Pola Adaptasi Sosial Ekonomi Suku Bangsa Nias Di Perkotaan (Studi Deskriptif di Jalan Abdul Hakim (Kampung Susuk), Kelurahan Padang Bulan Selayang 1, Kecamatan Medan Selayang, Kota-Medan)

(1)

POLA ADAPTASI SOSIAL EKONOMI

SUKU BANGSA NIAS DI PERKOTAAN

Studi Deskriptif di Daerah Jalan Abdul Hakim (Kampung Susuk) Kelurahan P.B. Selayang 1 Kecamatan Medan Selayang Kota-Medan

SKRIPSI

Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sosial Dalam Bidang Antropologi

Disusun Oleh :

SARI ARIESTA GINTING

060905038

DEPARTEMEN ANTROPOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2010


(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

Halaman Persetujuan

Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan Oleh :

Nama : Sari Ariesta Ginting Nim : 060905038

Judul : POLA ADAPTASI SOSIAL EKONOMI SUKU BANGSA NIAS DI PERKOTAAN (Studi Deskriptif di Jalan Abdul Hakim (Kampung Susuk), Kelurahan Padang Bulan Selayang 1, Kecamatan Medan Selayang, Kota-Medan).

Pembimbing Ketua Departemen

Drs. Ermansyah, M. Hum Drs. Zulkifli Lubis, MA

NIP. 19660304 199203 1 002 NIP. 19640123 199003 1 001

a.n Dekan Pembantu Dekan I

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

Drs. Humaizi, MA


(3)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

Halaman Pengesahan

Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan Oleh :

Nama : Sari Ariesta Ginting Nim : 060905038

Judul : POLA ADAPTASI SOSIAL EKONOMI SUKU BANGSA NIAS DI PERKOTAAN (Studi Deskriptif di Jalan Abdul Hakim (Kampung Susuk), Kelurahan Padang Bulan Selayang 1, Kecamatan Medan Selayang, Kota-Medan)

Pada Ujian Komprehensif yang dilakukan pada:

Hari :

Tanggal :

Pukul :

Tempat : Ruang Sidang FISIP-USU

Tim Penguji terdiri dari:

1. Ketua : Dra. Mariana Makmur, MA ( )

2. Anggota I : ( )


(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Bapa dan Jesus Kristus yang ada di dalam Kerajaan Sorga. Atas berkat kasih dan anugerah-Nya maka penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi yang berjudul

”POLA ADAPTASI SOSIAL EKONOMI SUKU BANGSA NIAS DI PERKOTAAN". Penelitian ini dilakukan sebagai salah satu syarat untuk

memperoleh derajat Sarjana S-1 Bidang Antropologi Sosial di Departemen Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

.

Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan terima kasih yang tulus kepada berbagai pihak:

1. Bapak Prof. DR. M. Arif Nasution, M.A, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Drs. Zulkifli Lubis, M.A, sebagai Ketua Departemen Antropologi Sosial FISIP USU yang telah banyak membantu mulai awal perkuliahan hingga penulisan skripsi.

3. Bapak Drs. Ermansyah, M.Hum, sebagai Pembimbing Utama, yang telah bersedia meluangkan waktu dan tenaga untuk membimbing penulis dan telah memberikan bekal ilmu yang sangat berharga bagi penulis.

4. Ibu Dra. Mariana Makmur, M.A, sebagai Ketua Penguji yang telah memberikan masukan guna perbaikan hasil penelitian ini.

5. sebagai Penguji kedua yang telah memberikan masukan guna perbaikan hasil peneliatian ini.


(5)

6. Seluruh Dosen di FISIP USU khususnya di Departemen Antropologi dan seluruh guru yang telah mengajar penulis dari Sekolah Dasar (SD) sampai tingkat SLTA. Pengabdian yang luar biasa.

7. Seluruh Staff di FISIP USU khususnya di Departemen Antropologi, Specially for Kak Nur dan Kak Sofi yang sudah membantu penulis dalam mengurus kelancaran administrasi selama dalam masa perkuliahan.

8. Seluruh warga Kampung Susuk, khususnya yang menjadi informan peneliti, terima kasih atas ilmu yang telah diberikan.

9. Rekan-rekan kerabatku mahasiswa Antropologi FISIP USU, terkhusunya angkatan 2006; My best friend Erika M. Nadeak dan Inggrid Indrawati begitu banyak kenangan yang kita lakukan selama jadi mahasiswa di FISIP, tertawa, sedih yang pernah kita lewati bareng-bareng tidak akan aku lupakan. Berikut juga dengan kerabatku lainnya; Ayu, Helena, Santa, Yani, Fika, Desy, Hema, Gaby, Lisna, Mimi, Rere, Mardiana, Danur, Ruli, Kevin, Charles, Noprianto, Aros, Firman, Rikky, Wilfrid, Deni, Nanta, Umar, Badai, Hendra, Benny, dan Alvian ’Kibo’, terima kasih sudah menjadi teman seperjuanganku baik senang maupun sedih dan sudah banyak mengajari banyak hal selama aku kuliah di USU ini.

10. Rekan-rekan kerabatku mahasiswa Antropologi FISIP USU dari berbagai angkatan; thank’s for Bang Bewok untuk motivasinya, Bang Lugo yang sudah berkenan meminjamkan skripsinya untuk aku pelajari sampai pengerjaan skripsiku selesai dan juga terima kasih buat motivasinya, buat Kak Domi yang sudah banyak memberi masukan untuk skripsiku tentang suku bangsa Nias,


(6)

dan abang-abangku; Bang Kia, Ales, Arnov, Erwin, Heri Manurung, Heri Sianturi, Erold, Bambang, Dani, Andri, dan tidak lupa juga kakak-kakakku Kak Aulia ’Kekem’, Rafika, Tuti, Eva, dan Naomi terima kasih buat dukungan dan motivasinya dan tidak ketinggalan juga untuk adik-adik juniorku yang sudah banyak memberikan motivasi kepadaku; Vina, Febri, Etha, Puteri, Duma, Radinton, Christina dan lain-lain yang tak bisa disebutkan namanya satu persatu oleh penulis.

11. Teman-teman seperjuangan sekaligus juga teman masa kecilku mulai dari Sekolah Dasar (SD) sampai bangku perkuliahan My Specially for Novita Fatmawati, Octavia Syafarwati, Nia Dwi Anggraini dan Debora Sri Mulyani yang selalu memberikan semangat untuk menyelesaikan skripsiku. Perjuangan kita sampai detik ini tidak sia-sia kawan. Kita pasti bisa sukses semua dan dapat taklukan dunia ini Amien. ”Tunggu aku di Jakarta kawan-kawanku”. 12. Teman-teman seperjuanganku di ’RESE’ (Republik Satu Enam), My specially

for Rizki Wijayanti ‘JAWA’, Jeane, Nina, Reza, Sri, Leni, Tesya, Nova ’Mbem’ Ebi ’Boncel’, Rouf, Nico, dan Redy. Terima kasih untuk semangat yang kalian berikan buat aku dan selalu memberikan motivasi luar bisa di saat aku terpuruk. ”Aku pasti kembali untuk kalian semua”

13. Teman-temanku terkasih di IMPERATIF (Ikatan Mahasiswa Pemimpin dan Kreatif) terkhususnya buat kakak kelompokku yang selalu sabar dan masih saja terus memberikan perhatian kepadaku walaupun jauh di sana, Specially for Kak Yanti, thank’s my sista. Buat Bang Lando, Kak Manda, Kak Angel, Kak Hot, Kak Dian, Sulastri, Asni, dan Sonya terima kasih untuk semangat


(7)

yang kalian berikan selama pelayanan dan motivasi untuk cepat menyelesaikan skripsiku.

14. Untuk Saudaraku yang sangat aku sayangi My Beloved Sista for Alfriyanti Ginting, Juwita Ginting, Ratna Putri Ginting, Wenty Prisma Tarigan dan Specially one for My Brother; Alfianta Syahputra Ginting. Terima kasih untuk motivasi, dan kasih sayang kalian buat aku. Tertawa dan sedih kita jalani bersama. Kita harus bisa buat Mama bangga ok!. Tidak lupa juga buat sepupuku Bang Andri Ginting, Benny Ginting, Eliezer Barus, dan Dessy Armayani Ginting yang sudah banyak mengajariku tentang banyak hal di Kota Medan ini.

15. Teman-teman seperjuangan satu kos di Menawan Camp My Specially for Kak Martni, Kak Maria, Kak Lina, Polo, Paul, Melpha, Jelita, Yenni, Ruth, dan Nurlita. Terima kasih buat semua motivasi dan dukungan kalian dan sama-sama kita berjuang untuk menjadi sukses.

16. Semua Pihak yang tidak sempat penulis sebutkan pada kesempatan ini, yang telah membantu penulisan selama proses skripsi.

Terkhususnya buat keluargaku tercinta. Orang tuaku; (Alm). H. Ginting dan Rosmaida Tarigan yang sudah memberikan kasih sayang, materi, motivasi dan ajaran yang begitu besar manfaat bagi penulis. Specially for Mom yang sudah sabar mendidik penulis hingga bisa menjadi seorang Sarjana Sosial. Buat Bibiku; bibi Murni, bibi Raten, bibi Junita, dan bibi Linda yang sudah sabar dan perhatian selama aku kuliah di Kota Medan dan juga tidak lupa buat mami aku; Mami Desmen, Mami Alphan yang sudah memberikan aku semangat untuk cepat-cepat


(8)

menyeselesaikan skripsiku. Tidak lupa juga untuk adik-adikku di Biru-biru yang selalu menghiburku di saat aku sedih dan bisa kembali menjadi tertawa lagi, walaupun terkadang juga membuat diriku kesal, My Specially for Anyes Octaviany, Dopa Lukas, Dita, Ongat, Michael, Alphan, Adit, Mikha Amelia dan lain-lain yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu namanya.

Kiranya Tuhan Yang Maha Kuasa senantiasa membalas segala kebaikan yang telah diberikan oleh semua pihak kepada penulis. Menyadari akan keterbatasan penulis maka skripsi atau hasil penelitian ini masih terdapat kekurangan dan kelemahan. Untuk itu, koreksi dan masukan dari berbagai pihak guna penyempurnaan hasil penelitian ini sangat penulis harapkan. Semoga tulisan ini berguna bagi pihak-pihak yang memerlukannya.

Terima kasih atas segala perhatian dan semoga bermanfaat.

Medan, Mei 2010 Hormat Saya,

Sari Ariesta Ginting NIM: 060905038


(9)

DAFTAR ISI

HALAMAN PERSETUJUAN ... i

HALAMAN PENGESAHAN ...ii

LEMBAR PERSEMBAHAN... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ...xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

ABSTRAK ... xv

BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.2. Ruang Lingkup Permasalahan dan Lokasi Penelitian ... 4

1.2.1. Ruang Lingkup Permasalahan ... 4

1.2.2. Lokasi Penelitian ... 4

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 5

1.3.1. Tujuan Penelitian ... 5

1.3.2. Manfaat Penelitian ... 5

1.4. Tinjauan Pustaka ... 5

1.5. Metode Penelitian ... 15

1.5.1. Tipe Penelitian ... 15

1.5.2. Teknik Pengumpulan Data ... 15

1.5.3. Teknik Analisis Data ... 19

BAB II. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 2.1. Sejarah Singkat Kampung Susuk ... 21


(10)

2.2. Kependudukan dan Komposisi Berdasarkan Suku Bangsa,

Agama dan Pendidikan ... 26

2.3. Jenis Mata Pencaharian ... 31

2.4. Sistem Kekerabatan ... 37

2.5. Organisasi Kemasyarakatan ... 43

2.6. Sarana dan Prasarana ... 45

BAB III. SUKU BANGSA NIAS DI KAMPUNG SUSUK 3.1. Sejarah Singkat Migrasi Suku Bangsa Nias di Kota Medan dan Kampung Susuk ... 49

3.1.1. Sejarah Singkat Migrasi Suku Bangsa Nias di Kota Medan ... 49

3.1.2. Sejarah Singkat Migrasi Suku Bangsa Nias di Kampung Susuk ... 52

3.2. Alasan Suku Bangsa Nias Bermigrasi ke Kota Medan, Khususnya di Kampung Susuk ... 56

3.3. Pandangan Suku Bangsa Nias, Khususnya Suku Bangsa Karo dan Penduduk Setempat serta Stereotipe Suku Bangsa Nias yang Terwujud di Dalamnya ... 81

