarga tersebut. Sementara itu, bagi keluarga yang rentan terhadap stres, tentunya akan mengganggu peran mereka sebagai system support yang berujung pada semakin tidak stabilnya penderita gangguan jiwa dalam proses penyembuhan (Kristyanti & Rosalina, 2009). Untuk mengatasi stres yang ada, maka keluarga memiliki cara spesifik untuk menurunkan stressor dan mengatur situasi dalam mengatasi stressor

yang dikenal dengan istilah mekanisme koping.

Lazarus dan Folkman (1984) mengkategorikan koping menjadi 2 yaitu

emotion focused coping dan problem focused coping. Emotion focused coping

merupakan suatu usaha untuk mengontrol respon emotional terhadap situasi yang sangat menekan, sedangkan problem focused coping adalah usaha untuk mengurangi


(27)

stresor dengan mempelajari cara-cara atau keterampilan-keterampilan yang baru untuk digunakan mengubah situasi, keadaan, atau pokok permasalahan.

Berdasarkan uraian di atas, peneliti ingin menganalisis bagaimana pengaruh pengetahuan dan mekanisme koping terhadap sikap keluarga untuk menerima pasien gangguan jiwa( Skizofrenia) yang telah tenang di Badan Layanan Umum Daerah Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara.

1.2.Permasalahan

Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan penelitian ini adalah bagaimana pengaruh pengetahuan dan mekanisme koping terhadap sikap keluarga untuk menerima pasien gangguan jiwa (Skizofrenia) yang telah tenang di Badan Layanan Umum Daerah Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara.

1.3.Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh pengetahuan dan mekanisme koping terhadap sikap keluarga untuk menerima pasien gangguan jiwa (Skizofrenia) yang telah tenang di Badan Layanan Umum Daerah Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara.


(28)

1.4.Hipotesis

Hipotesis penelitian ini adalah ada pengaruh pengetahuan dan mekanisme koping terhadap sikap keluarga untuk menerima pasien gangguan jiwa(Skizofrenia) yang telah tenang di Badan Layanan Umum Daerah Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara.

1.5.Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini terdiri dari :

1) Manfaat teoritis yaitu agar dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan dalam bidang ilmu kesehatan masyarakat, khususnya yang berhubungan dengan masalah kesehatan jiwa yang terdapat di masyarakat beserta peran serta keluarga dalam menerima dan mengatasi kondisi tersebut.

2) Manfaat praktis yaitu :

a. Badan Layanan Umum Daerah Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara Sebagai sumber data untuk pengambilan kebijakan dalam menetapkan program-program kesehatan jiwa dan sebagai bahan pertimbangan dalam upaya mengubah pengetahuan dan mekanisme koping yang maladaptif pada keluarga dengan cara mengoptimalkan peran perawat selaku pemberi asuhan keperawatan bagi pasien maupun keluarganya.

b. Penelitian selanjutnya

Dapat digunakan sebagai data dasar untuk penelitian lebih lanjut yang berkaitan dengan topik yang sama.


(29)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengetahuan

2.1.1. Definisi Pengetahuan

Pengetahuan adalah merupakan hasil dari ”tahu”, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia yaitu indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam pembentukan tindakan seseorang (Notoatmodjo, 2003).

2.1.2. Sumber Pengetahuan

Pengetahuan berasal dari pengalaman, informasi yang disampaikan kepada orang lain, surat kabar, majalah, buku dan media elektronik (Notoatmodjo, 2003).

2.1.3. Tingkat Pengetahuan

Menurut Notoatmodjo (2003), pengetahuan kognitif terdiri atas beberapa tingkatan :

(1). Tahu.

Tahu diartikan sebagai mengingat sesuatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk kedalam tingkatan ini adalah mengingat kembali terhadap sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu tahu ini adalah tingkat pengetahuan yang paling rendah.


(30)

(2). Memahami.

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, yang dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar.

(3). Aplikasi.

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau pada kondisi yang sebenarnya.

(4). Analisis.

Analisis atau kemampuan untuk menjabarkan suatu materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih dalam suatu struktur organisasi tersebut dan masih ada kaitannya satu sama lain.

(5). Sintesis.

Sintesis menunjukkan pada suatu komponen untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain, sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi yang ada.

(6). Evaluasi.

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan penilaian berdasarkan suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada.


(31)

2.1.4. Faktor yang Memengaruhi Pengetahuan

Pengetahuan dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor (Notoatmodjo, 2003) yaitu :

(1). Pendidikan.

Pendidikan merupakan hal yang paling penting dan yang diperlukan di dalam pengetahuan.

(2). Umur.

Umur merupakan variabel yang harus diperhatikan, angka kesakitan atau angka kematian menunjukkan hubungan dengan umur.

(3). Pekerjaan.

Pekerjaan merupakan suatu aktivitas atau kegiatan seseorang untuk memperoleh pengetahuan guna memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

2.2. Mekanisme Koping

2.2.1. Definisi Mekanisme Koping

Akibat stres yang berkepanjangan adalah terjadinya kelelahan baik fisik maupun mental, yang pada akhirnya melahirkan berbagai macam keluhan/gangguan. Bila individu mampu menggunakan cara-cara penyesuaian diri yang sehat/baik/sesuai dengan stres yang dihadapi, meskipun stres/tekanan tersebut tetap ada, individu yang bersangkutan tetap dapat hidup secara sehat. Penyesuaian diri dalam menghadapi stres, dalam konsep kesehatan mental dikenal dengan istilah koping (Siswanto, 2007).


(32)

Koping dimaknai sebagai apa yang dilakukan oleh individu untuk menguasai situasi yang dinilai sebagai suatu tantangan/ancaman. Koping lebih mengarah pada yang orang lakukan untuk mengatasi tuntutan-tuntutan yang penuh tekanan atau yang membangkitkan emosi. Atau dengan kata lain, koping adalah bagaimana reaksi orang ketika menghadapi stres atau tekanan (Siswanto, 2007).

Menurut Lazarus (1984) koping merupakan strategi untuk memanajemen tingkah laku kepada pemecahan masalah yang paling sederhana dan realistis, berfungsi untuk membebaskan diri dari masalah yang nyata maupun tidak nyata, dan koping merupakan semua usaha secara kognitif dan perilaku untuk mengatasi, mengurangi, dan tahan terhadap tuntutan-tuntutan (distress demands) (Safaria dan Saputra 2009).

Mekanisme koping adalah cara yang dilakukan individu dalam menyelesaikan masalah, menyesuaikan diri dengan perubahan, serta respon terhadap situasi yang mengancam (Keliat, 1999).

Friedman (1998) mendefinisikan koping keluarga sebagai respon yang positif, sesuai dengan masalah, afektif, persepsi, dan respon perilaku yang digunakan keluarga dan subsistemnya untuk memecahkan suatu masalah atau mengurangi stres yang diakibatkan oleh masalah atau peristiwa.


(33)

2.2.2. Proses Terjadinya Koping

Menurut Safaria dan Saputra (2009) yang mengutip pendapat Lazarus (1984), mengatakan bahwa ketika individu berhadapan dengan lingkungan yang baru atau perubahan lingkungan (situasi yang penuh tekanan), maka akan melakukan penilaian awal (primary appraisal) untuk menentukan arti dari kejadian tersebut. Kejadian tersebut dapat diartikan sebagai hal positif, netral, atau negatif. Setelah penilaian awal terhadap hal-hal yang mempunyai potensi untuk terjadinya tekanan, maka penilaian sekunder (secondary appraisal) akan muncul. Penilaian sekunder adalah pengukuran terhadap kemampuan individu dalam mengatasi tekanan yang ada.

Penilaian sekunder mengandung makna pertanyaan, seperti apakah saya dapat menghadapi ancaman dan sanggup menghadapi tantangan terhadap kejadian. Setelah memberikan penilaian primer dan sekunder, individu akan melakukan penilaian ulang (re-appraisal) yang akhirnya mengarah pada pemilihan strategi koping untuk penyelesaian masalah yang sesuai dengan situasi yang dihadapinya.

