1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian.
Para pelaku bisnis mempunyai peluang yang besar untuk mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya, meskipun dengan cara yang tidak
dibenarkan oleh hukum apalagi oleh nilai-nilai etika. Etika merupakan nilai- nilai hidup dan norma-norma serta hukum yang mengatur tingkah laku
manusia. Etika pada dasarnya berkaitan erat dengan moral yang merupakan kristalisasi dari ajaran-ajaran, patokan-patokan, kumpulan aturan, dan
ketetapan baik lisan maupun tertulis Enjel, 2006:2. Etika dinyatakan secara tertulis atau formal disebut sebagai kode etik, maka dari itu sebagai
seorang auditor harus mentaati aturan etika dan menghayati serta mengamalkan kode etik dalam melaksanakan tugasnya.
Rand 2003 dalam Ludigdo 2006:14 menyatakan bahwa etika merupakan kode nilai-nilai untuk memandu pilihan dan tindakan manusia,
yaitu pilihan dan tindakan yang menentukan tujuan dan jalannya kehidupan manusia. Dengan tidak mengabaikan nilai positif dari etika profesi yang
telah ada, langkah dekonstruktif yang dilakukan untuk membangun etika profesi dengan memperhatikan secara cermat konteks sosial dan budaya
masyarakat Indonesia sangat diperlukan, karena dimensi pemikiran etika dapat diterapkan dalam berbagai aspek kehidupan, baik pribadi, sosial,
ekonomi maupun politik.
2 Preston at.al 2002 dalam Winartono 2004 menyatakan etika harus
dilihat dari sudut pandang organisasi dan kelembagaan dibandingkan pada pemahaman bahwa dalam lingkungan perusahaan, kumpulan individu
menjadi faktor penentu dalam pencapaian tujuan bersama, tanpa mengabaikan tanggung jawab individu. Etika harus dibangun dalam suatu
prosedur kegiatan dan pengambilan keputusan suatu organisasi. The American Heritage Dictionary menyatakan etika sebagai suatu aturan atau
standar yang menentukan tingkah laku para anggota dari suatu profesi, pengembangan etismoral memainkan peran kunci dalam semua area profesi
akuntan Louwers 1997, dalam Gusti dan Ali, 2006:5. Boner dan Walker 1994 dalam Herman 2009 menyatakan bahwa
peningkatan pengetahuan yang muncul dari pelatihan formal sama bagusnya dengan yang didapat dari pengalaman khusus. Oleh karena itu, pengalaman
kerja telah dipandang sebagai suatu faktor penting dalam memprediksi kinerja akuntan publik, sehingga pengalaman dimasukan sebagai salah satu
persyaratan dalam memperoleh ijin menjadi akuntan publik. SK Menkeu
No. 359KMK.062003 tentang perubahan atas Kep Menkeu No.
423KMK.062002 tentang jasa akuntan publik Depkeu, 2003 .
Pengalaman dan pemahaman seorang auditor akan jenis dan karakteristik kecurangan akan sangat membantu dalam hal penyusunan dan pelaksanaan
prosedur pemeriksaan. Ada kecenderungan pihak penyaji laporan keuangan akan menyembunyikan kecurangan yang terjadi, untuk itu diperlukan
3 auditor yang betul-betul berpengalaman sesuai dengan bidang pemeriksaan
yang menjadi tugasnya. Penelitian-penelitian yang dilakukan oleh Diah 2008, Taufik 2008,
dan Herman 2009 menyatakan bahwa pengalaman kerja berpengaruh secara signifikan terhadap kemampuan mendeteksi kecurangan. Seseorang
yang memiliki pengalaman kerja yang tinggi akan memiliki keunggulan dalam mendeteksi kesalahan, memahami kesalahan, dan mencari penyebab
munculnya kesalahan Indri 2005, dalam Ananing 2006. Seorang auditor dalam menjalankan penugasan audit di lapangan
seharusnya tidak hanya sekedar mengikuti prosedur audit yang tertera dalam program audit, tetapi juga harus disertai dengan sikap skeptisme profesional.
Standar profesional akuntan publik mendefinisikan skeptisme profesional sebagai sikap auditor yang mencakup pikiran yang selalu mempertanyakan
dan melakukan evaluasi secara kritis terhadap bukti audit IAI, 2001, SA seksi 316.06.