3.3.1. Pandangan dan Stereotipe Suku Bangsa Nias Terhadap Suku Bangsa Karo Begitu juga dengan Sebaliknya ... 85

3.3.2. Pandangan dan Stereotipe Suku Bangsa Nias Terhadap Suku Bangsa Minangkabau Begitu juga dengan Sebaliknya ... 86

3.3.3. Pandangan dan Stereotipe Suku Bangsa Nias Terhadap Suku Bangsa Batak Toba Begitu juga dengan Sebaliknya ... 87

3.3.4. Pandangan dan Stereotipe Suku Bangsa Nias Terhadap Suku Bangsa Jawa Begitu juga dengan Sebaliknya... 88


(11)

3.4. Hubungan-Hubungan Sosial yang Dijalin oleh Suku Bangsa Nias ... 89 3.4.1. Hubungan Sosial Suku Bangsa Nias dengan Suku

Bangsa Lainnya yang Ada di Kampung Susuk ... 89 3.4.2. Hubungan Sosial Suku Bangsa Nias dengan

Sesama Suku Bangsanya di Kampung Susuk ... 91

BAB IV. ADAPTASI SOSIAL EKONOMI SUKU BANGSA NIAS, POTENSI KONFLIK, DAN UPAYA PENYELESAIAN DI KAMPUNG SUSUK

4.1. Adaptasi Suku Bangsa Nias dalam Hubungan Sosial di Kampung Susuk ... 94 4.1.1. Dalam Hubungan Sosial di Bidang Keagamaan .... 97 4.1.2. Dalam Hubungan Sosial untuk Kegiatan

Gotong-Royong ... 102 4.1.3. Dalam Hubungan Sosial untuk Kegiatan

Upacara Perkawinan/Adat ... 103 4.2. Adaptasi Suku Bangsa Nias dalam Hal Memperoleh

Sumber-Sumber dan Akses dalam Kaitannya dengan Kegiatan Ekonomi ... 106 4.2.1. Perolehan Mata Pencaharian Sebagai Tukang

Becak ... 106 4.2.2. Perolehan Mata Pencaharian Sebagai

Pengumpul Barang Bekas ... 109 4.2.3. Perolehan Mata Pencaharian Sebagai

Pembantu ... 111 4.3. Potensi-Potensi dalam Hubungan Suku Bangsa Nias

Terhadap Suku Bangsa Karo dan Penduduk Lainnya... 113 4.4. Upaya-Upaya yang Dilakukan untuk Mengatasi

Konflik dalam Hal Hubungan Suku Bangsa Nias Terhadap Suku Bangsa Karo dan Penduduk Lainnya... 118


(12)

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan ... 123 5.2. Saran ... 127

DAFTAR PUSTAKA ... 129 LAMPIRAN

1. Daftar Nama Informan 2. Interview Guide 3. Dokumentasi 4. Surat Izin Penelitian 5. Peta Lokasi Penelitian


(13)

DAFTAR TABEL

1. Tabel 1 : Komposisi Penduduk Berdasarkan Suku Bangsa (Etnik) ... 26

2. Tabel 2 : Komposisi Penduduk Berdasarkan Agama ... 27

3. Tabel 3 : Komposisi Penduduk Berdasarkan Usia dan Jenis Kelamin ... 28

4. Tabel 4 : Komposisi Penduduk Berdasarkan Pendidikan ... 29

5. Tabel 5 : Komposisi Penduduk Berdasarkan Jenis Mata Pencaharian ... 35

6. Tabel 6 : Sarana dan Prasarana Menurut Tempat Peribadatan ... 44

7. Tabel 7 : Sarana dan Prasarana Menurut Pendidikan... 45

8. Tabel 8 : Sarana dan Prasarana Menurut Perhubungan Darat ... 45

9. Tabel 9 : Sarana dan Prasarana Menurut Transportasi Darat ... 46


(14)

DAFTAR GAMBAR

1. Gambar 1 : Pintu Tembok Kampung Susuk ... 23

2. Gambar 2 : Pemukiman Daerah Kampung Susuk ... 23

3. Gambar 3 : Jalan Masuk Daerah Kampung Susuk ... 24

4. Gambar 4 : Pemukiman Suku Bangsa Nias di Susuk II ... 24

5. Gambar 5 : Pemukiman Suku Bangsa Nias di Susuk III... 24

6. Gambar 6 : Fasilitas Pemukiman Suku Bangsa Nias di Susuk III ... 24

7. Gambar 7 : Kegiatan Perayaan Paskan di Kampung Susuk ... 97


(15)

ABSTRAK

Sari Ariesta Ginting 2010, judul : Pola Adaptasi Sosial Ekonomi Suku Bangsa Nias Di Perkotaan (Studi Deskriptif di Jalan Abdul Hakim (Kampung Susuk), Kelurahan Padang Bulan Selayang 1, Kecamatan Medan Selayang). Skripsi ini terdiri dari 5 bab, 173 halaman, 10 tabel, 8 gambar, 38 daftar pustaka, 5 lampiran.

Penelitian ini mengkaji tentang : “Pola Adaptasi Sosial Ekonomi

Suku Bangsa Nias Di Perkotaan”. Penelitian ini bertempat di Jalan Abdul

Hakim (Kampung Susuk), Kelurahan Padang Bulan Selayang 1, Kecamatan Medan Selayang, Kota-Medan. Penelitian ini membahas permasalahan tentang bagaimana pola adaptasi sosial ekonomi dari suku bangsa Nias di Perkotaan khususnya di daerah Kampung Susuk, bagaimana mereka dapat beradaptasi dengan masyarakat setempat yang mayoritas adalah suku bangsa Karo, bagaimana mengatasi ketika terjadi konflik dan upaya mengatasinya serta bagaimana strategi cara bertahan hidup suku bangsa Nias di Kampung Susuk.

Tujuan Penelitian adalah mendeskripsikan secara mendalam tentang proses adaptasi baik secara sosial dan ekonomi yang dilakukan suku bangsa Nias dalam mempertahankan hidup di perkotaan, khususnya di Kampung Susuk. Pola adaptasi sosial ekonomi suku bangsa Nias di perkotaan ini dikaji melalui pendekatan kualitatif dengan tipe penelitian deskriptif yang melihat proses pola adaptasi sosial ekonomi dan aspek-aspek yang mempegaruhi mereka untuk bermigrasi ke Kota Medan. Dalam pengumpulan data, peneliti menggunakan observasi partisipasi dan wawancara kepada 16 informan. Observasi dilengkapi dengan kamera foto. Wawancara yang digunakan adalah wawancara mendalam (indepth interview) dan sambil lalu. Instrumen yang digunakan, selain peneliti juga dibantu pedoman wawancara yang dilengkapi dengan tape recorder dan catatan lapangan. Analisa data dilakukan dari awal hingga penelitian berlangsung yang diurutkan ke dalam pola, tema dan kategori-kategori serta dilakukan pemeriksaan keabsahan data yang diperoleh.

Hasil penelitian menunjukan bahwa pola adaptasi sosial-ekonomi yang dilakukan oleh suku bangsa Nias masih tertutup. Adaptasi yang dilakukan akan terbuka ketika mereka mempunyai suatu kepentingan. Adaptasi sosial yang mereka lakukan melalui kegiatan hubungan keagamaan, gotong-royong, upacara/adat dan lain-lain. Dari adaptasi ekonomi dapat dilihat dari jenis mata pencaharian yang mereka lakukan. Menjadi tukang becak merupakan salah satu contoh adaptasi ekonomi yang suku bangsa Nias lakukan untuk mempertahankan hidupnya. Cara adaptasi mereka yaitu harus mematuhi kesepakatan yang ada di dalam komunitas tukang becak, walaupun kesepakatan tersebut bersifat uname law. Pekerjaan yang mereka lakukan bukan hanya sebagai tukang becak namun juga sebagai pemabantu di rumah makan, tukang cuci, pengumpul barang bekas dan lain sebagainya. Potensi konflik santara suku bangsa Nias dan masyarakat setempat dan upaya penyelesaiannya dapat dilakukan dengan cara akomodasi yaitu mediasi dan toleransi antar suku bangsa yang ada di Kampung Susuk.

Kata Kuncinya: Adaptasi sosial-ekonomi, migrasi, potensi konflik dan upaya penyelesaiannya.


(16)

ABSTRAK

Sari Ariesta Ginting 2010, judul : Pola Adaptasi Sosial Ekonomi Suku Bangsa Nias Di Perkotaan (Studi Deskriptif di Jalan Abdul Hakim (Kampung Susuk), Kelurahan Padang Bulan Selayang 1, Kecamatan Medan Selayang). Skripsi ini terdiri dari 5 bab, 173 halaman, 10 tabel, 8 gambar, 38 daftar pustaka, 5 lampiran.

Penelitian ini mengkaji tentang : “Pola Adaptasi Sosial Ekonomi

Suku Bangsa Nias Di Perkotaan”. Penelitian ini bertempat di Jalan Abdul

Hakim (Kampung Susuk), Kelurahan Padang Bulan Selayang 1, Kecamatan Medan Selayang, Kota-Medan. Penelitian ini membahas permasalahan tentang bagaimana pola adaptasi sosial ekonomi dari suku bangsa Nias di Perkotaan khususnya di daerah Kampung Susuk, bagaimana mereka dapat beradaptasi dengan masyarakat setempat yang mayoritas adalah suku bangsa Karo, bagaimana mengatasi ketika terjadi konflik dan upaya mengatasinya serta bagaimana strategi cara bertahan hidup suku bangsa Nias di Kampung Susuk.

Tujuan Penelitian adalah mendeskripsikan secara mendalam tentang proses adaptasi baik secara sosial dan ekonomi yang dilakukan suku bangsa Nias dalam mempertahankan hidup di perkotaan, khususnya di Kampung Susuk. Pola adaptasi sosial ekonomi suku bangsa Nias di perkotaan ini dikaji melalui pendekatan kualitatif dengan tipe penelitian deskriptif yang melihat proses pola adaptasi sosial ekonomi dan aspek-aspek yang mempegaruhi mereka untuk bermigrasi ke Kota Medan. Dalam pengumpulan data, peneliti menggunakan observasi partisipasi dan wawancara kepada 16 informan. Observasi dilengkapi dengan kamera foto. Wawancara yang digunakan adalah wawancara mendalam (indepth interview) dan sambil lalu. Instrumen yang digunakan, selain peneliti juga dibantu pedoman wawancara yang dilengkapi dengan tape recorder dan catatan lapangan. Analisa data dilakukan dari awal hingga penelitian berlangsung yang diurutkan ke dalam pola, tema dan kategori-kategori serta dilakukan pemeriksaan keabsahan data yang diperoleh.

Hasil penelitian menunjukan bahwa pola adaptasi sosial-ekonomi yang dilakukan oleh suku bangsa Nias masih tertutup. Adaptasi yang dilakukan akan terbuka ketika mereka mempunyai suatu kepentingan. Adaptasi sosial yang mereka lakukan melalui kegiatan hubungan keagamaan, gotong-royong, upacara/adat dan lain-lain. Dari adaptasi ekonomi dapat dilihat dari jenis mata pencaharian yang mereka lakukan. Menjadi tukang becak merupakan salah satu contoh adaptasi ekonomi yang suku bangsa Nias lakukan untuk mempertahankan hidupnya. Cara adaptasi mereka yaitu harus mematuhi kesepakatan yang ada di dalam komunitas tukang becak, walaupun kesepakatan tersebut bersifat uname law. Pekerjaan yang mereka lakukan bukan hanya sebagai tukang becak namun juga sebagai pemabantu di rumah makan, tukang cuci, pengumpul barang bekas dan lain sebagainya. Potensi konflik santara suku bangsa Nias dan masyarakat setempat dan upaya penyelesaiannya dapat dilakukan dengan cara akomodasi yaitu mediasi dan toleransi antar suku bangsa yang ada di Kampung Susuk.


(17)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang Masalah

Fenomena migrasi merupakan salah satu dari tiga faktor dasar yang mempengaruhi pertumbuhan penduduk, selain faktor lainnya yaitu kelahiran dan kematian. Migrasi cenderung dilakukan orang dengan berbagai alasan, baik faktor ekonomi, sosial dan budaya. Tempat yang biasa dijadikan untuk daerah migrasi oleh para migran adalah daerah perkotaan. Kelompok suku bangsa yang banyak melakukan migrasi antara lain, suku bangsa Batak, Jawa, Bugis, Minangkabau dan Nias.

Suku bangsa Nias telah banyak melakukan migrasi ke berbagai wilayah seperti, Jakarta, Surabaya, Pekanbaru dan Medan. Menurut Simanihuruk (1999), migrasi suku bangsa Nias secara masif baru terjadi sejak tahun 80-an. Realitas ini sejalan dengan peningkatan penduduk perkotaan secara nasional di Indonesia, yakni 5,1 persen. Suku bangsa Nias yang bermigrasi di Sumatera Utarapun menyebar diberbagai tempat, mulai dari Tarutung, Kabanjahe, Sibolga, Belawan, Berastagi dan di Kota Medan. Di Medan banyak suku bangsa Nias yang bermukim, antara lain di Polonia, Simalingkar, Aksara, Simpang Limun, Deli Tua, Padang Bulan, dan salah satunya juga ada di daerah Jalan Abdul Hakim atau biasa dikenal dengan nama Kampung Susuk.

