Qudwah Hasanah yang bersifat mutlak, yaitu contoh baik atau suatu Qudwah Hasanah Nisbi, yaitu teladan yang terikat dengan apa yang

keimanannya pada hal-hal yang hanya berupa hukum-hukum teoritis dan pemikiran belaka. 49 Seperti halnya suatu sifat keteladanan, dimana ketika seseorang melakukan hal kebaikan secara nyata dan bukan hanya teoritis saja, maka orang lain dapat mudah menirunya, sehingga penting adanya tokoh public figure yang baik yang dapat ditiru akhlaknya. 49 Mahmud Abdul Latif Uwaidhah, Pengemban Dakwah; Kewajiban dan Sifat-sifatnya, h. 127. 45 BAB III GAMBARAN UMUM NOVEL AYAH… A. Deskripsi Novel Ayah… Novel Ayah… adalah salah satu novel best seller yang laris di beli para pembacanya sejak tahun awal terbit, 2013. Hal itu terbukti dengan adanya penjualan buku hingga 15.000 eksemplar dan dengan delapan kali cetak. Maka dari itu novel ini pun menjadi salah satu novel biografi yang Best Seller sejak tahun 2013. Bahkan salah satu situs yang berisi para pecinta membaca pun mencantumkan novel Ayah... kedalam list-nya sehingga menjadi salah satu buku bacaan yang juga banyak diminati orang banyak. Dalam situs www.goodreads.com tersebut, novel Ayah... mendapatkan 210 rating dengan jumlah nilai bintang 3.89 yang artinya hampir mendekati angka 4 yang diberikan oleh sebagian pembaca dari 573 orang yang membahas novel Ayah... dalam situs tersebut. 1 Novel ini termasuk kedalam sebuah novel agama sekaligus novel biografi dengan nuansa semi-novel. Novel Ayah… merupakan tulisan yang menceritakan riwayat hidup seorang ulama besar yang juga bukan hanya di kenal dengan kiprah dakwahnya tapi juga terkenal sebagai sastrawan hebat yang berhasil meluncurkan ratusan karyanya yang selalu dikenang sepanjang zaman. Tokoh itu dikenal dengan nama Buya Hamka. 1 Goodreads, Ayah...: Kisah Buya Hamka, diakses pada hari selasa tanggal 7 April 2015 pada pukul 16.30 wib dari http:www.goodreads.combookshow17983604-ayah . Menariknya, novel ini ditulis langsung oleh putra kelima dari Buya Hamka sendiri yang bernama Irfan Hamka. Dengan menggunakan sudut pandang orang pertama sebagai pelaku sampingan yang merupakan putra kandungnya, alur cerita pun menjadi semakin menarik, dengan adanya gaya bahasa seorang Irfan Hamka yang khas yang berperan sebagai anak dalam novel Ayah… tersebut. Selain itu, novel ini juga jadi semakin spesial dengan adanya cantuman kata sambutan atau kata pengantar yang ditulis langsung oleh sastrawan Indonesia juga, yaitu DR. Taufiq Ismail. Novel ini membagi kisah Buya Hamka kedalam sepuluh bab. Dengan dibagi menjadi sepuluh bab, Irfan Hamka membuat kisah perjalanan hidup Buya Hamka menjadi semakin ringan untuk dibaca oleh para pembacanya dan dalam sepuluh bab itu pula semua kisah hidup Buya Hamka, baik saat pra kemerdekaan Indonesia bahkan sampai pasca kemerdekaan tercatat dengan narasi yang terangkum dengan gaya bahasa yang ringan. B. Bagian Inti Novel Ayah… Dalam novel ini terdapat banyak sekali kisah Buya Hamka yang di beberkan secara jelas oleh Irfan Hamka. Selain mengenai sejarah dan perjalanan hidup seorang Buya Hamka, novel ini juga memiliki pesan dan nilai-nilai yang penuh makna, baik dalam sisi moral, sisi keagamaan, ataupun sisi kekaguman terhadap ayahnya. Semua itu bukan hanya menjadi cerita yang menarik namun juga penuh dengan pesan-pesan kehidupan. Pada novel ini, penulis menceritakan kisah ayahnya dengan membaginya kepada beberapa bagian dan fragmen-fragmen yang di dalamnya terdapat sepuluh bagian. Dengan