Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perairan Asia Tenggara berada dalam jalur pelayaran yang menghubungkan negeri Cina dengan India, Persia dan negeri-negeri Arab di Timur Tengah yang berlanjut ke Eropa. Jalur laut menjadi sangat penting setelah jalur darat dirasakan tidak aman lagi setelah berkecamuk peperangan di wilayah Asia Tengah. Secara khusus jalur perdagangan antara Asia dengan Eropa disebut dengan jalur sutera silk roads. Silk roads adalah nama puitis yang diberikan kepada jalur perdagangan yang terbentang dari Timur ke Barat sejak dahulu kala. 1 Ternate merupakan salah satu kesultanan yang mengalami perkembangan dalam bidang perdagangan sejalan dengan meningkatnya perdagangan rempah-rempah di kawasan Timur Nusantara. Berdiri sejak sekitar abad ke-15 M, 2 Kesultanan Ternate kemudian berkembang menjadi kesultanan terkemuka di Maluku setelah kedatangan para pedagang Melayu dan Jawa untuk mendapatkan rempah-rempah. Bahkan, dalam perkembangannya kemudian, tepatnya setelah kejatuhan Malaka ke tangan Portugis, Kesultanan Ternate juga dikunjungi para pedagang internasional, khususnya bangsa Arab 1 RZ. Leirissa, dkk., Ternate Sebagai Badar Jalur Sutra Jakarta: CV. Ilham Bangun Karya, 1999, h. 1. 2 Yaitu pada masa Kolano Marhum antara tahun 1465-1486, dapat dilihat pada buku M. Adnan Amal, Kepulauan Rempah-rempah Perjalanan Sejarah Maluku Utara1250-1950 Makassar: Nala Cipta Litera, 2007, h. 63. 2 dan Persia, yang berusaha mencari wilayah utama penghasil rempah-rempah. 3 Sejalan dengan perkembangan tersebut, Kesultanan Ternate mengalami perkembangan pesat, baik di bidang ekonomi maupun politik, melampaui kerajaan-kerajaan lain di Maluku; seperti Tidore, Jailolo, dan Bacan. Tidak dapat disangkal lagi bahwa Ternate merupakan pangkalan penting dalam jalur perdagangan dan pelayaran antar-bangsa. Lokasinya merupakan jalur yang menghubungkan antara Jawa dan belahan bumi bagian Timur Nusantara yang telah melahirkan suatu peninggalan-peninggalan purbakala. Peninggalan-peninggalan tersebut sebagai bukti masuknya aneka ragam kebudayaan dan produksi dagang dari berbagai penjuru dunia seperti Arab, India, Cina, dan Eropa, dengan produksi dagang seperti kain sutra, keramik, porselin, alat-alat rumah tangga, serta alat persenjataan, dll. Abad ke-3 SM bangsa kita sudah melakukan hubungan dagang dengan para pedagang Cina khususnya dalam perdagangan rempah-rempah. Perdagangan rempah-rempah mulai ramai pada abad ke-7 M, dan bangsa Cina menyebut daerah penghasil rempah-rempah ini dengan sebutan Mi-li-ku. Dalam dokumen Spanyol dan Portugis bangsa Cina menamakan Maluku dengan sebutan Batu Cina de Moro yang artinya Batu atau kepulauan milik orang Cina. 4 Rempah-rempah khususnya cengkeh merupakan tulang punggung perekonomian kesultanan Ternate. Cengkeh juga merupakan komoditi eksport yang sangat dibutuhkan oleh pasar dunia, hal inilah yang menyebabkan Ternate 3 Prof. Dr. Taufik Abdullah, dkk, ed. Ensiklopedi Tematis Dunia Islam “Asia Tenggara” jilid V Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, h. 51. 4 Abdul Hamid Hasan, Aroma Sejarah dan Budaya Ternate Ternate:T.pn., 1998, h. 18. 3 banyak dikunjungi oleh berbagai suku bangsa, pelaut, dan pedagang yang ingin mengadakan hubungan dagang yang lebih terbuka. Dengan demikian barang- barang dagangan seperti sutera, porselin, keramik, senjata, dan bahan makanan yang dibawa oleh para pedagang dari luar Ternate telah membuat Ternate semakin makmur dan berjaya. Bangsa Eropa yang pertama menemukan Kepulauan Maluku adalah Portugis tahun 1512 M. Pada tahun itu dua armada Portugis, masing-masing di bawah pimpinan, Anthonio d’Abreu dan Fransisco Serau, mendarat di pulau Banda dan Pulau Penyu. Segera mereka menjalin persahabatan dengan penduduk dan raja-raja setempat, seperti dengan Kerajaan Ternate, sehingga Portugis diberi izin untuk mendirikan benteng di Pikapoli, Negeri Hitu Lama, dan Mamala. 