Suku bangsa Nias yang tinggal di daerah Kampung Susuk, pasti akan bersentuhan dengan masyarakat setempat. Oleh karena itu, suku bangsa Nias


(18)

melakukan adaptasi dengan masyarakat setempat dengan melakukan berbagai pendekatan. Tujuan pendekatan tersebut, agar dapat diterima dan bisa hidup survive (bertahan) di lingkungan yang baru.

Dahulu suku bangsa Nias banyak tinggal di daerah Pembangunan yang lokasinya tidak jauh dari daerah Jalan Abdul Hakim (Kampung Susuk). Akibat wilayah tempat tinggal mereka yang sangat terbatas, akhirnya suku bangsa Nias berniat untuk memasuki wilayah Kampung Susuk. Pada awal memasuki wilayah Kampung Susuk suku bangsa Nias mengalami penolakan oleh masyarakat setempat, sehingga terjadilah konflik. Dalam kehidupan sehari-hari pun mereka dari dahulu sampai sekarang masih saja di diskriminasi1

Adaptasi yang dilakukan suku bangsa Nias bertujuan untuk mendekatkan diri dengan masyarakat setempat agar diterima dan dapat tinggal di

.

Setiap ada masalah di Kampung Susuk dan kebetulan salah seorang suku bangsa Nias yang membuat masalah, suku bangsa Karo akan mencap atau menandai semua suku bangsa Nias yang ada di daerah Kampung Susuk yang berbuat salah dan pantas untuk dihukum. Hukuman itu bisa berupa cemoohan, pukulan, ditelanjangi dan dikeroyok dengan massa. Dengan latar belakang tersebut suku bangsa Nias harus beradaptasi secara baik dengan suku bangsa Karo, agar konflik antara suku bangsa Nias dan suku bangsa Karo tidak terjadi lagi.

1

Diskriminasi adalah perlakuan yang tidak seimbang terhadap perorangan, atau kelompok, berdasarkan sesuatu, biasanya bersifat kategorikal, atau atribut-atribut khas, seperti berdasarkan ras, kesukubangsaan, agama, atau keanggotaan kelas-kelas sosial. Istilah tersebut biasanya akan untuk melukiskan, suatu tindakan dari pihak mayoritas yang dominan dalam hubungannya dengan minoritas yang lemah, sehingga dapat dikatakan bahwa perilaku mereka itu


(19)

daerah tersebut. Itu mereka lakukan agar dapat bertahan hidup di daerah Kampung Susuk. Mereka menyadari bahwa mereka adalah kelompok minoritas2

2

Kelompok minoritas adalah orang-orang yang karena ciri-ciri fisik tubuh atau asal-usul keturunannya atau kebudayaannya dipisahkan dari orang-orang lainnya dan diperlakukan secara tidak sederajat atau tidak adil dalam masyarakat di mana mereka itu hidup. Oleh karena itu, mereka merasakan adanya tindakan diskriminasi secara kolektif. Mereka diperlakukan sebagai orang luar dari masyarakat di mana mereka hidup. Mereka juga menduduki posisi yang tidak menguntungkan dalam kehidupan sosial masyarakatnya, karena mereka dibatasi dalam sejumlah kesempatan-kesempatan sosial, ekonomi, dan politik. Mereka yang tergolong minoritas mempunyai gengsi yang rendah dan seringkali menjadi sasaran olok-olok, kebencian, kemarahan, dan kekerasan. Posisi mereka yang rendah termanifestasi dalam bentuk akses yang terbatas terhadap kesempatan-kesempatan pendidikan, dan keterbatasan dalam kemajuan pekerjaan dan profesi

dan jumlah mereka pun lebih sedikit dibandingkan oleh suku bangsa Karo. Oleh karena itu, mereka harus membiasakan diri mereka dengan kebiasaan yang ada di lingkungan yang baru.

Berdasarkan uraian tersebut maka pentinglah kiranya mengkaji pola adaptasi suku bangsa Nias, khususnya di daerah Kampung Susuk. Hal tersebut dapat mengungkap hal-hal yang membuat suku bangsa Karo atau penduduk setempat untuk menolak kehadiran suku bangsa Nias dan yang pada akhirnya dapat menerima kehadiran suku bangsa Nias sebagai masyarakat pendatang yang tinggal di daerah Kampung Susuk, selain itu juga dapat mengungkap proses adaptasi suku bangsa Nias melalui kebiasaan-kebiasaan mulai dari tingkah laku, aktivitas sosial masyarakat setempat dan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi suku bangsa Nias untuk melakukan migrasi dan memilih tempat tinggal di daerah Kampung Susuk, serta wujud terjadinya konflik dan penyelesaian, berikut dengan strategi yang dilakukan suku bangsa Nias. Semua inilah yang membedakan dengan penelitian yang lain, baik dari segi lokasi tempat, objek yang dikaji dan permasalahan yang terjadi.


(20)

1.2.

Ruang Lingkup Permasalahan dan Lokasi Penelitian 1.2.1. Ruang Lingkup Permasalahan

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana pola adaptasi sosial ekonomi suku bangsa Nias sebagai salah satu suku bangsa pendatang di Kota Medan, khususnya di Kampung Susuk. Rumusan tersebut diuraikan juga ke dalam 4 (empat) pertanyaan penelitian, yakni :

1. Apa yang mendasari suku bangsa Nias bermigrasi ke Kota Medan dan memilih bermukim ke daerah Kampung Susuk ?

2. Bagaimana pandangan suku bangsa Nias terhadap suku bangsa Karo, dan begitu juga dengan sebaliknya ?

3. Bagaimana strategi adaptasi sosial yang dikembangkan oleh suku bangsa Nias di Kampung Susuk, khususnya terhadap suku bangsa Karo ?

4. Bagaimana strategi adaptasi ekonomi yang dikembangkan oleh suku bangsa Nias, dalam hal sumber-sumber dan akses dalam kaitannya dengan kegiatan ekonomi sebagai mata pencaharian suku bangsa Nias di Kampung Susuk ?

5. Apa yang dilakukan suku bangsa Nias untuk dapat bertahan hidup di Kampung Susuk, jika terjadi konflik dengan suku bangsa Karo ?

1.2.2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di daerah Jalan Abdul Hakim atau yang biasa dikenal dengan nama Kampung Susuk Kecamatan Medan Selayang Kelurahan P.B. Selayang-1 Kota-Medan. Lokasi ini dipilih karena merupakan salah satu


(21)

tempat atau pemukiman suku bangsa Nias di Kota Medan yang berdampingan hidup dengan masyarakat Karo.

1.3.

Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana pola adaptasi yang dilkukan oleh Suku Bangsa Nias sebagai migran di perkotaan khususunya di Kampung Susuk baik secara sosial maupun ekonomi.

1.3.2. Manfaat Penelitian

Secara akademis penelitian ini dapat bermanfaat untuk menambah wawasan keilmuwan dalam kaitannya dengan pola adaptasi sosial ekonomi suku bangsa Nias di perkotaan, khususnya di daerah Kampung Susuk. Secara praktis, dapat memberi masukan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dalam hal membuat berbagai kebijakan tentang masalah migrasi.

1.4.

Tinjauan Pustaka

Berbagai kajian dan tulisan telah dilakukan tentang fenomena migrasi dan pola adaptasi. Seperti halnya kajian dari Arios (1995) tentang pola migrasi orang Nias yang mengatakan bahwa motivasi migran Nias bermigrasi dan memilih Kota Medan sebagai tujuan dapat digolongkan pada faktor geografis (ekologi), faktor ekonomi (pekerjaan), faktor sosial, dan faktor budaya, sementara alasan memilih Kota Medan sebagai daerah tujuan adalah adanya faktor keluarga, kebiasaan, dan faktor gengsi.


(22)

Kesimpulan dari kajiannya adalah setiap individu untuk mencapai kelangsungan hidupnya memerlukan penyesuaian diri secara aktif terhadap lingkungannya baik fisik maupun sosial. Namun demikian, setiap individu dalam menghadapi lingkungannya selalu menghadapi berbagai tantangan. Dalam menghadapi tantangan itu, mereka harus menggunakan pengetahuan budaya yang dimiliki. Salah satu cara untuk mengatasi tantangan tersebut adalah dengan melakukan migrasi ke daerah-daerah yang dapat memberi kehidupan yang lebih baik, daerah tersebut adalah daerah perkotaan. Kota secara geografis adalah suatu jaringan penduduk yang ditandai dengan kepadatan penduduk yang tinggi dan diwarnai strata sosial yang heterogen penduduknya cukup besar, orangnya heterogen (beragam) dan bersifat matrialistis (kebendaan). Begitu banyak daya tarik yang ditawarkan di kota yang membuat masyarakat desa bermigrasi ke kota dengan harapan mendapat kehidupan yang lebih layak, namun itu akan berbahaya apabila seseorang tersebut tidak mempunyai skill (keahlian) untuk dapat bertahan hidup di kota besar.

Lain halnya kajian dari Sianturi (1999) tentang pola adaptasi budaya penduduk asli dan pendatang antara masyarakat Pakpak Dairi dengan Batak Toba yang mengatakan bahwa pada masyarakat Panji Sitinjo adaptasinya sampai saat ini masih membuahkan hubungan sosial yang harmonis dan saling menguntungkan. Hal ini dapat dilihat dari terciptanya akulturasi, asimilasi dan adanya perkawinan campuran antara suku bangsa Pakpak Dairi dan Batak Toba di Panji Sitinjo. Di daerah tersebut mereka juga masih tetap dapat berdampingan hidup tanpa adanya konflik yang menonjol yang dapat membawa kerugian pada


(23)

masing-masing kelompok suku bangsa. Jadi manusia itu harus dapat menyesuaikan dirinya dengan lingkungan yang baru, baik itu lingkungan sosial budaya maupun lingkungan fisiknya.

Begitu juga dengan kajian Simanjuntak (1992) tentang proses adaptasi sosial budaya suku bangsa Minangkabau di Balige yang mengatakan bahwa suku bangsa Minangkabau akan mengikuti bahasa yang ada di Balige yaitu bahasa Batak. Hal itu dilakukan sebagai upaya adaptasi bahasa di lingkungan yang baru. Namun bila bertemu dengan komunitas3 suku bangsanya mereka akan menggunakan bahasa Minangkabau. Mereka lebih bebas menggunakan bahasa sendiri dibandingkan dengan bahasa dari kebudayaan yang lain. Dalam bermigrasi suku bangsa Minangkabau mendefinisikan migrasi dengan kata ”merantau” 4

3

Komunitas adalah sebagai suatu kesatuan hidup manusia, yang menempati suatu wilayah yang nyata, dan yang berinteraksi menurut suatu sistem adat-istiadat, serta terikat oleh suatu rasa identitas komunitas (Koentjaraningrat, 1986:148).

4

Merantau merupakan sebuah konotasi budaya tersendiri yang khas dari suku bangsa Minangkabau, tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa merantau juga di gunakan oleh suku bangsa lain di Indonesia, tetapi yang jelas kata merantau mempunyai enam unsur pokok, diantaranya adalah, meninggalkan kampung halaman dengan kemauan sendiri untuk jangka waktu yang lama dengan tujuan mencari penghidupan, menuntut ilmu atau pengalaman, biasanya dengan maksud kembali ke kampung (pulang), merantau merupakan lembaga sosial yang telah membudaya dikalangan masyarakat Minangkabau.

. Pada umumnya dalam suatu proses adaptasi seseorang individu yang memasuki suatu lingkungan yang baru, maka dengan sendirinya individu tersebut menyesuaikan diri dengan lingkungan dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat yang dimasukinya. Hal ini dilakukan agar setiap individu atau kelompok mengharapkan dapat diterima oleh masyarakat yang dimasukinya. Adaptasi ini perlu agar manusia itu dapat bertahan lama di lingkungan yang baru.


(24)

Dari berbagai kajian tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam bermigrasi di tempat yang baru membutuhkan adaptasi dengan lingkungan yang baru tersebut agar dapat diterima oleh masyarakat setempat. Adaptasi yang dilakukan memang sangat sulit jika berbeda kebudayaan, seperti halnya dengan suku bangsa Nias yang mencoba beradaptasi dengan suku bangsa Karo di Kampung Susuk. Perbedaan itu meliputi adat-istiadat, bahasa, maupun segala kebiasaan yang dimiliki dari setiap kebudayaan masing-masing.