membaginya kedalam sepuluh bagian tersebut, para pembaca jadi semakin mudah memahami inti cerita itu sendiri. Dan dari sepuluh bagian tersebut, peneliti akan membahasnya satu demi satu. Bagian satu ; Sejenak Mengenang Nasihat Ayah, dalam bagian pertama ini, Irfan Hamka penulis bercerita tentang tiga perkara berupa nasihat dari Buya Hamka. Diantaranya, nasihat bagi rumah tangga, nasihat bagi tetangga, dan nasihat untuk pembohong. Dalam tiga perkara nasihat tersebut, Irfan Hamka berusaha menceritakan seperti apa nasihat-nasihat yang disampaikan ayahnya kepadanya baik secara langsung maupun tidak langsung. Dalam bagian ini, terlihat jelas bagaimana nasihat Buya Hamka memang sangatlah berkaitan dengan kehidupan sehari-hari sehingga dalam bagian yang pertama ini kita bisa mendapatkan banyak pesan keagamaan antar sesama makhluk sosial. Dan dari ketiga perkara yang dituliskan dalam novel itu pula, Irfan Hamka mengajak para pembaca untuk bisa kembali mengenang kisah Buya Hamka melalui nasihat dan menjadikan tiga perkara tersebut sebagai pembuka cerita tentang kisah Buya Hamka yang selanjutnya. Bagian dua ; Ayah Dan Masa Kecil Kami merupakan suatu penyampaian melalui cerita bagaimana Buya Hamka saat Irfan Hamka kecil dan bagaimana Buya Hamka sebagai ayahnya mendidik Irfan Hamka dengan cara-cara yang baik dan tegas. Dalam hal ini, Irfan Hamka menceritakan tentang sosok pejuang dari seorang ayah yang sangat ia kagumi. Bagaimana Buya Hamka berjuang memperjuangkan negaranya dari jajahan Belanda. Cerita tentang begitu berwibawanya seorang Buya Hamka saat menyelesaikan masalah perkelahian yang terjadi antara anak-anak Buya Hamka, yaitu Bang Zaki dan Bang Rusjdi dengan anak dari guru besar silat, Angku Janggut. Bagian tiga ; Ayah Berdamai Dengan Jin bercerita tentang pengalaman hidup ayahnya dengan kejadian-kejadian gaib di sekitar rumah barunya yang baru saja mereka tempati. Dalam bab ini, Irfan Hamka khusus menuliskan sebuah cerita bagaimana kala itu ayahnya dapat berbicara dan berinteraksi dengan jin atau makhluk halus penghuni rumah baru mereka. Khususnya ketika ayahnya melakukan perdamaian dengan jin. Bagian empat ; Ayah, Ummi, dan Aku Naik Haji mengisahkan bagaimana perjalanan keluarga Hamka yang saat itu mendapatkan tawaran naik haji untuk tiga orang dan yang berangkat haji, yaitu Buya Hamka ayahnya, Ummi Siti Raham ibunya dan sebagai pendamping perjalanan, Irfan Hamka pun ikut dalam perjalanan naik haji tersebut. Dalam bab ini, Irfan Hamka menceritakan bagaimana proses perjalanan naik hajinya bersama ayah dan ibunya yang kala itu masih menggunakan kapal laut sehingga memakan waktu lama untuk sampai kesana. Tawaran naik haji itu diberikan spesial kepada keluarga Hamka langsung dari Jenderal Soeharto yang saat baru saja ditetapkan menjadi Pejabat Presiden Republik Indonesia oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara MPRS. Tawaran itu diberikan saat Buya Hamka diminta mengisi khutbah Idul Fitri di Masjid Baiturrahim Istana Negara, Jakarta. Selanjutnya, bab tersebut menceriatakan kisah-kisah dalam perjalanan mereka menuju kota suci Mekkah. Baik penggambaran saat di kapal Mae Abeto, saat singgah di pelabuhan Teluk Bayur, Sumatera Barat, dan seterusnya hingga mereka sampai ke tempat tujuan. Dalam bab ini, Irfan Hamka seakan ingin menggambarkan bagaimana perjuangan orang-orang di zaman dahulu jika ingin naik haji bahkan sampai ada kisah dimana para jemaah haji ada yang sampai meninggal dunia di kapal saat