Keputusan pemilihan strategi koping dan respon yang dipakai individu untuk menghadapi situasi yang penuh tekanan tergantung dari 2 faktor. Pertama, faktor eksternal dan kedua, faktor internal. Faktor eksternal termasuk di dalamnya adalah ingatan pengalaman dari berbagai situasi dan dukungan sosial, serta seluruh tekanan dari berbagai situasi yang penting dalam kehidupan. Faktor internal, termasuk di dalamnya adalah gaya koping yang biasa dipakai seseorang dalam kehidupan sehari-hari dan kepribadian dari seseorang tersebut.


(34)

Setelah keputusan dibuat untuk menentukan strategi koping yang dipakai, dengan mempertimbangkan dari faktor eksternal dan internal, individu akan melakukan pemilihan strategi koping yang sesuai dengan situasi tekanan yang dihadapinya untuk penyelesaian masalah, ada 2 strategi koping yang dipakai, apakah strategi koping yang berfokus pada permasalahan ataupun pemilihan strategi koping untuk mengatur emosi. Kedua strategi koping tersebut dapat bertujuan untuk mereduksi ketegangan yang disebabkan oleh situasi tekanan dari lingkungan maupun dapat mengatur hal-hal negatif, sehingga hasil dari proses koping tersebut dapat menciptakan berfungsinya kembali aktivitas yang biasa dilakukan oleh individu.

2.2.3. Jenis Mekanisme Koping

Menurut Lazarus dan Folkman (1984, dalam Safaria dan Saputra, 2009), koping terbagi dalam 2 jenis yaitu :

(1). Koping yang berfokus untuk mengatur emosi (Emotion-focused coping).

Adalah suatu usaha untuk mengontrol respon emosional terhadap situasi yang sangat menekan. Emotion–focused coping cenderung dilakukan apabila individu tidak mampu atau merasa tidak mampu mengubah kondisi yang stressful, yang dilakukan individu adalah mengatur emosinya. Sebagai contoh, ketika seseorang yang dicintai meninggal dunia, dalam situasi ini, orang biasanya mencari dukungan emosi dan mengalihkan diri atau menyibukkan diri dengan melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah atau kantor.


(35)

Aspek-aspek emotion focused coping yaitu : a) Seeking social emotional support

Mencoba memperoleh dukungan secara emosional maupun sosial dari orang lain.

b) Distancing

Mengeluarkan upaya kognitif untuk melepaskan diri dari masalah atau membuat sebuah harapan positif.

c) Escape avoidance

Menghayal mengenai situasi atau melakukan tindakan atau menghindar dari situasi yang tidak menyenangkan. Individu melakukan fantasi andaikan permasalahannya pergi dan mencoba untuk tidak memikirkan mengenai masalah dengan tidur atau menggunakan alkohol yang berlebih.

d) Self control

Mencoba untuk mengatur perasaan diri sendiri atau tindakan dalam hubungannya untuk menyelesaikan masalah.

e) Accepting responsibility

Menerima untuk menjalankan masalah yang dihadapinya sementara mencoba untuk memikirkan jalan keluarnya.

f) Positive reappraisal

Mencoba untuk membuat suatu arti positif dari situasi dalam masa perkembangan kepribadian, kadang-kadang dengan sifat yang religius.


(36)

(2). Koping yang berfokus pada permasalahan (Problem-focused coping).

Adalah suatu usaha untuk mengurangi stresor, dengan mempelajari cara-cara atau keterampilan-keterampilan yang baru untuk digunakan mengubah situasi, keadaan, atau pokok permasalahan. Individu akan cenderung menggunakan strategi ini apabila dirinya yakin akan dapat mengubah situasi (Smet, 1994). Setiap hari dalam kehidupan kita secara tidak langsung problemed-focused coping telah sering digunakan, saat kita bernegosiasi untuk membeli sesuatu di toko, saat kita membuat jadwal pelajaran, mengikuti treatment-treatment psikologis, atau belajar untuk meningkatkan keterampilan.

Aspek-aspek problem focused coping yaitu :

a) Confrontive coping

Melakukan penyelesaian masalah secara konkrit.

b) Planful problem solving

Menganalisis setiap situasi yang menimbulkan masalah serta berusaha mencari solusi secara langsung terhadap masalah yang dihadapi. (Safaria dan Saputra, 2009).

2.2.4. Faktor yang Memengaruhi Strategi Koping

Menurut Ahyar (2010) ada beberapa faktor yang memengaruhi strategi koping, yaitu :


(37)

(1). Kesehatan fisik.

Kesehatan merupakan hal yang penting, karena selama usaha mengatasi stres individu dituntut untuk mengerahkan tenaga yang cukup besar.

(2). Keyakinan atau pandangan positif.

Keyakinan menjadi sumberdaya psikologis yang sangat penting, seperti keyakinan akan nasib (external locus of control) yang mengerahkan individu pada penilaian ketidakberdayaan (helplessness) yang akan menurunkan kemampuan strategi koping tipe problem-solving focused coping.

(3). Keterampilan memecahkan masalah.

Keterampilan ini meliputi kemampuan untuk mencari informasi, menganalisa situasi, mengidentifikasi masalah dengan tujuan untuk menghasilkan alternatif tindakan, kemudian mempertimbangkan alternatif tersebut sehubungan dengan hasil yang ingin dicapai, dan pada akhirnya melaksanakan rencana dengan melakukan suatu tindakan yang tepat.

(4). Keterampilan sosial.

Keterampilan ini meliputi kemampuan untuk berkomunikasi dan bertingkahlaku dengan cara-cara yang sesuai dengan nilai-nilai sosial yang berlaku di masyarakat.

(5). Dukungan sosial.

Dukungan ini meliputi dukungan pemenuhan kebutuhan informasi dan emosional pada diri individu yang diberikan oleh orangtua, anggota keluarga lain, saudara, teman, dan lingkungan masyarakat sekitarnya.


(38)

(6). Materi.

Meliputi sumberdaya berupa uang, barang, atau layanan yang biasanya dapat dibeli.

2.2.5. Metode Koping

Ada 2 metode koping yang digunakan oleh individu dalam mengatasi masalah psikologis seperti dikemukakan oleh Rasmun (2004) yang mengutip pendapat Bell (1977), metode tersebut antara lain :

(1). Metode koping jangka panjang (konstruktif).

Merupakan cara yang efektif dan realistis dalam menangani masalah psikologis dalam kurun waktu yang lama, contohnya berbicara dengan orang lain, mencoba mencari informasi yang lebih banyak tentang masalah yang sedang dihadapi, menghubungkan situasi atau masalah yang sedang dihadapi dengan kekuatan supranatural, melakukan latihan fisik untuk mengurangi ketegangan, membuat berbagai alternatif tindakan untuk mengurangi situasi, mengambil pelajaran atau pengalaman masa lalu, dan lain-lain.

(2). Metode koping jangka pendek (destruktif).

Cara ini digunakan untuk mengurangi stres dan cukup efektif untuk waktu sementara, contohnya menggunakan alkohol atau obat, melamun dan fantasi, mencoba melihat aspek humor dari situasi yang tidak menyenangkan, tidak ragu dan merasa yakin bahwa semua akan kembali stabil, dan lain-lain.


(39)

2.2.6. Respon Koping Keluarga

Respon-respon atau perilaku koping keluarga merupakan tindakan-tindakan pengenalan yang digunakan keluarga (McCubbin et,al. 1981). Respon-respon koping keluarga meliputi tipe strategi koping eksternal dan internal. Sumber-sumber koping internal terdiri dari kemampuan keluarga yang menyatu sehingga menjadi kohesif dan terintegrasi. Integrasi keluarga memerlukan pengontrolan dari subsistem lewat ikatan kesatuan. Keluarga yang paling sukses menghadapi masalah-masalah mereka adalah keluarga yang paling sering terintegrasi dengan baik, dimana anggota keluarga memiliki tanggungjawab yang kuat terhadap kelompok dan tujuan-tujuan kolektifnya.

Menurut Hall dan Weaver (1974) dalam Friedman (1998) sumber koping lainnya adalah fleksibilitas peran yaitu suatu kemampuan memodifikasi peran-peran keluarga ketika dibutuhkan, dan pola-pola komunikasi merupakan hal yang sangat penting dalam koping.

Sumber-sumber koping eksternal berhubungan dengan penggunaan sistem pendukung sosial oleh keluarga. Dalam memandang sumber-sumber eksternal, keluarga berbeda satu sama lain dalam hal sejauh mana mereka mampu memperoleh persetujuan dari lingkungan mereka untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan terhadap informasi, barang dan pelayanan (Friedman, 1998).

Pada tingkat keluarga koping yang dilakukan dalam menghadapi masalah/ketegangan seperti yang dikemukakan oleh McCubbin (1979, dalam Rasmun 2004) adalah :


(40)

(1).Mencari dukungan sosial seperti minta bantuan keluarga, tetangga, teman, atau keluarga jauh.

(2).Reframing yaitu mengkaji ulang kejadian masa lalu agar lebih dapat menanganinya dan menerima, menggunakan pengalaman masa lalu untuk mengurangi stres/kecemasan.

(3).Mencari dukungan spiritual, berdoa, menemui pemuka agama atau aktif pada pertemuan ibadah.

(4).Menggerakkan keluarga untuk mencari dan menerima bantuan.

(5).Penilaian secara pasif terhadap peristiwa yang dialami dengan cara menonton televisi, atau diam saja.

2.2.7. Penggolongan Mekanisme Koping

Mekanisme koping berdasarkan penggolongannya dibagi menjadi 2 (Stuart dan Sundeen, 1995) yaitu :

(1). Mekanisme koping adaptif.

Mekanisme koping yang mendukung fungsi terintegrasi, pertumbuhan, belajar, dan mencapai tujuan. Kategorinya adalah berbicara dengan orang lain, memecahkan masalah secara efektif, teknik relaksasi, latihan seimbang dan aktivitas konstruktif.,


(41)

(2). Mekanisme koping maladaptif.

Mekanisme koping yang menghambat fungsi integrasi, memecah pertumbuhan, menurunkan otonomi, dan cenderung menguasai lingkungan. Kategorinya adalah makan berlebihan/tidak makan, bekerja berlebihan, dan lain-lain.

Menurut Rasmun (2004), koping yang efektif menghasilkan adaptasi yang menetap yang merupakan kebiasaan baru dan perbaikan dari situasi yang lama, sedangkan koping yang tidak efektif berakhir dengan maladapatif yaitu perilaku yang menyimpang dari keinginan normatif dan dapat merugikan diri sendiri maupun orang lain atau lingkungan.

2.3. Keperawatan Jiwa

2.3.1. Definisi Keperawatan Jiwa

Perawatan ialah pelayanan yang bersifat manusiawi yang berfokus pada pemenuhan kebutuhan manusia untuk merawat diri, kesembuhan dari penyakit atau cedera, dan penanggulangan komplikasinya sehingga dapat menunjang kehidupan. Sedangkan keperawatan adalah suatu kegiatan yang berfokus pada pemenuhan kebutuhan individu baik yang mampu atau tidak mampu melakukan perawatan mandiri sehingga individu tersebut mampu mempertahankan atau melakukan perawatan mandiri (Orem, 1971, dalam Ali, 2001).

Keperawatan jiwa adalah proses interpersonal yang berupaya meningkatkan dan mempertahankan perilaku pasien yang berperan pada fungsi yang terintegrasi


(42)

(Stuart, 2006). Pasien dapat berupa individu, keluarga, kelompok, organisasi atau komunitas.

2.3.2. Perawatan Pasien di Rumah Sakit Jiwa

Rencana keperawatan pasien di Rumah Sakit Jiwa meliputi : (1) Rencana tindakan yang dilakukan selama pasien di rawat. (2) Persiapan pulang.

(3) Rencana perawatan di rumah.

Keluarga dan pasien perlu dilibatkan pada semua rencana keperawatan agar dapat menggantikan peran perawat sewaktu pulang ke rumah.

Pada awal pasien di rawat, perawat hendaknya melakukan hubungan dengan pasien dan keluarga. Keluarga mengetahui peran dan tanggung jawabnya dalam proses keperawatan yang direncanakan melalui kontrak yang telah disepakati.

Hubungan saling percaya antara perawat dan pasien merupakan dasar utama untuk membantu pasien mengungkapkan dan mengenal perasaannya, mengidentifikasi kebutuhan dan masalahnya, mencari alternatif pemecahan masalah, melaksanakan alternatif yang dipilih serta mengevaluasi hasilnya. Proses ini harus dilalui oleh pasien dan keluarga agar di masa yang akan datang (di rumah) keluarga dapat membantu pasien dengan cara yang sama (Keliat, 1996).


(43)

2.3.3. Peran Perawat Jiwa

Peran perawat jiwa terhadap keluarga antara lain (Keliat, 1996) : (1) Menyertakan keluarga dalam rencana perawatan pasien.

(2) Menjelaskan pola perilaku pasien dan cara penanganannya.

(3) Membantu keluarga berperilaku terapeutik, yang dapat menolong pemecahan masalah pasien.

(4) Mengadakan pertemuan antar keluarga pasien, diskusi, membagi pengalaman, mengantisipasi masalah pasien.

(5) Melakukan terapi keluarga.

(6) Menganjurkan kunjungan keluarga yang teratur.

2.3.4.Persiapan Pulang

Perawatan di Rumah Sakit akan bermakna jika dilanjutkan dengan perawatan di rumah. Untuk itu, selama di Rumah Sakit perlu dilakukan persiapan pulang. Persiapan pulang dilakukan sesegera mungkin setelah di rawat serta diintegrasikan di dalam proses keperawatan. Jadi, persiapan pulang bukan persiapan yang dilakukan pada hari atau sehari sebelum pasien pulang.

Persiapan atau rencana pulang bertujuan untuk (Jipp & Sims, 1986) : (1) Menyiapkan pasien dan keluarga secara fisik, psikologis dan sosial. (2) Meningkatkan kemandirian pasien dan keluarga.

(3) Melaksanakan rentang perawatan antara rumah sakit dan masyarakat. (4) Menyelenggarakan proses pulang yang bertahap.


(44)

Beberapa tindakan keperawatan yang dapat dilakukan dalam persiapan pulang adalah :

(1) Pendidikan (edukasi, reedukasi, reorientasi).

Youssef (1987) menemukan penurunan angka kambuh pada pasien dan keluarga yang mengikuti program pendidikan. Pendidikan kesehatan ini ditujukan untuk mencegah atau menguraikan dampak gangguan jiwa bagi pasien. Program keterampilan yang dapat dilakukan adalah keterampilan khusus (perilaku adaptif, aturan makan obat, penataan rumah tangga, identifikasi gejala kambuh, pemecahan masalah) dan keterampilan umum (komunikasi efektif, ekspresi emosi yang konstruktif, relaksasi, pengelolaan stres).

(2) Program pulang bertahap.

Setelah pasien mempunyai kemampuan dan keterampilan mandiri maka pasien dapat mengikuti program pulang bertahap. Tujuannya adalah melatih pasien kembali ke lingkungan keluarga dan masyarakat. Pasien, keluarga, dan jika perlu masyarakat dipersiapkan, antara lain apa yang harus dilakukan pasien di rumah, apa yang harus dilakukan keluarga untuk membantu adaptasi.

(3) Rujukan.

Integrasi kesehatan jiwa di Puskesmas sebaiknya mempunyai hubungan langsung dengan Rumah Sakit. Perawat komuniti (Puskesmas) sebaiknya mengetahui perkembangan pasien di Rumah Sakit dan berperan serta dalam membuat rencana pulang (Keliat, 1996).