Adaptasi adalah kemampuan atau kecenderungan makhluk hidup dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan baru untuk dapat tetap hidup dengan baik (Simanjuntak, 1992). Adaptasi dapat dilihat sebagai usaha untuk memelihara kondisi kehidupan dalam menghadapi perubahan. Definisi adaptasi tersebut kemudian berkaitan erat dengan tingkat pengukuran yang dihubungkan dengan tingkat keberhasilannya agar dapat bertahan hidup. Menurut Gerungan (1996:55), adaptasi merupakan suatu proses untuk mencapai keseimbangan dengan lingkungan. Secara luas keseimbangan itu bisa dicapai dengan dua cara. Cara pertama adalah cara pasif, yakni dengan mengubah diri sesuai dengan lingkungan. Proses ini dikenal dengan istilah autoplastis. Ada dua alasan utama orang melakukan adaptasi autoplastis yaitu adanya kesadaran bahwa orang lain atau lingkungan bisa memberi informasi yang bermanfaat dan upaya agar diterima secara sosial sehingga terhindar dari celaan (Sears, 1994:80). Cara kedua adalah cara aktif, yakni dengan mengubah lingkungan sesuai dengan keinginan diri sendiri yang dikenal dengan aloplastis.


(25)

Lain halnya dengan adaptasi dari segi sosial dalam budaya yang relatif lama membuka kesempatan membangun koloni (perkampungan atau pemukiman) yang namanya sering didasarkan atas genealogis suku bangsanya seperti: Kampung Melayu, Kampung Cina, Kampung Bali, Kampung Aceh, Kampung Jawa, dan lain-lain. Disamping itu, ada juga nama-nama tempat / wilayah menunjukkan identitas suku bangsa seperti Kerkap, Manna, Talo dan lain-lain. Begitu juga dengan nama daerah Kampung Susuk yang diambil dari nama daerah di Tanah Karo yaitu Desa Susuk. Oleh karena itu, suku bangsa Karo bermigrasi ke Kota Medan dan membentuk suatu perkampungan yang diambil dari nama tempat mereka, yaitu Kampung Susuk.

Konsep kunci adaptasi pada tingkat sosial individu kemudian menjadi perilaku adaptif5, tindakan strategi dan sintensis dari keduanya yang disebut strategi adaptasi6

5

Perilaku Adaptif adalah adalah tipe perilaku yang digunakan untuk beradaptasi dengan tipe perilaku lain atau situasi tertentu. Perilaku ini ditandai dengan jenis perilaku yang memungkinkan individu untuk mengganti perilaku yang tidak konstruktif menjadi perilaku konstruktif. Perilaku ini bisa berupa perilaku personal maupun perilaku sosial. Menurut

. Di dalam adaptasi juga terdapat pola-pola dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan. Menurut Suyono (1985), pola adalah suatu rangkaian unsur-unsur yang sudah menetap mengenai suatu gejala dan dapat dipakai sebagai contoh dalam hal menggambarkan atau mendeskripsikan gejala itu sendiri. Dari definisi tersebut di atas, pola adaptasi dalam penelitian ini adalah sebagai

atau tingkatan dimana individu mencapai standar kemandirian personal dan tanggung-jawab sosial yang diharapkan oleh usia individu tersebut ataupun kelompok sosial. Perilaku adaptasi ini juga mengacu pada penampilan individu tanpa ketidakmampuan dalam memenuhi standar lingkungan. Perilaku adaptif berubah sesuai dengan umur seseorang, standar budaya, dan standar lingkungan.

6

Strategi Adaptasi adalah adalah cara-cara yang dipergunakan pendatang untuk mengatasi rintangan-rintangan yang mereka hadapi dan untuk memperoleh suatu keseimbangan yang positif dari kondisi-kondisi latar belakang lingkungan tujuan (Pelly, 1994 a:5).


(26)

unsur yang sudah menetap dalam proses adaptasi yang dapat menggambarkan proses adaptasi dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam interaksi, tingkah laku maupun dari masing-masing adat-istiadat kebudayaan yang ada.

Adaptasi yang terjadi pada setiap suku bangsa ada beberapa tipe model, diantaranya adalah (1) adaptasi yang dilakukan pendatang terhadap penduduk setempat; (2) adaptasi yang dilakukan penduduk setempat oleh pendatang dan; (3) adaptasi yang tidak dilakukan oleh pihak manapun, di mana masing-masing suku bangsa saling berdiam diri tanpa melakukan adaptasi (Sianturi, 1999). Di tinjau dari sisi migran, paling tidak ada tiga fokus dalam beradaptasi di lingkungan baru. Fokus pertama adalah masalah keberlangsungan dalam menghadapi berbagai tantangan serta mendapatkan kesempatan pekerjaan di daerah tujuan. Fokus kedua, corak dan proses penyesuaian diri dalam lingkungan sosial yang serba baru. Fokus ketiga, kemungkinan kelanjutan atau keterputusan hubungan sosio-kultural dan ekonomi dengan daerah asal dan kemungkinan bertahan atau terleburnya identitas kultural lama ke dalam ikatan baru.

Proses pada ketiga fokus di atas tidak akan terlepas dari benturan-benturan. Oleh karena itu, sebagai proses adaptasi berlangsung dalam suatu perjalanan waktu yang tidak dapat diperhitungkan dengan tepat. Kurun waktunya bisa cepat, lambat, atau justru berakhir dengan kegagalan. Dalam beradaptasi di lingkungan yang baru, tentunya penduduk setempat akan memiliki pandangan terhadap penduduk pendatang yang cenderung bernilai negatif. Berprasangka adalah sikap tidak suka terhadap suatu kelompok atau suku bangsa lain. Prasangka


(27)

sering disebutkan dengan kata Ethnopaulisme7

1) unsur kognitif (kepercayaan / pengetahuan )

. Dalam prasangka juga terdapat beberapa unsur / komponen yang terdiri dari 3 (tiga) macam, yakni :

2) unsur emosi / afektif

3) unsur konatif (perilaku / tingkah laku )

Unsur kognitif berisi pengetahuan terhadap kelompok manusia walaupun terkadang salah. Pengetahuan yang salah ini menentukan streotipe etnik terhadap suatu kelompok tertentu dengan kata lain kognitif sering disamakan dengan bentuk stereotipe. Ide-ide stereotipe biasanya tidak ada ilmiahnya atau belum tentu kebenarannya. Secara umum, bahkan stereotipe8 sering menyebabkan diskriminasi yang bernilai negatif dan dapat merugikan orang lain tentunya. Pembedaan terhadap suatu golongan individu atau perorangan sering muncul di kalangan masyarakat. Contoh dari unsur kognitif adalah stereotipe etnik9

7

Ethnopaulisme adalah suatu istilah yang kurang menyenangkan yang bernuansa

merendahkan kelompok tertentu.

8

Menurut ahli, stereotipe yakni seperangkat penilaian dari kelompok lain dalam hubungannya dengan ingroup dalam situasi terkini (Smith, 1999). Stereotipe berasal dari bahasa latin yang berarti stereot yang artinya kaku dan tipos yang artinya kesan. Jadi secara keseluruhan adalah anggapan dari orang lain yang kaku dan seakan-akan tidak berubah. Oleh karena itu, stereotipe adalah suatu kepercayaan yang dilebih-lebihkan / keyakinan yang berkaitan dengan suatu kategori manusia atau suatu generalisasi yang berlebihan tentang ciri-ciri suatu kelompok tertentu.

9

Stereotipe etnik adalah seperangkat penilaian dari kelompok etnik tertentu yang berkaitan dengan suatu kategori manusia atau suatu generalisasi yang berlebihan tentang ciri-ciri suatu kelompok etnik tertentu yang membuat simbol-simbol atau kebiasaan-kebiasaan yang dimiliki etnik tertentu yang bernilai negatif dari etnik lainnya.

yang dapat ditujukan kepada suku bangsa yang terdiri dari : (1) suku bangsa Batak


(28)

distereotipekan sebagai berekor, Batak makan orang; (2) suku bangsa Aceh distereotipekan sebagai pemalas (pungo); (3) suku bangsa Minangkabau distereotipekan sebagai orang yang cerdik, penipu, padang pancilok, cirik berandang, kecek padang; (4) Suku bangsa Jawa distereotipekan sebagai orang yang tidak tetap pendiriannya, ‘Jakon’ (Jawa kontrak), dan; (5) suku bangsa Tamil distereotipekan sebagai putar keling, keling mabuk.

Unsur kedua yaitu unsur emosi / afektif yang merujuk pada cara-cara atau individu perasa terhadap kelompok lain. Emosi ini muncul dalam bentuk kebencian, kemarahan ataupun ketakutan terhadap orang yang diprasangka tadi. Contoh dari unsur emosi / afektif adalah suku bangsa Batak yang di stereotipekan sebagai suku bangsa yang suka makan orang, sedangkan yang ketiga adalah unsur conatif (perilaku / tingkah laku) suatu prasangka yang dinyatakan dalam bentuk tingkah laku / perilaku. Komponen tingkah laku sering dikaitkan dengan jarak hubungan (jarak sosial). Contoh dari unsur konatif adalah tidak ingin berteman dengan suku bangsa Batak. Hal tersebut dikarenakan jarak sosial yaitu kedekatan hubungan berdasarkan beberapa faktor seperti: agama, suku bangsa dan lain sebagainya. Contoh positif suku bangsa Minangkabau pandai berdagang, orang Cina pintar, rajin dan tekun sedangkan contoh negatifnya adalah orang Cina suka mengadu domba.

Banyak stereotipe yang ditujukan kepada suku bangsa Nias di daerah Kampung Susuk oleh masyarakat setempat, baik yang bernilai positif dan negatif. Pada umumnya suku bangsa Nias sering distereotipekan negatif, antara lain :


(29)

2). Kebiasaan buruk seperti cepatnya naik darah, tidak berpikir panjang dan suka menang sendiri.

3). Suka melihat temannya jatuh dan bukan saling membantu, bahkan dalam lingkungan keluarga sekalipun.

4). Kebiasaan buruk seperti senangnya menerima gratisan dan sejenisnya, mental yang kurang berwirausaha, pasrah pada keadaan, dan tidak mau maju.

5). Tertutup kepada setiap orang dan tidak mau mendelegasikan, tidak mau berbagi, dan yang ada dalam hati adalah aku, aku dan aku.

6). Iri yang berkelanjutan, kebiasaan yang telah dianggap tradisi yang salah dan terus dilakukan dan terus dipertahankan, sulit menerima perubahan. 7). Merasa menang sendiri, tidak percaya diri, merasa hebat kalau sudah /

sedang merokok / mengganja sekalipun.

8). Keras kepala dan tidak mau diajarin, merasa paling hebat. 9). Ketidakjujuran, suka berbohong dan lain-lain.

Ada 3 (tiga) hal yang membuat stereotipe tetap bertahan / masih ada (muncul) antara lain :

1) Ciri-ciri stereotipe muncul dalam keadaan yang sebenarnya

2) Adanya tekanan dari kelompok dominan yang mewujudkan ide-ide stereotipe yang harus dipatuhi pada kelompok minoritasnya

3) Ide-ide stereotipe diperkuat oleh media massa

Sebagian stereotipe seperti itu memang muncul di daerah Kampung Susuk, namun tidak menjadi halangan bagi mereka untuk bermasyarakat dengan


(30)

suku bangsa Karo. Stereotipe itu muncul akibat pandangan negatif kelompok mayoritas kepada kelompok minoritas. Kekuasaan yang dimiliki oleh suku bangsa Karo membuat suku bangsa Nias menjadi bersifat pasif karena menyadari dirinya sebagai masyarakat pendatang. Kekuasaan dianggap secara berbeda oleh Smith dan Beattie dalam mendefinisikan tentang arti kekuasaan (dalam Balandier, 1996:44). Menurut MG. Smith kekuasaan adalah kemampuan untuk bertindak secara efektif terhadap orang atau barang, dengan mempergunakan cara-cara yang berkisar dari bujukan (persuasi) sampai kekerasan. Sedangkan bagi Beattie, kekuasaan adalah kategori khusus dari hubungan-hubungan sosial, yang mengkategori khusus dari hubungan-hubungan sosial, yang memiliki pengertian menimbulkan kendala-kendala bagi pihak-pihak lain. Dari teori di atas jelas bahwa suku bangsa Nias dalam hal ini mencoba untuk masuk ke dalam daerah Kampung Susuk untuk membaur dengan suku bangsa Karo agar dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari melalui mata pencaharian sebagai tukang becak dan dapat mempunyai tempat tinggal dengan cara mengontrak rumah dari penduduk setempat.