perjalanan karena sangat jauh dan lamanya perjalanan menuju Mekkah itu. Bagian lima ; Perjalanan Maut Ayah Umi dan Aku merupakan kisah lanjutan dari bab sebelumnya. Jika dalam bab sebelumnya mengisahkan tentang perjalanan menuju Mekkah, dalam bab ini Irfan Hamka lebih bercerita bagaimana mereka melewati masa-masa perjalanannya keberbagai tempat di negeri timur tersebut. Lalu, cerita klimaksnya pun muncul saat mereka melakukan perjalanan melalui padang pasir dan menghadapi angin topan gunung pasir sehingga merekapun merasakan bagaimana seramnya saat mobil yang mereka kendarai terkepung oleh pasir. Namun, akhirnya merekapun selamat. Bagian enam ; Ayah Seorang Sufi, di Mataku adalah bab dimana Irfan Hamka hanya ingin menceritakan bagaimana sosok seorang Buya Hamka di matanya, dan walaupun memang Buya Hamka bukanlah seorang Sufi namun bagi Irfan Hamka anaknya, Buya Hamka merupakan sosok yang dapat dipanggil sufi karena adanya berbagai kisah hidup Buya Hamka yang mengarah kepada gaya hidup seorang sufi. Bagian tujuh ; Ayah Dan Ummi, Teman Hidupnya merupakan sebuah bab yang mengisahkan seorang Ummi, yaitu ibu dari Irfan Hamka yang sangat dicintai oleh keluarganya. Dalam bab ini Irfan Hamka mengisahkan sebuah kesedihan dimana ayahnya harus kehilangan istri dan Irfan Hamka dan anak- anaknya yang lain harus kehilangan sosok seorang ibu yang biasa ia panggil Ummi. Ummi meninggalkan jejak yang begitu luar biasa dalam kehidupan keluarga Hamka. Sehingga ketiadaanya pun menyisakan duka yang teramat dalam. Dalam bab ini, bukan hanya kisah tentang kepergian Ummi nya saja, namun juga bagaimana kisah hidup ayahnya sepeninggalan Ummi yang terlihat amat sedih namun tetap selalu mengingat Allah yang membuat kedukaannya semakin dekat dengan Allah. Bagian delapan ; Si Kuning, Kucing Kesayangan Ayah ikut dituliskan juga oleh Irfan Hamka. Dalam bab ini Irfan Hamka ingin menceritakan bagaimana setianya kucing kesayangan Buya Hamka yang bernama si Kuning. Selain itu juga, ia ingin berbagi cerita bagaimana ayahnya sangatlah menyayangi makhluk-makhluk hidup ciptaan Allah, bukan hanya kepada manusia juga pada hewan, yaitu si Kuning. Bagian sembilan ; Ayah, Hasil Karya, dan Beberapa Kisah mengisahkan kehidupan Buya Hamka yang penuh dengan cerita berharga dan relasi-relasi yang sangat hebat. Dengan memulai ceritanya dari Buya Hamka kecil, saat merantau, mejajaki pendidikan otodidak, memulai berdakwah, sikap hidup Buya Hamka, peninggalan-peninggalan berharga dari hasil karya Buya Hamka dan bahkan berbagai cerita tentang hubungan-hubungan Buya Hamka dengan berbagai tokoh terkenal Indonesia dari Presiden Soekarno hingga kisahnya dengan Pramoedya Ananta Toer seseorang yang pernah memusuhi Buya Hamka hingga kisahnya sempat menggemparkan dunia sastra Indonesia. Lalu ceritapun ditutup dengan kisah Buya Hamka yang menikah kembali dengan gadis Cirebon bernama Hj. Siti Chadijah yang mereka panggil dengan sebutan Ibu. Bagian sepuluh ; Ayah Meninggal Dunia, bab ini merupakan bab penutup dimana Buya Hamka pun wafat dan mengakhiri kisah perjalanan hidupnya. Buya Hamka tutup usia dengan meninggalkan banyak kisah dan kenangan untuk Indonesia, dunia sastra dan juga orang-orang dekatnya juga semua orang yang mengenal sosok Buya Hamka. Kepergiannya menjadi suatu kedukaan bagi seluruh rakyat Indonesia khususnya keluarga yang bukan hanya sosoknya saja yang akan dikenang dan dirindukan, namun juga pemikirannya yang begitu mencerahkan bagi umat Islam di Indonesia. C. Latar Belakang Penulisan dan Penerbitan Novel Ayah… Novel Ayah… ini merupakan sebuah tulisan yang di tulis langsung oleh anak kandung dari tokoh utama dalam novel ini, yaitu Irfan Hamka. Banyak alasan mengapa novel ini menjadi sebuah novel yang sangat ingin diterbitkan khususnya oleh pihak penerbit sendiri yaitu Republika. Dan salah satu alasannya, yaitu rasa kagum penerbit kepada tokoh utama novel ini, yaitu Buya Hamka akan sejarah dan perjalanan hidupnya. 