(45)

2.3.5. Perawatan di Rumah

Perawat, pasien dan keluarga bekerjasama untuk membantu proses adaptasi pasien di dalam keluarga dan masyarakat. Perawat komunitas membantu pasien dan keluarga menyesuaikan diri di lingkungan keluarga, dalam hal sosialisasi, perawatan mandiri dan kemampuan memecahkan masalah. Perawat dapat memantau dan mengidentifikasi gejala kambuh dan segera melakukan tindakan sehingga dapat dicegah perawatan kembali di Rumah Sakit (Keliat, 1996).

2.3.6. Peran Perawat dalam Terapi Keluarga

Dengan bantuan perawat, keluarga diharapkan mempunyai kemampuan mengatasi masalah dan memelihara stabilitas dari status kesehatan semaksimal mungkin. Newman menjelaskan strategi intervensi perawatan keluarga yang lebih berfokus pada prevensi primer dan tersier seperti :

(1) Mendidik kembali dan mengorientasi kembali seluruh anggota keluarga, misalnya perawat menjelaskan mengapa komunikasi itu penting, apa visi seluruh keluarga, kesamaan harapan apa yang dimiliki semua anggota keluarga.

(2) Memberikan dukungan kepada pasien serta sistem yang mendukung pasien untuk mencapai tujuan dan usaha untuk berubah. Perawat meyakinkan bahwa keluarga pasien mampu memecahkan masalah yang dihadapi anggotanya.

(3) Mengkoordinasi dan mengintegrasi sumber pelayanan kesehatan. Perawat menunjukkan institusi kesehatan mana yang harus bekerja sama dengan keluarga dan siapa yang diajak berkonsultasi.


(46)

(4) Memberi pelayanan prevensi primer, sekunder dan tersier melalui penyuluhan, perawatan di rumah, pendidikan dan sebagainya. Bila ada anggota keluarga yang kurang memahami perilaku sehat didiskusikan atau bila ada keluarga yang membutuhkan perawatan.

Proses perawatan yang melibatkan pasien dan keluarga akan membantu proses intervensi dan menjaga agar pasien tidak kambuh kembali setelah pulang. Khusus untuk keluarga yang memiliki anggota dengan gangguan jiwa, sangat penting merencanakan pulang pasien dengan keluarganya. Jiip & Sine (1986) mengemukakan tujuan rencana pulang pasien sebagai berikut :

(1) Menyiapkan pasien dan keluarga secara fisik dan sosial serta psikologi. (2) Meningkatkan kemandirian pasien dan keluarga.

(3) Menyelenggarakan rentang perawatan antara rumah sakit dan masyarakat. (4) Melaksanakan proses pulang yang bertahap (Yosep, 2007).

2.4. Sikap

2.4.1. Definisi Sikap

Sikap merupakan reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau obyek. Dari berbagai batasan tentang sikap dapat disimpulkan bahwa manifestasi sikap itu tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu. Sikap


(47)

belum merupakan tindakan atau aktifitas, akan tetapi merupakan predisposisi tindakan atau perilaku (Notoatmodjo, 1997).

2.4.2. Komponen Sikap

Menurut Allport (1954) sikap memiliki 3 komponen pokok, yakni: (1). Kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep terhadap suatu obyek. (2). Kehidupan emosional atau evaluasi emosional terhadap suatu obyek. (3). Kecenderungan untuk bertindak.

Ketiga komponen ini bersama-sama membentuk sikap yang utuh (total attitude). Dalam pembentukan sikap ini, pegetahuan, berfikir, keyakinan, dan emosi memegang peranan penting (Notoatmodjo, 1997).

2.4.3. Tingkatan Sikap

Sikap terdiri dari beberap tingkatan (Notoatmodjo, 1997) yakni : (1). Menerima (Receiving).

Subyek mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan obyek. (2). Merespon (Responding).

Memberikan pertanyaan apabila ditanya serta mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan. Terlepas jawaban dan pekerjaan itu benar atau salah adalah berarti orang yang menerima ide tersebut.

(3). Menghargai (Valuing).

Mengajak orang lain mengerjakan atau mendiskusikan terhadap suatu masalah.


(48)

(4). Bertanggungjawab (Responsible).

Bertanggungjawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya merupakan tingkat sikap yang paling penting.

Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung dan tidak langsung. Secara langsung dapat ditanyakan bagaimana pendapat atau pernyataan responden terhadap suatu obyek. Secara tidak langsung dapat dilakukan dengan pernyataan-pernyataan hipotesis, kemudian ditanyakan pendapat responden (sangat setuju, setuju, tidak setuju, sangat tidak setuju).

2.5. Konsep Keluarga 2.5.1. Definisi Keluarga

Friedman (1998) mendefenisikan bahwa keluarga adalah kumpulan 2 orang atau lebih yang hidup bersama dengan keterikatan aturan dan emosional dan individu mempunyai peran masing-masing yang merupakan bagian dari keluarga. Keluarga adalah 2 atau lebih dari 2 individu yang tergabung karena hubungan darah, hubungan perkawinan atau pengangkatan dan mereka hidup dalam suatu rumah tangga, berinteraksi satu sama lain, dan di dalam perannya masing-masing menciptakan serta mempertahankan kebudayaan (Baylon dan Maglaya, 1989, dalam Effendy, 1998)

Menurut UU No.10 tahun 1992 tentang perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga sejahtera, keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri dari suami-isteri, atau suami-isteri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya( Suprajitno, 2004).


(49)

2.5.2. Tipe Keluarga

Menurut Suprajitno (2004), pembagian tipe keluarga bergantung pada konteks keilmuan dan orang yang mengelompokkan. Secara tradisional keluarga dikelompokkan menjadi 2 yaitu :

(1).Keluarga inti (nuclear family).

Adalah keluarga yang hanya terdiri ayah, ibu dan anak yang diperoleh dari keturunannya atau adopsi atau keduanya.

(2).Keluarga besar (extended family).

Adalah keluarga inti ditambah anggota keluarga lain yang masih mempunyai hubungan darah (kakek-nenek, paman-bibi).

Namun, dengan berkembangnya peran individu dan meningkatnya rasa individualisme, pengelompokkan tipe keluarga selain kedua di atas berkembang menjadi :

(1).Keluarga bentukan kembali (dyadic family).

Adalah keluarga baru yang terbentuk dari pasangan yang telah cerai atau kehilangan pasangannya.

(2).Orang tua tunggal (single parent family).

Adalah keluarga yang terdiri dari salah satu orang tua dengan anak-anak akibat perceraian atau ditinggal pasangannya.


(50)

(4).Orang dewasa (laki-laki atau perempuan) yang tinggal sendiri tanpa pernah menikah (the single adult living alone).

(5).Keluarga dengan anak tanpa pernikahan sebelumnya (the non-marital heterosexual cohabiting family).

Biasanya dapat dijumpai pada daerah kumuh perkotaan (besar), tetapi pada akhirnya mereka dinikahkan oleh pemerintah daerah (kabupaten atau kota) meskipun usia pasangan tersebut telah tua demi status anak-anaknya.

(6).Keluarga yang dibentuk oleh pasangan yang berjenis kelamin sama (gay and lesbian family).

2.5.3. Struktur Keluarga

Struktur keluarga dapat menggambarkan bagaimana keluarga melaksanakan fungsi keluarga di masyarakat sekitarnya. Friedman (1998) mengutip pendapat Parad dan Caplan (1965) mengatakan ada 4 elemen struktur keluarga yaitu :

(1).Struktur peran keluarga.

Menggambarkan peran masing-masing anggota keluarga dalam keluarga sendiri dan perannya dilingkungan masayarakat atau peran formal dan informal.

(2).Nilai atau norma keluarga.

Menggambarkan nilai dan norma yang dipelajari dan diyakini oleh keluarga, khususnya yang berhubungan dengan kesehatan.


(51)

Menggambarkan bagaimana cara dan pola komunikasi ayah-ibu (orangtua), orangtua dengan anak, anak dengan anak, dan anggota keluarga lain (pada keluarga besar) dengan keluarga inti.