Menurut Glazer dan Moynihan juga menjelaskan berbagai konflik antar kelompok etnik terutama yang berkaitan dengan masalah minoritas dan mayoritas, biasa didasarkan atas tuntutan mengenai pergantian prestise (penghormatan atau harga diri) kehormatan hak-hak penduduk, kekuasaan politik serta akses terhadap peluang ekonomi. Menurut Epstain, cenderung menilai etnisitas sebagai fenomena politik yang meliputi perjuangan untuk memperoleh kekuasaan diantara kelompok-kelompok etnik dalam memajukan dan mempertahankan kepentingan


(31)

kolektif mereka

1.5.

Metode Penelitian 1.5.1. Tipe Penelitian

Tipe penelitian ini adalah deskriptif kualitatif yang menjelaskan pola adaptasi sosial ekonomi masyarakat Nias yang ada di Kota Medan, khususnya di daerah Jalan Abdul Hakim (Kampung Susuk). Dalam penelitian ini akan dibagi menjadi (dua) bagian, yakni: a) adaptasi sosial berdasarkan hubungan sosial di bidang keagamaan, gotong-royong, perkawinan/adat; b) adaptasi ekonomi berdasarkan dengan bagaimana cara suku bangsa Nias memperoleh akses/sumber-sumber ekonomi sebagai mata pencahariannya baik sebagai tukang becak, pengumpul barang bekas, dan sebagai pembantu.

1.5.2. Teknik Pengumpulan Data

Data dapat dibedakan menjadi 2 (dua) jenis yang terdiri dari data primer dan data sekunder.

a. Data primer

Data primer merupakan data utama yang diperoleh melalui teknik observasi dan wawancara. Observasi yang dilakukan dalam penelitian ini adalah observasi partisipasi10

10

Observasi Berpartisipasi adalalah si peneliti mengamati sesuatu gejala dalam kedudukannya sebagai orang yang terlibat dalam kegiatan sosial dari orang-orang atau masyarakat yang ditelitinya. Dengan kata lain ia berpartisipasi dengan kegiatan-kegiatan yang diamatinya. Si peneliti mengamati dan mencoba memahami yang diamatinya tersebut dengan menggunakan kaca mata orang-orang yang ditelitinya ’emic view’ (Lubis, 2007).

. Observasi partisipasi ini bertujuan, antara lain : (a) mengamati hubungan sosial antara suku bangsa Nias dengan suku bangsa Karo


(32)

dengan cara terlibat langsung dalam hubungan sosial tersebut; (b) mengamati tingkah laku suku bangsa Nias dengan penduduk setempat dengan cara terlibat langsung dalam merasakan bentuk tingkah laku yang mereka perbuat dan mencoba memahami tingkah laku yang mereka lakukan sehari-harinya; (c) mengamati dan merasakan bentuk ekspresi sebagai wujud hubungan sosial yang terjadi antara suku bangsa Nias dengan suku bangsa Karo di daerah Kampung Susuk; (d) mengamati suasana-suasana atau kondisi-kondisi yang dikembangkan suku bangsa Nias dalam hubungan sosial dengan suku bangsa Karo; (e) mengamati bentuk mata pencaharian yang digunakan dan diperoleh suku bangsa Nias dalam hubungannya dengan suku bangsa Karo sebagai penduduk asli setempat; (f) berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan sosial-ekonomi ataupun hubungan-hubungan yang dijalin dalam kaitannya dengan upaya untuk mendapatkan sumber ataupun akses-akses ekonomi; (g) mengamati dan memahami tingkah laku yang terwujud dalam kaitannya dengan mata pencaharian yang dimiliki suku bangsa Nias sebagai wujud adaptasi ekonomi.

Hasil pengamatan dituangkan ke dalam catatan pengamatan lapangan. Hal tersebut dapat memudahkan peneliti untuk membaca kembali informasi yang sudah diperoleh di lapangan. Dalam hal di lapangan peneliti juga dibantu oleh kamera foto sebagai alat bantu untuk mendokumentasikan hal-hal yang ditemukan di lapangan yang juga berkaitan dengan masalah penelitian. Wawancara ini juga dilengkapi dengan alat perekam yaitu (tape recorder) sebagai alat bantu peneliti untuk merekam segala informasi saat mewawancarai para informan. Peneliti sadar bahwa peneliti juga mempunyai keterbatasan. Namun dengan adanya tape


(33)

recorder memudahkan merekam kembali percakapan di lapangan dengan informan.

Wawancara yang dilakukan dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam (depth interview)11

11

Wawancara Mendalam (depth Interview) yaitu penelitian kualitatif biasanya lebih sering menggunakan wawancara mendalam ketimbang wawancara terstruktur (menggunakan kuesioner) dalam proses pengumpulan data lapangan. Wawancara mendalam biasanya dilakukan dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide) sebagai panduan yaitu, berisi seperangkat pertanyaan terbuka sesuai dengan aspek-aspek yang ingin didapatkan informasinya (Lubis, 2007).

dan dilakukan dengan bantuan pedoman wawancara (interview guide). Wawancara ditujukan kepada para informan yang ada di daerah Kampung Susuk. Informan dalam penelitian ini terdiri dari 3 (tiga) yaitu: informan pangkal, informan pokok atau kunci dan informan biasa.

Informan pangkal merupakan orang yang mempunyai pengetahuan luas mengenai berbagai masalah yang ada dalam suatu komunitas atau masyarakat. Informan pangkal bisa juga merupakan informan yang pertama kali dimintai informasi oleh peneliti tentang masalah penelitian di lapangan, seperti Lurah, dan Kapling (Kepala Lingkungan). Informan pokok merupakan informan yang mempunyai keahlian mengenai suatu masalah yang ada dalam masyarakat tersebut dan yang menjadi perhatian penelitian seperti, tokoh masyarakat (dari suku bangsa Nias dan suku bangsa Karo), tokoh adat (dari suku bangsa Nias dan suku bangsa Karo), tokoh agama (dari suku bangsa Nias dan suku bangsa Karo) dan penduduk yang telah lama tinggal di daerah Kampung Susuk, baik dari suku bangsa Nias dan suku bangsa Karo.

Dalam informan pokok di sini terdiri dari suku bangsa Karo dan suku bangsa Nias yang masing-masing memberikan informasi yang diperlukan yang


(34)

disesuaikan dan ditujukan oleh peneliti sedangkan informan biasa adalah orang-orang yang memberikan informasi mengenai suatu masalah sesuai dengan pengetahuannya dan bukan merupakan ahlinnya. Informan biasa dalam penelitian ini adalah masyarakat suku bangsa Nias dan suku bangsa Karo.

Wawancara mendalam terhadap informan pangkal untuk memperoleh informasi tentang; (a) jumlah penduduk suku bangsa Nias di daerah Kampung Susuk; (b) jumlah tempat tinggal suku bangsa Nias di daerah Kampung Susuk; (c) posisi atau kedudukan suku bangsa Nias di daerah Kampung Susuk; (d) administrasi data penduduk seperti (KTP dan KK); (e) pandangan suku bangsa Karo dalam hal ini sebagai Kapling (Kepala Lingkungan) dalam memandang suku bangsa Nias dari segi tingkah laku, hubungan sosial dengan masyarakat setempat dan keaktifannya dalam mengurus administrasi kependudukan.

Wawancara mendalam terhadap informan kunci adalah untuk memperoleh informasi tentang; (a) sejarah kedatangan suku bangsa Nias untuk bermigrasi di Kota Medan, (b) sejarah perpindahan suku bangsa Nias dari Pembangunan ke Kampung Susuk dan alasan mereka memilih untuk bermukim di daerah Kampung Susuk, (c) sejarah awal konflik antara suku bangsa Nias dengan masyarakat setempat; (d) lamanya suku bangsa Nias tinggal di daerah Kampung Susuk; (e) peran serta dalam kegiatan sosial maupun dalam kegiatan agama di daerah Kampung Susuk; (f) peran serta suku bangsa Nias sebagai pendatang dalam hal ikut serta membangun dan menjaga keamanan di daerah Kampung Susuk; (g) peran serta suku bangsa Nias dalam acara pesta adat maupun


(35)

perkawinan di daearah Kampung Susuk; (h) kegiatan-kegiatan yang sering dibuat masyarakat di daearah Kampung Susuk demi terciptanya kekeluargaan.

Lain halnya dengan wawancara mendalam terhadap informan biasa adalah untuk memperoleh informasi tentang; (a) pandangan suku bangsa Nias sebagai pekerja di dalam keluarga suku bangsa Karo; (b) pandangan suku bangsa Karo sebagai majikan dalam hal mempekerjakan suku bangsa Nias sebagai pembantu (tukang cuci) dan penyewa becak. Informasi yang diperoleh melalui wawancara terhadap informan biasa tidak tertutup kemungkinan juga bisa dapat diketahui oleh informan kunci.

b. Data Sekunder

Data sekunder adalah data pendukung yang dapat menyempurnakan hasil observasi dan wawancara yang diperoleh dari lembaga-lembaga resmi seperti Kantor Desa, Kecamatan, dan dari hasil-hasil penelitian dan berbagai referensi yang relevan dengan permasalahan penelitian yang berupa : jurnal, surat kabar, buletin, artikel, buku-buku, dan internet.

1.5.3. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisa data kualitatif yang menganalisis tentang pola adaptasi suku bangsa Nias di perkotaan, khususnya di daerah Kampung Susuk. Analisa data dilakukan dengan mengorganisasikan data hasil observasi dan wawancara ke dalam tema-tema, kategori-kategori. Proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori dan satuan uraian dasar, sehingga dapat ditemukan tema dan


(36)

merumuskan hipotesis kerja. Setelah semua data terkumpul, selanjutnya akan dibandingkan serta dicari saling hubungannya. Dengan cara ini diharapkan akan ditemukan konsep dan kesimpulan yang menjelaskan laporan atau hasil penelitian yang disusun secara sistematis. Analisa data akan dilakukan mulai dari penyusunan proposal sampai penelitian ini selesai.


(37)

BAB II

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

2.1. Sejarah Singkat Kampung Susuk

Nama Kampung Susuk berasal dari nama desa yang ada di Kecamatan Tiganderket yang berada di Tanah Karo yang bernama Desa Susuk. Pada awal zaman penjajahan Belanda, suku bangsa Karo yang berasal dari Desa Susuk di Tanah Karo ingin tinggal di wilayah kekuasaan Belanda dan salah satunya adalah daerah yang sekarang bernama Kampung Susuk. Daerah tersebut dahulu merupakan perkebunan. Setelah suku bangsa Karo menetap di wilayah jajahan Belanda, mereka membuat suatu pemukiman yang dahulunya berlokasi di pusat Susuk V (lima). Perolehan wilayah tersebut akibat pihak Belanda meninggalkan wilayah tersebut dan mencari daerah yang lebih strategis lagi di tempat lain. Seiring perjalanan waktu penduduk suku bangsa Karo menjadi lebih banyak dan meluas hingga membentuk suatu kampung dan dengan kesepakatan bersama diberi nama ’Kampung Susuk’.

Penduduk Kampung Susuk pada awalnya ditempati oleh masyarakat asli dari Desa Susuk yang ada di Tanah Karo. Seiring perjalanan waktu, akhirnya Kampung Susuk dihuni oleh beraneka ragam suku bangsa. Walaupun demikian, suku bangsa Karo masih dominan bila dibandingkan dengan suku bangsa yang lainnya.


(38)

Wilayah Kampung Susuk terletak di Kota Medan tepatnya di daerah Kelurahan Padang Bulan Selayang 1 Kecamatan Medan Selayang. Batas-batas wilayahnya antara lain:

• Sebelah Timur berbatasan dengan Kelurahan Medan Baru

• Sebelah Barat berbatasan dengan Kelurahan Tanjung Sari Kecamatan Medan Selayang

• Sebelah Utara berbatasan dengan Lingkungan 8 (delapan) Kelurahan Padang Bulan Selayang Kecamatan Medan Selayang

• Sebelah Selatan berbatasan dengan Kelurahan Padang Bulan Selayang 2 Kecamatan Medan Selayang

Dalam Penelitian ini penulis mengambil lokasi di daerah Kampung Susuk sebagai salah satu lokasi yang mewakili suku bangsa Nias di perkotaan. Jumlah luas areal di daerah Kampung Susuk sekitar 45 hektar. Bila memasuki wilayah Kampung Susuk pasti akan terlihat banyak rumah-rumah yang dikontrakkan atau dikoskan. Alasanya karena daerah Kampung Susuk merupakan daerah yang sangat strategis menurut mahasiswa USU. Jarak yang sangat dekat terhadap Universitas Sumatera Utara (USU) membuat berbagai mahasiswa memilih tempat tinggal sementaranya di lokasi Kampung Susuk. Akibat banyaknya rumah yang disewakan maka tidak heran di sepanjang jalan banyak terdapat rumah makan, rental, warnet dan warung yang menjual kebutuhan sehari-hari.

Daerah Kampung Susuk juga dipenuhi sawah-sawah yang cukup lumayan luas. Bila memasuki wilayah susuk VIII (delapan) dan seterusnya maka


(39)

dapat terlihat daerah persawahan yang sangat indah dan seakan-akan berada di suatu daerah pedesaan. Di daerah Kampung Susuk memang masih terdapat daerah pertanian, walaupun dapat dikatakan sebagai pertanian di tengah kota. Dengan adanya daerah persawahan maka Kampung Susuk sangat asri bila di lihat. Dengan banyaknya penduduk yang ada di daerah Kampung Susuk dengan berbagai suku bangsa ditambah dengan berbagai macam mahasiswa dari berbagai suku bangsa dan dengan latar belakang yang berbeda, membuat daerah Kampung Susuk menjadi ramai dan multietnis.

Suku bangsa yang ada di daerah tersebut terdiri dari suku bangsa Karo, Minangkabau, Jawa, Toba, Simalungun, Aceh, Tapanuli Selatan, dan Nias. Suku bangsa Nias di daerah Kampung Susuk cukup lumayan banyak sekitar 30 KK (Kepala Keluarga). Masing-masing suku bangsa Nias di daerah Kampung Susuk saling membentuk komunitasnya sendiri. Di Kampung Susuk mereka juga menyebar, antara lain di Susuk II, III, VI, VII, dan VIII. Di antara daerah tersebut suku bangsa Nias paling banyak di daerah susuk VII dan VIII.

Foto 112 Foto 213

12

Gbr. Pintu tembok untuk memasuki wilayah Kampung Susuk

13


(40)

Di daerah Kampung Susuk sendiri mereka saling berinteraksi dengan berbagai suku bangsa terutama dengan masyarakat setempat. Berikut merupakan gambar lokasi Kampung Susuk:

Foto3 14 Foto 415

Foto 516 Foto 617

Lingkungan area hunian terbentuk karena adanya proses pembentukan tempat tinggal merupakan wadah fungsional yang didasarkan pada pola aktivitas manusia dan pengaruh setting (tata letak). Pola tersebut boleh bersifat fisik dan

14

Gbr. Jalan masuk daerah Kampung Susuk

15

Gbr. Pemukiman suku bangsa Nias di Susuk II

16


(41)

non fisik (sosial budaya) yang secara langsung mempengaruhi pola aktivitas dan proses perletakan. Suatu kawasan di perkotaan ada yang memiliki kumpulan orang dari desa yang berasal dari suku bangsa yang sama. Kumpulan orang tersebut membentuk suatu desa di kota yang proses pembentukannya memiliki kaitan dengan keadaan sosial dan budaya dari desa asal mereka. Desa yang terbentuk di perkotaan ini dinamakan kampung kota. Ruang tempat kehidupan suatu kumpulan masyarakat di kampung kota ini merupakan ruang yang terjadi sebagai wujud peralihan dari desa dan kota. Tata cara dalam ruang tersebut masih terbawa ke kota. Padahal pada saat bersamaan mereka dituntut untuk dapat menyesuaikan diri dengan cara hidup orang kota.

Kampung kota merupakan kenyataan sosial-budaya yang terjadi di kota-kota di Indonesia yang sudah menggenal sejak kerajaan Hindia Belanda. Definisi yang tepat pada awal abad ke-20 adalah pemukiman pribumi yang masih meneruskan tradisi desa asalnya sekalipun tinggal di kota. Saat ini kampung kota lebih dekat pengertiannya sebagai suatu sistem pemukiman yang struktur sosial, budaya dan ekonominya tidak terorganisir dalam suatu sistem kelembagaan formal. Pemukiman tersebut tumbuh di kawasan kota tanpa pencerahan infrastruktur dan jaringan ekonomi kota (Marpaung, 2009).

Dari segi ekonomi suku bangsa Nias bermata pencaharian sebagai tukang becak dan pemungut barang bekas (tukang butut). Di daerah Kampung Susuk sendiri, tukang becak yang bersuku bangsa Nias lebih banyak dibandingkan dengan suku bangsa Karo sebagai tukang becak yang sudah menetap dan sekaligus sebagai masyarakat asli penduduk setempat. Di daerah Kelurahan P.B.


(42)

Selayang I memang sangat banyak suku bangsa Nias yang berprofesi sebagai tukang becak maupun sebagai tukang mengumpulkan barang bekas yang nantinya akan di daur ulang. Banyaknya suku bangsa Nias sebagai tukang becak di daerah Kampung Susuk diakibatkan oleh banyaknya suku bangsa Karo yang menyewakan becak mesinnya kepada suku bangsa Nias. Seakan-akan suku bangsa Nias lebih banyak dibandingkan dengan suku bangsa lainnya. Walaupun suku bangsa Nias lebih banyak menyewa becak dari suku bangsa tersebut, namun suku bangsa Karo menyewakan becaknya bukan hanya kepada suku bangsa Nias saja melainkan kepada suku bangsa lainnya seperti: Aceh, Jawa dan lain-lain. Selain sebagai tukang becak yang merupakan mata pencaharian pokok mereka, suku bangsa Nias juga sebagai pemungut barang bekas, sebagai tukang cuci, dan pembantu di rumah makan. Semua pekerjaan yang mereka lakukan semata-mata untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya.

2.2. Kependudukan dan Komposisi Berdasarkan Suku Bangsa, Agama, dan Pendidikan

Penduduk daerah Kampung Susuk dihuni oleh beberapa suku bangsa, yakni: suku bangsa Karo, Toba, Tapsel, Jawa, Nias, Simalungun, Aceh, dan Minangkabau. Suku bangsa Karo merupakan penduduk asli Kampung Susuk sementara suku bangsa lainnya merupakan kelompok masyarakat pendatang. Saat ini penduduk daerah Kampung Susuk mayoritas bersuku bangsa Karo. Suku bangsa Karo memiliki jumlah yang banyak disebabkan oleh suku bangsa yang menempati daerah Kampung Susuk pertama kali adalah suku bangsa Karo.


(43)

Komposisi penduduk di Kampung Susuk berdasarkan suku bangsa dapat di lihat pada tabel dibawah ini :

Tabel 1

Komposisi Penduduk Berdasarkan Suku Bangsa

No Suku Bangsa Jumlah (Jiwa) Persentasi (%)

1. 2. 3. 4. 5. 6. Batak Karo Jawa Tapanuli Selatan Mel DLL 2.543 Jiwa 2.526 Jiwa 3.536 Jiwa 504 Jiwa 307 Jiwa 769 orang 24,968090 24,801178 34,717722 4,9484536 3,0142366 7,5503190

Jumlah 10.185 Jiwa 100

Sumber : Data Kelurahan P.B. Selayang 1 Tahun 2007.

Berdasarkan pada tabel di atas komposisi penduduk berdasarkan suku bangsa di Kelurahan P.B. Selayang 1 yang terbanyak adalah suku bangsa Batak, namun lain halnya dengan suku bangsa yang terbanyak di lingkungan IX (Kampung Susuk) adalah suku bangsa Karo dibandingkan dengan suku bangsa lainnya. Disusul dengan suku bangsa lainnya yang dianggap sebagai suku bangsa pendatang seperti suku bangsa Batak, Tapsel, Aceh, Simalungun, Minangkabau, dan Nias. Suku bangsa Karo memiliki jumlah yang banyak diakibatkan suku bangsa Karo merupakan masyarakat asli yang pertama kali menempati daerah Kampung Susuk sejak Belanda meninggalkan wilayahnya. Suku bangsa Batak memang cukup banyak setelah suku bangsa Karo di Kampung Susuk. Selain suku bangsa Batak banyak akibat dari masyarakat setempat yang ada ditambah dengan anak kos yang berada di Kampung Susuk yang mayoritas bersuku bangsa Batak. Sama halnya dari segi agama, penduduk di Kampung Susuk juga berbeda dengan


(44)

jumlah agama terbanyak di Kelurahan. Jumlah agama tersebut dapat di lihat pada tabel di bawah ini:

TABEL 2

Komposisi Penduduk Berdasarkan Agama

No Agama Jumlah (Jiwa) Persentase (%)

1. Islam 5.464 Jiwa 53,647521

2. Kristen Protestan 3.297 Jiwa 32,371134

3. Kristen Khatolik 1.199 Jiwa 11,7722140

4. Budha 217 Jiwa 2,13058419

5. Hindu 8 Jiwa 0,07854688

Jumlah 10.185 Jiwa 100

Sumber : Data Kelurahan P.B. Selayang 1 Tahun 2007.

Pada tabel. 2 (dua) dapat dilihat bahwa penduduk di Kelurahan P.B. Selayang 1 lebih banyak beragama Islam, namun lain halnya dengan daerah Kampung Susuk jumlah agama Kristen Protestan lebih banyak dibandingkan dengan agama yang lainnya. Faktor lebih banyaknya agama Kristen Protestan pertama dibawa oleh suku bangsa Karo yang ada di tanah Karo yang lebih dahulu mendapat agama tersebut dari misionaris dari luar yang menyebarkarkan injil. Suku bangsa Karo, Batak dan Niaslah yang membuat penduduk daerah Kampung Susuk mempunyai jumlah agama kristen protestan lebih banyak dibandingkan dengan agama lainnya.

Selain daripada masyarakat yang menetap di daerah Kampung Susuk jumlah agama kristen protestan lebih banyak akibat ditambahnya anak kos yang menempati wilayah Kampung Susuk yang mayoritas juga beragama kristen protestan. Semua hal inilah yang menyebabkan Kampung Susuk mempunyai jumlah agama kristen protestan lebih banyak dibandingkan dengan jumlah agama yang lainnya.


(45)

Dari usianya penduduk Kelurahan P.B. Selayang 1 dengan Kampung Susuk memiliki jumlah yang tidak berbeda jauh dalam hal produktif usia muda dan usia lebih tua dan dapat di lihat pada tabel di bawah ini :

TABEL 3

Komposisi Penduduk Berdasarkan Usia dan Jenis Kelamin

No Golongan Umur Jenis Kelamin Jumlah Persentase

(%) Laki-laki Perempuan

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 0-5 Tahun 6-10 Tahun 11-15 Tahun 16-20 Tahun 21-25 Tahun 26-30 Tahun 31-35 Tahun 36-40 Tahun 41-45 Tahun 46-50 Tahun 51-55 Tahun

Lebih dari 56 Tahun

546 423 399 405 384 385 378 456 425 338 391 500 529 402 378 414 321 384 430 371 390 515 442 579 1075 825 777 819 705 769 808 827 815 853 833 1079 10,5547373 8,10014727 7,62886597 8,04123711 6,92194403 7,55031909 7,93323515 8,11978399 8,00196367 8,37506136 8,17869415 10,5940108

Jumlah 5.030 5.155 10.185 100

Sumber : Data Kelurahan P.B. Selayang I Tahun 2007, dikelola oleh penulis.

No Keterangan Jumlah Persentase (%)

1. 2. Laki-laki Perempuan 5.030 jiwa 5.155 jiwa 49,386352 50,613647

Jumlah Seluruhnya 10.185 jiwa 100

Sumber : Data Kelurahan P.B. Selayang I Tahun 2007, dikelola oleh penulis.

Berdasarkan tabel di atas jumlah komposisi usia dan jenis kelamin wanita lebih besar dibandingkan dengan jumlah komposisi usia dan jenis kelamin laki-laki. Jumlah komposisi wanita 5.155 jiwa dan komposisi laki-laki adalah 5.030 jiwa. Jumlah usia produktif dengan jumlah golongan tua berbeda jauh. Jumlah golongan tua lebih banyak dibandingkan dengan jumlah usia produktif.


(46)

Sama halnya dengan jumlah Kampung Susuk, jumlah golongan tua lebih banyak dibandingkan dengan jumlah usia produktif.

TABEL 4

Komposisi Penduduk Berdasarkan Pendidikan

No Pendidikan Jumlah (orang)

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Belum sekolah

Usia 7-45 tahun tidak pernah sekolah Pernah sekolah SD tetapi tidak tamat Tamat SD/sederajat SLTP/ sederajat SLTA/sederajat Diploma a. D-1 b. D-2 c. D-3 Sarjana a. S-1 b. S-2 c. S-3 495 orang 5 orang 48 orang 3.070 orang 2.807 orang 2. 710 orang - 182 orang 45 orang 240 orang - 477 orang 71 orang 35 orang

Jumlah Total 10.185 orang

Sumber : Data Kelurahan P.B. Selayang I Tahun 2007.