Seorang auditor yang skeptis, tidak akan menerima begitu saja penjelasan dari klien, tetapi akan mengajukan pertanyaan untuk memperoleh
alasan, bukti, dan konfirmasi mengenai objek yang dipermasalahkan. Tanpa menerapkan skeptisme profesional, auditor hanya akan menemukan salah
saji yang disebabkan oleh kekeliruan saja dan sulit untuk menemukan salah saji yang disebabkan oleh kecurangan, karena kecurangan biasanya akan
disembunyikan oleh pelakunya.
4 Secara psikologis, seorang auditor sering kali diwarnai oleh rasa terlalu
curiga atau sebaliknya terkadang terlalu percaya terhadap asersi manajemen. Padahal seharusnya seorang auditor secara profesional menggunakan
kecakapannya untuk “balance” antara sikap curiga dan sikap percaya tersebut, ini yang kadang sulit diharapkan, apalagi pengaruh-pengaruh di
luar diri auditor yang bisa mengurangi sikap skeptisme profesional tersebut. Pengaruh itu bisa berupa “self-serving bias” karena auditor dalam
melaksanakan tugasnya mendapat imbalan dari audite. Auditor harus menggunakan kemahiran profesional secara cermat dan seksama dalam
menentukan jenis pemeriksaan yang akan dilaksanakan dan standar yang akan diterapkan terhadap pemeriksaan, menentukan lingkup pemeriksaan,
memilih metodologi, menentukan jenis dan jumlah bukti yang akan dikumpulkan, atau dalam memilih pengujian dan prosedur untuk melakukan
pemeriksaan. Kemahiran profesional harus diterapkan juga dalam melakukan pengujian dan prosedur, serta dalam melakukan penilaian dan
pelaporan hasil pemeriksaan. Beberapa penelitian menunjukan bahwa subjek yang suspicious curiga
terhadap validitas informasi akan meningkatkan proses penelitiannya Petty dan Caccioppo, 1977; Schul, 1993; Kruglanski Freund, 1983; Mayseless
dan Kruglanski 1987; Schul et al., 1996. Dalam seting auditing, auditor yang melakukan penugasan audit akan menerima berbagai informasi yang
berkaitan dengan bukti audit, tetapi sulit untuk menentukan informasi yang mana yang valid dan mana yang tidak valid. Diduga penaksiran risiko
5 kecurangan akan meningkatkan kecurigaan auditor terhadap bukti audit
yang diterimanya sehingga skeptisme profesional auditor akan meningkat. Penelitian yang dilakukan oleh SEC Securities and Exchange
Commission menemukan bahwa urutan ketiga dari penyebab kegagalan audit adalah tingkat skeptisme profesional yang kurang memadai. Dari 45
kasus audit yang diteliti SEC, 24 kasus 60 diantaranya terjadi karena auditor tidak menerapkan tingkat skeptisme profesional yang memadai
Beasley, 2001 dalam Noviyanti, 2008:103. Jadi rendahnya tingkat skeptisme profesional dapat menyebabkan kegagalan dalam mendeteksi
kecurangan. kegagalan ini selain merugikan kantor akuntan publik secara ekonomis, juga menyebabkan hilangnya reputasi akuntan publik dimata
masyarakat dan hilangnya kepercayaan kreditor dan investor di pasar modal. Penelitian ini mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Herman
2009 dan penelitian yang dilakukan oleh Enjel 2006 dimana Herman meneliti tentang pengaruh hubungan pengalaman dan skeptisme profesional
terhadap pendeteksian kecurangan sedangkan Enjel meneliti hubungan antara penerapan aturan etika dengan peningkatan profesionalisme auditor
internal. Penelitian ini memiliki perbedaan dengan penelitian sebelumnya, yaitu
penambahan variabel penerapan aturan etika menggunakan variabel penelitian Enjel, 2006 yang akan dihubungkan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Herman 2009 yang meneliti hubungan pengalaman dan skeptisme profesional auditor terhadap pendeteksian kecurangan, sedangkan
6 penelitian Enjel lebih menitik beratkan pada tingkat profesional auditor
internalnya bukan pada pendeteksian kecurangannya. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraiankan, maka penelitian ini
mengangkat judul:
“Pengaruh Penerapan Aturan Etika, Pengalaman, Dan Skeptisme Profesional Auditor Terhadap Pendeteksian
Kecurangan”
B. Perumusan Masalah