(4).Struktur kekuatan keluarga.

Menggambarkan kemampuan anggota keluarga untuk mempengaruhi dan mengendalikan orang lain untuk mengubah perilaku keluarga yang mendukung kesehatan.

2.5.4. Fungsi Keluarga

Secara umum fungsi keluarga (Friedman, 1998) adalah sebagai berikut : (1).Fungsi afektif (the affective function).

Adalah fungsi keluarga yang utama untuk mengajarkan segala sesuatu untuk mempersiapkan anggota keluarga berhubungan dengan orang lain,. Fungsi ini dibutuhkan untuk perkembangan individu dan psikososial anggota keluarga.

(2).Fungsi sosialisasi dan tempat bersosialisasi (socialization and social placement function).

Adalah fungsi mengembangkan dan tempat melatih anak untuk berkehidupan sosial sebelum meninggalkan rumah untuk berhubungan dengan orang lain di luar rumah.

(3).Fungsi reproduksi (the reproductive function).

Adalah fungsi untuk mempertahankan generasi dan menjaga kelangsungan keluarga.


(52)

(4).Fungsi ekonomi (the economic function).

Yaitu keluarga berfungsi untuk memenuhi kebutuhan keluarga secara ekonomi dan tempat untuk mengembangkan kemampuan individu meningkatkan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan keluarga.

(5).Fungsi perawatan/pemeliharaan kesehatan (the health care function).

Yaitu fungsi untuk mempertahankan keadaan kesehatan anggota keluarga agar tetap memiliki produktivitas tinggi. Fungsi ini dikembangkan menjadi tugas keluarga di bidang kesehatan.

2.5.5. Tugas Keluarga di Bidang Kesehatan

Sesuai dengan fungsi pemeliharaan kesehatan, keluarga mempunyai tugas di bidang kesehatan yang perlu dipahami dan dilakukan (Suprajitno, 2004), meliputi : (1).Mengenal masalah kesehatan keluarga.

Kesehatan merupakan kebutuhan keluarga yang tidak boleh diabaikan karena tanpa kesehatan segala sesuatu tidak akan berarti dan karena kesehatan kadang kala seluruh kekuatan sumber daya dan dana keluarga habis.

(2).Memutuskan tindakan yang tepat bagi keluarga.

Tugas ini merupakan upaya keluarga yang utama untuk mencari pertolongan yang tepat sesuai dengan keadaan keluarga, dengan pertimbangan siapa diantara keluarga yang mempunyai kemampuan memutuskan untuk menentukan tindakan keluarga. Tindakan kesehatan yang dilakukan oleh keluarga diharapkan tepat agar masalah kesehatan dapat dikurangi atau bahkan teratasi. Jika keluarga mempunyai


(53)

keterbatasan dapat meminta bantuan kepada orang di lingkungan tinggal keluarga agar memperoleh bantuan.

(3).Merawat keluarga yang mengalami gangguan kesehatan.

Sering kali keluarga telah mengambil tindakan yang tepat dan benar, tetapi keluarga memiliki keterbatasan yang telah diketahui oleh keluarga sendiri. Jika demikian, anggota keluarga yang mengalami gangguan kesehatan perlu memperoleh tindakan lanjutan atau perawatan agar masalah yang lebih parah tidak terjadi. Perawatan dapat dilakukan di institusi pelayanan kesehatan atau di rumah apabila keluarga telah memiliki kemampuan memiliki tindakan untuk pertolongan pertama. (4).Memodifikasi lingkungan keluarga untuk menjamin kesehatan keluarga.

(5).Memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan disekitarnya bagi keluarga.

2.6. Gangguan Jiwa

2.6.1. Definisi Gangguan Jiwa

Dalam International Classification of Disease (ICD) dan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM) digunakan istilah “mental disorder” yang diterjemahkan menjadi gangguan jiwa. DSM-IV merumuskan gangguan mental sebagai sindroma atau pola perilaku atau psikologis yang terjadi pada individu. Kaplan dan Sadock (1994) menyatakan gangguan mental berarti penyimpangan dari keadaan ideal dari suatu kesehatan mental merupakan indikasi adanya gangguan mental (Notosoedirdjo, 2005).


(54)

Gangguan jiwa adalah kumpulan dari keadaan-keadaan yang tidak normal, baik yang berhubungan dengan fisik, maupun dengan mental. Keabnormalan tersebut dibagi ke dalam 2 golongan yaitu gangguan jiwa (Neurosa) dan sakit jiwa (Psikosa) (Yosep, 2007).

2.6.2. Etiologi Gangguan Jiwa

Sumber penyebab gangguan jiwa dipengaruhi oleh faktor-faktor yang saling mempengaruhi (Yosep, 2007), yaitu :

(1). Faktor-faktor somatik (somatogenik) atau organobiologis.

Mencakup neuroanatomi, neurofisiologi, neurokimia, tingkat kematangan dan perkembangan organik, dan faktor-faktor pre dan peri-natal.

(2). Faktor-faktor psikologik (psikogenik) atau psikoedukatif.

Dapat berupa interaksi ibu-anak, peranan ayah, persaingan antar saudara kandung, intelegensi, hubungan dalam keluarga, pekerjaan, permainan dan masyarakat. Faktor psikologik lainnya adalah kehilangan yang mengakibatkan kecemasan, depresi, rasa malu atau rasa salah, konsep diri, keterampilan, bakat dan kreativitas dan tingkat perkembangan emosi.

(3). Faktor-faktor sosio-budaya (sosiogenik) atau sosiokultural.

Faktor-faktor sosio-budaya yang dapat menyebabkan gangguan jiwa yaitu kestabilan keluarga, pola mengasuh anak, tingkat ekonomi, dan lokasi perumahan (perkotaan lawan pedesaan).

Menurut Singgih (dalam Yosep, 2007), penyebab gangguan mental dapat disebabkan oleh beberapa hal yaitu (1) prasangka orangtua yang menetap, penolakan


(55)

atau shock yang dialami pada masa anak, (2) ketidaksanggupan memuaskan keinginan dasar dalam pengertian kelakuan yang dapat diterima umum, (3) kelelahan yang luar biasa, kecemasan, anxietas, kejemuan, (4) masa-masa perubahan fisiologis yang hebat, pubertas dan menopause, (5) tekanan-tekanan yang timbul karena keadaan ekonomi, politik, dan sosial yang terganggu, (6) keadaan iklim yang mempengaruhi exhaustion dan toxema, (7) penyakit kronis, misal AIDS, (8) trauma kepala dan vertebra, (9) kontaminasi zat toksik dan (10) shock emosional yang hebat. 2.6.3. Klasifikasi Gangguan Jiwa

Klasifikasi gangguan jiwa menurut PPDGJ-III ( Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia, edisi ke III) tahun 1993 adalah sebagai berikut :

I. Gangguan mental organik dan simtomatik.

Ciri khas : etiologi organik/fisik jelas, primer/sekunder. II. Skizofrenia, gangguan Skizotipal, dan gangguan Waham.

Ciri khas : gejala psikotik, etiologi organik tidak jelas. III. Gangguan suasana perasaan (Mood/Afektif).

Ciri khas : gejala gangguan afek (psikotik dan non-psikotik). IV. Gangguan Neurotik, gangguan Somatoform, dan gangguan stres.

Ciri khas : gejala non-psikotik, etiologi non organik.

V. Sindrom perilaku yang berhubungan dengan gangguan fisiologis dan faktor fisik.


(56)

VI. Gangguan kepribadian dan perilaku masa dewasa. Ciri khas : gejala perilaku, etiologi non-organik. VII. Retardasi mental.

Ciri khas : gejala perkembangan IQ, onset masa kanak. VIII. Gangguan perkembangan psikologis.

Ciri khas : gejala perkembangan khusus, onset masa kanak.

IX. Gangguan perilaku dan emosional dengan onset masa kanak dan remaja. Ciri khas : gejala perilaku/emosional, onset masa kanak.