Berdasarkan tabel di atas di dalam Kelurahan P.B. Selayang 1 sudah banyak yang yang melanjutkan sekolahnya hingga tahap yang lebih tinggi. Ini menandakan adanya semangat dan pentingnya untuk bersekolah. Bila di daerah Kampung Susuk juga banyak yang bersekolah hingga meneruskan ke perguruan tinggi. Itu menandakan di daerah Kampung Susuk pemikirannya sudah maju dan setiap keluarga sudah menyadari pentingnya dunia pendidikan. Walaupun orang tua mereka hanya buruh tani ataupun tukang bangunan, tukang becak. Namun anak-anak mereka harus mempunyai pendidikan yang lebih tinggi dibandingkan dengan pendidikan orang tua mereka dahulu. Tujuannya adalah agar kelak masa


(47)

depan mereka lebih terjamin dan mempunyai masa depan yang lebih baik lagi dibandingkan masa depan seperti para orang tua mereka.

2.3. Jenis Mata Pencaharian

Mata pencaharian atau pekerjaan merupakan hal yang sangat penting bagi kehidupan manusia pada zaman sekarang, karena tanpa pekerjaan manusia akan mengalami kesulitan dalam hidupnya. Oleh karena itu, setiap orang harus berusaha untuk bekerja demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Demikian juga halnya penduduk di Kampung Susuk, mata pencahariannya terdiri dari: 1) Tukang Becak; 2) Wiraswasta; 3) Pedagang; 4) buruh tani; 5) Tukang Bangunan; 6) PNS; 7) dan lain-lain. Penduduk daerah Kampung Susuk mayoritas bekerja sebagai tukang becak dan buruh tani. Dikatakan tukang becak karena bila memasuki daerah lokasi daerah Kampung Susuk maka akan langsumg menemukan pangkalan tukang becak yang sedang menunggu sewa di sekitar areal pinggiran jalan. Lain halnya dengan buruh tani, karena daerah Kampung Susuk adalah daerah persawahan walaupun sawah tersebut mereka garap dan menyewa dari orang lain, bukan milik sendiri lagi. Banyak para pegawai swasta/negeri yang merangkap juga sebagai buruh tani. Selain sawah, ada juga ladang yang mereka garap untuk menanam tanaman jagung, cabai, terong, tebu, singkong, ubi jalar, dan lain sebagainya. Jadi bila memasuki wilayah daerah Kampung Susuk maka akan terlihat seakan-akan berada di daerah pedesaan, karena masih banyak yang menggarap sawah yang merupakan salah satu dari mata pencaharian bagi mereka.

Lain halnya dengan tukang becak, masyarakat setempat dalam hal ini suku bangsa Karo sebagai masyarakat asli di sini mempunyai aturan dalam


(48)

menarik becak. Banyaknya para pendatang dari berbagai suku bangsa yang datang dan tinggal di daerah Kampung Susuk membuat mereka juga mencari pekerjaan yang serupa dengan masyarakat setempat. Aturan tersebut bersifat uname law (hukum tak tertulis) bersifat lisan, namun sanksinya sangat berat bila tidak mematuhi peraturan tersebut. Aturan tersebut adalah bahwa setiap suku bangsa di luar suku bangsa Karo seperti Nias, Toba, Jawa hanya mempunyai wilayah tarikan di daerah tembok dekat Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) dan di pintu gerbang 4 (empat) USU. Sedangkan suku bangsa Karo boleh bebas mengambil sewa dari wilayah USU. Termasuk wilayah yang ramai, seperti daerah Sumber. Sanksi yang akan digunakan, apabila seseorang tidak menaati peraturan tersebut mereka akan dipukuli, dicaci, diusir dari wilayah Kampung Susuk bila mereka pendatang dan tinggal di daerah tersebut. Ada yang menarik dari peraturan uname law disini bahwa mereka boleh menarik dari wilayah mana saja seperti layaknya suku bangsa Karo, apabila mereka menyewa becak mesin suku bangsa Karo. Dari aturan seperti ini terlihat adanya kekuasaan mayoritas kepada minoritas dalam hal ini kekuasaan dalam wilayah mata pencaharian.

Aturan tersebut suka tidak suka harus ditaati dan biasanya suku bangsa Nias mentaati hal tersebut. Mereka sadar mereka di sini hanyalah pendatang oleh karena itu, mereka sadar akan status mereka di Kota Medan. Penghasilan yang mereka terima bila mempunyai becak sendiri dalam satu harinya adalah Rp.40.000,-/hari sudah termasuk bensin dan lain sebagainya. Lain halnya dengan penghasilan yang menyewa dari orang dan tergantung dari warna plat nomor becak sewaan tersebut. Jika plat nomer becak warna kuning dikenakan sebesar


(49)

Rp.25.000,-/hari kepada penyewa dan Rp.20.000,-/hari bila becaknya berplat hitam. Perbedaan tersebut dikarenakan oleh jenis warna plat yang dipakai. Bila warna kuning daerah wilayah tarikannya bisa sampai jalan besar/raya dan sebaliknya untuk becak berplat hitam. Jadi tidak heran bila uang setorannya berbeda karena wilayah tarikannya juga berbeda.

Aturan-aturan tersebut suku bangsa Nias taati sebagai pola adaptasi mereka dalam memperoleh sumber-sumber ataupun akses-akses. Biasanya dalam pekerjaan menarik becak suku bangsa Nias lebih akrab dengan suku bangsa Batak yang lebih sepaham dan asyik diajak untuk kerja sama. Adanya rasa kebersamaan mereka dalam menarik becak, menunggu sewa dan lain sebagainya. Bila dibandingkan dengan suku bangsa Karo bisa dihitung dengan jari kedekatan antara suku bangsa Karo dengan suku bangsa Nias. Adanya masalah sejarah hidup antara suku bangsa Karo dengan suku bangsa Nias yang membuat mereka tidak bebas untuk berinteraksi maupun dalam hal kerjasama. Itu diakibatkan oleh adanya kekuasaan dalam berinteraksi, jenis mata pencaharian dan lain sebagainya.

Kekuasaan dalam hal mata pencaharian memang sangat menonjol sekali di daerah Kampung Susuk. Suku bangsa Nias memilih mata pencaharian tukang becak diakibatkan sempit atau tertutupnya akses mereka untuk dapat memiilih mata pencaharian di bidang informal lainnya. Dalam mata pencaharian selain para suami, sebagian isteri juga ikut membantu dan anak-anakpun juga mempunyai andil besar dalam membantu perekonomian dalam keluarga. Banyak para anak-anak suku bangsa Nias membantu para orang tuanya dengan cara mengamen di


(50)

sekitar wilayah kampus USU. Selain daripada mengamen mereka juga ada yang berprofesi sebagai penyemir sepatu dan lain-lainnya.

Para anak tersebut melakukannya dengan senang hati. Dilakukannya pada saat mereka pulang sekolah. Itu berarti mereka mulai bekerja (mengamen dan menyemir sepatu) dari siang hari hingga sore menjelang malam hari. Hasil yang mereka peroleh tentunya sangat membantu perekonomian suatu keluarga. Hasil yang didapatkan dalam satu harinya diberikan setengah terhadap orang tua mereka dan sisanya digunakan untuk uang jajan sekolah. Oleh karena itu, setiap harinya mereka tidak lagi meminta kepada orang tua mereka. Dalam hal ini anak menjadi pelengkap dalam membantu perekonomian keluarga. Kadang-kadang hasil uang yang di dapat mereka dalam satu hari bisa sama besarnya dengan penghasilan orang tua mereka. Untuk itu fungsi anak dalam hal ini sangat bermanfaat dalam suatu keluarga.

Sama halnya dengan orang dewasa, para anak-anak yang bekerja sebagai pengamen dan penyemir sepatu, mereka juga mempunyai saingan dalam memperoleh wilayah yang biasa mereka lakukan sebagai tempat untuk mendapatkan uang. Mereka tidak segan-segan untuk memukul dan berkelahi layaknya orang dewasa. Hal itu terjadi akibat persaingan wilayah tempat mereka mangkal. Resikonya memang bisa berbahaya ketika orang tua memberikan izin kepada anak-anak untuk bekerja di luar rumah. Karena menurut salah satu informan mereka mengatakan sering dipukuli oleh orang-orang yang mempunyai kekuasaan khususnya di Pajak USU (PAJUS). Mereka sering dipukul, ditampar dan dicaci, oleh karena itu para pengamen di daerah PAJUS sudah tidak terlihat


(51)

lagi. Untuk tetap mendapatkan uang setiap harinya mereka pergi ke fakultas-fakultas yang ada di USU (Universitas Sumatera Utara). Sebagian juga peneliti menemukan pengamen seorang anak suku bangsa Nias mengamen hingga daerah Pringgan Jalan Iskandar Muda. Mereka melakukannya atas dasar keterbatasan tempat untuk mencari uang di daerah wilayah kampus USU. Jadwal mereka mencari uang sampai jam 7 (tujuh) malam dan setelah itu mereka pulang ke rumah dan melakukan aktivitas seperti mandi, makan dan belajar untuk mempersiapkan sekolah di pagi hari. Rutinitas yang mereka lakukan setiap harinya adalah sekolah di pagi hari, makan, setelah itu keluar rumah untuk mencari uang hingga malam dan baru kembali ke rumah dan seterusnya.

Pekerjaan yang dilakukan setiap harinya seperti yang dijelaskan di atas tidak membuat para anak suku bangsa Nias bermalas-malasan untuk sekolah. Walaupun mereka bekerja setiap harinya setelah pulang dari sekolah, namun mereka mempunyai prestasi yang cukup patut dibanggakan. Tidak jarang dari mereka juga banyak yang mendapatkan prestasi di sekolah. Prestasi yang mereka dapatkan hasil dari ketekunan yang mereka lakukan setelah pulang bekerja di luar. Sehabis pulang bekerja di luar sebagai pengamen dan tukang semir mereka tetap belajar dan tidak meninggalkan dunia sekolah. Namun di antara mereka yang tetap sekolah, ada juga di antara mereka yang tidak melanjutkan sekolah. Alasan yang membuat mereka putus sekolah adalah keterbatasan biaya dan menganggap tidak pentingnya dunia sekolah. Bagi mereka makan setiap harinya sudah cukup dan membantu orang tua adalah yang terpenting.


(52)

Berbeda dengan di daerah Kampung Susuk mata pencaharian di Kelurahan Padang Bulan Selayang 1 lebih beraneka ragam dan sudah lebih maju dengan ditandai dari berbagai profesi. Mata pencaharian tersebut dapat di lihat pada tabel di bawah ini:

TABEL 5

Komposisi Penduduk Berdasarkan Jenis Mata Pencaharian

No Jenis Mata Pencaharian Jumlah (orang)

1. Buruh/swasta 917

2. Pegawai Negeri 312

3. Pengrajin 2

4. Pedagang 216

5. Penjahit 12

6. Tukang Batu 114

7. Tukang Kayu 82

8. Peternak 3

9. Nelayan -

10. Montir 16

11. Dokter 24

12. Sopir 43

13. Pengemudi bajaj 1

14. Pengemudi becak 137

15. TNI/Polri 27

16. Pengusaha 35


(53)

Dari tabel di atas dapat di lihat banyaknya variasi pekerjaan yang ada di Kelurahan Padang Bulan Selayang 1. sebagian pekerjaan yang ada di Kelurahan terdapat juga di Kampung Susuk seperti: tukang becak, buruh, pedagang, dan lain-lain.

2.4. Sistem Kekerabatan

Dari distribusi penduduk menurut suku bangsa terlihat suku bangsa Karo yang mendominasi jumlah penduduk di daerah Kampung Susuk. Semua suku bangsa Karo yang ada di daerah tersebut mempunyai ikatan kekerabatan satu sama lainnya. Hal tersebut dikarenakan mereka berasal dari kampung yang sama yaitu Tiganderket. Ikatan yang terjalin di daerah Kampung Susuk sangat erat, layaknya seperti keluarga. Karena banyaknya berbagai suku bangsa di daerah Kampung Susuk, maka tidak heran adanya perkawinan campuran antara suku bangsa Karo dengan Nias, suku bangsa Nias dengan Toba, suku bangsa Karo dengan Toba dan lain sebagainya.

Dengan adanya perkawinan campuran yang ada di daerah Kampung Susuk membuat ikatan kekerabatan semakin dekat dan membentuk sebuah keluarga. Suku bangsa Nias dalam hal ini tinggal secara berkoloni membentuk suatu komunitasnya sendiri-sendiri, ada juga yang membaur, namun jumlahnya sedikit saja. Perkawinan campuran yang dilakukan suku bangsa Nias merupakan salah satu bentuk adaptasi yang mereka lakukan di perantauan khususnya di daerah Kampung Susuk. Selain itu juga suku bangsa Nias di daerah Kampung Susuk termasuk ke dalam keluarga luas.