2 Pihak Republika Penerbit sangtlah mengagumi sosok ulama besar sekaligus sastrawan tersebut, namun sayangnya tak ada satu pun novel karya Buya Hamka yang di terbitkan oleh Republika Penerbit. Mereka kagum akan akhlak, tauhid, dan wawasan Buya Hamka, sehingga menjadi suatu harapan besar mereka bisa menerbitkan karya dari sosok yang mereka kagumi. 3 Hingga pertengahan tahun 2012, datanglah seorang laki-laki yang sudah berumur mendatangi kantor mereka Republika Penerbit yang berlokasi di Taman Margasatwa, Ragunan, Jakarta. Laki-laki itupun di sambut hangat di ruang rapat. Dan laki-laki itu tidak lain adalah anak kelima dari Almarhum Buya Hamka, yaitu Irfan Hamka. Beliau datang ke kantor Republika dengan membawa sebuah novel karyanya yang berjudul Kisah-kisah Abadi Bersama Ayahku, Hamka. Dan beliau menawarkan kepada pihak Republika Penerbit untuk kembali menerbitkan novel yang pernah diterbitkan oleh UHAMKA PRESS tersebut. 4 Saat itu Irfan Hamka juga memiliki tujuan yang sama dengan pihak penerbit, yaitu sama-sama ingin menerbitkan kembali kisah tentang Buya Hamka, gayung pun bersambut. Kedua belah pihak pun setuju untuk menerbitkan kembali novel tentang kisah Almarhum Buya Hamka tersebut. Selain itu penulis juga memiliki alasan tersendiri tentang penerbitan novel tentang ayahnya ini, yaitu Irfan Hamka ingin ingin memperluas syiar dan kisah Buya Hamka agar menjadi 2 Irfan Hamka, Ayah... , Jakarta: Republika Penerbit, 2013, h. vii. 3 Irfan Hamka, Ayah... , h. viii. 4 Irfan Hamka, Ayah... , h. ix. suatu yang menginspirasi dan memberikan motivasi peningkatan ketakwaan kepada Allah bagi para masyarakat Indonesia. 5 D. Biografi Irfan Hamka Penulis Novel Ayah… Irfan Hamka merupakan anak kelima dari dua belas bersaudara yang lahir dari pasangan H. Abdul Malik Karim Amrullah atau biasa dikenal dengan nama Prof. Dr. Buya Hamka dan Hajah Siti Raham Rasul pada tanggal 24 Desember 1943 di Medan. Saat ini usia beliau sudah berkepala tujuh dan sudah mempunyai lima orang anak dari istrinya yang bernama RA. Poppy Ariani Tedjo Atmo Saprodjo. Dalam pendidikan formal, beliau mengenyam bangku pendidikannya mulai dari SDN Blok D II Petang, Kebayoran Baru kemudian melanjutkan sekolah menengahnya di SMPN XIII, Kebayoran Baru dan lulus pada tahun 1960. Setelah itu beliau melanjutkan pendidikan ke SMAN IX, Kebayoran Baru lalu kemudian melanjutkan pendidikannya lagi di Universitas Muhammadiyah, Jakarta dan pada tahun 1968 beliaupun menamatkan pendidikan S1-nya sebagai Sarjana Muda Fakultas Hukum, Universitas Muhammadiyah, Jakarta. 6 Saat beliau kecil berusia 5 tahun sedang terjadi Agresi II Belanda tahun 1948. Dan sejak saat itulah beliau dan keluarga mengungsi ke kampung halaman kedua orangtuanya di Maninjau, Sumatera Barat. Lalu setelah itu mereka pun berpindah lagi ke Jakarta dan mulai menjalani masa sekolah. 