X. Kondisi lain yang menjadi fokus perhatian klinis. Ciri khas : tidak tergolong gangguan jiwa.

2.6.4. Kriteria Penentuan Gangguan Jiwa.

Menurut Notosoedirdjo (2007) yang mengutip pendapat Scott (1961) mengelompokkan 6 macam kriteria untuk menentukan seseorang mengalami gangguan jiwa yaitu :

(1). Memperoleh pengobatan psikiatris

Pengertian ini lebih menekankan pada pasien-pasien yang memperoleh perawatan di Rumah Sakit. Orang-orang yang tidak mendapatkan perawatan di Rumah Sakit tidak dianggap sebagai orang yang mengalami gangguan jiwa.

(2). Salah penyesuaian sebagai gejala sakit jiwa

Penyesuaian seseorang berkaitan dengan kesesuaian seseorang dengan norma-norma sosial atau kelompok tertentu. Perilaku seseorang dapat sesuai atau tidak sesuai dengan norma masyarakat atau kelompok. Jika perilakunya sesuai dengan


(57)

norma masyarakatnya berarti dia dapat melakukan penyesuaian sosial, tetapi jika perilakunya bertentangan dengan nama kelompok atau masyarakatnya maka dia tidak dapat melakukan penyesuaian sosial.

(3). Diagnosis sebagai kriteria sakit jiwa.

Diagnosis dilakukan berdasarkan kriteria yang ditetapkan terlebih dahulu oleh pihak yang melakukan diagnosis.

(4). Sakit jiwa menurut pengertian subjektif.

Sehat dan sakit dapat diketahui melalui pemahaman atau pengakuan subjektif. Dalam hal ini sakit jiwa sebagai suatu pengalaman subjektif bagi seseorang. Jika seseorang merasa mengalami gangguan, maka dia sebenarnya tidak sehat jiwanya, tetapi jika tidak merasa mengalami gangguan maka dia dinyatakan sehat.

(5). Sakit jiwa jika terdapat simptom psikologis secara objektif.

Pada setiap gangguan jiwa terdapat simptom-simptom atau gejala psikologis tertentu. Gejala-gejala itu berdasarkan kriteria yang ditetapkan, jika terdapat pada seseorang maka dijadikan sebagai indikasi adanya gangguan jiwa padanya. Misalnya, gangguan kepribadian antisosial ditandai oleh gejala-gejala pelanggaran kepada peraturan atau norma sosial, gangguan kecemasan juga memiliki ciri-ciri tertentu. (6). Kegagalan adaptasi secara positif.

Seseorang yang gagal dalam adaptasi secara positif dikatakan mengalami gangguan jiwa.


(58)

2.6.5. Terapi dan Rehabilitasi

Terdapat beberapa terapi yang dapat dilakukan pada pasien gangguan jiwa, yaitu :

(1). Terapi antipsikotik.

Ada 3 kelas obat utama Antipsikotik, yaitu Antagonis reseptor dopamin berupa Risperidone (Risperdal), Clozapine (Clozaril), obat lain Lithium Antikonvulsan Benzodiazepin. Terapi elektrokonvulsif (ECT) dapat memperpendek lamanya serangan Skizofrenik dan dapat mempermudah kontak dengan pasien. Akan tetapi terapi ini tidak dapat mencegah serangan yang akan datang. ECT lebih mudah diberikan, bahaya lebih kecil, lebih murah dan tidak memerlukan tenaga yang khusus. ECT baik hasilnya pada jenis katatonik terutama katatonik stupor.

(2). Terapi psikososial/Terapi perilaku.

Terapi sosial dilakukan untuk meningkatkan kemampuan sosial, kemampuan memenuhi diri sendiri, dan komunikasi interpersonal. Terapi perilaku dapat dilakukan dengan memberikan hadiah atau pujian sehingga dapat mendorong pasien berperilaku adaptif. Dengan demikian, frekuensi perilaku maladaptif atau menyimpang seperti berbicara lantang, berbicara sendiri, dan tingkah laku yang aneh dapat diturunkan. Latihan keterampilan perilaku dapat dilakukan dengan permainan simulasi, atau melakukan keterampilan dalam melakukan pekerjaan rumah.

(3). Terapi psikomotor.

Terapi psikomotor adalah suatu bentuk terapi yang mempergunakan gerakan tubuh sebagai salah satu cara untuk melakukan analisa berbagai gejala yang


(59)

mendasari suatu bentuk gangguan jiwa. Analisa yang diperoleh dapat dipakai sebagai bahan diskusi dinamika dari perilaku serta responnya dalam perubahan perilaku dengan tujuan mendapatkan perilaku yang paling sesuai dengan dirinya.

(4). Terapi kelompok.

Terapi kelompok bagi Skizofrenia biasanya memusatkan pada rencana, masalah dan hubungan dalam kehidupan nyata. Terapi ini juga efektif dalam menurunkan isolasi sosial, meningkatkan rasa persatuan dan meningkatkan tes realitas bagi pasien dengan Skizofrenia.

(5). Terapi rekreasi.

Terapi rekreasi adalah suatu bentuk terapi yang mempergunakan media rekreasi (bermain, olahraga, darmawisata, menonton TV, dan sebagainya) dengan tujuan mengurangi ketergangguan emosional dan memperbaiki perilaku melalui diskusi tentang kegiatan rekreasi yang telah dilakukan, sehingga perilaku yang baik di ulang dan yang buruk dihilangkan.

(6). Art terapi.

Art terapi adalah suatu bentuk terapi yang menggunakan media seni (tari, lukisan, musik, pahat, dan sebagainya) untuk mengekspresikan ketegangan-ketegangan psikis sehingga dapat menyalurkan dorongan-dorongan yang terpendam dalam jiwa seseorang. Hasil seni yang dibuat selain dapat dinikmati orang lain dan dirinya juga akan meningkatkan harga diri seseorang. Perawat jiwa yang selalu dekat dengan pasien diharapkan dapat memberikan berbagai kegiatan yang terarah dan berguna bagi pasien dalam berbagai terapi tersebut.


(60)

(7). Rehabilitasi.

Rehabilitasi adalah suatu proses yang kompleks, meliputi berbagai disiplin dan merupakan gabungan dari usaha medik, sosial, educational, yang terpadu untuk mempersiapkan, meningkatkan/mempertahankan dan membina seseorang agar dapat mencapai kembali taraf kemampuan fungsional setinggi mungkin. Peran perawat dalam kegiatan rehabilitasi masih diperlukan terutama dalam melibatkan keluarga atau masyarakat dalam pelaksanaan dan memperlancar upaya rehabilitasi.

2.6.6. Peran Keluarga pada Pasien Gangguan Jiwa

Keluarga merupakan unit yang paling dekat dengan pasien dan merupakan ”perawat utama” bagi pasien. Keluarga berperan dalam menentukan cara atau asuhan yang diperlukan pasien di rumah. Keberhasilan perawat di Rumah Sakit dapat sia-sia jika tidak diteruskan dirumah yang kemudian mengakibatkan klien harus dirawat kembali (kambuh). Peran serta keluarga sejak awal asuhan di Rumah Sakit akan meningkatkan kemampuan keluarga merawat klien di rumah sehingga kemungkinan dapat dicegah.

Pentingnya peran serta keluarga dalam perawatan pasien gangguan jiwa dapat dipandang dari berbagai segi. Pertama, keluarga merupakan tempat dimana individu memulai hubungan interpersonal dengan lingkungannya. Keluarga merupakan ”institusi” pendidikan utama bagi individu untuk belajar dan mengembangkan nilai, keyakinan, sikap, dan perilaku (Clement dan Buchanan, 1982).


(61)

Jika keluarga dipandang sebagai suatu sistem maka gangguan yang terjadi pada salah satu anggota dapat mempengaruhi seluruh sistem, sebaliknya disfungsi keluarga merupakan salah satu penyebab gangguan pada anggota (Yosep, 2007). 2.6.7. Skizofrenia

2.6.7.1. Definisi Skizofrenia

Skizofrenia adalah gangguan psikotik yang kronik, pada orang yang mengalaminya tidak dapat menilai realitas dengan baik dan pemahaman diri buruk (Kaplan dan Sadock, 1997) dikutip dari Imron (2008).

Menurut Kreapelin pada penyakit ini terjadi kemunduran intelegensi sebelum waktunya; sebab itu dinamakannya demensia (kemunduran intelegensi) precox

(muda, sebelum waktunya), (Kaplan dan Sadock, 2003) dikutip dari Akbar (2010).

2.6.7.2. Gambaran Klinis Skizofrenia

Perjalanan penyakit skizofrenia dapat dibagi menjadi 3 fase yaitu fase prodromal, fase aktif dan fase residual. Pada fase prodromal biasanya timbul gejala-gejala non spesifik yang lamanya bisa minggu, bulan ataupun lebih dari satu tahun sebelum onset psikotik menjadi jelas. Gejala tersebut meliputi : perubahan fungsi pekerjaan, fungsi sosial, fungsi penggunaan waktu luang dan fungsi perawatan diri. Perubahan-perubahan ini akan mengganggu individu serta membuat resah keluarga dan teman, mereka akan mengatakan “orang ini tidak seperti yang dulu”. Semakin lama fase prodromal semakin buruk prognosisnya.


(62)

Pada fase aktif gejala positif/psikotik menjadi jelas seperti tingkah laku katatonik, inkoherensi, waham, halusinasi disertai gangguan afek. Hampir semua individu datang berobat pada fase ini, bila tidak mendapat pengobatan gejala-gejala tersebut dapat hilang spontan suatu saat mengalami eksaserbasi atau terus bertahan.

Fase aktif akan diikuti oleh fase residual di mana gejala-gejalanya sama dengan fase prodromal tetapi gejala positif/psikotiknya sudah berkurang. Di samping gejala-gejala yang terjadi pada ketiga fase di atas, pendenta Skizofrenia juga mengalami gangguan kognitif berupa gangguan berbicara spontan, mengurutkan peristiwa, kewaspadaan dan eksekutif (atensi, konsentrasi, hubungan sosial) (Luana, 2007, dikutip dari Akbar, 2010).

2.6.7.3. Jenis-jenis Skizofrenia

Terdapat beberapa jenis Skizofrenia (Maramis, 2004), yaitu : (1). Skizofrenia Simpleks

Skizofrenia simpleks, sering timbul pertama kali pada masa pubertas. Gejala utama ialah kedangkalan emosi dan kemunduran kemauan. Gangguan proses berfikir biasanya sukar ditemukan. Waham dan halusinasi jarang sekali terdapat. Jenis ini timbul secara perlahan. Pada permulaan mungkin penderita kurang memperhatikan keluarganya atau menarik diri dari pergaulan. Makin lama ia semakin mundur dalam kerjaan atau pelajaran dan pada akhirnya menjadi pengangguran, dan bila tidak ada orang yang menolongnya ia akan mungkin akan menjadi “pengemis”, “pelacur” atau “penjahat”.


(63)

(2). Skizofrenia Hebefrenik

Skizofrenia hebefrenik atau disebut juga hebefrenia, permulaannya perlahan-lahan dan sering timbul pada masa remaja atau antara 15–25 tahun. Gejala yang menyolok adalah gangguan proses berfikir, gangguan kemauan dan adanya depersonalisasi. Gangguan psikomotor seperti perilaku kekanak-kanakan sering terdapat pada jenis ini. Waham dan halusinasi banyak sekali.

(3). Skizofrenia Katatonik

Skizofrenia katatonik atau disebut juga katatonia, timbulnya pertama kali antara umur 15-30 tahun dan biasanya akut serta sering didahului oleh stres emosional. Mungkin terjadi gaduh gelisah katatonik atau stupor katatonik.

(4). Skizofrenia Paranoid

Jenis ini berbeda dari jenis-jenis lainnya dalam perjalanan penyakit. Hebefrenia dan katatonia sering lama-kelamaan menunjukkan gejala-gejala skizofrenia simplek atau gejala campuran hebefrenia dan katatonia. Tidak demikian halnya dengan skizofrenia paranoid yang jalannya agak konstan.

(5). Episode Skizofrenia Akut

Gejala skizofrenia ini timbul mendadak sekali dan pasien seperti keadaan mimpi. Kesadarannya mungkin berkabut. Dalam keadaan ini timbul perasaan seakan-akan dunia luar dan dirinya sendiri berubah. Semuanya seseakan-akan-seakan-akan mempunyai arti yang khusus baginya.


(64)

Prognosisnya baik dalam waktu beberapa minggu atau biasanya kurang dari enam bulan penderita sudah baik. Kadang-kadang bila kesadaran yang berkabut tadi hilang, maka timbul gejala-gejala salah satu jenis skizofrenia yang lainnya. (6). Skizofrenia Residual

Skizofrenia residual, merupakan keadaan skizofrenia dengan gejala-gejala primernya Bleuler, tetapi tidak jelas adanya gejala-gejala sekunder. Keadaan ini timbul sesudah beberapa kali serangan skizofrenia.

(7). Skizofrenia Skizoafektif

Pada skizofrenia skizoafektif, di samping gejala-gejala skizofrenia terdapat menonjol secara bersamaan, juga gejala-gejala depresi atau gejala-gejala mania. Jenis ini cenderung untuk menjadi sembuh tanpa efek, tetapi mungkin juga timbul lagi serangan.

2.6.7.4. Pengobatan Skizofrenia

Beberapa metode pengobatan Skizofrenia (Akbar, 2010), yaitu : (1). Psikofarmaka

Pada dasarnya semua obat anti psikosis mempunyai efek primer (efek klinis) yang sama pada dosis ekuivalen, perbedaan utama pada efek sekunder (efek samping: sedasi, otonomik, ekstrapiramidal). Pemilihan jenis anti psikosis mempertimbangkan gejala psikosis yang dominan dan efek samping obat. Pergantian disesuaikan dengan dosis ekuivalen. Apabila obat antipsikosis tertentu tidak memberikan respons klinis dalam dosis yang sudah optimal setelah jangka waktu yang tepat, dapat diganti dengan obat anti psikosis lain (sebaiknya dan golongan yang tidak sama) dengan


(65)

dosis ekuivalennya. Apabila dalam riwayat penggunaan obat anti psikosis sebelumnya sudah terbukti efektif dan efek sampingnya ditolerir baik, maka dapat dipilih kembali untuk pemakaian sekarang. Bila gejala negatif lebih menonjol dari gejala positif pilihannya adalah obat anti psikosis atipikal. Sebaliknya bila gejala positif lebih menonjol dibandingkan gejala negatif pilihannya adalah tipikal. Begitu juga pasien-pasien dengan efek samping ekstrapiramidal pilihan kita adalah jenis atipikal. Obat antipsikotik yang beredar di pasaran dapat di kelompokkan menjadi dua bagian yaitu anti psikotik generasi pertama (APG I) dan anti psikotik generasi ke dua (APG ll).

(2). Psikososial

Ada beberapa macam metode yang dapat dilakukan antara lain psikoterapi individual, meliputi terapi suportif, social skill training, terapi okupasi, terapi kognitif dan perilaku. Terapi psikososial lainnya adalah psikoterapi kelompok, psikoterapi keluarga dan manajemen kasus.

2.7. Landasan Teori

Dari berbagai penyelidikan dapat dikatakan bahwa gangguan jiwa adalah kumpulan dari keadaan-keadaan yang tidak normal, baik yang berhubungan dengan fisik, maupun mental. Keabnormalan terlihat dalam berbagai macam gejala, yang terpenting diantaranya adalah ketegangan, rasa putus asa dan murung, gelisah, cemas, perbuatan-perbuatan yang terpaksa (convulsive), histeria, rasa lemah, dan tidak mampu mencapai tujuan, takut, pikiran buruk, dan sebagainya (Yosep, 2007).