(54)

Keluarga luas adalah kelompok kekerabatan yang merupakan satu kesatuan sosial yang sangat erat dan selaku terdiri dari lebih dari satu keluarga inti. Di lihat dari komposisinya, ada 3 (tiga) macam keluarga luas yang semua didasarkan pada suatu adat menetap sesudah nikah. Apabila adat itu berubah, maka keluarga luas dalam masyarakat tersebut pun akan retak dan akhirnya hilang. Ketiga macam keluarga luas itu antara lain :

1. Keluarga luas utrolokal (berdasarkan adat utrolokal) yang terdiri dari satu keluarga inti senior dengan keluarga-keluarga inti anak-anaknya, baik yang pria maupun yang wanita;

2. Keluarga luas virilokal yang berdasarkan adat virilokal dan terdiri dari keluarga inti senior dengan keluarga inti dari anak-anak laki-lakinya;

3. Keluarga luas uxorilokal (berdasarkan adat uxorilokal), yang terdiri dari keluarga inti senior dengan keluarga-keluarga inti anak-anak wanita.

Dalam berbagai masyarakat di dunia, ikatan keluarga luas sedemikian eratnya, sehingga mereka tidak hanya tinggal bersama dalam satu rumah besar, tetapi juga merupakan satu rumah tangga dan berbuat seakan-akan mereka merupakan satu keluarga inti yang besar.

Suku bangsa Nias mengikuti keturunan patrilineal, yaitu hubungan kekerabatan melalui laki-laki. Apabila anak laki-laki kawin, biasanya tinggal di rumah orang sendiri, mereka tinggal bersama dengan orang tua selamanya. Orang yang bersasal dari satu garis keturunan disebut sisambua mado (satu mado). Mereka diikat oleh hubungan darah yang dihitung melalui pihak laki-laki.


(55)

Adanya perkawinan dalam masyarakat suku bangsa Nias terbentuk kelompok kekerabatan yang disebut ngambato ini terjadi satu kelompok kekerabatan yang terkecil yang biasa disebut keluarga batih. Dengan terbentuknya ngambato ini, keluarga dari pihak suami dan isteri menjadi berfungsi terutama dalam upacara adat dalam lingkungan hidup mereka.

Dalam adat kekerabatan sopan santun suku bangsa Nias, semua anggota keluarga dan kerabat boleh saling menyapa. Dalam acara menyapa, dibedakan antara yang lebih muda dengan yang lebih tua. Kepada yang lebih tua harus lebih menghormati daripada yang lebih muda umurnya. Antara mertua dan menantu terjalin hubungan antara anak dengan orang tuanya sendiri. Dengan demikian hubungan antara menantu tidak ada kesungkanan.

Pergaulan antara isteri dan anak-anaknya lebih banyak di sekitar kerabat suami, sehingga pergaulan di sekitar kerabat sendiri hanya sekali-kali. Akibatnya lama kelamaan kerabat dari pihak isteri kurang dikenal, apalagi kalau sudah beberapa generasi. Adat virilokal adalah suatu adat menetap kawin yang umum. Tetapi juga ada kekecualiannya yaitu apabila isteri tidak mempunyai saudara laki-laki, maka suami mengikuti isteri dan tinggal di tempat orang tua isterinya. Dengan demikian, berlaku adat uxorilokal atau matrilokal. Kadang-kadang adat uxorilokal bisa juga terjadi apabila pihak-pihak laki-laki tidak sanggup membayar jujuran. Jadi sebagai imbalannya dia harus tinggal di rumah orang tua isteri mengerjakan pekerjaan orang tua (Telambanua, 2008).

Perkawinan menyebabkan bertambahnya kewajiban kedua individu yang telah bersatu. Di dalam rumah tangga suami berperan sebagai pemimpin, pencari


(56)

nafkah dan isteri bertugas mencari nafkah dan isteri bertugas mengurus keluarga. Mereka mempunyai kewajiban terhadap hasil perkawinan mereka, terhadap orang tua serta terhadap anggota keluarga kedua belah-pihak, juga mempunyai hak dan kewajiban suami-isteri dalam keluarga dan masyarakat adalah sebagi berikut:

Hak Suami Isteri dalam Keluarga:

a. Sudah boleh diikutsertakan dalam musyawarah keluarga b. Berhak memberikan pendapat dalam musyawarah keluarga

c. Mempunyai hak untuk memperoleh bagian dari mas kawin dalam perkawinan saudara perempuannya atau keponakan perempuannya.

Kewajiban Suami Isteri dalam Keluarga:

a. Mengurus dan mendidik anak-anaknya sampai dengan mengawinkannya b. Mengurus orang tua sampai mereka meninggal dan menguburkannya c. Memberikan bantuan menurut adat apabila saudara laki-laki isterinya

menikah

d. Memberikan bantuan menurut ketentuan adat apabila mertuanya mendirikan rumah dan juga memberikan biaya penguburannya jika meninggal

e. Wajib memberikan bantuan dalam perkawinan saudara-saudaranya yang laki-laki menurut kesanggupannya

f. Memberi bantuan menurut ketentuan adat apabila saudara sepupu isterinya menikah.

Hak Suami Isteri Sebagai Anggota Masyarakat:


(57)

b. Berhak dipilih sebagai pembantu salawa (pemimpin desa) c. Berhak mendirikan kampung.

Kewajiban Suami Isteri Sebagai Anggota Masyarakat:

a. Membayar utang adat kepada sesama anggota masyarakat dengan ketentuan adat yang berlaku, apabila :

1. Anaknya lahir

2. Anaknya yang laki-laki disunat (laboto atau la ’ efasi ba wa’aila) 3. Mengawinkan anaknya

4. Mendirikan rumah

5. Mengadakan pesta kematian

b. Bertanggung jawab atas keamanan kampung

Perkawinan di Nias adalah monogami. Anggota inti rumah tangga adalah suami, isteri dan anak-anak mereka seperti ini disebut sambua gagambato (keluarga batih ). Keluarga inti (nuclear family) di Nias adalah pokok dan dasar. Keluarga besar nuclear joint families adalah bentuk tingkat kedua di samping keluarga nuclear. Rumah tangga selalu ditentukan oleh bawoa go (periuk masak), Bila dikatakan ekonomis keluarga batih itu telah bebas dan merdeka dari orang lain. Kadang-kadang ada 2 (dua) atau 3 (tiga) keluarga dalam satu rumah tetapi tidak berarti bahwa mereka serumah tangga melainkan setiap keluarga, makan dan mengurus soal ekonomi dan budgetnya masing-masing.

Dalam pembagian kerja juga suku bangsa Nias beranggapan bahwa laki-laki adalah tenaga kerja yang kuat, kasar dan berani sedangkan perempuan adalah makhluk yang lemah, lembut, penyayang dan pemalu. Secara teori, laki-laki


(58)

menanggung segala kerja berat dan membela anggota keluarga dari mara-bahaya, sedangkan perempuan terikat pada kerja yang ringan dan mengasuh anak-anaknya. Tetapi dalam kenyataan, jikalau didaftarkan seluruh jenis kerja dalam keluarga, perempuan akhirnya yang lebih banyak menangani jenis-jenis kerja dari laki-laki. Si ayah masih menikmati tidur di tempat tidur, sedangkan isteri sedang menyiapkan sarapan pagi, dan suami sudah lama mendengkur dalam kelelapan tidur sementara isteri masih membersihkan piring-piring di pada malam harinya, teristimewa kalau mereka belum mempunyai anak gadis besar.

Dalam keluarga saudara yang masih muda harus patuh dan mengikuti bimbingan saudara yang lebih tua dan seharusnya yang muda harus menghormati yang lebih tua. Oleh sebab itu, yang tua harus juga menunjukan contoh-contoh yang baik kepada saudara-saudaranya yang masih muda. Mereka memberi contoh bagaimana sebaiknya memahami serta mematuhi instruksi orang tua. Itulah sebabnya maka saudara tertua sering dianggap sebagai orang tua yang kedua. Bila terjadi pertengkaran dikalangan anak-anak, orang tua biasannya menyesali dan menyalahkan saudara yang lebih tua walaupun secara nyata saudara yang lebih tua harus banyak mengalah kepada saudaranya yang masih muda. Mengalah dalam pertengkaran bukan berarti dikalahkan melainkan itu tandanya bahwa yang lebih tua lebih bijaksana dan lebih tahu berbuat yang baik. Tetapi bila pertengkaran terjadi di luar keluarga (rumah) antara salah satu anak dengan anak orang dari keluarga yang lain maka anak yang bertengkar ini tidak akan di tinggal sendirian. Seluruh saudaranya bahkan saudara sepupunya akan ikut melibatkan diri dalam perkelahian itu juga.


(1)

Dalam hubungan sosial di bidang keagamaan

a. Kegiatan apa saja yang dilakukan oleh suku bangsa Nias dalam hubungan sosial di bidang

keagamaan di Kampung Susuk

b. Dalam bidang keagaaman ini suku bangsa Nias sering ambil bagian dan ikut

berpartisipasi atau tidak

Wawancara mendalam dan observasi

Masyarakat suku bangsa Nias dan suku bangsa Karo.

Dalam hubungan sosial untuk kegiatan gotong-royong

a. Kegiatan apa saja yang dilakukan oleh suku bangsa Nias dalam hubungan sosial untuk kegiatan gotong-royong di Kampung Susuk

b. Dalam bidang gotong royong ini suku bangsa Nias sering ambil bagian dan ikut berpartisipasi atau tidak

Wawancara mendalan dan observasi

Masyarakat suku bangsa Nias dan Suku bangsa Karo


(2)

Dalam hubungan sosial untuk upacara kegiatan perkawinan/adat

a. Kegiatan apa saja yang dilakukan oleh suku bangsa Nias dalam hubungan sosial untuk upacara kegiatan perkawinan/a dapt di Kampung Susuk b. Apa peran

atau bagian suku bangsa Nias dalam acara

perkawinan di daerah

Kampung Susuk.

Wawancara mendalam dan observasi

Masyarakat suku bangsa Nias dan Suku bangsa Karo.


(3)

Perolehan mata pencaharian sebagai tukang becak

a. Bagaimana adaptasi ekonomi yang dilakukan oleh suku bangsa Nias Dalam memperoleh mata

pencaharian sebagai tukang becak di Kampung Susuk b. Apa ada

kendala atau masalah dalam mendapatkan mata pencarian tersebut

c. Bagaimana perjanjian jika suku bangsa Nias menyewa becak suku bangsa Kro d. Adakah

perjanjian dalam menarik becak dan perjanjian tempat untuk menarik sewa e. Berapa

penghasilan dalam satu harinya dengan menarik becak f. Bagaimana cara

menyelesaikan masalah yang terjadi jika terjadi masalah dalam menarik becak

Wawancara mendalam dan observasi partisipasi

Masyarakat suku bangsa Nia dan suku bangsa Karo


(4)

Perolehan mata pencaharian sebagai pengumpul barang bekas

a. Bagaimana adaptasi ekonomi yang dilakukan suku bangsa Nias dalam memperoleh mata

pencaharian sebagai pengumpul barang bekas b. daerah/wilayah

mana saja mereka mengambil barang bekas untuk di daur ulang c. Siapa saja

yang bertugas mengambil barang bekas dalam

keluarga suku bangsa Nias

Wawancara dan

observasi.

Masyarakat suku bangsa Nias.

Perolehan mata pencaharian sebagai pembantu

a. Bagaimana adaptasi yang dilakukan oleh suku bangsa Nias dalam

mendapatkan mata

pencaharian sebagai pemabantu (pembantu rumah tangga dan

pemabantu di rumah

makan) b. Berapa

penghasilan yang

Wawancara menddalam dan

observasi

Masyarakat suku bangsa Nias.


(5)

didapatkan dalam bekerja sebagai pembantu

Potensi-potensi konflik Dalam Hubungan suku bangsa Nias terhadap suku bangsa Karo dan penduduk

lainnya.

a. Bentuk-bentuk konflik apa saja yang dapat terjadi dalam hubungan suku bangsa Nias terhadap suku bangsa Karo dan penduduk lainnya

Wawancara dan

observasi

Masyarakat suku bangsa Nias dan suku bangsa Karo.

Upaya-upaya yang dilakukan untuk mengatasi konflik dalam hubungan suku bangsa Nias terhadap suku bangsa Karo dan Penduduk

lainnya.

a. Bentuk-bentuk atau upaya-upaya apa saja yang dilakukan untuk mengatasi konflik dalam hubungan suku bangsa Nias terhadap suku bangsa Karo dan penduduk lainnya

Wawancara Mendalam, observasi dan dari buku

Masyarakat suku bangsa Nias dan suku bangsa Karo.


(6)

b. Apa saja yang dilakukan suku bangsa Nias jika terjadi konflik dengan suku bangsa Karo c. Apakah

selama ini upaya yang dilakukan berhasil aatau tidak