5 Irfan Hamka, Ayah... , h. x. 6 Irfan Hamka, Ayah... , h. 293. Saat beliau masih duduk di bangku SMP, beliau suka mencatat peristiwa yang dialaminya, khusunya dalam kehidupan sehari-harinya bersama Ayah dan Ummi nya di novel harian. Dan kebiasaan beliau itu pun terus berlanjut hingga membawanya menjadi seorang wartawan di salah satu majalah Islam. Masa mudanya pun penuh dengan aktifitas dan prestasi yang sangat cemerlang di dalam berbagai kegiatan organisasi. Antara lain yaitu, pada tahun 1961-1962, beliau terpilih menjadi Ketua PII Pelajar Islam Indonesia SMAN IX. Lalu menjadi Wakil Ketua PII Tingkat Cabang Kebayoran Baru pada tahun 1962-1964. Pada tahun 1965-1966, beliau menjadi anggota Presidium KAMI Jaya. Lalu kemudian pada tahun 1969, beliau menjadi Komandan Batalyon DI Panjaitan, Laskar Ampera Arif Rahman Hakim dari angkatan 66. 7 Bukan hanya itu saja, pengalaman organisasinya masih terus berlanjut, pada tahun 1969 sampai 1974 beliau di percaya menjadi Wakil Ketua Bidang Koperasi Pembinaan Pengusaha Kecil Menengah DPP IKBLA Arif Rahman Hakim. Masa muda dan mahasiswa beliau sangatlah penuh dengan aktifitas keorganisasian, beragam jabatan keorganisasian pun pernah beliau duduki dan rasakan. Dari berbagai organisasi, beliau terus berkiprah dalam ruang lingkup sosial dan agama. Setelah itu, beliau pun bekerja menjadi seorang wartawan pada salah satu majalah Islam yang kala itu masih dipimpin oleh ayahnya yaitu Buya Hamka dalam majalah “Panji Masyarakat” pada tahun 1967 sampai 1981. Kemudian pada 7 Irfan Hamka, Ayah... , h. 293. tahun 1982, beliau bersama dengan rekan-rekannya mulai mendirikan PT. Pandhila, dan beliau pun menjabat sebagi direktur utama dalam perusahaan tersebut. Saat masih menjadi wartawan, beliau sering membuat berbagai laporan haji. Selain berkiprah dalam dunia sosial, agama, dan juga media, beliaupun juga pernah ikut berkontribusi dalam dunia kepenulisan. Dengan karya tulisnya yang berjudul 20 Tahun Kemudian, Putri Tuan Syech, Qori Yang Buta, dan Muazin Kami. Dan semua novel tersebut di terbitkan oleh majalah “Panji Masyarakat”. Perjalanan sebagai wartawan yang beliau lalui bukan hanya di negeri sendiri saja yaitu Indonesia, namun perjalanan kewartawanannya itu bahkan sudah merambah ke negeri orang antara lain seperti ke Saudi Arabia, Mesir, Suriah, Lebanon, Irak, Kuwait, Pakistan, dan Malaysia. Dan semua tempat itu beliau kunjungi bukan hanya saat menemani ayahnya saja namun juga saat beliau berkiprah menjadi wartawan. 8 Kemudian pada tahun 2013, beliau kembali memunculkan sebuah karya tulis best seller nya yang berjudul Ayah… .

E. Biografi Buya Hamka Tokoh Ayah

Buya Hamka yang menjadi tokoh ayah dalam novel ini, memiliki nama lengkap Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih dikenal dengan nama Buya Hamka. Buya Hamka merupakan ayah kandung dari penulis novel Ayah…, yaitu Irfan Hamka. Beliau lahir pada tanggal 17 Februari 1908 di Maninjau, Sumatera 8 Irfan Hamka, Ayah... , h. 294. Barat. Yang merupakan putra pertama dari pasangan Dr. Abdul Karim Amrullah dan Shaffiah. 9 Gambar 3.1 Prof. Dr. Haji Abdul Malik Karim Amrullah HAMKA Buya Hamka adalah sosok yang memiliki banyak catatan sejarah dalam ruang lingkup sejarah muslim di Indonesia. Beliau adalah ulama besar Indonesia yang ikut andil dalam perjuangan muslim di masa pergerakan melawan para penjajah Belanda yang juga ikut tercatat saat Indonesia mencapai kemerdekaannya dan juga pasca kemerdekaan. Sejak muda beliau sudah terlibat dalam aktivitas politik, diantaranya menjadi anggota Sarekat Islam pada tahun 1925 dan setelah kemerdekaan beliau aktif dengan Partai Masyumi. Selain itu Buya Hamka adalah seorang yang sangat konsisten dengan agamanya. Sikapnya yang konsisten terhadap agama membuatnya harus menghadapi berbagai rintangan, terutama dengan beberapa kebijakan pemerintah. Beliau sampai dipenjarakan oleh Ir. Soekarno dari tahun 1964 sampai 1966. Buya Hamka diasingkan ke Sukabumi, kemudian ke Puncak, 9 Irfan Hamka, Ayah... , h. 289. Megabendung dan terakhir dirawat di rumah sakit Persahabatan Rawamangun sebagai tawanan dan dialam penjara itulah beliau mulai menulis Tafsir al-Azhar yang merupakan karya terbesarnya. 10 Beliau menikah pada tanggal 5 April 1929 dengan Ummi kandung dari Irfan Hamka Penulis yang bernama Hajah Siti Raham Rasul. Lalu pada tahun 1971, Ummi dari Irfan Hamka Penulis pun meninggal dunia namun kurang lebih 6 tahun kemudian Buya Hamka pun menikah kembali dengan Hajah Siti Chadijah. Dalam pendidikan formal, Buya Hamka mengenyam bangku pendidikannya mulai dari Sekolah Desa, namun tidak tamat. Lalu dilanjutkan belajar Agama Islam di Sumatera Thawalib, Padang Panjang pada tahun 1918. Namun tidak sampai selelsai juga. Lalu pada tahun 1922, Buya Hamka kembali belajar dan memperdalam Agama Islam di Parabe, Bukittinggi, itupun tidak selesai. Hingga akhirnya Buya Hamka terus menghabiskan waktunya dengan belajar secara otodidak dengan banyak membaca novel. Selain itu juga Buya Hamka ikut belajar langsung kepada para tokoh dan ulama yang berada di Indonesia yaitu di Sumatera atau bahkan sampai ke luar negeri seperti Mekkah, Arab Saudi. Selain pengalaman di dunia pendidikan formal. Buya Hamka juga sempat dipercaya untuk menduduki jabatan-jabatan tinggi di beberapa organisasi, diantaranya yaitu menjabat sebagai Konsul Muhammadiyah Sumatera Timur 10 Wikipedia, “Haji Abdul Malik Karim Amrullah”, diakses pada selasa, 26 Agustus 2014, pukul 17.27 WIB dari http:id.wikipedia.orgwikiHaji_Abdul_Malik_Karim_Amrullah . pada tahun 1943. Lalu pada tahun 1947, menjabat sebagai Ketua Front Pertahanan Nasional FPN. Dan juga menjabat sebagai Ketua Sekretariat Bersama badan Pengawal Negeri dan Kota BPNK pada tahun 1948. Lalu, dilanjutkan pada tahun 1950, Buya Hamka menjadi Pegawai Negeri pada Departemen Agama RI di Jakarta. Lalu, pada tahun 1955 sampai 1957, Buya Hamka terpilih menjadi Anggota Konstituante Republik Indonesia. Kemudian pada tahun 1960, Buya Hamka di berikan amanah untuk mengemban jabatan sebagai Pengurus Pusat Muhammadiyah. Dilanjutkan pada tahun 1968, di pilihlah Buya Hamka sebagai Dekan Fakultas Usuluddin Universitas Prof. Moestopo Beragama. Dan kemudian pada tahun 1975 sampai 1979 Buya Hamka pun dipercaya untuk menjadi Ketua Majelis Ulama Indonesia MUI oleh para ulama. Dan beriringan dengan hal tersebut, Buya Hamka juga menjabat menjadi Ketua Yayasan Pesantren Islam Al- Azhar selama dua periode. 11 Buya Hamka merupakan seorang ulama yang sangat toleran dalam kehidupannya, namun juga sosok yang tegas dalam memperjuangkan akidahnya. Contohnya saja saat beliau menjabat sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia MUI pertama. Saat itu dengan berani beliau mengeluarkan sebuah fatwa yang hingga kini bahkan masih menjadi bahan perbincangan dan diskusi keagamaan, yaitu fatwa haram bagi umat Islam merayakan Natal bersama. Saat itu pemerintah meminta beliau untuk membatalkan fatwa tersebut, maka karena pemerintah tidak sejalan dengan beliau akhirnya beliau pun mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia MUI. 11 Irfan Hamka, Ayah... , Jakarta: Republika Penerbit, 2013, h. 290.