(1)

memperhatikan kondisi karakteristik pasien yang berbeda-beda, yang meliputi latar belakang budaya pasien, tingkat sosial ekonomi, tingkat pendidikan, dan sebagainya.

Untuk meningkatkan pengetahuan keluarga tentang gangguan jiwa, petugas kesehatan dapat memberikan pendidikan kesehatan yang terkait dengan gangguan jiwa khususnya Skizofrenia, misalnya tentang pengertian Skizofrenia, hal-hal yang dapat menyebabkan Skizofrenia, gejala Skizofrenia, terapi pada pasien Skizofrenia, dan lain-lain.

Untuk meningkatkan mekanisme koping keluarga, petugas kesehatan dapat memberikan pendidikan kesehatan meliputi emotion focused coping dan problem focused coping. Pendidikan kesehatan tentang emotion focused coping misalnya keluarga diajarkan untuk mencari dukungan secara emosional dari orang lain, membuat harapan yang positif, menghayal mengenai situasi atau menghindar dari situasi yang tidak menyenangkan, mencoba untuk mengatur perasaan diri sendiri, menerima masalah yang dihadapi sambil mencoba memikirkan jalan keluarnya, melakukan tindakan yang bersifat religius misalnya berdo’a, dan lain-lain.

Pendidikan kesehatan tentang problem focused coping misalnya keluarga diajarkan untuk mengenali gejala kekambuhan pada pasien gangguan jiwa, mencari solusi secara langsung dalam menghadapi anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa dengan cara membawa pasien gangguan jiwa ke pelayanan kesehatan, berkonsultasi dengan tenaga kesehatan tentang kondisi pasien selama perawatan di rumah sakit jiwa, melakukan perawatan dan memperlakukan pasien


(2)

secara benar selama di rumah dan hal-hal lain yang dapat dilakukan untuk mengatasi stres karena memiliki anggota keluarga yang menderita gangguan jiwa.

Selain itu, melalui kelompok keperawatan kesehatan jiwa masyarakat yang bergabung dengan kelopok psikiatri komunitas dalam Instalasi Kesehatan Jiwa Masyarakat diharapkan dapat berperan lebih aktif lagi menjalankan fungsinya untuk memberikan tindakan preventif, promotif dan terapi rehabilitatif kepada masyarakat.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Zaidin. H., 2001. Dasar-Dasar Keperawatan Profesional. Jakarta : Widya Medika.

Ahyar., 2010. Konsep Diri dan Mekanisme Koping dalam Aplikasi Proses Keperawatan. diakses 19 April 2010; koping-dalam-proses-keperawatan/.

Akbar, Muhammad., 2010. Psikosa (Sakit Jiwa). diakses 26 Juni 2011; http://ababar.blogspot.com/2008/12/skizofrenia.html

Arikunto, Suharsimi., 2002. Prosedur Penelitian : Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta : Rineka Cipta.

Copel, Linda Carman., 2007. Kesehatan Jiwa dan Psikiatri Pedoman Klinis Perawat. Jakarta : EGC.

Danim, Sudarwan., 2003. Riset Keperawatan : Sejarah dan Metodologi. Jakarta : EGC.

Dempsey, Patricia Ann., & Dempsey. Arthur D., 2002. Riset Keperawatan : Buku Ajar dan Latihan. Ed. 4. Jakarta : EGC.

Efendi, Nasrul,.1998. Dasar-dasar Keperawatan Kesehatan Masyarakat. Ed. 2. Jakarta : EGC.

Febriani, Ririn Nur., 2008. Penderita Gangguan Jiwa Terus Meningkat. diakses 19 April 2010; http://www.antarajateng.com/detail/index.php?id=2145.

Friedman, Marilyn M., 1998. Keperawatan Keluarga : Teori dan Praktik. Jakarta : EGC.

Garcia, Liana., 2009. Gangguan Jiwa Makin Merebak. diakses 15 April 2010;

Hawari, Dadang., 2001. Pendekatan Holistik Pada Gangguan Jiwa Skizofrenia. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas kedokteran Universitas Indonesia.


(4)

Hidayat, Aziz Alimul A., 2004. Pengantar Konsep Dasar Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika.

Imron., 2008. Konsep Dasar Skizofrenia dan Waham. diakses 26 Juni 2011; Intan., 2010. Gangguan Jiwa Perlu Dikenali dan Ditanggulangi Sejak Dini. diakses

19 April 2010;

Irma., 2010. Gangguan Jiwa dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. di akses 16 Februari 2011;

Keliat., Budi Anna., 1996. Peran Serta Keluarga dalam Perawatan Klien Gangguan Jiwa. Jakarta : EGC.

., 1999. Penatalaksanaan Stress. Jakarta : EGC.

Kristyanti & Rosalina., 2009. Manajemen Stres Bagi Keluarga Penderita Skizofrenia.

diakses 22 April 2010;

Maramis. W.E., 2004. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya : Airlangga University Press,

Moersalin, Marthoenis., 2009. Ketika Gubernur ke Rumah Sakit Jiwa. diakses 31 Maret 2010; http://www.harian-aceh.com/opini/2670-ketika-gubernur-ke-rumah-sakit-jiwa.html.

Mudhofir, A., 2001. Kamus Istilah Filsafat dan Ilmu. Yogyakarta : Gajah Mada University Press.

Mustafa, Hasan., 2008. Perspektif dalam Psikologi Sosial. Diakses 23 Juni 2011; home.unpar.ac.id/~hasan/perspektif%20dalam%20psikologi%20sosial.doc Notoatmodjo, Soekidjo., 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka

Cipta.

., 1997. Prinsip-prinsip Dasar Ilmu Kesehatan Masyarakat. Jakarta : Rineka Cipta.


(5)

., 2003. Pendidikan dan Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta. Notosoedirjo, Moeljono., 2005. Kesehatan Mental : Konsep dan Penerapan. Malang :

Penerbitan Universitas Muhammadiyah.

Nursalam., 2008. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan : Pedoman Skripsi, Tesis, dan Instrumen Penelitian Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika.

Rasmun., 2004. Stres, Koping dan Adaptasi : Teori dan Pohon Masalah Keperawatan. Jakarta : EGC.

Sabri, Luknis., & Hastono, Sutanto Priyo., Statistik Kesehatan. Ed. 2. Jakarta : Rajawali Pers.

Siswanto., 2007. Kesehatan Mental : Konsep, Cakupan dan Perkembangannya. Yogyakarta : Penerbit Andi.

Siswono., 2001. Sangat Besar, Beban Akibat Gangguan Jiwa. diakses 23 April 2010; http://www.gizi.net/cgi-bin/berita/fullnews.cgi?newsid1002779805,55571. diakses 23 April 2010.

Soemanto., 2006. Psikologi Pendidikan (Landasan Kerja Pemimpin Pendidikan). Jakarta : Rineka Cipta.

Stuart, Gail Wiscarz dan Sundeen, Sandra J., 1995. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Jakarta : EGC.

Sunaryo., 2004. Psikologi untuk Keperawatan. Jakarta : EGC.

Suprajitno., 2004. Asuhan Keperawatan Keluarga : Aplikasi dalam Praktik. Jakarta : EGC.

Tomb, David A., 2003. Buku Saku Psikiatri. Jakarta : EGC. Yosep, Iyus., 2007. Keperawatan Jiwa. Refika Aditama : Bandung.

., 2007. Mencegah Gangguan Jiwa Mulai dari Keluarga Kita. diakses 21 Mei 2010;

gangguan jiwa dari keluarga kita.pdf


(6)

Yuli, 2009. RS Jiwa Atma Husada Mahakam Kelebihan Daya Tampung. diakses 20 April 2010; http//www.vivaborneo.com/rs-jiwa-atma-husada-mahakam-kelebihan-daya-tampung.htm/comment-page-1

Yulian., 2008. Hubungan Antara Support System Keluarga Dengan Kepatuhan Berobat Klien Rawat Jalan Di Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta. diakses 19 April 2001; http://etd.eprints.ums.ac.id/900/l/J220060029.pdf.