5 Kehadiran bangsa Portugis dan Spanyol yang semula hanya mengurus perdagangan rempah-rempah saja, ternyata kemudian menggiatkan pula usaha penyeberan agama Kristen. Hal ini menimbulkan kegusaran penduduk khususnya di daerah Maluku Utara yang sejak abad ke-15 M, sudah menjadi pemeluk agama Islam yang taat. Keadaan ini menyebabkan sering terjadi benturan dan pertentangan antara Portugis dengan penduduk setempat. Hubungan yang kurang baik antara Portugis dan Kesultanan Ternate menjadi semakin meruncing setelah Portugis mulai memaksakan kehendaknya memonopoli perdagangan rempah-rempah. 5 Kementrian Dalam Negri, Profil Provinsi Republik Idonesia Maluku Jakarta: Yayasan Bhakti Wawasan Nusantara, 1992, h. 8. 4 Pada tahun 1530 M persahabatan antara kerajaan Ternate dengan Portugis berakhir, setelah para pedagang dari benua Eropa merampas hasil cengkeh milik sultan Hairun yang tewas di benteng 6 Santo Paulo, Ternate. Sejak saat itu hubungan antara Portugis dan Ternate tidak pernah harmonis lagi. Selain itu usaha Portugis untuk menguasai Ternate yaitu, Gobernador Gonzales de Pareira 1530-1532 M membunuh putera mahkota Deyale dengan meracuni makanan yang akan dimakan pangeran. Begitu juga Pangeran Abdul Hayat ditawan Portugis. Sultan Tabarija naik tahta 1532-1535 M dengan tetap mempertahankan wilayah serta jalur perniagaan tradisional seperti bandar Ternate – Jawa – Aceh – Malaka. 7 Akibatnya Sultan Tabarija ditawan di Goa India dan dipaksa menandatangi kesetiaan pada penguasa Iberia, King Alfonso di Lisabon. Penggantinya adalah Sultan Khairun Jamil 1535-1570 M 8 dengan memimpin perang melawan Portugis. Untuk menghancurkan Portugis putera mahkota Baabullah mengadakan hubungan dengan Sulawesi, Makasar, dan kepulauan Nusa Tenggara. Selain itu hubungan tradisional dengan Aceh, dan Demak dilanjutkan lagi. Dalam pertempuran yang hebat Sultan Khairun dibunuh secara biadab oleh Gobernador Lopez de Mosquito tanggal 27 Februari 1570 M. Sultan Baabullah naik tahta 1570-1583 M dan kembali memimpin perang setelah berhasil mengadakan konsolidasi kekuatan. Pada waktu 6 Benteng adalah pusat kegiatan pemerintahan sipil sekaligus merupakan markas militer. 7 RZ. Leirissa, Ternate Sebagai Bandar Jalur Sutra, h. 59. 8 Terdapat perbedaan tahun pada awal masa kepemimpinan Sultan Khairun Jamil. Abdul Hamid Hasan menyebut dalam buku Aroma Sejarah dan Budaya Ternate, awal kepemimpinan Sultan Khairun yaitu tahun 1537-1570. Sedangkan, M. Adnan Amal menyebutkan tahun 1535- 1570, dapat dilihat dalam bukunya Kepulauan Rempah-rempah Perjalanan Sejarah Maluku Utara 1250-1950. 5 sebelumnya perang antara kerajaan dengan Portugis masih bersifat mempertahankan wilayah kerajaan. Pada masa Sultan Baabullah perang sudah ditingkatkan dengan perang pengusiran Portugis dari Ternate. 9 Tahun 1575 M, bangsa Portugis menyerah, bendera mereka diturunkan dari atas benteng dan diganti dengan bendera Ternate. Penganut Kristen dari Bacan lari ke Ambon. Tahun 1578 M, sultan mengirim utusan ke Lisabon menuntut kerugian atas kematian ayahnya. Sayangnya, jawaban itu diterima setelah Sultan Baabullah wafat. Isi jawaban itu bahwa de Masquito akan diserahkan ke Ambon. Hanya saja perahu yang membawanya dilanda angin ribut dan terdampar di pantai Jawa. Perahu itu dibajak orang dan sekalian penumpangnya dibunuh, termasuk de Masquito 1579 M. Sultan Baabullah wafat awal tahun 1583 10 setelah seluruh Maluku dapat dikuasainya. 11 Sultan Baabullah adalah penguasa Kesultanan Ternate ke-24 yang berkuasa antara tahun 1570 – 1583 M, Ia merupakan sultan Ternate dan Maluku terbesar sepanjang sejarah yang berhasil mengalahkan Portugis dan mengantarkan Ternate ke puncak keemasan di akhir abad ke-16 M. Sultan Baabullah juga dijuluki sebagai penguasa 72 pulau. 9 RZ. Leirissa, Ternate Sebagai Bandar Jalur Sutra, h. 59. 10 Terdapat 3 versi mengenai kematiannya. Pertama, tidak pasti diracuni oleh orang Eropa maupun orang Maluku. Kedua, dikarenakan terkena guna-guna oleh wanita. Ketiga, diculik untuk di bawa ke Goa lalu entah bagaimana ia meninggal dalam perjalanan. Dilihat dalam buku Des Alwi, Sejarah Maluku Banda Naira, Ternate, Tidore dan Ambon Jakarta: PT. Dian Rakyat, 2005, h. 389-390. 11 Tim penulis IAIN Syarif Hidyatullah, Ensiklopedia Islam Indonesia Jakarta: Penerbit Djambatan, 1992, h. 150. 6

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah